Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Udara Makassar selalu terasa lengket di kulit Arini, bahkan di penghujung Oktober sekalipun. Bukan lengket khas kota pantai yang basah oleh keringat, melainkan lengket dari debu jalanan yang tak pernah benar-benar hilang, menempel di setiap pori, membebani setiap napas. Sudah hampir sebulan sejak ia menginjakkan kaki di rumah tua ini, warisan mendiang neneknya, dan bau apek bercampur lumut di dinding-dindingnya masih belum mau pergi. Arini menyeduh kopi hitam pekat di dapur, bunyi desis air mendidih sedikit menenangkan jiwanya yang resah.
Rumah ini, dengan arsitektur kolonial yang angkuh dan cat mengelupas di sana-sini, berdiri di ujung gang sepi, dikelilingi pagar besi berkarat dan pohon mangga tua yang cabang-cabanya menjulur seperti jemari raksasa yang cacat. Sejak kecil, Arini hanya mengunjungi rumah ini sesekali, dan selalu merasa ada sesuatu yang janggal. Aura berat, seolah dinding-dinding itu menyimpan rahasia kelam yang tak terucapkan. Tetangga-tetangga di sekitar sini, yang kebanyakan sudah sepuh, selalu menatap rumah ini dengan pandangan aneh, campuran rasa ingin tahu dan ketakutan. Mereka berbisik-bisik, kalimat-kalimat terputus tentang "kejadian itu" atau "keluarga Nyonya Besar", tapi tak pernah ada yang mau menjelaskan lebih jauh. Arini, seorang desainer interior muda yang ambisius, terlalu sibuk dengan cita-citanya untuk mendengarkan bisikan takhayul. Lagipula, warisan ini terlalu berharga untuk diabaikan. Ia berencana merenovasinya, mengubahnya menjadi hunian modern yang nyaman sekaligus studio kerjanya.
Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, suara jangkrik dan kodok bersahutan dari kebun belakang, mengiringi sunyi yang pekat. Arini duduk di sofa ruang tamu, mencoba fokus pada sketsa desain terbarunya di tablet. Lampu gantung tua di tengah ruangan berkedip samar, seolah kehabisan daya, sebelum akhirnya stabil kembali. Arini mengerutkan kening. Sudah beberapa hari ini lampu itu sering berkelakuan aneh, kadang meredup tanpa sebab, kadang berkedip seperti sedang sekarat. Ia sudah memanggil tukang listrik, tapi pria paruh baya itu hanya mengangkat bahu, mengatakan bahwa instalasi listrik di rumah ini sudah terlalu tua dan butuh peremajaan total.
"Sial," gumam Arini, mengusap pelipisnya. Kelelahan mulai terasa. Ia sudah bekerja nonstop sejak pagi, mencoba menyelesaikan proyek renovasi kafe di pusat kota. Pikiran Arini mulai melayang, membayangkan bantal empuk dan selimut hangat.
Kemudian, ia mendengarnya.
Suara itu sangat samar pada awalnya, seperti bisikan angin yang menyelinap melalui celah jendela yang rapat. Namun, ini bukan suara angin. Ini lebih seperti gumaman rendah, dari balik dinding di belakang sofa. Arini menoleh, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Ia menajamkan pendengaran, menahan napas. Hanya keheningan yang menjawab.
"Mungkin aku sudah gila," bisiknya pada diri sendiri, mencoba menertawakan ketakutannya. Ia meraih cangkir kopinya yang sudah mendingin, menyesapnya pahit. Efek kafein yang diharapkan untuk membangunkannya justru membuat otaknya terasa lebih berdenyut.
Ia kembali pada tabletnya, mencoba mengalihkan perhatian. Tapi suara itu datang lagi, kali ini sedikit lebih jelas. Sebuah bisikan lembut, terdengar seperti beberapa orang yang berbicara bersamaan, tapi terlalu pelan untuk menangkap kata-katanya. Rasanya seperti ada obrolan rahasia yang tersembunyi, tepat di balik dinding ruang tamu itu. Dinding yang kusam, dengan wallpaper yang sudah menguning dan mengelupas di beberapa bagian.
Arini berdiri, melangkah mendekat ke dinding. Ia menempelkan telinganya. Dingin. Dan sunyi. Tidak ada apa-apa. Ia menghela napas, merasa bodoh. Ini pasti hanya karena terlalu lelah dan terlalu banyak minum kopi. Rumah tua memang sering berbunyi, bukan? Kayunya memuai, angin menyelinap, atau mungkin tikus yang bersembunyi di dalam plafon.
Ia kembali duduk, tapi kali ini, pandangannya terus tertuju pada dinding itu. Matanya menyusuri setiap retakan, setiap noda yang terbentuk dari waktu ke waktu. Tiba-tiba, ia merasakan hawa dingin merambat naik dari telapak kakinya, padahal pendingin ruangan tidak menyala. Bulu kuduknya meremang.
Bisikan itu kembali. Lebih dekat, lebih jelas. Kali ini, ia bisa menangkap satu kata. Hanya satu kata yang jelas di antara gumaman tak beraturan itu.
"...Arini..."
Jantung Arini mencelos. Ia melompat dari sofa, terkesiap. Wajahnya pucat pasi. Tidak mungkin. Itu pasti imajinasinya. Siapa yang akan tahu namanya, berbisik dari balik dinding di rumahnya sendiri? Kecuali...
...