Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Jejak Yang Tak Terhapuskan
0
Suka
53
Dibaca

_Setelah semuanya hilang, aku sembuh, tapi…_

-Rona-

Sebuah penghargaan berhasilku bawa pulang, menjadi seorang siswi dengan lulusan terbaik. Namun, kebahagiaan ini akan berakhir di gang rumah kecil ini. Aku memasukkan piala dan beberapa hadiah ke dalam tasku. Tubuhku mengeluarkan keringat dingin, sepertinya aku terbiasa dengan peringatan menakutkan dan menyebalkan ini.

Pintu rumaku terbuka lebar, aku tahu pasti siapa yang berdiri disana.

“Kenapa kau pulang sore begini?!” Ucap pria itu.

”Aku meraya…kan kelulusanku bersama teman-temanku.”

”Wah, kau akhirnya lulus juga. Kau harus menepati janjimu.”

”Janji apa?”

“Kau akan menuruti perintah ayahmu ini bukan….”

”Tidak, aku tidak mau… aku berusaha mengunci pintu kamar.”

”Anak kurang ajar, kau membohongiku…!”

Aku memasukkan semua barang pentingku ke dalam tas. Bisa saja sewaktu-waktu aku kabur dari sini.

“Kalau kau tidak keluar, aku akan mendobrak pintu kamarmu dan menyeretmu ke rumah pak darto. Kau tahu bisa-bisa dia akan membunuhku jika tidak bisa membayar hutangku.”

”Salah ayah, kenapa berhutang. Bukannya bekerja….”

”Beraninya kau, cepat keluar atau….”

Tiba-tiba suasana menjadi hening, aku mendengarkan dari dinding pintu kamarku. Tiba-tiba pukulan keras membuat kunci kamarku terbuka. Aku berusaha menahan pintunya tapi kekuatan ayah memang tak bisaku bendung.

Dia menyeretku seperti barang rongsokan. Tidak ada yang berani membantuku, mereka takut dengan perilaku ayah yang sembarangan.

”Aku mohon, lepaskan. Aku akan membantumu membayarnya. Aku akan bekerja.”

”Alah, lebih baik kau bekerja dengan si darto itu, itu lebih mudah.”

”Tidak, aku tidak mau.” Aku berusaha melepaskan cengkraman tangannya di kepalaku.

Dengan sekuat tenaga aku mendorong pria itu ke dinding yang hanya bisa di lalui satu motor saja. Dia kesakitan karena kepalanya terbentur, aku berusaha kabur dan berlari keluar dari gang kecil yang menjijikkan itu.

Aku terus menyusuri jalan tanpa alas kaki, aku berharap ayah tidak menemukanku. Satu jam berjalan, aku duduk di halte bus yang cukup jauh dari rumahku. Sebuah mobil berhenti dan pria dengan stelan rapinya keluar dari mobil berkilaunya.

”Hai gadis cantik, apa yang kau lakukan disini?”

Aku hanya diam tanpa membalas pertanyaannya.

”Ayo ikut denganku, kau harus ganti pakaianmu. Siapa yang akan mau dengan gadis berpakaian kumuh seperti itu.”

”Apa maksudmu? Aku tidak mau dengan siapa pun.”

Dia mendekatiku dan berusaha menarikku ke dalam mobil.

“Kau kemana saja? Aku mencarimu” seorang pria dengan mobil yang berbeda juga berhenti di halte lusuh ini. Pria pertama itu pergi, karena kedatangan seseorang yang merasa kenal denganku.”

”Kau siapa?”

”Aku memperhatikanmu dari gang pertama.”

Aku berdiri dan berusaha lari.

”Tunggu dulu, apa kau tidak lelah berlari?”

”Apa kau suruhan pak darto atau siapapun itu?”

”Siapa? Aku tidak mengenal mereka.”

”Apa kau butuh bantuan?”

”Aku tidak percaya siapapun, jangan membantuku”

”Lalu…apa kau ingin bertemu seperti pria yang tadi?”

”Tidak, bagaimana aku bisa percaya padamu.”

”Atau aku akan mengantarmu kembali ke rumahmu?”

”Tidak, aku tidak akan kembali”

”Kalau begitu kita bicarakan di cafe sana. Pegang ktpku, aku tidak akan berbuat jahat.”

Aku dan pria itu duduk di meja paling ujung. Dia memesan dua cangkir minuman panas. Aku merasa malu, karena semua mata tertuju padaku. Pakaianku yang lusuh membuat mereka penasaran.

