Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Jeritan Ray
0
Suka
11
Dibaca

Sudah hampir tengah malam, aku bergegas mengenakan jaket dan bersiap untuk pulang. Pak Joko, pemilik toko yang telah berusia lanjut berada di meja kasirnya menghitung uang hasil berjualan hari itu. Ketika aku melewatinya, dia melihat ke arahku dan berkata dengan suara pelan, “tunggu sebentar, Ray. Tunggu sebentar sebelum kau pergi.”

Mendengar pak Joko memanggilku aku merasa gugup. Jika ada cermin, aku yakin akan melihat wajahku yang tampak pucat pasi. Biasanya pak Joko akan langsung mengatakan selamat malam jika mendengarku pamit. Tapi, kali ini berbeda, pak Joko bahkan menatapku dengan pandangan tajam. Jantungku mulai berdetak kencang. Aku bahkan mulai merasa kesulitan bernafas.

“Ada apa pak?”

“Sebaiknya kamu keluarkan barang dari tasmu dan meletakkannya di meja sebelum kamu pergi.”

“Barang apa pak?

“Kamu mencuri beras Ray.”

“Tidak pak.”

Aku berusaha menghindari tuduhan pak Joko. Meskipun benar aku mencuri beras, tetapi aku bukan penjahat, aku melakukanya demi untuk mengisi perutku dan ibuku. Pak Joko berdiri di depan pintu keluar menatapku tajam. Aku ketakutan dan perlahan mulai meletakkan barang yang ada di dalam tasku.

“Apakah kamu sudah menjadi pencuri Ray? Sudah berapa lama kamu melakukan hal ini?”

“Ini baru pertama kalinya saya mengambil barang dari toko pak.”

-000-

Setelah melewati fase wabah virus corona, sekarang muncul lagi ketakutan di tengah masyarakat. Ketakutan akan krisis ekonomi global yang digadang-gadang akan membuat ekonomi Indonesia sama dengan krisis tahun 1998 telah menyebar hingga pelosok negeri. Setidaknya itu yang aku dengar dari televisi milik tetangga. Harga barang yang mahal, beberapa bahan makanan yang langka. Ternyata hal tersebut juga terjadi di daerahku. Hal ini membuat keluargaku mulai kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Setelah selesainya virus corona, aku masih beruntung karena dapat bertahan dengan keadaanku yang miskin.

 Ya, aku hanyalah seorang anak yatim, tinggal bersama ibu di sebuah rumah tua yang sangat sederhana. Jika malam tiba, aku masih bisa merasakan hembusan angin masuk melalui lubang dinding rumah menusuk hingga ke tulang. Aku anak bungsu, kakakku hidup merantau ke Jakarta. Dia tidak bisa dikatakan telah mapan, untuk menghidupi keluarganya sendiri saja sulit, apalagi membantu menghidupiku dan ibu. Beberapa minggu yang lalu, kakak memberi kabar jika dia menjadi korban PHK karena ekonomi yang tidak stabil. Akibatnya, perusahaanya terdampak karena tidak mampu bertahan di tengah carut marut dunia. Tragisnya lagi kakak di PHK tanpa diberi pesangon oleh perusahaannya.

Tahun ini kakak berniat untuk pulang kampung dengan pertimbangan sudah tidak punya pekerjaan lagi. Meskipun kami hidup miskin, berkumpul bersama ibu adalah harta kami yang berharga. Tapi sepertinya kakak tidak akan bisa pulang untuk mencium tangan ibu. Tarif angkutan umum naik. Uang kakak kemungkinan tidak cukup untuk membawanya pulang. Aku juga tidak memiliki cukup uang untuk membantunya kembali ke pangkuan Ibu. Entah bagaimana nasib kakak di Jakarta setelah tidak punya pekerjaan lagi, pastinya dia mengalami kesulitan seperti kami. Aku ingin marah dengan keadaan ini, tetapi kepada siapa. Cobaan ini terasa begitu berat bahkan melampaui kemampuanku sebagai manusia.

-000-

Ibu dipecat oleh pemilik warung makan tempatnya bekerja. Pemilik warung makan sudah tidak sanggup membayar karyawan karena sedikitnya pelanggan. Ibuku memang sudah tidak muda lagi, tetapi semangat juangnya patut diacungi jempol. Rasa tanggung jawab sebagai orang tua menjadikan dirinya perempuan tangguh yang tidak kenal lelah. Namun sayang, perjuangannya kini harus terhenti karena daya beli masyarakat sepertinya sudah berkurang drastis.

