Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Eh, dengar-dengar bos kita mau cerai?"
"Salahnya sendiri..., nggak punya pendirian sih!"
"Ssstt, hati-hati kalau bicara. Dinding juga punya telinga."
"Tapi nggak disini kan?"
Pintu ruangan sebelah tiba-tiba terdengar berderit. Seseorang muncul dari belakang mereka.
"Apa urusan kalian ngomongin si bos? Lebih baik urus shift kerja kalian sendiri, jangan obral bualan di sini. Mau kerja sebar brosur di jalan?"
Keduanya bergegas terbirit lari.
"Bisa-bisanya bicara di belakang orang. Senyum palsu di depan, bergosip dibelakang. Aku paling kesal dengan orang-orang begitu," Wilona bersunggut-sunggut gusar.
"Win, di mana-mana ya begitu, apalagi di kantoran," Monica si "bos" yang digosipin malah santai, tak peduli.
"Mereka tidak punya beban apapun, bekerja cuma bersenang-senang."
"Jadi kamu setuju kalau mereka gosipin’? Kamu tahu apa yang barusan mereka bilang, kamu tuh orangnya nggak tetap pendirian. Makanya nggak bisa bertahan dalam perkawinan."
"Dengar Mon, kita sudah berteman bertahun-tahun. Kamu bisa membodohi orang lain, tapi tidak bisa membodohi aku. Itu bukan sekadar gosip."
"Jadi, apa keputusan akhirmu Mon?"
"Cerai," Monica mengatakannya santai sambil terus memoles bedaknya seolah itu cuma bercanda.
"Kamu serius mau cerai?"
"Kamu jangan cerewet,! Makanya sampai sekarang kamu nggak menikah."
Wilona yang disindir malah bertepuk tangan.
"Apa maksudmu?"
"Aku senang kamu sudah kembali. Aku pikir kamu akan terus bertahan dengan laki-laki pilihanmu yang sekarang sudah kamu anggap pecundang?"
"Bukankah kamu sendiri yang bilang kalian berdua tidak lagi ada kesamaan? Aku mengagumimu karena kamu sanggup bertahan selama bertahun-tahun dalam tekanan."
"Jangan bilang begitu. Siapa bilang tekanan?"
"Paling tidak kamu sendiri yang bilang tidak lagi seprinsip meski tinggal serumah. Apa itu artinya bukan tekanan?"
"Sudahlah."
"Itu bukan soal sepele, Mon. Pasangan tinggal serumah tapi tidak sehati, rasanya pasti sangat menyiksa."
"Memangnya kamu pernah rasa?"
"Tidak harus begitu, kan. Aku juga tahu dan tidak bodoh."
"Maksudmu aku bodoh?"
"Siapa bilang?"
"Kamu sendiri yang menyebut begitu. Aku tak bilang apa-apa, kan?"
"Paling bisa kalau berkelit."
"Wilona!, Wanita memang seperti itu. Kamu tidak bisa terus bertahan dalam badai. Menghabiskan hidup kamu dengan orang lain hanya karena menurutmu dia orang baik."
"Kebahagiaan menurut orang lain belum tentu itu yang kamu inginkan."
"Apa menurutmu aku menuntut terlalu banyak Win?"
"Mungkin menurut "calon mantan suamimu" itu bukan terlalu banyak, tapi kamu serakah."
"Dengarkan, bagi seorang perempuan usia empat puluh tahun, ibu dengan dua anak, apa coba yang bisa diandalkan?"
"Jika kamu laki-laki tidak akan ada masalah meski punya dua anak."
"Baiklah. Aku tahu kamu feminis."
"Aku bukan feminis. Aku seperti juga kamu, hanya ingin punya hak yang sama dengan laki-laki jika sudah berurusan dengan anak atau pekerjaan. Tidak boleh ada diskriminasi. Aku tidak peduli dengan feminisme."
"Apakah kamu seorang pria atau wanita, jalani kehidupan seperti yang kamu sendiri inginkan. Memangnya apa salahnya?"
"Tapi itu tidak mudah. Bisa saja aku kabur dari rumah. Tapi bagaimana dengan dua anak itu?"
"Di rumahku masih ada kamar kosong. Kamu bisa tinggal di sana."
"Tidak perlu. Aku sudah menyewa rumah sendiri."
"Bagaimana dengan anak-anak jadinya?"
"Lily ikut ayahnya. Itu lebih nyaman untuknya."
"Bagaimana dengan Mimo?"
