Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1: Bayangan di Pinggir Kota
Angin malam menusuk tulang Arka yang kedinginan, menyapu helai-helai rambutnya yang lengket oleh peluh. Di hadapannya terhampar jalanan sepi, gelap gulita kecuali di bawah pendar rembulan yang samar. Sebuah bisikan serak menampar telinganya, "Mereka sudah mati." Arka mengerjap, mencoba fokus. Tangannya terasa lengket, basah, dan kental. Dia mengangkatnya, melihat cairan merah pekat yang menutupi kulitnya—darah. Panik seketika menyerbu, jantungnya berpacu bagai genderang perang di dalam rongga dadanya. Di depannya, tergeletak lima sosok tak bernyawa, berserakan di aspal. Siluet mereka membaur dengan kegelapan, namun Arka mengenali mereka. Wajah-wajah familiar itu, yang seharusnya mengisi hari-harinya, kini membeku dalam kebisuan abadi. Ayahnya, dengan kemeja flanel kesukaan. Ibunya, dengan senyum lembut yang kini pudar. Kakak perempuannya, adiknya, dan si bungsu… mereka semua ada di sana, tanpa bergerak.
"Tidak... tidak mungkin," gumam Arka, suaranya tercekat di tenggorokannya. Ia mencoba meraih salah satu dari mereka, tangannya gemetar hebat. Namun, sebelum sentuhan itu terjadi, pandangannya kabur. Siluet-siluet itu menghilang, lenyap seperti embun di bawah terik matahari. Arka terhuyung mundur, napasnya tersengal. Jalanan itu kembali kosong, aspalnya kering, tidak ada noda darah, tidak ada mayat. Hanya dia, berdiri sendirian di tengah keheningan mencekam.
Ini bukan yang pertama kali. Halusinasi seperti ini telah menghantuinya selama beberapa bulan terakhir. Awalnya hanya bayangan samar, bisikan-bisikan aneh yang menghilang saat ia mencoba menangkapnya. Namun, belakangan ini, ilusi itu semakin nyata, semakin detail, semakin mengerikan. Ia bisa merasakan dinginnya aspal di bawah telapak tangannya, bau amis darah yang menusuk hidungnya, bahkan kebekuan yang memancar dari tubuh-tubuh tak bernyawa itu. Setiap kali, ia terbangun dengan napas terengah-engah, tubuh bermandikan keringat dingin, dan perasaan bersalah yang menghimpit dada.
Arka mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanyalah mimpi buruk. Sebuah produk dari pikirannya yang lelah, mungkin stres, atau kurang tidur. Dia bekerja sebagai desainer grafis lepas, sering begadang menyelesaikan proyek, dan jadwalnya memang tidak teratur. "Ini cuma mimpi, Arka. Sadar," bisiknya pada dirinya sendiri, mencoba mengusir sisa-sisa kengerian itu. Namun, kata-kata itu terasa hampa, tak mampu menembus ketakutan yang mengakar.
Di siang hari, Arka mencoba menjalani hidup normal. Ia pergi ke kedai kopi langganan, menyapa barista, duduk di sudut favoritnya dengan laptop. Ia berusaha fokus pada pekerjaannya, pada desain-desain yang harus ia selesaikan. Namun, di tengah-tengah garis vektor dan palet warna, bayangan-bayangan itu mulai muncul. Sekilas, ia melihat bayangan ibunya melintas di kerumunan, atau mendengar tawa adiknya dari balik meja di seberang. Ia akan meno...