Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Misteri
Jejak yang Hilang
0
Suka
131
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Liburan panjang sudah hampir selesai. Sebagai seorang yang mencurahkan seluruh liburannya untuk menikmati masa muda, hari-hari terakhir seperti ini adalah waktu yang tepat untuk belajar bersama teman yang lain. Bukan untuk menyontek ya, belajar bersama. Catat itu!

Aku bersama Shanti sudah membuat janjian dengan Randi untuk belajar di rumahnya. Aslinya bukan janjian sih, kami saja yang memaksa dia untuk menunjukkan hasil tugas sekolahnya. Eh, maksudnya meminta untuk belajar bersama. Namun karena dia terlalu malas keluar rumah akibat cuaca yang panas, sebagai teman yang baik, kami memutuskan untuk mengalah dan mendatanginya.

Pukul 10 tepat, aku dan Shanti sampai di rumahnya yang berada di apartemen susun. Rumahnya terletak di lantai dua. Kami bisa mencapainya dengan menaiki tangga yang berada di luar bangunan. Hanya itulah satu-satunya akses untuk bisa naik ke depan pintu rumahnya. Tangganya tidak seperti bayangan kami ketika Randi menceritakan bahwa kami harus naik melalui tangga luar. Karena biasanya tangga untuk naik ke lantai 2 biasanya berada di dalam bangunan. Jadi bayangan kami, bentuk tangganya adalah tangga besi yang hanya bisa dilalui oleh satu orang saja. Tapi ternyata tangganya cukup lebar dan terbuat dari beton. Tangga itu menghubungkan dari lantai satu sampai lantai tertinggi.

Aku mengepalkan tanganku untuk mengetuk pintu, tapi sebelum kami berhasil mengetuk pintu rumahnya, pintu sudah terbuka untuk kami. Di balik pintu tersebut, ada Randi yang berdiri menyambut.

“Yok, silakan masuk,” tangannya memberikan gestur mempersilakan. Aku curiga dia menunggu sejak tadi di depan pintu untuk menyambut kami. Tapi seperti itulah Randi. Dia orangnya selalu mempersiapkan semuanya agar berjalan dengan baik. Dia orang yang praktis tapi teliti.

Mungkin dia tidak menunggu di depan pintu. Dia mengetahui jamnya sudah menunjukkan pukul 10, lalu dia berjalan menuju pintu untuk menyambut kami. Ya, lebih baik berpikir seperti itu karena akan merasa merepotkan jika dia memang menunggu lama di depan pintu yang mana rasanya aku bisa membayangkannya.

“Taruh saja sepatu kalian di rak sepatu yang atas,” kata Randi menunjuk rak sepatu yang menempel di dinding koridor pintu masuk.

Rak sepatunya cukup unik. Dia memiliki 4 tingkat dengan fitur yang berbeda. Tingkat pertama dan kedua adalah lemari yang tertutup oleh kaca. Di dalamnya terdapat satu pasang sepatu yang jelas milik Randi. Tidak ada tempat lain untuk menyimpan alas kaki selain tempat itu sejauh mata memandang. Selanjutnya tingkat ke tiga dan empat adalah rak terbuka. Rak yang lebih umum ditemukan di berbagai tempat karena lebih mudah menata asal kaki di tempat seperti itu. Jika ingin meletakkan tinggal taruh, lalu jika ingin mengambil tinggal ambil. Cepat dan tanpa langkah ekstra seperti membuka jendela lemari. Di rak tersebut tidak ada barang lain selain sendal yang kita taruh. Mungkin bagian ini memang dikhususkan untuk tamu yang datang.

“Di ruang tamu gak masalah kan?” tanya Randi mengonfirmasi.

“Ya, bebas,” balasku sambil mengikuti langkah Randi yang sudah berjalan duluan tanpa menunggu jawabanku terlebih dahulu.

“Duduk saja semau kalian, buku pelajarannya sudah ada di atas meja,” Randi masih berdiri.

Kami berdua pun duduk di atas lantai yang terlapisi karpet. Sebenarnya lantai rumah ini terbuat dari kayu sehingga tanpa karpet pun, permukaan lantai cukup hangat untuk diduduki. Kami melingkari meja yang dimaksud dan langsung mengeluarkan isi ransel kami. “Seperti yang diharapkan dari Randi. Langsung to the point.”

