Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Religi
Jika
3
Suka
167
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Ziva tiba-tiba muncul menjajari Mariam. Panas sedikit lembut setelah diredam gerimis yang turun meski matahari terang di atas langit. Hujan poyan-hujan monyet bercermin kata ibuku saat pernah kutanyakan fenomena itu. Apa maksudnya, ibuku hanya menggeleng.

“Hujan matahari memang aneh,” ujar Ziva.

“Sesuatu di luar nurul kita,” ujar Mariam. Tapi itulah yang sedang kita rasakan,” ujarnya lagi setengah bercanda. Dan keduanya tertawa.

Mariam, dengan jilbab putihnya yang bersahaja, seorang Muslimah. Sedangkan Ziva, sahabatnya, seorang perempuan yang meyakini spiritualitas pribadi, tanpa terikat agama formal. Ia percaya pada energi alam, pada kebaikan yang ada dalam diri setiap orang, tanpa harus mengikuti ajaran agama tertentu.

Mereka sudah bersahabat sejak pertama kali bertemu saat masa orientasi kampus. Entah tali apa yang membuat mereka terikat dan sulit dilepaskan, padahal mereka berdua seperti kutub magnit. Dan Ziva justru "menggunakan" keyakinan sahabatnya itu untuk terus menguji pilihan spiritualistasnya.

“Aku benar-benar bingung, Mariam,” kata Ziva sambil menatap langit yang mulai meredup. “Kenapa kamu-aku harus beribadah? Apa alasan sebenarnya di balik itu semua? Apa hanya untuk mendapatkan pahala atau surga? Rasanya itu seperti transaksi, kan?”

Mariam menatap Ziva dengan senyum tipis. “Ziva, menurutku kamu selalu punya cara pandang yang unik. Aku beribadah karena itu bagian dari diriku. Lebih dari sekadar mencari pahala atau surga, ibadah itu ya caraku mengingat bahwa aku bukanlah siapa-siapa tanpa Tuhan. Semua itu mengajarkan aku untuk selalu bersyukur.”

"Tapi apakah itu benar-benar ikhlas, jika kita mengharapkan balasan? Kalau surga itu tidak ada, apakah kamu masih akan beribadah dengan cara yang sama?”

Mariam sampai harus berhenti, hanya untuk sekedar memandangi sahabatnya itu, dan berusaha menyelami hatinya.

“Aku rasa, itu pertanyaan yang sulit dijawab. Tapi menurutku, ikhlas itu bukan soal mengharapkan balasan atau tidak. Ikhlas itu menurutku ya, tentang bagaimana kita menerima segala sesuatu dengan lapang dada, tanpa mengikatkan diri pada apa yang akan kita dapatkan. Aku merasa selama ini beribadah karena itu kewajiban, dan karena aku ingin menjadi pribadi yang lebih baik, aku berusaha lebih dekat dengan Tuhan dengan apapun caranya.”

Meskipun matanya tetap menunjukkan keraguan Ziva mengangguk pelan. “Aku mengerti, Mariam. Tapi aku merasa, kadang-kadang, kita hanya mengikuti ritual tanpa benar-benar merasa terhubung. Itu seperti sebuah kebiasaan yang dilakukan secara otomatis, tanpa mempertanyakan kenapa kita melakukannya.”

“Mungkin, tapi kadang-kadang, kita harus menjalani sesuatu dengan keyakinan terlebih dahulu, meski tidak selalu ada rasa terhubung secara langsung. Pada akhirnya, mungkin kita akan merasakan kedamaian yang datang dari ketulusan itu. Menurutku sih begitu Ziva.”

Ziva berhenti sejenak, lalu bertanya dengan suara lembut, nyaris berbisik tapi dipenuhi rasa penasaran. Mariam, menurutmu, apakah ada jalan menuju Tuhan selain beribadah melalui agama? Aku selalu merasa, Tuhan itu ada di mana-mana, di dalam diri kita, dalam alam semesta, bukan hanya di dalam ritual yang kita lakukan.”

Mariam terdiam, matanya terpaku menatap mata sahabatnya itu, mencoba memikirkan pertanyaan Ziva. Ia tahu bahwa sahabatnya itu sering kali merasa lebih nyaman dengan pemahamannya tentang Tuhan yang lebih luas, yang melampaui batasan agama.