Aku harus menolong ibu di tengah himpitan ekonomi yang semakin mencekik, jika tidak kami bisa mati kelaparan. Aku sedikit beruntung, di tengah maraknya pemberhentian massal pegawai yang tengah bergulir, masih ada pak Joko yang bersedia mempekerjakanku sementara waktu di toko kelontongnya, meskipun dibayar seadanya. Paling tidak aku bisa memberi uang kepada ibuku. Pak Joko mungkin merasa iba dengan keadaan keluargaku, karena itulah dia menerimaku bekerja di tokonya. Meskipun tokonya adalah toko yang menyediakan kebutuhan pokok dan menjadi toko kelontong terbesar di daerah kami, namun, seiring berjalannya kebijakan pemerintah, dan krisis ekonomi yang terjadi baik secara global atau pun domestik, toko pak Joko pun mulai sepi pembeli.

-000-

“Aku mengenal ibumu, dia pekerja keras dan jujur, aku juga menyukaimu karena kamu pekerja keras seperti ibumu, tetapi apa yang aku dapatkan dengan kepercayaan yang aku berikan.”

Aku merasa gugup dan gemetar, bagaimana jika aku diborgol oleh polisi dan dimasukkan ke penjara. Bagaimana dengan ibu, siapa yang akan mengurusnya. Dunia terasa tidak adil. Demi untuk mengganjal perut, aku harus merasakan dinginnya dinding penjara.

Sepertinya pak Joko melihat kekhawatiranku, “aku tidak suka melapor ke polisi, kamu begitu ceroboh hingga harus melakukan hal tercela itu. Haruskah aku menelepon ibumu?”

Pak Joko menekan nomor di handphonenya. Aku memohon agar ibu tidak perlu tahu, “tunggu dulu pak, anda tidak harus melibatkan orang lain dalam hal ini. Tolong jangan memberitahu ibuku.”

“Ya, betul, dia berada dalam masalah. Sebaiknya kamu segera datang ke toko.”

Pak Joko berdiri sembari melepaskan pandangan keluar toko. Pikiranku juga berkelana seakan mencari jawaban kapan krisis ini akan berakhir. Waktu terasa berjalan begitu lama, dan tiba-tiba aku mendengar suara langkah kaki mendekat, ibu telah datang.

Ibu tampaknya datang dengan tergesa-gesa, terlihat dari rambutnya yang masih sedikit berantakan, datang hanya menggunakan daster tertutupi oleh sweater tua yang melindungi kulit keriputnya. Ibu tersenyum pada pak Joko dengan sedikit kecemasan yang tersirat dari wajahnya.

”Apakah Ray sedang berada dalam masalah?”

“Iya memang, dia mencuri beras dari toko. Aku sendiri yang mendapati dia melakukan itu.”

Ibu tampak mendengarkan dan sesekali melihatku dengan wajah sedih.

“Benarkah Ray kamu melakukan itu?”

“Iya.”

“Kenapa kamu melakukannya?”

“Kita kehabisan uang bu. Ibu juga tidak kerja lagi. Kita butuh makan.”

“Tapi kenapa harus dengan cara seperti itu?”

“Ibu dipecat bekerja, kita kesulitan makan. Hari ini saja kita hanya minum air, kadang hanya makan malam itu juga dengan ubi dan garam. Pinjam ke sana, ke sini tidak satupun mau meminjamkan uang. Lalu, bagaimana kita melanjutkan hidup bu? Siapa yang akan menolong kita? Keadaan yang memaksaku harus mencuri bu.”

Ibu terdiam sejenak. Dia sangat sedih, tetapi masih berupaya memberikan sedikit senyuman dan memberanikan diri untuk melihat pak Joko dengan tatapan seakan memohon belas kasihan, “apa yang ingin bapak lakukan dengan kejadian ini?”

“Aku berpikir untuk melaporkanya ke polisi.”

“Ya, mungkin itu adalah tindakan yang tepat. Tapi aku pikir, terkadang nasihat kecil sangat dibutuhkan oleh anak muda seperti Ray. Dia sedang berada dalam keadaan yang sulit. Saat ini keluarga kami dihadapkan pada situasi yang terlalu sulit pak.”

Aku sempat heran melihat ibu masih bisa terlihat tegar, jika di rumah mungkin ibu sudah menangis terisak-isak. Aku melihat sosok ibu yang kuat, bahkan dia masih bisa tersenyum sembari berkata, “tidakkah bapak pikir jalan terbaik untuk anak seusia Ray dengan membiarkan dia pulang bersamaku. Apakah dia tampak seperti penjahat? Dia adalah anak yang baik, dia hanya ingin membantu mengenyangkan perut ibunya.”