“Halah, setiap tahun kamu melakukan ini. Capek aku jika harus menegurmu lagi. Palingan kamu hanya menjawab iya dan akan mengulanginya lagi tahun depan.”

“Haha, jadi malu,” jawabku sambil tertawa paksa.

“Dan tahun ini, kamu memiliki seorang pengikut. Aku tidak menyangka kamu tipe orang seperti itu Shanti,” sekarang kekesalan Randi mengarah ke teman yang aku bawa.

“Tahun ini pengecualian, aku cukup sibuk dengan kegiatan OSIS jadi belum sempat mengerjakan tugasku. Tahun depan gak lagi deh,” Kata Shanti yakin.

“Yang penting jangan tertular oleh orang malas seperti Rama ini. Dah gak ketulungan,” keluhnya.

“Sudah dong nggibahnya. Lagi fokus belajar nih,” kataku yang tangannya terus bergerak dan matanya berpindah dari buku milik Randi ke buku tulisku.

“Itu mah bukan belajar namanya. Nyontek itu.” Randi memalingkan wajahnya menghadap pintu untuk sekilas, “aku tinggal sebentar ya.”

“Ok,” jawab kami serentak.

Di tinggal oleh Randi, kami bekerja seperti mesin fotokopi yang cepat. Prosesnya dimulai dengan meng-scan jawaban dari soal milik Randi, kemudian menulisnya di bukuku sendiri. Berbeda denganku, Shanti menulis dengan santai. Sepertinya PR yang belum dikerjakan hanya beberapa saja, berbeda denganku yang sama sekali belum aku kerjakan.

6 menit berselang, pintu ruang tamu dibuka dan muncul Randi dengan nampan berisi es teh 3 gelas dan beberapa camilan kering.

“Wah, jadi ngerepotin. Bikin seneng aja,” kataku tersenyum dengan mata yang mengikuti arah makanan diletakkan di meja.

“Buat kamu dilarang menyentuh makanannya sebelum PR-nya selesai,” larang Randi.

“Lha, kok gitu sih,” jawabku sebagai seorang yang disasar.

“Gak, gak. Bercanda, silakan dimakan.”

“Kau tahu, otak jika tidak ada asupannya, dia tidak akan mau bekerja,” tanganku meraih kue kering yang terbungkus kecil. Aku memakannya dengan satu lahap. Rasanya manis dan lembut.

“Kalo nyontek mah gak perlu otak. Tinggal tulis aja,” Randi mengambil salah satu kue keringnya dan berkata, “ini oleh-oleh dari Jogja.”

“Kamu liburan ke Jogja?” tanyaku sambil tanganku meraih es teh karena tenggorokanku seret. Kue keringnya ternyata terlalu lembut. Mungkin bisa diibaratkan seperti makan tepung yang dipadatkan lalu pecah ketika masuk ke mulut.

“Nggak. Kakakku kan kuliah di Jogja. Sekarang dia ada di rumah,” jari jempolnya dilemparkan ke belakang.

“Benarkah. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya. Sekarang dia ada di mana?” tanyaku semangat. Aku sudah berteman dengan Randi sejak kecil. Kami sering saling mengunjungi dan kakak Randi sudah aku anggap kakakku sendiri. Kadang ketika aku ingin mengajak main Randi namun dia sedang tidak ada di rumah, aku gantian mengajak kakak perempuannya ini.

“Mungkin dia sekarang berada di dapur. Tadi ketika aku baru masuk ke sini, aku lihat dia mau masuk ke dapur,” balasnya mengira-ngira.

“Kalau begitu, aku ingin menyapanya sebentar. Sudah lama tidak bertemu,” kataku sambil bangkit dari posisi duduk.

“Aku juga ingin pergi ke kamar mandi. Di mana kamar mandinya?” tanya Shanti tiba-tiba.

“Ram, sekalian antar temenmu ini. Kamu juga tahu kan tempatnya.”

“Oke bos,” jawabku menggoda.