"Mimo bersama neneknya. Kalau situasi di rumah sudah tenang, nanti aku akan ambil alih semuanya."
"Tidak mudah membesarkan anak seorang diri. Betapapun kamu anggap mudah, kamu harus membesarkan anak itu sendiri."
"Ngomong-ngomong, ada yang ingin kukatakan padamu. Kupikir aku akan bicara denganmu nanti. Tapi karena kamu sudah berniat bercerai, aku bicarakan sekarang saja. Sejujurnya, aku berencana mengundurkan diri dari perusahaan."
"Kamu mau cari pekerjaan lain?"
Wilona memandang ke arah pintu, khawatir ada orang muncul dari sana dan menguping pembicaraan mereka. Dengan setengah berbisik,
"Aku sebenarnya tidak ingin berhenti bekerja. Hanya ingin memulai bisnis. Membosankan bekerja paruh waktu. Tidak peduli berapa lama kerja, kita tidak tahu kapan akan mencapai puncaknya. Menunggu dipromosikan tanpa kepastian. Daripada setiap saat melihat wajah orang lain yang naik dapat promosi, lebih baik melakukannya sendiri."
Wilona berlalu setelah membantu Monica menarik resletingnya.
Monica hanya bisa melihat punggung Wilona menghilang dari ruang ganti, sebelum akhirnya berbalik cepat.
"Kamu mau gabung dengan aku?"
"Aku tak punya uang."
"Hai, orang seperti kamu lebih berharga otaknya daripada uang."
***
"Kenapa Mimo belum tidur, Sayang?
"Aku tak bisa tidur di sini. Gelap seperti gua."
"Tapi katanya Mimo laki-laki kuat yang mau jaga ibu?"
Mimo mendengus. "Ma, apa kalian akan bercerai?"
Monica terperanjat, memandang lekat wajah anak laki-lakinya itu.
"Dari siapa kamu dengar? Apa Nenek menceritakan soal itu?"
"Aku juga tidak bodoh, Ma. Ayah dan Kakak sudah lama tidak pulang. Mama juga sudah lama tidak mengunjungiku selama tinggal dengan nenek. Kata teman-teman, jika orang tua berpisah lama itu tanda mereka sudah bercerai. Benarkah begitu?"
"Mama sedang tak mau membicarakan itu. Siapa yang kamu dengarkan, Mama atau mereka?"
Mimo terdiam.
"Sudah! Sekarang waktunya tidur. Meskipun kita tinggal di rumah yang berbeda, Ayahmu tetap Ayahmu. Aku tetap Mamamu. Dan Kakak tetap saudara tua perempuanmu. Kita masih bisa bertemu untuk melihat satu sama lain."
"Baiklah. Aku akan tetap patuh sama Mama. Aku juga akan meminta Kakak begitu, tak boleh marah denganmu."
"Mama bertengkar dengan Kakak karena salah Mama juga."
"Jadi nanti Mama akan baikan setelah semuanya tenang?"
Monica kali ini terdiam membisu, mengalihkan pandangan menyapu kamar.
"Saat kamu besar nanti, kamu akan tahu beberapa kesalahan tidak dapat diperbaiki. Tapi untungnya, kita akan selalu menjadi satu keluarga."
Mata Mimo mengerjap sebelum akhirnya terlelap dalam dekapan Monica.
Hujan di luar semakin deras mengguyur jalanan yang makin sunyi.
Tiba-tiba angin menghempas bingkai jendela. Monica yang terkejut melompat, menarik bingkai, tapi angin menerpa seperti badai.
Kaca pecah berkeping saat saling berbenturan, dan ketika itu Monica dikejutkan dengan jeritan Mimo.
Tak ada pilihan, Monica berusaha menghubungi Marion, suaminya. Tapi tak ada jawaban dari seberang telepon.
Mereka berusaha bertahan dalam badai dan ketakutan.
***
"Kenapa Ibu menjemputku di sekolah hari ini?" Lily bertanya seolah merasa terganggu dengan kehadiran ibunya.
"Memangnya kenapa?"
"Aku sedang tak mau bertengkar dengan Ibu."
"Baiklah. Aku ingin mengajakmu makan siang."
"Tidak perlu. Ayah sudah sering melakukannya."
"Tapi kali ini Ibu yang meminta."
***
Mereka akhirnya memilih meja di sisi luar, di bawah langit yang muram usai hujan.
"Bagaimana kabar Nenek? Baik?"
Lily mengangguk acuh sebagai jawabannya.