”Minumlah.” Ujarnya memberikan secangkir minuman yang masih mengepulkan asapnya.

”Terima kasih.”

”Aku harus mengantarmu kemana? Tidak mungkin aku meninggalkanmu disini, kau perempuan.”

”Aku juga tidak tahu. Kalau aku pergi ke rumah temanku itu akan mempersulitnya. Pria itu akan datang dan mengganggu.”

Pria itu sibuk mengetik di ponselnya.

”Kamu bisa menginap di rumah temanku.”

”Benarkah? Apa aku bisa percaya padamu. Kau masih memegang ktpku kan.”

Dia mengantarku ke tempat temannya. Di dalam mobil, aku memberanikan diri meminta bantuannya untuk menemaniku menjemput tas yang sudahku persiapkan dirumah.

Beberapa jam berlalu, aku bertemu dengan temannya. Sebuah rumah yang tampak cukup mewah menurutku.

“San, gue titip dia disini dulu ya. Oke, tapi dia kenapa?”

”Besok gue ceritain, udah malam soalnya.”

”Oke, hati-hati ya”

Pria itu meninggalkanku dengan temannya. Wanita itu cantik dengan rambut sebahunya.

”Aku harus memanggilmu siapa?”

”Rona.”

”Oke, Aku Sani. Kamu bersih-bersih dulu. Aku ambilin baju.”

Dia memberiku handuk dan menyuruh mandi. Setelah mandi aku kembali ke ruangan dimana dia mengajakku tadi sepertinya itu kamar tidurnya.

”Aku tidak akan menanyakan apa yang terjadi tapi jika kau butuh teman bicara kau bia bercerita padaku.”

Entah kenapa setiap orang yang seolah berusaha membantuku, hal pertama yang muncul dalam benakku adalah apakah mereka bisa di percaya.

”Apa kau sudah makan?”

”Ya, temanmu sudah membelikanku.”

Dia mengantarku ke kamar yang lain, jika ada yang dibutuhkan aku bisa memanggilnya ke kamar. Malam itu aku putuskan untuk istirahat sejenak, walaupun ketakutan pada ayah belum berakhir. Meskipun aku jauh berlari dari rumah, mimpi buruk takkan menghilang semudah itu.

Keesokan paginya, sebuah catatan kutemukan di meja makan. Dia sangat percaya pada orang baru sepertiku. Dia bilang akan kembali nanti siang bersama rama untuk mengantarku ke rumah menjemput tas yang aku bicarakan semalam.

Aku mengganti pakaian dan menunggu kedatangan mereka di kamar. Aku tidak berani melakukan apapun di rumah sani.

Jam menunjukkan pukul 1 siang, sebuah mobil berhenti di pekarangan rumah sani. Aku bergegas keluar, rama memberikanku sebuah tas berisi makanan. Aku kira sani akan ikut bersama kami, ternyata dia harus kembali ke kantor. Hanya aku dan rama yang akan kembali ke rumah itu. Aku makan semua makanan pemberian rama. Aku sedikit canggung tapi aku tidak bisa berbohong kalau aku lapar. Dalam perjalanan tang menghabiskan waktu sekitar 2 jam, tubuhku kembali terasa berkeringat dingin. Rama menyadari rasa cemasku, dia menatap ke arahku dan berusaha meyakinkan.

Aku dan rama turun di depan gang sempit itu.

“Kamu tidak perlu masuk, tunggu saja di depan rumah.” Ucap rona

Namun di luar dugaan, ayah sudah mondar-mandir di depan rumah dengan wajah lusuhnya. Saat menatapku, dia seolah ingin menerkam atau bahkan mencekikku.

”Anak tidak tahu diri…!”

”Aku terus masuk ke kamar dan mengambil tasku.”

Ayah menarik lenganku, hingga tubuhku membentur dinding ruang tamu.

”Kau bicara seolah tidak mau bekerja dengan darto. Tapi kau membawa pria bersamamu.”

”Ayah jangan bicara sembarangan, dia membantuku…bukan menjualku…!”

”Anak kurang ajar…!” Tangan yang memanas itu di tahan oleh rama.

”Kau ikut campur urusanku?!”

”Maaf pak, aku akan membawa rona sementara waktu.”

”Enak saja, sudah kau apakan anakku?!”

”Tidak ada.”