Kami berdua pergi keluar dari ruang tamu meninggalkan Randi yang entah apa yang akan dilakukannya. Dia sepetinya tidak membawa apa-apa. Komik yang biasanya menjadi kegemarannya pun tidak ada di tangannya. Terserahlah apa yang akan dia lakukan, lagian kenapa aku perlu memikirkannya.

Tak perlu waktu lama sejak aku menutup pintu, aku sudah bisa melihat perempuan berparas tinggi dengan pakaian bak mahasiswanya itu. Dia sedang berdiri di teras dekat pintu dengan wajah mengamati rak sepatu.

“Mau keluar kak?” tanyaku mengejutkannya.

“Nggak. Eh, Rama. Dah gede aja kamu. Ini siapa, pacarmu?” tanyanya yang entah tujuannya menggoda apa memang penasaran.

“Nggak nggak. Enggak semua jika ada cewek dan cowok barengan harus disebut pacaran. Kami teman sekolah. Barusan belajar bersama di ruang tamu ngerjain PR,” jabarku.

“Ya kali aja. Lihat tuh, wajahnya jadi memerah,” tunjuknya.

Jika dipicu seperti ini, aku ingin sekali melihat apakah itu memang benar atau tidak. Tapi lain hati lain pikiran. Aku terlalu malu untuk melihatnya saat ini. Jika ini adalah tipuan, aku akan digojlokin sama kakak ini.

“Omong-omong apa yang kakak lagi lakukan? Melototin rak sepatu kayak punya dendam,” aku mencoba mengalihkan topik.

“Oh itu. Tidak ada apa-apa. Cuman penasaran aja,” jawabnya singkat.

“Penasaran tentang apa?” tanyaku menyelidik.

“Kok bisa ya Randi membuat es teh secepat itu,” jawabnya singkat.

“Maksudnya?” tanyaku meminta sebuah penjelasan karena tidak mengerti apa konteks yang sedang dibicarakannya.

“Tadi kan aku belanja es batu di toko. Karena berat, aku minta tolong Randi untuk mengangkatkannya dari mobil. Selama dia mengambilnya, aku pergi ke kamar sebentar. Ketika keluar, tiba-tiba dia kok sudah membawa nampan berisi 3 gelas es teh dan makanan ringan.”

“Maksudnya bagaimana caranya Randi untuk bisa cepat membuat es tehnya?” ucap Shanti dengan lambat mencoba menata kalimatnya agar apa yang ada di otaknya tersampaikan.

Aku ikut menimpali, “benar juga. Jika es batunya belum ada sebelum kami sampai, cukup aneh dia bisa membuat es teh secepat itu.”

“Bukan itu. Jika tentang itu, seharusnya kamu tahu kalau kamu mau memikirkannya sekejap. Adikku ini tipe orang yang sudah mempersiapkan segalanya sebelum kejadian. Tentu dia sudah membuat tehnya sebelum kalian datang.”

Ternyata dugaanku salah. Jika tidak itu apa lagi. Yang menjadi dasar dari masalah ini adalah kecepatan Randi yang mengejutkan bagi Kakaknya. Di ceritanya ada dua kejadian. Jika tidak tentang kecepatan Randi membuat teh, Berarti …

“Yang membuat Kakak heran adalah bagaimana caranya Randi dapat membawa es batu itu ke dalam rumah dengan cepat. Begitukah?” tanyaku meminta verifikasi.

“Nah, persis. Aku berada di kamar hanya sekitar 5 menit. Jika mengira-ngira waktu yang dibutuhkan Randi untuk membuat the 2 menit, maka sisanya adalah 3 menit perjalanan dia mengambil es batu itu dan menurutku itu tidak mungkin. Seharusnya ketika aku keluar dari kamar, yang aku lihat adalah Randi yang sedang menggendong es batu dan masuk ke dapur,” deduksi Kakak Randi.

“Kakak bilang es batu itu perlu digendong untuk dibawa masuk. Memang sebesar apa es batunya?” tanyaku penasaran.