Aku percaya bahwa Tuhan itu Maha Luas, Ziva. Mungkin kita semua punya cara berbeda untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Aku menghormati keyakinanmu, meskipun kita berbeda.”

Ziva tersenyum kecil, lalu berjalan kembali dengan langkah pelan. Aku merasa, Mariam, bahwa kadang-kadang kita terjebak dalam kebiasaan dan aturan yang dibuat oleh manusia. Kita lupa untuk merasakan dan menghayati kedekatan kita dengan Tuhan dalam cara yang lebih alami, lebih pribadi.”

“Bisa jadi memang kadangkala begitu,” Mariam menatap Ziva, mencoba memahami maksudnya. Tapi, mungkin juga, Ziva. Tapi aku rasa, apapun caranya, yang penting adalah niat kita untuk mencari kebenaran dan kebaikan. Setiap orang punya jalannya masing-masing.”

“Kamu benar,” Ziva mengangguk. “Tapi apakah kita tidak merasa seperti berjalan di jalan yang sama, meski dalam cara yang berbeda? Kita semua ingin mencari kedamaian, mencari kebenaran, meski dengan cara yang tak selalu sama.”

“Mungkin kita semua sedang mencari jalan menuju Tuhan, meski berbeda, mungkin kita sedang menuju tujuan yang sama.”

Namun, saat mereka berjalan lebih jauh, tiba-tiba Ziva berhenti dan menatap Mariam dengan ekspresi yang berbeda. Mariam, aku harus jujur padamu. Ada sesuatu yang aku pikirkan selama ini, dan aku tidak tahu bagaimana mengatakannya.”

Mariam menoleh dengan kuatir, karena seolah Ziva ingin mengatakan sesuatu seperti sebuah rahasia, sampai harus setengah berbisik dan mendekatkan ke telinga Mariam padahal mereka berada di trotoar yang jauh dari para mahasiswa lain. “Apa itu, Ziva?”

Marian sampai terheran, melihat Ziva menarik napas dalam-dalam, sebelum kemudian berkata dengan suara yang sedikit gemetar. Aku... Aku tidak pernah benar-benar percaya pada Tuhan, setidaknya seperti yang kamu yakini. Mungkin selama ini, aku terlalu sibuk mencari Tuhan di luar diriku, tanpa benar-benar mencari di dalam diriku sendiri.”

Mariam terkejut, namun hatinya dipenuhi rasa empati. “Ziva... kamu sudah mencoba mencari, itu yang paling penting. Tuhan itu ada di dalam diri kita, di hati kita. Kadang-kadang, kita hanya perlu berhenti sejenak dan merenung.”

Ziva menunduk, matanya basah. “Aku merasa seperti sedang kehilangan arah, Mariam. Tapi kamu tahu, aku mulai berpikir, apakah mungkin aku sudah terlalu lama mengabaikan kedalaman yang ada di dalam hatiku?”

Mariam meraih tangan Ziva, menenangkan sahabatnya. “Tidak ada yang salah, Ziva. Mungkin kita semua memang perlu waktu untuk benar-benar merasakannya. Kadang-kadang, Tuhan itu berbicara dengan cara yang sangat halus, melalui hati kita yang paling dalam.”

Namun, saat mereka berdua berjalan lebih jauh, Ziva berhenti lagi dan berkata, “Ada hal yang lebih mengejutkan, Mariam. Setelah perbincangan kita, ada satu hal yang aku belum ceritakan. Aku ingin mengucapkan syukur pada Tuhan, walaupun aku belum sepenuhnya memahami-Nya. Aku ingin belajar lebih dalam, bukan hanya berdasarkan aturan, tapi dengan hati yang lebih terbuka.”

Mariam terdiam, terkejut dengan perubahan Ziva yang seolah terjadi begitu tiba-tiba. “Ziva, itu luar biasa. Mungkin, jawabannya memang ada dalam perjalanan kita, bukan hanya dalam keyakinan yang kita pegang. Kita akan terus mencari bersama.”

"Aku harap itu tidak menjadi sesuatu yang memaksa dan menekanmu."

Ziva menatap Mariam dengan mata yang penuh arti, “Mungkin, selama ini kita terlalu sibuk mencari jawaban yang sudah ada dalam diri kita. Kita hanya perlu membuka hati, menurutmu apa begitu?”