"Bagaimana kamu di rumah dengan Ayah?"
"Aku baik!"
"Kenapa Ibu menanyakan itu? Aku tahu Ibu tak suka dengan Ayah, tapi itu tidak ada hubungannya denganku."
"Bagaimana hubungan ayah dan gadis itu?"
"Tentu saja baik. Aku melihat mereka akrab. Tidak jumpa tiga hari saja rasanya seperti tiga musim. Mereka terlihat lengket. Menurutku itu yang disebut cinta sejati, barangkali."
Monica tak bereaksi meskipun hatinya bergejolak. Tapi untuk apa ia harus protes pada seseorang yang sudah memilih membagi dan memberikan hatinya untuk perempuan lain.
"Dia juga baik denganmu?"
"Aku dan Clara juga baik. Kami tak ada kesenjangan generasi. Dia sudah seperti saudara perempuanku. Kami bahkan berbelanja bersama."
"Kamu mau nambah lagi?"
Lily menggeleng.
"Makannya, tak usah buru-buru. Apa kamu kesal dan marah dengan Ibu?"
Lily menggeleng sambil terus mengunyah steak di mulutnya, tanpa mempedulikan Monica yang memandangi lekat wajahnya.
***
"Mon, kamu sudah ketemu Lily putrimu? Bagaimana kabarnya? Bagaimana suamimu?
Wilona berusaha berjalan menjajari Monica, menunggu jawaban saat mereka berjalan dari lobi menuju ruang kerja.
"Lily berpikir bahwa sumber semua masalah itu ada padaku. Dia bahkan membandingkan aku dengan pacar ayahnya. Dia sengaja membuatku marah."
"Aku juga sudah jelaskan rencanaku untuk bercerai dengan ayahnya. Dia tambah marah. Menurutnya, itu salahku sendiri yang tidak bisa memahami ayahnya."
"Suamiku bahkan tak mau menyinggung soal rencana perceraian itu. Padahal, ia sebentar lagi berencana menikahi pacar barunya yang kini menjadi ‘teman’ Lily."
"Putriku sendiri bahkan tumbuh dengan pikirannya sendiri, bahwa ayahnya adalah orang paling sempurna di dunia ini. Sehingga Lily tidak menolak kehadiran pacar ayahnya di rumah mereka."
"Setiap kali muncul konflik, maka ia akan berdiri di posisi membela ayahnya."
"Baiklah, tapi aku ingin menanyakanmu sesuatu dan kamu harus menjawabnya dengan serius. Dan ketika aku menanyakannya, jangan jawab dengan terburu-buru. Kamu harus menjawab aku dengan serius."
"Keputusanmu untuk bercerai menurutku sudah tepat, meskipun aku benci harus mengatakan begitu. Tapi benarkah kamu serius bercerai?"
"Kamu bahkan tak mempercayaiku," Monica memberengut kesal melihat ke arah sahabatnya itu.
"Tidak. Aku percaya padamu. Tapi maksudku, apa kamu sudah memikirkannya dengan serius? Karena aku tahu kalian berdua saling menyukai. Dan kamu sudah menundanya selama bertahun-tahun."
"Aku hanya merasa kasihan denganmu."
"Tidak perlu merasa kasihan kepadaku. Toh dia juga tidak peduli dan saat ini baik-baik saja."
"Win, apakah menurutmu semua pria menyukai gadis muda? Dia punya satu sekarang di sisinya."
"Lalu? Kamu cemburu? Atau ingin seperti dia, punya seseorang?"
"Kan sudah lama saya bilang, laki-laki itu tidak bisa diandalkan. Kalau tidak, bagaimana aku masih lajang sampai sekarang?"
"Yang paling membuatku sedih adalah Lily," suara Monica kecil, nyaris bergumam.
"Ia jelas memberontak kepadaku. Sedikit-sedikit selalu menceritakan ‘kakak perempuan’ barunya, seolah-olah sungguh tidak menginginkan aku lagi sebagai ibunya."
"Ada apa dengan bocah perempuan kecilmu itu?"
"Entahlah!"
***
Clara sedang di ruang fitnes ketika Marion tak sengaja menemukannya.
"Kamu mengikutiku?" ujar Marion seperti protes.
"Enggak. Kenapa memangnya?"
"Apa aku menyebalkan menurutmu?"
"Sebagai pacar aku hanya tidak ingin mengganggumu."