“Sini tak tunjukkan,” katanya sambal berjalan menarik kami ke dalam dapur. Kakak Randi mendorong pintu kayu itu dan tampaklah semua perabotan dapur yang tertata rapi di tempatnya. Meskipun banyak benda, ruangannya cukup lega untuk beberapa orang memasak Bersama-sama. Tepat ketika melangkah masuk, kakiku menginjak keset kain yang kasar. Cukup aneh posisinya karena biasanya keset dapur seharusnya berada di luar ruangan karena gunanya adalah agar kotoran dan minyak yang berasal dari dapur, tidak mengotori ruangan lainnya. Mungkin hanya perbedaan budaya tiap rumah. Tidak terlalu wajib juga sih.

Kakak menunjuk kemasan es batu yang seperti guling, dikemas dengan memanjang dan transparan. Di sekitar es batu yang dibiarkan di ruang terbuka itu sudah meleleh. Air sudah menggenang di sekitarnya. Di sampingnya juga ada teko kaca yang berisi teh yang sudah dingin. “Mau diapakan es batu sebanyak ini?” tanyaku penasaran.

“Aku pengen buat es-es buah yang kayak di video Tiktok itu,” jawabnya riang.

“Mau diminum semua?” aku bertanya karena tidak mungkin dia bisa menghabiskan es buah dengan es batu sebanyak ini.

“Enggaklah. Btw kembali ke masalah utamanya, lihat es batu ini. Bagaimana menurutmu Randi membawanya?” tanya Kakak meng-interview.

“Jika es batunya sebanyak itu, aku pikir Randi masih bisa membawanya hanya dengan sekali perjalanan. Kedua kantong es itu bisa dibopong, oh tidak, baju Randi masih kering ketika dia kembali ke ruang tamu. Berarti dia menjinjing kedua kantong itu satu di setiap genggaman tangannya,” kataku dengan perlahan.

“Aku juga akan berpikir seperti itu jika aku tidak mengetahui bentuk rak sepatu di rumah ini. Itulah kenapa aku berdiri di sana kebingungan,” ucapnya menutup kesimpulan yang membawa pertanyaan itu.

Aku tidak mengingatnya bagaimana bentuk rak sepatu itu secara detail. Secara reflek aku berjalan kembali ke pintu depan untuk mengamati rak sepatu yang dimaksud. Maksudnya? Itulah apa yang ada di kepalaku setelah mengamatinya. Apa masalahnya? Rak sepatu itu tampak tidak ada yang aneh bagiku.

“Lihat di rak yang bawah. Tidak ada alas kaki lain yang bisa digunakan selain sepatu di sana. Aku mencuci semua sendalnya tadi pagi,” kata Kakak menyusul.

“Jadi kakak berpikir jika Randi akan membawa satu persatu kantong es itu karena dia harus melepas sepatunya sebelum dia masuk ke dalam rumah?” kataku mencoba memahami.

“Tepat sekali. Itulah kenapa aku berdiri di sini karena penasaran bagaimana dia melakukannya.”

“Bagaimana menurutmu, Shan?” tanyaku meminta pendapat lain.

“Menurutku jika seperti itu kejadiannya, Randi harus berlari secepat mungkin agar dia bisa menyelesaikannya dalam waktu 3 menit. Dan menurutku hal itu juga bisa dibantah karena Randi tidak ngos-ngosan ketika kembali ke ruangan dan juga meskipun dengan berlari, pasti itu akan melebihi 3 menit,” jelasnya cukup mendetail.

“Berarti ada kemungkinan lain,” aku mengamati rak sepatu dan Lorong menuju dapur. Mataku kembali mengamati rak sepatu. Agar bisa membawa kantong es dalam sekali perjalanan, Randi hanya boleh membawa semuanya sekaligus karena jika bolak balik, waktunya tidak mencukupi. Yang menjadi masalah adalah apakah Randi menggunakan sepatu yang ada di rak atau tidak.

“Jika Randi menggunakan sepatu yang ada di rak, dia harus duduk dan meletakkan kantong esnya ke lantai sehingga dia bisa melepas sepatunya dan memasukkan ke rak sepatu.” Aku berjongkok dan menyentuh lantai kayu. “Jangka waktu Randi melakukan itu pasti membuat es itu mencair dan membuat lantai kayu ini dingin. Tapi sepertinya dia tidak melakukannya karena tidak ada bekas air atau suhu yang berbeda dari lantai di bawah kita.”

