Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Angin sore berhembus lembut ketika Aruna menatap bangunan tua yang berdiri di ujung alun-alun kota. Dindingnya lapuk, sebagian catnya terkelupas, namun tetap kokoh meski telah berusia ratusan tahun. Gedung itu dulunya markas kolonial Belanda—begitu tertulis dalam catatan arsip daerah. Namun bagi Aruna, bangunan itu menyimpan teka-teki yang jauh lebih dalam dari sekadar peninggalan penjajahan.
Aruna adalah mahasiswa sejarah tahun terakhir yang tengah menyusun skripsi tentang perlawanan lokal yang tak banyak terdengar dalam buku pelajaran. Ia menemukan catatan ganjil—nama seorang tokoh bernama Raden Gata Wirayuda, disebut sebagai pemimpin perlawanan warga pada tahun 1832. Anehnya, nama itu hampir tidak muncul di arsip pemerintah kolonial maupun laporan resmi.
"Hilang begitu saja," gumam Aruna, menelusuri kembali tulisan yang ia cetak dari perpustakaan.
Hari itu ia datang kembali ke gedung tua dengan niat meneliti ruang bawah tanah yang belum pernah dibuka publik. Ia membawa surat izin dari dinas kebudayaan. Penjaga bangunan, seorang pria tua bernama Pak Surya, membukakan pintu sambil tersenyum letih.
"Masih mencari tokohmu itu?" tanya Pak Surya.
Aruna mengangguk. "Saya yakin ada something yang sengaja ditutup tentang beliau."
Pak Surya menatap gedung itu seolah melihat masa lalu. “Kalau begitu, hati-hati di bawah. Banyak yang lupa, tapi bangunan ini tidak pernah benar-benar diam.”
Aruna menelan ludah. Perkataannya terasa seperti peringatan yang berlapis makna.
Lorong menuju ruang bawah tanah gelap dan lembap. Lampu senter di tangan Aruna memantulkan bayangan panjang di dinding bata. Suasana yang hening membuat setiap langkah terdengar keras. Di ujung lorong, terdapat sebuah pintu besi berkarat. Butuh tenaga ekstra untuk membukanya, tetapi akhirnya engselnya bergeser perlahan mengeluarkan suara berderit.
Di dalamnya, ruangan itu lebih luas dari yang ia perkirakan. Rak-rak kayu penuh berkas tua, peti besi, dan peta lusuh bergelantungan di dinding. Saat Aruna menyinari salah satu rak, matanya terpaku pada sebuah peti kecil yang berada di balik tumpukan map.
Peti itu terkunci, namun usia membuat kayunya rapuh. Dengan hati-hati, ia mengungkit bagian pinggirnya hingga tutupnya terbuka. Di dalamnya terdapat seikat surat dan sebuah buku catatan kulit berwarna cokelat gelap.
Buku itu memiliki cap lambang kerajaan lokal yang telah lama hilang. Aruna merinding. Ia tahu simbol itu—simbol yang disebut dalam catatan tentang Raden Gata Wirayuda.
Dengan tangan bergetar ia membuka halaman pertama:
“Catatan Harian Wirayuda, tahun ke-29 kepemimpinan ayahanda.”
Aruna menarik napas. Ini… catatan asli? Jika benar, itu berarti ia memegang dokumen sejarah yang sangat penting dan belum pernah diketahui publik.
Ia membaca entri pertama.
“17 Oktober 1832.
Malam ini penjajah datang ke balairung desa. Mereka memaksa rakyat menyerahkan tanah sawah. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Besok kami berkumpul. Perlawanan dimulai.”
Aruna menelan ludah. Tulisannya tegas, seolah setiap huruf membawa beban kemarahan. Halaman demi halaman menceritakan bagaimana Wirayuda menghimpun rakyat, menyusun strategi gerilya, hingga melakukan sabotase kecil terhadap pos penjajah.
Namun semakin jauh membaca, halaman-halaman buku itu berubah menjadi gelap. Isi catatan semakin dipenuhi kalimat tentang hilangnya orang-orang di desa, sosok misterius yang diduga mata-mata, dan ancaman dari pejabat kolonial yang bernama Hendrik Willem van Klooster.
Sampai akhirnya ia menemukan entri terakhir, ditulis tergesa:
“Aku tidak punya pilihan lain. Mereka menculik istriku. Jika aku menyerah, rakyat kalah. Namun jika aku melawan, aku bisa kehilangan segalanya. Jika suatu hari catatan ini ditemukan, biarkan mereka tahu bahwa aku pernah menegakkan kehormatan, meski dunia menghapus namaku.”
Tinta pada kalimat terakhir tampak seperti mengalir, seolah ditulis sambil tangan gemetar. Aruna menutup buku itu cepat. Perasaannya campur aduk. Ada kebanggaan, tapi ada pula ketakutan seakan dia baru saja membuka luka lama.
Tiba-tiba terdengar suara langkah dari lorong. Aruna mendongak. Senter di tangannya bergetar.
"Pak Surya?" panggilnya.
Tak ada jawaban.
Aruna merasa bulu kuduknya berdiri. Ia menaruh buku itu ke dalam tas lalu berjalan cepat menuju pintu. Langkahnya dipercepat ketika suara itu makin dekat.
Namun sesampainya di lorong, Aruna hanya melihat ruangan gelap dan kosong.
“Jangan takut hanya karena ruangan tua,” ia mencoba menenangkan diri.
Ia keluar dari ruang bawah tanah dan menutup pintu rapat. Namun sebelum ia pergi, pak Surya muncul dari arah tangga dengan wajah cemas.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Pak Surya.