”Kalau kau membawanya, aku akan mengejarmu dan membunuhmu…!”

Entah kenapa, mendengar perkataan ayah. Aku mendorong rama keluar dan meminta menungguku sejenak.

Beberapa detik berlalu, rama merasa kahwatir karena rona tak kunjung keluar. Dia mengetuk pintu dan berusaha melihat dari kaca rumah gadis itu. Dengan cepat, rama mendobrak pintu dan mendapati rona berlumuran dari dipelukkan sang ayah. Rama menelfon polisi dan ambulance. Pria paruh baya itu tampak menatap kosong pada rona yang tak sadarkan diri.

Rama duduk di depan ruang gawat darurat. Dia merasa cemas dengan keadaan gadis itu. Ditengah rasa cemas yang memburu, telfonnya bedering.

”Halo nak, kenapa belum pulang?”

”Aku di rumah sakit ma.”

”Kamu kenapa?!”

”Bukan rama, tapi seseorang. Nanti aku ceritain.”

”Ya udah, mama kesana.”

”Nggak usah….” Belum selesai rama menjelaskan, sang mama sudah menutup telfonnya.

3 Jam berlalu dokter keluar dan menemui rama.

“Apakah anda keluarganya? Saya ingin menjelaskan keadaan pasien keadaannya stabil, namun ada beberapa hal yang perlu kami informasikan.”

“Ya,saya keluarganya.Bagaimana keadaannya, Dok? Apakah lukanya parah?"

“Lukanya cukup dalam, dan itu mengenai perut serta beberapa jaringan di dalamnya. Untungnya, berdasarkan hasil pemindaian, tidak ada kerusakan besar pada organ vital seperti hati atau usus besar. Namun, luka ini tetap memerlukan perhatian khusus karena risiko infeksi di area perut cukup tinggi.”

“Jadi, apakah dia akan baik-baik saja.“

Dengan perawatan yang tepat, kami optimis dia bisa sembuh dengan baik. Namun, proses penyembuhan akan memakan waktu beberapa minggu. Kami telah membersihkan dan menutup luka dengan jahitan internal dan eksternal, tetapi dia tetap akan diawasi di unit perawatan intensif selama 24 hingga 48 jam ke depan untuk memastikan kondisinya tetap stabil.”

“baik dok, terima kasih.”

Dewi memanggil rama yang baru saja selesai bicara dengan dokter.

”Siapa yang sakit?”

Rama mengajak ibunya duduk.

“Hari aku pergi ke luar kota untuk kerja, malam itu aku melihat seorang gadis berlari dari sebuah gang kecil. Dia tampak ketakutan, jadi aku mengikutinya sampai ke sebuah halte terbengkalai. Disana dia hampir di bawa oleh seorang pria aneh, aku berusaha menyelamatkannya. Aku membawanya ke rumah sani agar lebih aman, Tapi.…”

Dewi menepuk punggung sang anak yang tampak begitu merasa bersalah.

“Tapi…hari ini dia memintaku menemaninya ke rumah untuk menjemput barang pentingnya. Tapi dia….”

Rama menatap ke arah ruang operasi rona. Dewi menangkap tatapan anak sulungnya persis sama seperti 2 tahun lalu.

“Dia akan baik-baik saja.”

Rona di pindahkan ke ruang rawat, gadis itu masih menggunakan alat bantu. Entah kenapa air mata gadis itu terus megngalir meski matanya tertutup.

Dewi membantu menghapus air mata gadi itu.

“Dia tampak cantik bukan? Tapi dia seperti seumuran dengan Kira.”

”Dia memang terlihat lebih muda dariku.”

”Kalau begitu mama akan bawakan beberapa pakaian untuk rona.”

”Nggak biar rama aja yang jemput, ibu tunggu aja disini.”

sudah dua hari rama dan ibunya menunggu rona sadarkan diri. Saat rama tengah membeli makan siang untuk sang ibu. Rona menggerakan tangannya, matanya menatap lurus ke arah wanita paruh baya itu.

”Saya ibunya rama, tunggu sebentar saya panggilkan dokter.”

Dokter memeriksa keadaan rona dan saat itu juga rama datang. Wajah tampak tegang namun merasa lega. Dokter bilang dia harus istirahat di rumah sakit untuk tetap di kontrol.

”Aku kira hari itu akan berakhir.” Ujar rona sambil menatap ke arah luar jendela

”Sudah, semuanya sudah berakhir hari itu. Kamu tidak perlu cemas.”