"Clara, aku sepuluh tahun lebih tua darimu. Aku ingin dekat denganmu, meskipun kita pacaran, aku tak mau semua orang di sini tahu dan berpikiran macam-macam. Jadi sebaiknya kita berjauhan, meskipun kita satu gym di sini."
"Tunggu, sepertinya kamu barusan mengatakan kamu menerima dan menyukaiku sebagai pacarmu."
Clara terus menggoda Marion yang terlihat kikuk dan malu dilihat orang-orang di gym.
"Aku belum menyelesaikan kata-kataku. Aku menyukaimu, itu fakta. Kalau tidak mengakuinya, itu namanya bohong. Tapi tak perlu harus terus bersama-sama."
"Clara, setiap kali melihatmu, aku membayangkan wajah putriku. Dan jika putriku menyukai laki-laki yang usianya sepuluh tahun lebih tua sepertiku, aku pasti akan mematahkan kaki pacarnya itu."
Monica tiba-tiba muncul.
"Maaf mengganggu kalian."
Clara langsung sigap menggelayut di lengan Marion.
"Aku mau bicara sesuatu," ujar Monica cuek.
"Kamu tahu Lily sangat menggagumi pacarmu ini. Aku ingin kamu bicara dengan Lily. Aku ingin kamu membujuknya meluangkan waktu dua hari untukku, agar dia tidak selalu membenciku. Merasa jauh dan asing dariku, seolah-olah aku orang bersalah."
"Tapi Lily sudah dewasa dan sudah memiliki pemikirannya sendiri," Marion seolah membantahnya.
"Apakah menurutmu putrimu bisa menerima seorang ibu tiri seperti dia, yang hampir berusia sebaya?"
"Jangan bicara omong kosong. Saya tidak ada hubungannya dengan perilaku Lily terhadapmu." Clara tak urung sewot mendengarnya.
"Aku ingatkan sekali lagi kamu Marion, bahwa kamu punya dua orang anak. Kamu harus menghidupi dua anak tersebut dengan gaji kamu, dan sebentar lagi akan ada tanggungan baru—pacar atau istrimu itu."
Tiba-tiba Clara ikut bicara lagi.
"Aku tak mau bergantung sepenuhnya pada mantan suamimu," ujarnya kemudian, sambil duduk beringsut di sisi Marion.
"Clara diamlah, apa tidak sebaiknya kamu istirahat?" Kata-kata Marion seolah meminta Clara agar menjauh, agar Monica tak merasa tersinggung karena dicampuri urusannya.
"Biar saja dia dengar, dia masih muda, mungkin berbelanja saja belum bisa."
"Sebaiknya biar aku yang pergi," kali ini Monica berdiri dan beranjak pergi dengan muka jengah dan kesal.
Clara terus menerocos, menggumam bahwa dia tahu seluk-beluk harga daging dan sayuran di pasar, sambil tangannya terus mendekap erat tubuh Marion tanpa sungkan.
"Baguslah kalau dia tahu."
Saat mengucapkan kata-kata itu, suara Monica terdengar berat dan sinis, seolah sebuah cemoohan.
"Dan ingat Marion, kamu hanyalah mantan suami. Aku tidak lagi punya hubungan khusus denganmu kecuali hanya urusan Lily dan Mimo. Tidak lebih.
Jadi selamat bersenang-senang."
***
Lily menatap layar ponselnya tanpa ekspresi.
Percakapannya dengan Clara terputar di kepalanya.
Clara menulis. "Aku senang kita bisa dekat. Kamu seperti adik perempuan yang tak pernah kupunya."
Tapi kata-kata itu jadi terasa palsu.
Setelah insiden kecil saat berbelanja—ketika Clara tergelincir lidah, menyebut Marion “sayang” di depan kasir, dan menyuruh Lily mengambil dompetnya dari tas yang ia sembunyikan di loker ayahnya.
Dari situlah Lily mulai curiga. Ia mengamati foto-foto lama di Instagram Clara yang sempat dikunci—foto saat makan malam dengan Marion, bahkan sebelum resmi bercerai. Bahkan saat Monica dan Marion masih tinggal serumah. Clara juga memakai nama palsu—karena nama sebenarnya Clarisa.
Semuanya terkuak seperti jendela yang dibuka paksa di tengah badai.
Lily memandangi lagi layar ponsel, berpikir untuk pulang menemui ibunya.