Aruna mengangguk, meski agak ragu. "Tadi saya dengar langkah di bawah, saya kira bapak."
Pak Surya terdiam, lalu berkata pelan, "Tidak ada orang lain di sini, Nak. Hanya kamu satu-satunya pengunjung hari ini."
Aruna merasakan jantungnya berdetak lebih cepat.
Malamnya, Aruna memindai halaman-halaman buku harian itu di kamar kos. Ia ingin menyimpannya dalam bentuk digital untuk berjaga-jaga. Saat memperbesar salah satu halaman, ia melihat sesuatu yang membuatnya terpaku.
Pada pojok bawah halaman ke-57, terdapat goresan kecil seperti ditulis dengan tergesa:
“Van Klooster menyembunyikan semuanya di ruang bawah kedua. Di balik dinding.”
Aruna teringat struktur bangunan itu. Ia memang hanya menemukan satu ruang bawah tanah. Tapi jika ada ruang kedua yang tersembunyi, itu bisa menjelaskan mengapa nama Wirayuda hilang dari catatan resmi.
Ia menutup laptop dan berdiri mendadak. Besok ia harus kembali.
Namun malam itu, ketika ia mencoba tidur, sebuah mimpi aneh menghampirinya.
Ia melihat seorang pria berjubah prajurit tradisional berdiri di tengah kabut. Wajahnya tak jelas, namun suaranya dalam dan berat.
“Sejarah tidak boleh berhenti di tangan mereka,” katanya. “Temukan kebenarannya.”
Aruna terbangun dengan keringat dingin. Mimpi itu terasa terlalu nyata.
Keesokan harinya ia kembali ke gedung tua. Pak Surya membiarkan Aruna masuk tanpa bertanya banyak, meski tatapannya tampak mengandung kekhawatiran.
Aruna turun ke ruang bawah tanah lagi. Ia meneliti setiap inci dinding, mengetuk-ngetuk permukaannya. Ketika memukul bagian dinding sisi timur, terdengar suara berbeda—lebih kosong.
Ia menekan dinding itu kuat-kuat dan menemukan sebuah sambungan tersembunyi. Dengan alat kecil yang ia bawa, ia mendorong celah itu hingga batu bata bergeser, membuka lorong sempit berdebu.
“Ya Tuhan…” gumam Aruna.
Lorong itu menuju ke ruang kecil yang terkunci rapat oleh pintu kayu tebal. Di atas pintu terdapat ukiran lambang kerajaan lokal yang sama dengan di buku harian. Setelah beberapa menit berusaha, pintu itu akhirnya terbuka.
Di dalamnya, Aruna menemukan kotak besi besar berisi beberapa dokumen yang disegel lilin—dokumen berstempel resmi kolonial. Salah satu dokumen bertuliskan:
"Perintah Penghapusan Riwayat: Subjek – Wirayuda."
Aruna membaca cepat. Dokumen itu memerintahkan agar seluruh catatan mengenai perlawanan Wirayuda dihapus, termasuk daftar nama korban dan peristiwa penindasan besar-besaran di desa tempatnya memimpin.
Ini bukan sekadar sejarah yang terlupakan. Ini sejarah yang dihapus dengan sengaja.
Aruna berdiri tanpa berkata-kata. Tangannya gemetar memegang kertas itu.
Tiba-tiba ia merasakan tiupan angin dingin meski tidak ada jendela. Lampu senter meredup. Di sudut ruangan, seolah ada bayangan seseorang berdiri.
“Terima kasih…”
Suaranya samar, seperti gema yang muncul dari dasar bumi.
Aruna mundur selangkah. Namun suara itu melanjutkan, “Kebenaran harus hidup.”
Dan bayangan itu menghilang. Aruna cepat-cepat mengambil semua dokumen penting dan berlari keluar dari ruangan itu, mengembalikannya ke tempat aman dalam tasnya. Ia hampir menabrak Pak Surya di tangga.
“Nak, kamu pucat sekali,” kata Pak Surya.
Aruna menarik napas panjang. “Pak… saya tahu sekarang. Mereka menghapus sejarah kita.”
Pak Surya menatapnya lama, lalu berkata lirih, “Beberapa kebenaran menunggu orang yang cukup berani untuk menemukannya.”
Minggu-minggu berikutnya, Aruna menulis skripsinya dengan semangat yang belum pernah ia rasakan. Ia mengumpulkan bukti-bukti, memverifikasi dokumen, dan menghubungkan peristiwa-peristiwa yang selama ini samar.
Tulisan itu akhirnya selesai. Judulnya:
“Wirayuda: Pemimpin Perlawanan yang Dihapus dari Sejarah Resmi 1832.”
Ketika ia mengumpulkan skripsi itu ke dosennya, pria itu menatapnya dengan penuh kekaguman.
“Ini… penemuan besar, Aruna. Ini bisa mengubah pemahaman sejarah lokal kita.”
Aruna tersenyum tipis. “Saya hanya mengikuti jejak yang tertinggal.”
Namun jauh dalam hatinya, ia tahu ada sesuatu yang juga berubah dalam dirinya. Bukan hanya karena ia menemukan fakta sejarah yang disembunyikan, tetapi karena ia merasa telah menyelesaikan sesuatu yang tak terlihat—semacam pesan dari masa lalu.
Dan setiap kali ia melewati gedung tua itu, ia merasakan seolah ada seseorang yang berdiri di balik jendela berdebu, memperhatikannya dengan rasa tenang.
Seorang pejuang yang namanya akhirnya kembali pada tempatnya.