Rona hanya terus menatap ke arah jendela, sebuah tatapan menyesal dan perasaan yang ingin mati hari itu saja.

Dewi memegang tangan rona, meskipun dia tidak tahu pasti apa yang terjadi pada rona. Namun melihat apa yang dirasakan rama memang cukup berat untuk dibicarakan.

2 minggu berlalu rona dibolehkan pulang.

“Ibuk boleh nanya nak, kamu ada kerabat yang bisa rawat kamu?”

”Tidak, aku hanya tinggal dengan ayah.”

”Kamu tinggal sama ibuk, mau?”

”Tapi….”

”Nggak apa-apa.”

_Aku kehilangan kepercayaan pada siapapun, karena lukaku berawal dari darahku sendiri_

_Rona_

“Menikahlah dengan rama.”

Ucapan ibu rama membuat rona tersentak dari keheningannya. Menikah seperti kosa kata baru untuknya. Dia tak pernah berfikir sampai ke tujuan yang orang-orang impikan itu. Bertahan hidup sampai sekarang saja dia sudah bersyukur.

“Tapi…aku menyukai rasa aman ini, Hanya itu saja.”ucapnya dalam hati

”Bagaimana nak? Kalau tidak, juga tidak masalah. Tapi membawamu ke rumah itu akan menjadi fitnah.”

”Aku setuju.”

Rama yang baru keluar dari rumah sakit. Merasa aneh melihat raut wajah ibunya yang tampak begitu sumringah.

”Ibu kenapa?”

”Dua hari lagi kalian menikah.” Rama yang baru saja menyalakan mesin mobilnya salah menginjak rem mobilnya

”Astagfirullah.”

”Ibu maksa rona ya?”

”Nggak, rona bersedia kok”

Rama melirik rona yang duduk di belakang bangku kemudi. Pertanyaan muncul dalam benaknya, kenapa begitu saja bersedia menikah dengan dirinya. Apa rasa balas budi padanya dan ibu.

Pernikahan rona berjalan lancar dengan hanya mengundang kerabat dan teman kerja rama. Rama dan rona tampak canggung satu sama lain ditambah lagi usia mereka yang terpaut beda 5 tahun. Ada rasa syukur yang patut dia ucapkan, karena gadis itu menerimanya.

_Rama adalah rasa amanku yang berwujud. Aku membutuhkanmu…_

_Rona_

Pesan singkat yang masuk ke ponselku seolah memukul keras kesadaranku. Tubuhku seolah melayang dan terhempas ke dasar bumi. Kehilangan yang paling membahagiakan adalah bisa lepas dari pria yang seharusnya menjadi cinta pertama seorang anak perempuan. Kehilangan yang paling menyakitkan adalah kehilangan rasa amanku yang berwujud.

Kesadaranku kembali karena panggilan seorang wanita yang tengah terisak. Gengaman tangan yang begitu hangat dan air mata yang ikut menyiraminya.

Aku tak bisa berkata apa-apa, duniaku seketika runtuh dalam hitungan detik. Air mataku mengalir tanpa henti, pelukan ibu yang semakin erat tak mampu membendung air mataku.

Dua hari setelah kepergian rama, aku seolah kehilangan duniaku. Waktuku seolah terhenti setelah 2 tahun berjalan begitu indah tapi aku menyia-nyiakan semuanya.

Ibu merasa lelah melihatku, sudah satu minggu aku tak bicara dengan siapapun. Aku membenci apapun tentang kehidupanku. Rasanya aku ingin ikut bersama rama, kehidupanku bertahan karenanya.

Saat aku terbangun dari tidur, sebuah buku kecil dan amplop kuning ada di nakas samping tempat tidurku. Mungkin saja ibu yang menaruhnya.

Sebuah buku kecil dengan sampul yang begitu cantik. Lembar pertama yang bertuliskan “Tulisanku setelah hari itu” dia menulis tanggal dimana aku dan dia bertemu. Aku tidak pernah tahu bahwa rama menulis sesuatu, tidak…aku tidak mengenal rama dengan baik.

***

Hari yang cukup berat saat itu, aku melihat seorang gadis melangkah terhuyung-huyung tanpa alas kaki. Aku memperlambat laju mobilku. Dia terduduk lemas di halte usang, terus kuperhatikan hingga seseorang datang dan mengganggunya. Dia tampak melawan namun rasa takut tetap tampak di raut wajahnya. Aku membantunya dan pura-pura menjadi orang yang dikenal.

