Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Sejarah
Jejak Waktu: Dari Dunia yang Bangkit hingga Nusantara yang Merdeka
1
Suka
10
Dibaca

Sejarah manusia adalah kisah panjang yang tak pernah berhenti bergerak, seperti ombak yang datang silih berganti di tepi waktu. Dari lembah sungai kuno di Mesopotamia hingga gugusan pulau di Nusantara, manusia selalu mencari arti dari kekuasaan, pengetahuan, dan kebebasan. Di antara jutaan langkah itu, dunia tumbuh, bertumbukan, lalu melahirkan bangsa-bangsa baru — salah satunya adalah Indonesia.

Beribu tahun yang lalu, sebelum dunia mengenal mesin dan bendera, manusia membangun peradaban di tepi sungai. Di Mesopotamia, lahir bangsa Sumeria yang menciptakan tulisan paku, roda, dan sistem pemerintahan pertama. Tak lama, di tepi Sungai Nil, orang Mesir menulis sejarahnya di batu — mendirikan piramid yang menjulang sebagai simbol kekuasaan dan keyakinan akan kehidupan setelah mati. Di Asia, lembah Sungai Indus dan Sungai Kuning menjadi tempat tumbuhnya kebudayaan besar. Tiongkok menciptakan kertas dan kompas, sementara India melahirkan ajaran Hindu dan Buddha yang kelak menyebar ke seluruh Asia, termasuk ke kepulauan di tenggara yang nanti disebut Nusantara.

Sementara itu, di belahan dunia barat, muncul bangsa Yunani dengan filsafatnya dan Romawi dengan kekuasaan besarnya. Dari merekalah dunia belajar tentang hukum, arsitektur, dan pemerintahan. Tapi bersama kemajuan, lahir pula ambisi. Bangsa yang kuat menaklukkan yang lemah. Kekuasaan menjadi ukuran peradaban.

Sementara dunia bagian barat tumbuh dengan pedang dan hukum, di timur jauh, di atas lautan luas yang dipenuhi bintang, lahirlah kebudayaan maritim yang agung. Di antara ombak dan pulau, terbentuklah peradaban yang kelak menjadi Indonesia. Sekitar abad ke-7, berdirilah Sriwijaya, kerajaan besar yang berpusat di Sumatra. Sriwijaya bukan hanya kerajaan dagang, tetapi juga pusat ilmu dan agama Buddha. Kapal-kapalnya berlayar jauh ke India dan Tiongkok, membawa rempah, emas, dan gagasan. Para biksu datang belajar di sana, termasuk I-Tsing dari Tiongkok yang mencatat betapa majunya pendidikan agama di negeri itu.

Berabad-abad kemudian, saat Sriwijaya melemah, muncul Majapahit di Jawa Timur. Di bawah Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada, Majapahit mencapai masa keemasan. Sumpah Gajah Mada — “tidak akan berhenti sebelum mempersatukan Nusantara” — menjadi simbol tekad persatuan bangsa-bangsa di kepulauan luas ini. Majapahit berdagang dengan Tiongkok, India, dan bahkan Arab. Di pelabuhan-pelabuhannya, berbagai bahasa terdengar: Melayu, Jawa, Tamil, dan Arab. Dunia seakan bertemu di satu tempat — di Nusantara.

Namun di seberang lautan sana, dunia sedang berubah cepat. Di Eropa, abad ke-14 dan ke-15 disebut zaman Renaisans — masa kelahiran kembali ilmu dan seni setelah abad gelap. Orang-orang seperti Galileo, Leonardo da Vinci, dan Columbus mulai menantang batas pengetahuan. Mereka menciptakan kompas, memetakan bintang, dan membangun kapal layar yang bisa berlayar jauh melewati samudra.

Tahun 1492, Christopher Columbus berlayar ke barat dan menemukan Benua Amerika. Tiga tahun kemudian, Vasco da Gama dari Portugis menemukan jalur laut menuju India. Dunia mendadak terasa lebih kecil. Perdagangan antar benua lahir, dan semua bangsa Eropa berlomba-lomba mencari rempah — harta paling berharga di masa itu. Nilai segenggam pala dari Maluku bisa menandingi harga emas di Eropa.