“Cara lain juga bisa dilakukan seperti Randi melepas sepatunya tanpa duduk alias menggunakan kedua kakinya saja dan tetap menggendong kedua kantong es itu di kedua lengannya. Setelah meletakkan es itu, dia kembali untuk mengembalikan sepatu ke raknya,” timpal Shanti.

Mendengar tanggapan itu, kakak spontan membuka tak sepatu itu dan mengambilnya. “Tidak ada lekukan yang terbuat akibat membuka sepatu dengan kaki dan juga sepatunya tidak hangat.”

Kakak memperlihatkan bukti yang sudah membantah kedua argumen pertama. “Jika seperti itu pilihannya tinggal antara dia menggunakan alas kaki lain atau tidak menggunakan sama sekali,” kataku sambil bersingkuh lengan.

“Sendal yang aku cuci mungkin sudah kering, tapi rasanya sangat tidak efisien dan beralasan jika Randi mengambil sendal itu dari balkon sana lalu mengembalikannya kembali setelah selesai,” kata kakak menunjuk jendela lebar yang terbuka. Di luar jendela tersebut ada beberapa baju yang dijemur dan mungkin sendal yang dimaksud.

“Apa dia menggunakan sendal kita?” tanyaku menghadap ke Shanti.

“Sepertinya tidak. Letak sendalnya masih sama ketika kita menaruhnya tadi. Tidak bergeser satu centi pun. Aku yakin akan ingatanku,” kata Shanti yakin.

“Berarti pilihan yang tersisa adalah dia tidak memakai alas kaki sama sekali. Ya, mungkin itu penjelasan paling logis jika pilihan sebelumnya dibantah semua. Jadi jika dirunut ketika kakak masuk rumah, kakak kebetulan bertemu Randi yang sedang berada di lorong. Kemudian kakak meminta Randi untuk mengambil kantong es yang berada di dalam mobil. Ketika Randi pergi, Kakak tanpa memperhatikannya kembali dan langsung ke kamar. Mungkin karena Randi tidak ingin membuat kamu menunggu lama, dia tidak memiliki pilihan selain keluar tanpa menggunakan alas kaki dan kembali dengan langsung membawa dua kantong sekaligus. Ketika Kakak keluar dari kamar, Randi sudah menyelesaikan tugasnya dan hendak kembali ke ruang tamu membawakan minum. Begitukah?” kataku menyimpulkan.

“Itu masuk akal. Tetap saja, sialan si pemalas itu. Kan dia bisa pakai sepatu atau mengambil sendal yang dijemur. Sebentar, aku tinggal dulu. Biar tak marahin dia sebentar. Bikin kotor rumah aja,” Kakak Randi pergi ke ruang tamu dengan langkah besar siap untuk mengagetkan Randi yang bersalah.

Aku juga berniat kembali ke ruang tamu untuk melihat bagaimana reaksi si Randi ketika dimarahi. Jarang-jarang situasi ini terjadi. Hingga Shanti menghentikanku,” Tunggu Ram!”

Oh ya aku melupakannya. “Sorry, aku lupa. Ayo, aku tunjukkan di mana kamar mandinya.”

“Bukan, bukan itu yang aku maksud. Aku merasa ada yang kurang dari penjelasanmu barusan,” kata Shanti ragu.

“Bagian yang mana?”

“Kau mengatakan kalau Randi masuk tanpa menggunakan alas kaki kan?” Aku mengangguk. “Di sinilah bagian anehnya. Kakak juga sempat menyebutkannya tanpa sadar. Kakak Randi mengatakan ‘mengotori rumah’ karena Randi masuk tanpa alas kaki dan itu benar karena di luar sangat berdebu dan pasti akan mengotori lantai. Tapi dari tadi aku mengamati, lantainya masih bersih seperti saat kita masuk,” mata Shanti manatap lantai sepanjang lorong. Mataku juga mengikuti gerak kepalanya.

“Benar juga. Jadi jawabannya masih belum pasti kalau Randi tidak menggunakan alas kaki. Berarti ke-tiga kemungkinan itu masih sama besarnya untuk menjadi jawaban yang benar. Aku merasa bersalah kepadanya jika bukan jawaban yang ketiga yang benar.”