***
Lily berlari ke kamar ibunya yang sedang menyelesaikan laporan kerja. Monica menoleh cepat, terkejut melihat Lily datang mengunjunginya setelah pertengkaran dan kemarahan yang tidak beralasan—karena ibunya itu dianggap egois tidak menerima Clara yang dianggap sebagai teman baiknya, hanya karena berhubungan akrab dengan ayahnya.
"Ibu... kamu benar."
Monica menutup laptopnya perlahan. "Tentang apa?"
"Clara. Dia membohongi aku. Dia bilang dia kenal Ayah belakangan. Tapi ternyata... bahkan saat kalian belum cerai, mereka sudah jalan."
Monica menarik napas dalam, tetapi tak lagi terkejut. Ia menepuk tempat kosong di sampingnya. Lily duduk, menggigit bibir.
"Aku nggak tahu, Bu. Aku merasa dibohongi sama orang yang aku anggap teman. Tapi lebih dari itu... aku nggak tahu kenapa aku jadi membencimu, padahal ibu cuma mempertahankan harga diri."
Monica menatap mata putrinya yang kini berkaca-kaca.
"Kamu nggak salah, Sayang. Kamu membela Ayahmu karena kamu mencintainya. Itu bukan kesalahan."
"Tapi sekarang aku ingin kalian kembali. Kita satu rumah lagi. Aku dan Mimo... aku kangen lihat kalian ngobrol bareng, nonton film bareng. Aku... ingin semuanya kembali seperti dulu."
Monica tak bisa menjawab. Ia tahu, dunia anak-anak selalu ingin utuh—bahkan ketika dunia orang dewasa sudah hancur berantakan.
***
Marion menatap wajah putrinya yang kini tak lagi ceria saat mereka makan malam. Lily menunduk, menolak diajak bicara. Clara berusaha tersenyum dan menawarkan sup, tapi Lily hanya berkata datar.
"Kamu nggak perlu pura-pura lagi."
Marion melirik Lily.
"Clara, bisakah kamu beri kami waktu berdua?"
Clara memaklumi dan meninggalkan ruangan.
"Apa maksudmu tadi?" tanya Marion.
Lily menatap ayahnya.
"Aku tahu semuanya. Aku nggak bodoh. Ayah bilang mencintai Ibu dulu, tapi kenapa ayah nggak berjuang untuk memperbaikinya? Ayah lebih memilih Clara, padahal... dia yang merusak semua ini."
"Lily, aku dan ibumu sudah lama bermasalah."
"Tapi ayah nggak mencoba menyelamatkannya. Ayah lari, dan ayah bohongi aku."
Marion terdiam.
Kata-kata putrinya seperti pisau kecil yang menembus tepat ke bagian yang sudah rapuh dari hatinya.
***
Di suatu sore, Monica pulang dari kantor dan menemukan Lily dan Mimo sedang duduk di ruang tamu.
Mimo menggambar sesuatu di buku sketsanya—sebuah rumah dengan jendela besar, dan di sampingnya ada tiga sosok manusia yang berdiri berdampingan.
Lily mendekat, memeluk ibunya dari belakang.
"Kalau Ibu masih sayang Ayah, cobalah bicara. Bukan demi kalian, tapi demi kami."
***
Demi anak-anak Monica menemui Marion di taman kota, duduk berjauhan di bangku yang sama. Tak ada Clara. Tak ada anak-anak.
"Lily tahu segalanya," kata Monica perlahan.
Marion mengangguk. "Dia bilang aku pengecut."
"Lily hanya takut kehilangan. Kita semua begitu."
Hening sesaat. Marion menatap Monica.
"Aku nggak akan pernah bisa menebus semua yang sudah terjadi. Tapi aku tahu, bahkan kalau kita kembali pun, kamu tak akan pernah menjadi perempuan yang sama."
Monica menatap langit.
"Dan kamu tak akan pernah menjadi lelaki yang dulu aku pilih."
"Jadi ini akhir?" tanya Marion.
Monica tersenyum tipis.
"Ini bukan akhir. Hanya halaman baru di buku yang sama. Kita tetap akan bertemu, berbagi halaman tentang anak-anak, dan mungkin sesekali mengenang bagian yang baik. Tapi kita tak bisa memaksakan cerita lama jadi buku baru."
Lily dan Mimo tahu, kini tak semua rumah harus dihuni dua orang dewasa untuk tetap disebut keluarga.
Jendela rumah itu memang pernah pecah—dihempas badai, dilukai waktu. Tapi sudah diganti. Mungkin tak sempurna lagi, tapi cukup kuat untuk menahan angin berikutnya.