Maka datanglah bangsa Portugis ke Timur. Mereka menjejakkan kaki di Malaka tahun 1511, lalu menuju Maluku untuk menguasai perdagangan rempah. Setelah Portugis, datang pula Belanda, yang mendirikan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) pada tahun 1602. VOC bukan sekadar perusahaan dagang, melainkan kekuatan militer dan politik. Dengan perjanjian yang menipu dan kekuatan senjata, VOC mengambil alih pelabuhan-pelabuhan penting, menguasai jalur rempah, dan memecah-belah kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara.

Dari sinilah dimulai masa panjang penjajahan. Rakyat Nusantara dipaksa bekerja untuk kepentingan asing. Rempah-rempah dari Maluku, kopi dari Jawa, dan gula dari Sumatra semuanya dikirim ke Eropa. Sementara itu, bangsa pribumi hidup dalam penderitaan.

Namun dunia juga sedang mengalami gelombang baru. Di Amerika, tahun 1776, bangsa koloni melawan Inggris dan memproklamasikan kemerdekaannya. Tak lama kemudian, di Eropa, Revolusi Prancis (1789) mengguncang dunia dengan semboyan “Liberté, Égalité, Fraternité” — kebebasan, persamaan, dan persaudaraan. Gagasan tentang hak asasi manusia mulai menyebar. Benih-benih itu suatu hari akan tumbuh di tanah jajahan, termasuk di Hindia Belanda.

Abad ke-19 menjadi abad perlawanan. Di Jawa, Pangeran Diponegoro bangkit melawan penjajahan Belanda dalam Perang Jawa (1825–1830), karena tanah leluhurnya dirampas dan rakyatnya ditindas pajak. Perang itu menelan ratusan ribu jiwa, namun juga menunjukkan bahwa rakyat bersatu bisa mengguncang kekuasaan. Di Sumatra Barat, pecah Perang Padri (1821–1837) antara kaum ulama dan kaum adat, yang akhirnya juga berhadapan dengan Belanda. Di ujung utara Sumatra, Perang Aceh (1873–1904) menjadi salah satu perlawanan terlama dalam sejarah kolonial. Meskipun akhirnya kalah, semangatnya tidak padam.

Setelah VOC bangkrut tahun 1799, pemerintah Belanda mengambil alih kekuasaannya dan memperkenalkan Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) pada tahun 1830. Rakyat dipaksa menanam tanaman ekspor seperti kopi, tebu, dan nila di sebagian besar tanah mereka. Hasilnya dikirim ke Belanda untuk membiayai pembangunan di Eropa. Sementara rakyat Indonesia sendiri kelaparan. Namun dari penderitaan itu lahir pula kesadaran baru.

Seorang pejabat Belanda bernama Eduard Douwes Dekker, dengan nama pena Multatuli, menulis novel Max Havelaar yang menggambarkan betapa kejamnya sistem tanam paksa di Hindia. Buku itu mengguncang Eropa dan menjadi titik awal perubahan pandangan terhadap penjajahan.

Akhir abad ke-19, dunia memasuki masa modern. Mesin uap, telegraf, dan kapal besi mengubah kehidupan manusia. Di Indonesia, muncul generasi baru yang terdidik — hasil dari kebijakan politik etis Belanda yang sedikit membuka akses pendidikan. Dari sinilah lahir Budi Utomo pada tahun 1908, organisasi pertama yang menandai Kebangkitan Nasional Indonesia. Setahun kemudian muncul Sarekat Islam, lalu Indische Partij, Muhammadiyah, dan banyak organisasi lain yang menanamkan semangat nasionalisme.

Sementara itu, dunia kembali dilanda perang besar. Perang Dunia I (1914–1918) mengguncang Eropa dan menandai akhir kekaisaran lama. Ide tentang kebebasan dan hak menentukan nasib sendiri mulai menggema di koloni-koloni. Namun bencana yang lebih besar datang dua dekade kemudian — Perang Dunia II (1939–1945), ketika Jerman di bawah Hitler menyerang Eropa, dan Jepang menyerbu Asia.