Aku mengamati lagi lantai dan rak sepatu di koridor rumah mencari petunjuk. “Ada informasi yang belum lengkap. Apa ya?” jemariku menjepit dagu dan kepala berpikir dengan keras.

“Mungkin ini bisa menjadi petunjuk. Ketika Randi keluar dari ruang tamu, tidak lama setelah itu, aku mendengar langkah kaki yang berat dan bulat di lantai kayu dari pintu masuk.”

“Benarkah, aku tidak mendengarnya.”

“Mungkin kamu terlalu fokus menyontek,” balasnya lalu tertawa.

Aku tertawa balik, “mungkin saja.”

Di rumah ini yang mungkin membuat suara itu hanyalah kakak dan Randi sendiri. Kami jelas tidak mungkin. Jika memasukkan faktor lain yaitu penghuni lantai atas atau bawah, itu terlalu abstrak dan kemungkinan benarnya cukup kecil. Kakak Randi kemungkinan juga tidak karena kata Shanti, suaranya berasal dari arah koridor rumah.

Apa yang Randi lakukan agar suara itu bisa dibuatnya? Ah, sepertinya aku mengetahui sesuatu. Tanpa penjelasan lebih lanjut, aku berjalan ke arah dapur. Shanti mengikuti di belakangku.

“Nah ini barang buktinya,” aku menunjuk keset kaki yang terbuat dari kain yang disiapkan di depan pintu dapur. “Randi membersihkan kakinya dengan keset ini.”

Shanti tampaknya belum memahaminya terlihat dari kepalanya yang ditelengkan ke kanan dan wajah yang seperti kehilangan sinyal.

“Jadi agar lantainya tetap bersih, Randi sudah memikirkannya sejak awal. Dia memang tidak menggunakan alas kaki. Dia berjalan keluar dengan berjinjit pada bola kakinya sehingga bagian yang kotor hanyalah bagian itu. Ketika kembali, bagian kaki yang menapak lantai adalah tumitnya sehingga menghasilkan suara yang kamu dengar. Setelah masuk ke dapur, dia membersihkan kotoran yang menempel di telapak kakinya dengan keset dapur,” kataku sambil menunjuk keset kain yang sudah kotor akibat debu itu.

Shanti menatap sekilas keset itu dan langsung mendapatkan pemahaman dari apa yang aku sampaikan. “Sepertinya ini misterinya terpecahkan dengan komplit. Kamu tidak perlu merasa bersalah lagi karena Randi memang mengotori rumah ini,” bela Shanti sambil bercanda.

“Jika aku berada di posisinya, mungkin aku juga akan melakukan yang sama.”

“Tapi kamu tidak akan meninggalkan barang bukti sejelas ini untuk ditemukan. Sudahlah, tolong antar aku ke kamar mandi. Tadi niatnya si tidak, tapi memaksa otak untuk bekerja berlebihan ternyata memicu gejala yang lain.”

“Okay. Sebelah sini,” aku berjalan mendahului.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Misteri
Cerpen
Jejak yang Hilang
zain zuha
Cerpen
Bronze
Tragedi yang Indah
Adnan Fadhil
Novel
The Game After Married
Mustofa P
Cerpen
03 Rumah di Keabadian
Bima Kagumi
Novel
Bronze
Antara Darah Dan Hati 2 Seri 1
Fahlevi Anggara Fajrin
Novel
Diary Kelabu Dokter Muda
Jiebon Swadjiwa
Flash
Kematian Sebuah Bangsa
Akara Drawya
Novel
ELOK BERDARAH
Mona Cim
Flash
Lenyap
Mas Sojo
Cerpen
Misteri Kursi Kepiting
Heri Winarko
Flash
Bronze
Kak Isah dan Ilmu Penunduk
ANINZIAH
Novel
BILA BAHAGIA ITU DIJUAL
Sefiti
Flash
Bulan Biru
Ravistara
Novel
Justin & Misteri Puding Merah (bagian 1)
Arzen Rui
Skrip Film
Langit Putih Awan Biru
Jafri Hidayat
Rekomendasi
Cerpen
Jejak yang Hilang
zain zuha
Cerpen
Vampir yang Merindukan Rumah
zain zuha
Cerpen
Pak Tua Penunjuk Jalan
zain zuha