Mariam tersenyum, merasa suatu beban dilepaskan dari hatinya. “Mungkin, Ziva. Mungkin kita hanya perlu berjalan bersama, apapun keyakinan kita. Itu yang paling penting.”

 “Tahu nggak, Mariam,” katanya dengan suara rendah. “Selama ini aku merasa seolah Tuhan itu terlalu jauh, seperti sesuatu yang tak terjangkau. Tapi percakapan kita tadi membuat aku merasa... mungkin, Tuhan itu lebih dekat dari yang aku kira. Dan tahukah kamu apa yang mengejutkanku? Aku baru sadar, aku sudah menjalani ibadahku sendiri selama ini... tanpa aku sadari.”

Mariam menatap Ziva, terperangah. Ibadah? Tapi kamu tidak mengikuti pilihan keyakinan…,”

Ziva tersenyum, meski Mariam belum sepenuhnya memahami artinya. “Iya. Tapi kamu tahu, Mariam? Setiap kali aku menghargai alam, setiap kali aku menolong orang, aku merasa itu adalah ibadah. Mungkin itu yang Tuhan inginkan dari kita—untuk hidup dengan penuh cinta dan kebaikan. Aku mulai percaya, bahwa setiap perbuatan baik itu adalah ibadah, tidak peduli apakah kita memanggilnya dengan nama agama atau tidak.”

Mariam terdiam, perasaan haru menyelubungi hatinya. Mungkin kamu benar, Ziva. Mungkin jalan menuju Tuhan memang tidak selalu melalui ibadah yang formal, tapi melalui setiap tindakan yang kita lakukan dengan hati yang tulus.”

Bagaimanapun Ziva sedang berusaha mencari dimana titik Tuhan berada, dan mungkin hanya waktu yang akan menjawab keyakinan Ziva untuk meyakini keberadaan Tuhan dan tak hanya, itu tapi mungkin juga akan memilih menjalani ritual-cara sebagai bentuk keyakinan yang dipilihnya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (2)
Rekomendasi dari Religi
Cerpen
Jika
Hans Wysiwyg
Novel
Gold
The Forbidden Relationship
Noura Publishing
Novel
Mualaf (Perjalanan Ilmu)
Sastra Introvert
Komik
Gold
Super Soleh
Kwikku Creator
Novel
Gold
Aku Bukan Siti Nurbaya
Mizan Publishing
Novel
Gold
Perjumpaan dengan Iblis
Mizan Publishing
Novel
Gold
Bisnis ala Nabi: Teladan Rasulullah Saw. dalam Berbisnis
Bentang Pustaka
Novel
Aku Ingin Kembali Ke Asal Namaku
Iir
Flash
Cahaya Di Atas Perahu
Binar Bestari
Cerpen
What a Birthday really Means
Cahaya HusMa
Novel
Halte Harmony
Utep Sutiana
Novel
Gold
On the Way to Jannah
Bentang Pustaka
Cerpen
Bronze
Sepersekian Tahun yang Lalu
Nisa Amalia
Flash
Nestapa
Mahmud
Novel
Cahaya Dari Bellapunranga
Andi Sukma Asar
Rekomendasi
Cerpen
Jika
Hans Wysiwyg
Novel
TEDUH DALAM BARA Dua Perempuan Teluk Naga
Hans Wysiwyg
Flash
SAM DAN MESIN UANGNYA
Hans Wysiwyg
Flash
Satu Jam Saja?
Hans Wysiwyg
Cerpen
THE CHOICE
Hans Wysiwyg
Cerpen
SUNYI SEKALI
Hans Wysiwyg
Novel
DI BAWAH LANGIT YANG TERLUKA Beneath The Wounded Sky
Hans Wysiwyg
Flash
SUMMON LEVEN
Hans Wysiwyg
Flash
MAKLAR
Hans Wysiwyg
Flash
KAMU ITU CANTIK CLARISA
Hans Wysiwyg
Flash
PAMIT
Hans Wysiwyg
Cerpen
Maybe Someday
Hans Wysiwyg
Cerpen
Mencari Cinta Di Kelab Malam
Hans Wysiwyg
Flash
CINTA MATI
Hans Wysiwyg
Novel
DEKUT MERPATI PEMURUNG--The Mourning Dove Calling
Hans Wysiwyg