Tahun 1942, Jepang datang ke Indonesia. Dalam tiga bulan, Belanda menyerah. Banyak rakyat Indonesia awalnya menyambut Jepang sebagai pembebas, karena mereka datang dengan slogan “Asia untuk Asia.” Namun kenyataannya tak lama kemudian, Jepang juga menindas rakyat dengan kerja paksa, romusha, dan kekerasan militer. Tapi di balik penderitaan itu, semangat kemerdekaan justru tumbuh. Jepang tanpa sadar membuka jalan bagi bangsa Indonesia untuk bersatu dan belajar mengatur diri sendiri.

Pada masa inilah, tokoh-tokoh nasional seperti Soekarno, Hatta, dan Sutan Sjahrir mulai menyusun rencana kemerdekaan. Ketika Jepang akhirnya menyerah kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945, kesempatan emas itu datang. Dua hari kemudian, pada 17 Agustus 1945, di sebuah rumah sederhana di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, Soekarno dengan suara tegas membacakan:

“Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.”

Teriakan “Merdeka!” menggema ke seluruh penjuru negeri. Dunia yang telah berabad-abad menguasai Nusantara akhirnya melihat lahirnya sebuah bangsa baru — Indonesia.

Namun kemerdekaan bukan akhir perjuangan. Belanda berusaha kembali melalui agresi militer. Dunia menyaksikan pertempuran di Surabaya, Yogyakarta, dan banyak kota lain. Tapi rakyat Indonesia bertahan. Hingga akhirnya, pada tahun 1949, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia secara resmi.

Sejak saat itu, Indonesia menjadi bagian dari panggung dunia yang terus berubah. Dunia memasuki Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, sementara Indonesia berdiri di tengah, mengusung politik bebas aktif dan menjadi pelopor Gerakan Non-Blok pada 1955 bersama India, Mesir, dan Yugoslavia.

Perjalanan panjang dari zaman batu, kerajaan, kolonialisme, hingga kemerdekaan menunjukkan satu hal: dunia dan Indonesia berjalan beriringan dalam sejarah. Dunia melahirkan ide-ide besar tentang kebebasan, sementara Indonesia membuktikan bahwa kebebasan sejati diperjuangkan dengan darah dan tekad.

Kini, berabad setelah peradaban pertama lahir di tepi sungai, dan delapan puluh tahun setelah proklamasi dikumandangkan, Indonesia terus menulis babak-babak baru dalam sejarah dunia. Dari peradaban kuno sampai zaman digital, dari kerajaan hingga republik, jejak waktu terus berlanjut. Dan di tengahnya, manusia masih mencari hal yang sama seperti ribuan tahun lalu — arti dari kemerdekaan dan kemanusiaan.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Sejarah
Cerpen
Jejak Waktu: Dari Dunia yang Bangkit hingga Nusantara yang Merdeka
kaylene
Novel
Bronze
Maya
sukadmadji
Novel
Dahlia Merah di Penghujung Abad
tuhu
Novel
The Villainess is Acting Weird!
Cloudland
Novel
Bronze
Udah Jangan Nikah Dulu, Nanti Aja Nikahnya
Okhie vellino erianto
Novel
Gold
Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto
Mizan Publishing
Novel
Bronze
Sajak Kelam Para Terbuang
Temu Sunyi
Novel
Akar Randu, Debu dan Kisah-Kisah Pilu
Ferry Herlambang
Novel
Takdir Hatiku
Siska meysyana
Novel
Bronze
GEGER BUMI SINGASARI
Sri Wintala Achmad
Novel
Bronze
THE RESISTANCE
Muh Fitra Armadani Suryana S
Novel
Bronze
One Time
PANA
Novel
Tawarikh Nusantara - Kitab Kedua: Gema Sriwijaya
Kingdenie
Novel
Bronze
Badai Kupu-Kupu
Sarah lufiana
Novel
Bronze
Dua Bunga
JI
Rekomendasi
Cerpen
Jejak Waktu: Dari Dunia yang Bangkit hingga Nusantara yang Merdeka
kaylene