Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
JEJAK MALAM
Aku meramu, menjamu itulah pandangan orang-orang terhadapku. Tidak tahukah, darah kering di tanganku lebih bisa menghardik ucapan yang lebih tajam? Tidak aku pikirkan, dan aku melanjutkan berkendara pulang sambil melihat orang terkapar di bawah gelap langit tanpa bulan.
“Tidak malukah kamu dipandang hina?!” Teriakan wanita tua di balik pintu mengganggu sedikit ketenanganku lagi.
Teriakan itu, yang selalu kudengar setiap hari, bisa kukatakan adalah sarapan pagi yang mengenyangkan. Aku tidak pernah peduli dengan teriakan wanita pengacau itu, dan melanjutkan mengarungi lorong-lorong mimpi sambil mendengarkan musik favoritku sampai tertidur pulas.
Kubuka mata perlahan, melihat jendela tidak terasa hari sudah beranjak petang. Berapa lama aku tertidur? Apakah tidurku begitu pulas? Lalu, kenapa tidak ada suara setan meraung yang biasanya membisingkan? Apakah wanita itu pergi? Kenapa di luar seperti angin sore menyapu tenang ketika aku bangun? Tidak kuhiraukan, bukan urusanku. Mungkin lidahnya sedang rehat. Aku berjalan ke kamar mandi dengan linglung.
Wajah itu terpampang di kaca semakin hari semakin indah mendayu. Tatapan seperti senja yang membius lembut, tapi tidak bisa diartikan. Siapa yang sangka, dengan paras seelok ini bisa menjadi hewan buas yang siap menerkam kapan pun? Bibir merah buah ceri yang penuh teka-teki; ketika bersandung, hanya dia yang bisa menafsirkan.
“Sepertinya buruan semalam tidak begitu menarik,” aku melengos untuk membersihkan badanku.
Semakin malam, tempat ini bukannya sepi tetapi semakin berisi. Ketika di jam-jam malam yang biasanya diperuntukkan untuk orang-orang bermimpi dari penatnya hari yang bising, aku justru memilih untuk duduk di sini, dengan segelas wine di tanganku yang siap membakar tenggorokan.
“Di tempat ini, tempat kehidupan yang sesungguhnya.”
Aku melihat sekeliling. Lampu-lampu redup menyisir tubuh-tubuh yang lupa jalan pulang di balik dentuman musik, di antara asap rokok dan aroma alkohol yang menjadi satu. Wanita-wanita ini begitu liar memainkan tubuhnya. Baju indah berbalut, memamerkan setiap lekukan nafsu. Di sini, mereka menari bukan karena bahagia, tetapi untuk bertahan hidup di dunia yang tidak pernah benar-benar tidur ini. Gelap bukan musuh di sini, justru itu pelindung bagi yang mau menjual cahaya tubuhnya.
“Apa kamu selalu terlihat semisterius ini, atau hanya saat kamu tahu sedang diperhatikan?” suara berat tapi tak memaksa menyapu gendang telingaku.
Di balik bayang-bayang lampu yang berkedip seperti detak jantung yang tak tenang, seorang pria dengan jaket hitam setengah terbuka berdiri di sampingku, memamerkan dada sedikit telanjang, dengan tangan yang memegang gelas setengah kosong. Aroma parfum bercampur alkohol dan napas pendek di udara membuat ruang ini terasa lebih sempit. Tatapannya tidak melompat, tapi menelisik, memetakan lekuk bahasa tubuh, membaca diam seperti puisi berdarah.
“Nama bukan hal pertama yang perlu kau tahu dariku,” kini dia sersuara dengan senyum tipis yang nyaris seperti luka.
“Karena yang akan kau ingat nanti… bukan itu.”
Seperti biasa, lelaki memang suka datang memangsa wanita yang terlihat lemah. Aku belum bersuara sedikit pun, tetapi tatapan lelaki ini begitu menelisik terhadapku. Sudah terlihat dari tatapan liarnya ke mana mata itu tertuju.
“Berhentilah menatap begitu lama, aku takut hatiku menyahut tanpa izin,” ujarnya lagi.
“Berisik sekali... Berhentilah mengganggu. Kau mau apa?” Aku sangat tidak bergairah malam ini untuk menyahuti orang-orang.
“Kau terlihat seperti menunggu sesuatu atau seseorang ?”
“Atau mungkin aku hanya duduk. Dunia tak selalu punya makna dibalik diam,kan?”
“Diam tak pernah netral, Nona. Apalagi di tempat seperti ini. Kau diam, tapi bajumu berteriak.”
“Dan kau mendekat, seolah yakin ingin ditemui.”
“Aku tak yakin… Tapi aku lebih takut menyesal karena tidak mencoba, daripada ditolak oleh seseorang yang tak percaya akan kebetulan.”
Memang, mulut laki-laki paling lihai untuk memberikan bisa.
“Jadi ini soal keberanian? Atau Cuma kebosanan?”
“Malam ini panjang. Aku taky akin aku bisa membedakan keduanya.”
“Kalau begitu, apa yang kau cari?”
“Buka napa. Siapa . Dan mungkin…sedang berdiri tepat di depanku.”