Aku kira semua akan berakhir di hari selanjutnya, namun gadis yang tampak baik-baik saja itu sebenarnya menyimpan luka dan ingin mengakhiri segalanya. Keputusan ibu membuat hubunganku dan rona semakin panjang. Aku tidak tahu apakah mencintai rona atau tidak. Aku hanya kahwatir dengan keadaannya saat itu.

Namun semakin hari, aku semakin mencintainya. Keinginan besarku adalah membuatnya bahagia. Ucapannya padaku seolah membuat takut meninggalkan dirinya sendirian. Katanya, aku ingin terus bersamamu tetaplah hidup dan jangan kemana-mana. Bagaimana jika aku meninggalkannya lebih dulu?

***

Air mata rona berlinang tanpa henti, pria yang menyelamatkan hidupnya telah pergi tanpa permisi. Hidup rama habis untuk mencintaiku, tapi aku…

Amplop kuning itu ternyata berisi tabungan atas namaku. Tangisanku makin keras, ibu bergegas masuk ke kamar dan menenangkanku.

“Aku menghabiskan waktu dengan rasa takut dan ketidakpercayaan. Sementara rama berusaha mencintaiku dan menjagaku. Ibu…” wanita paruh baya itu semakin mengeratkan pelukkannya.

”Sabarlah nak, ibu paham perasaanmu saat ini.”

***

Pov Ibuk Dewi

Seminggu berlalu, rona beraktivitas seperti biasa. Tapi lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar. Aku sebagai ibu merasa bahwa rona tampak berbeda. Dia tak banyak menghabiskan waktu di luar dan cuti dari pekerjaannya. Aku mengetuk pintu kamar rona, namun tak ada sahutan. Sungguh hatiku iba melihat dirinya yang tidur memeluk pakaian rama. Meski sudah sebulan berlalu, rona tak pernah mengakhirinya. Dia berusaha keras membuat rama tetap ada di sampingnya.

aku menghampirinya dan duduk di samping tempat tidurnya. Aku mengusap kepalanya dan menarik pakaian rama yang dipeluknya.

”Jangan…” ucap rona sambil menarik kembali

“Cepat bangun, kita bakar semua pakaian rama. Tidak baik seperti ini terus nak.”

”Tapi aku…masih ingin dengannya.”

Aku merasa kasihan sekaligus marah, aku membuka semua lemari pakaian yang ada di kamar rona. Pakaian rama masih tertata rapi disana.

“Buk, jangan di buang.”

”Ibuk tau kamu berduka, ibu juga sama kayak kamu nak. Tapi bukan seperti ini caranya.”

”Aku mohon buk, beri aku waktu seminggu. Setelah itu aku akan membuang semua pakaian rama.”

Rona bersimpuh di kakiku, aku tidak habis fikir dengannya.

Seminggu berlalu rona memasukkan semua pakaian rama ke kardus besar. Dia masih memeluk pakaian itu sebelum memasukkannya.

”Apa sesulit itu untuk melupakan rama nak, kehidupan harus terus berjalan. Yang pergi harus tetap pergi, yang tinggal harus tetap menjalani kehidupan.”

”Ibuk, aku menyia-nyiakan rama. Setiap hari yang aku fikirkan hanyalah rasa takutku. Aku sibuk mencemaskan masa laluku, tapi pria itu sibuk menata masa depanku. Dia terus menanyakan apa aku baik-baik saja, apa aku bahagia tapi sekalipun aku tak pernah melakukan hal yang sama. Aku menjalani semuanya dengan rasa hutang budi tapi dia menumbuhkan rasa cintanya. Aku ingin bertemu dengannya lagi….” Rona memelukku erat, aku rasa penyesalan memakan jiwa gadis itu sedikit demi sedikit.

Setelah hari kami membuang semua pakaian rama. Aku kira gadis itu benar-benar telah keluar dari fase dukanya. Dia beraktivitas seperti biasa, bekerja dan melakukan pekerjaan rumah. Tapi hari itu aku melihatnya duduk di meja makan sambil bercerita. Aku tidak melihat ponselnya hidup atau menggunakan airdrop. Fikiranku berkecamuk, apakah gadis itu mulai berhalusinasi. Aku mengamatinya selama satu jam, gadis itu seperti menyuapi seseorang di seberang meja makan. Rona tidak benar-benar sembuh.