“Tentu saja, aku tidak menginginkan kekerasan terjadi disini. Lebih baik aku menyuruh Ray tidak bekerja lagi dan membiarkannya pulang bersamamu.”

Ada ketulusan dan kelembutan yang terpancar dari cara ibu berbicara, “aku tidak akan pernah melupakan kebaikan hati bapak, tidak akan.” 

Aku tahu pak Joko menyadari bahwa ibu adalah orang yang baik dan perkataannya ada benarnya. Siapa yang tidak kesulitan sekarang ini karena ekonomi yang tidak menentu, kecuali mereka para orang kaya yang tidur di rumah dan tetap mendapatkan uang.

-000-

Aku takut untuk berbicara dengan ibu, terlebih ketika dia menunjukkan sikap diam. Sesampainya di rumah, ibu melepas sweater tua yang dikenakanya. Ibu hanya berkata, “Allah memaafkanmu nak, jangan pernah melakukan hal tidak terpuji itu lagi meskipun kita kelaparan. Sekarang ganti baju, mari kita makan seadanya.”

Aku terdiam sejenak dan bergegas pergi ke kamar berganti baju. Aku mendengar ibu pergi ke dapur menuang air. Aku berjalan perlahan ke dapur dan melihat ibu menuang air dari termos. Aku dapat melihat sosok ibu yang tampak rapuh dan gemetar. Tidak terlihat ada ketegaran lagi seperti yang ditunjukkannya di toko pak Joko.

Tangan ibu terlihat gemetar memegang gelas, ibu memang sudah tua. Di tengah merebaknya ketidakpastian ekonomi yang menghancurkan hidup orang miskin sepertiku, aku tersadar bahwa menjadi pencuri adalah bentuk keputusasaan yang telah menyesatkan hidupku. Aku tidak bisa menyalahkan ibu karena aku terlahir di keluarga miskin.

Aku memang berbeda dengan mereka yang memiliki rumah besar dengan kolam renang di dalamnya. Mereka tidak perlu menahan lapar karena mereka memiliki uang. Mereka juga tidak perlu menunggu bantuan sosial datang dari para dermawan. Aku memang berbeda dengan mereka yang masih bisa menikmati makan tiga kali sehari dengan makanan bergizi lengkap. Mereka masih bisa menikmati lezatnya ayam goreng serta segelas susu hangat. Aku tidak bisa menyalahkan siapa pun dengan ketimpangan sosial yang ada. Kesenjangan antara si miskin dan si kaya semakin jelas terlihat. Tapi aku paham satu hal bahwa aku harus tetap bertahan hidup dalam kemiskinanku.

Aku belajar dari ibu akan pentingnya memiliki harapan dan kesabaran di tengah kesulitan ini. Hidup sebagai yatim lagi miskin terlalu sia-sia untuk diratapi di tengah kehidupan yang serba membingungkan ini. Aku harus tampil sebagai petarung gagah berani di tengah kehidupan sosial yang carut marut. Di tahun ini aku harus lebih pasrah,  pasrah diatas keyakinanku yang tidak tertandingi, bahwa Allah akan menjagaku lebih daripada aku menjaga imanku. Meskipun aku terlahir sebagai anak miskin namun aku beruntung memiliki ibu yang tegar dan baik, dimana ketulusan hatinya tidak dapat dibayar oleh apapun. 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Jeritan Ray
Desynata Purnamasari
Cerpen
Bronze
Larung Layang
Eva Maulidiyah BL
Cerpen
Sebentar
eSHa
Cerpen
Astrophile
Fianaaa
Cerpen
-2. Rumpang
Rumpang Tanya
Cerpen
KARBAK 85
Sky Melankolia
Cerpen
Bronze
My Husband
Anisah Ani06
Cerpen
Bronze
Lelaki Bermata Teduh Part-3
Munkhayati
Cerpen
Bernasib Seperti Socrates
Sayidina Ali
Cerpen
Bronze
Alasan Tuhan!
Titin Widyawati
Cerpen
Keabadian di Rumah Hening
Telor Dadar
Cerpen
Bronze
Siapa Lagi yang Aku Miliki?
Juli Prasetya
Cerpen
Bronze
Rungkat
artabak
Cerpen
Bronze
Tuhan, Aku Lelah
Jessy Margaret
Cerpen
Idjah
Rahma Roshadi
Rekomendasi
Cerpen
Jeritan Ray
Desynata Purnamasari