Malamnya aku menuju kamar rona, aku lihat dia bersiap untuk tidur. Kemarin aku hanya melihat satu bantal, tapi sekarang dua bantal.

“Apakah kamu sudah mau tidur nak?”

”Iya buk, ada apa?”

”Apa kamu menyembunyikan sesuatu dari ibuk?”

”Maksudnya?”

”Ibu lihat beberapa hari ini kamu tampak segar dan bahagia banget.”

”Nggak ada apa-apa, aku hanya senang menemukan rutinitas baru. Tapi kemarin ibu liat kamu bicara sendiri dan seperti menyuapi seseorang di depan meja makanmu?”

”Mmm…aku baik-baik saja buk.”

”Besok kamu ikut ibu ke psikolog.”

”Tapi buk, aku baik-baik saja.”

”Yang terlihat baik belum tentu baik-baik saja nak.”

Aku meninggalkan kamar rona dengan hati kesal. Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam, aku masih belum bisa tidur. Masih ingat bagaimana rama begitu peduli dengan rona, dia terus memintaku menjaganya. Dia sangat mencintai rona.

Esoknya aku memaksa rona untuk bangun dan berangkat ke psikolog. Dia tampak lesu, rasa kesalku kian memuncak.

“Kamu fikir, ibu akan mengabaikan apapun yang terjadi padamu. Setiap hari ibu ingin terus memastikan kau baik-baik saja. Jika kamu seperti ini, ibu akan merasa bersalah pada rama. Dia akan kecewa sama ibuk karena tidak menjagamu dengan baik.”

”Ibuk….” Rona memelukku, wajahnya tampak iba.

”Ayo ikut dengan ibu, kita sembuhkan dukamu yang belum selesai.”

Rona mengangguk seolah setuju dengan ucapanku.

***

Seorang psikolog duduk di kursi yang sedikit berjarak dengan kursi di depannya namun memberikan kesan nyaman dan privasi. Sedangkan elara duduk di kursi yang berhadapan dengan zana.ruangan nyaman dengan penerangan lampu meja yang hangat membuat suasana tidak tegang dan rileks.

“Selamat siang, saya senang bisa bertemu dengan Anda hari ini. Silakan duduk dengan nyaman. Bagaimana kabarnya hari ini?”

“Siang… Terima kasih, saya merasa agak aneh berada di sini, tapi saya rasa saya perlu berbicara dengan seseorang. Kehidupan saya berubah sejak dia… sejak dia pergi.”

“Dia tidak pernah memarahiku, hanya sekali itu saja. Itu pun dia pergi untuk menenangkan diri. Aku tidak sanggup jika harus kehilangannya.”

“Itu hal yang sangat wajar, dan tidak mudah, terutama ketika kehilangan seseorang yang kita cintai. Anda berada di tempat yang tepat untuk bercerita, dan kita bisa melangkah setahap demi setahap, sesuai kenyamanan Anda. Apakah Anda ingin menceritakan sedikit tentang perasaan atau pengalaman Anda akhir-akhir ini?”

“Ya… Saya merasa dia masih ada di sekitar saya. Bukan hanya kenangan, tapi benar-benar kehadirannya. Seperti, saya mendengar suaranya, mencium aroma parfumnya. Ini bukan hanya sekedar mimpi; saya bisa merasakannya seolah dia ada di sana.”

“Saya mengerti. Kehadiran seseorang yang kita cintai sangat kuat dan bisa tetap terasa, bahkan setelah mereka pergi. Kadang, ketika duka kita sangat mendalam, pikiran kita merespon dengan cara yang unik. Apakah pengalaman ini terjadi di waktu-waktu tertentu, atau kapan saja?”

“Biasanya di malam hari atau saat saya sendirian. Saya tahu dia sudah tidak ada, tapi rasanya seperti ada yang hilang jika saya tidak 'merasakan' kehadirannya.”

“Perasaan seperti itu sangat umum dialami oleh orang-orang yang sedang berduka. Pikiran kita sering mencari cara untuk tetap merasa dekat dengan orang yang kita cintai, dan itu adalah bentuk respons alamiah terhadap kehilangan yang dalam. Tidak ada yang salah dengan apa yang Anda rasakan, dan Anda tidak sendirian”

“Benarkah? Jadi saya tidak benar-benar ‘gila’ karena masih merasakannya?”

“Sama sekali tidak. Pengalaman ini dikenal sebagai 'halusinasi kehadiran' dan sering dialami dalam konteks duka mendalam. Ini adalah bagian dari proses berduka yang mungkin sedang Anda alami. Dengan membicarakan ini bersama, kita bisa menemukan cara untuk memahami perasaan ini lebih dalam dan membantu Anda mendapatkan kedamaian.”

“Terima kasih… Saya rasa ini pertama kalinya saya merasa tidak aneh karena perasaan ini. Saya ingin belajar menghadapinya, tapi tanpa melupakan dia.”

“Itu tujuan yang indah dan sangat mungkin untuk dicapai. Kita bisa mencari cara untuk menjaga kenangan yang Anda miliki dengan cara yang sehat dan mendukung kesejahteraan Anda. Kita akan menempuh perjalanan ini bersama, dan Anda bisa melangkah setahap demi setahap. Terima kasih sudah berbagi perasaan Anda dengan saya.”

***

Setelah hari itu, aku memutuskan untuk benar-benar lepas dari dukaku. Tapi bisakah aku berpamitan sekali saja dengannya.

Malam itu aku merasakan rama mengusap kepalaku yang tertidur. Aku terbangun dan bergegas duduk di tempat tidur. Rama duduk dihadapanku, dia tampak begitu bahagia.

”Apakah boleh aku melupakan?”

”Tentu saja, aku benar-benar berharap untuk kebahagiaanmu, rona.”

”Maafkan aku tak sekalipun memperhatikanmu. Hidupku hanya berputar di masa lalu dan rasa bersalahku.”

”Jangan merasa menyesal ataupun bersalah rona. Kamu adalah hadiah berharga dari tuhan dalam kehidupanku. Jangan pernah merasa bersalah atas kepergianku. Aku sangat bahagia hingga akhir hidupku aku masih bersamamu.”

”Aku sangat mencintaimu, bolehkah aku memelukmu dan bisakah kamu memaafkanku.”

”Gadis kecil, jangan menangis. Aku sangat mencintaimu, jalani hidupmu dengan baik dan berbahagialah.”

Pelukan terakhir itu benar-benar nyata, aku tak pernah lagi melihat rama. Namun namanya akan tetap kuingat, pria yang menyelematkanku, mencintaiku, dan membuatku bahagia.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
Jejak Yang Tak Terhapuskan
lidia afrianti
Novel
Bronze
One Day
Ananda Putri Safitri
Cerpen
Eternal Love From The Eternal Spring City
Aspasya
Novel
Kala Cinta Membawamu Pulang
Belinda Marchely
Cerpen
Selembar Daun Hijau
Katabelantara
Cerpen
Bronze
Jangan Cemburu
Diyah Ayu NH
Novel
Gold
Habibie Ya Nour El Ain
Bentang Pustaka
Novel
The Wedding Drama
VitaSavidapius
Novel
Cewek Medan
Idris Pasaribu
Novel
Tentang Aku Dan Kelana
Xie Nur
Cerpen
Bronze
Penny Bertanya Tentang Cinta
ardhirahma
Novel
Love In Quarantine (Amnesia Retrograde)
Fitri Handayani Siregar
Novel
Senandung Harmoni
wiretup
Skrip Film
SCRIPTED
Reiga Sanskara
Novel
Salvatrice
Billy Yapananda Samudra
Rekomendasi
Cerpen
Jejak Yang Tak Terhapuskan
lidia afrianti
Flash
Bronze
From River To Sea
lidia afrianti
Flash
Bisakah Aku Jadi Dewasa?
lidia afrianti
Cerpen
Bronze
A letter: Unbreakable Love From Seoul
lidia afrianti
Cerpen
Jalur Langit
lidia afrianti
Cerpen
Bronze
Strange Thoughts
lidia afrianti
Cerpen
Bronze
Line And Word
lidia afrianti
Flash
Aku Sekarat
lidia afrianti
Flash
Balasan Surat Untukmu, Sean
lidia afrianti
Cerpen
Bronze
In The Nick of Time
lidia afrianti
Flash
STORY OF GERBERA
lidia afrianti
Flash
Jika Sudah Lupa, Mari kita Bertemu
lidia afrianti
Flash
Kesempatan Kedua
lidia afrianti
Flash
if we'd met before a decade
lidia afrianti
Cerpen
Without You
lidia afrianti