Aku sangat malas menanggapi. Tapi daging segar tidak pernah tidak menggairahkan. Kenapa harus dilepas? Mungkin dia ingin menjadi pemuas hasratku malam ini. Tubuhnya cukup jenjang, perawakan tegas, kulit putih bersih—seperti seseorang yang hanya bekerja melalui suara telepon genggam saja. Sayang sekali, orang ini terlihat sedikit berwibawa. Terkecuali, di tempat ini semua hanya topeng palsu belaka. Tapi aku tidak peduli dengan kehidupan seseorang seperti apa. Berani menyapa artinya berani bermain bersamaku. Melihat tubuhnya yang begitu bersih tanpa goresan, bagaimana kalau aku sedikit lebih mempergagah tubuhnya? Membayangkannya saja sudah membuat darahku mengalir deras. Aku sudah membayangkan begitu banyak imajinasi di dalam kepalaku.
“Kau meneliti tubuhku seperti malam meneliti bintang—diam-diam, tapi penuh hasrat.”
“Sepertinya kau memang memiliki kepercayaan diri yang tinggi, Tuan.”
“Matamu tidak bisa berbohong akan hal ketertarikan.”
Aku sudah sangat jenuh. Lelaki ini tak henti-hentinya memandangku. Apakah aku terlihat seperti uang yang bisa membutakan manusia? Waktu terasa berjalan pincang, dan lelaki di sampingku masih seperti orang gila. Apakah dia benar-benar mabuk minuman? Tapi reaksinya seperti orang yang sudah menelan obat. Tak bisakah dia berhenti tersenyum? Rasanya aku sudah ingin mendaratkan kepalan tangan di wajahnya. Tapi biarkan saja dia berimajinasi, karena aku suka melihat orang tersenyum sebelum merintih.
“Malam ini cukup panjang, seperti jam pasir yang enggan menetes.”
“Pecahkan saja jamnya, tak perlu menunggu.” Aku sangat tidak suka basa-basi dalam hidupku. Aku lebih suka bekerja dengan cepat—kecuali mengukir.
“Jadi, kau mau bersamaku di malam ini?” sambil tersenyum seperti bulan sabit, dia tak henti-hentinya memandangku.
“Apa yang aku dapatkan kalau ikut bersamamu? Kepuasan hasrat atau sekadar permainan jejak yang tak ingin kuingat?”
“Bukan hanya kepuasan, tapi sedikit kegilaan kecil yang membuat kamu tak akan lupa akan pertemuan kita, Manis.”
Sepertinya dia ingin, atau mungkin sangat ingin. Sebenarnya malam ini aku tidak ingin bermain, karena baru saja membersihkan tubuhku dari cairan-cairan itu. Tetapi, sepertinya laki-laki ini mau menyerahkan tubuhnya dengan sukarela. Tak apa, aku suka mengoleksi. Bagiku, anjing manis yang datang sendiri lebih nikmat untuk dijadikan santapan. Baiklah, aku akan menuruti keinginannya.
Aku sedikit mencondongkan badanku ke dekatnya, dengan sedikit membusungkan dada. Kubius tatapan ini. Di balik jaket hitamnya, perlahan dengan abstrak kubelai dadanya. Jariku dengan lihai menari di atas kulit bersihnya. Bau parfumnya tak bisa menutupi alkohol dari mulutnya. Kurasakan adanya bergemuruh riuh, dengan mata yang melotot. Seperti dugaanku, dia seperti permainan yang menarik. Pintar berbicara tapi takut beraksi.
Dia memegang tanganku. Perlahan, dia mendekatkannya pada bibirnya. Matanya terpejam sambil mengecup punggung tanganku. Sungguh memuakkan melihat hal-hal seperti ini. Apakah dia berpikir ini remaja yang sedang dimabuk cinta? Sangat membuang waktu berhargaku.
“Kau mau memberikan ruang untuk orang melihat keintiman ini?” Masih dengan menggenggam tanganku, dia tersenyum. Tapi itu sangat palsu di mataku.
“Tentu saja tidak. Tubuh ini terlalu berharga untuk dijelajahi banyak orang.”
Dia berbicara seolah-olah dia seorang yang masih bersih dan suci. Sangat naif. Memasuki tempat ini saja sudah membuktikan seperti apa diri kita. Memuakkan. Tapi tak apa, kemunafikan adalah hal yang paling aku sukai dari lawan. Matanya begitu membius seperti jarum yang siap ditancapkan pada luka.
“Mari menjamah dunia bersamaku dan rasakan kenikmatan, sampai akhir menutup mata.” Kubius pandanganku padanya.
Aku tersenyum, memandang jakun rupawan ini. Betapa nikmatnya apabila jari lentik ini kita mulai dari sini, terus menjamah ke dada sampai perut. Permainan klasik, tapi aku suka.
“Kau sepertinya sudah tidak sabar, Nona. Seperti halnya basa-basi sudah tidak semenarik pakaianmu.”
“Bukannya kau yang ingin memulai duluan, Tuan? Jadi, mari selesaikan. Aku sudah tidak sabar.”
Di ruangan dengan pencahayaan yang minim, menambah kesan menawan. Aku selalu suka tempat remang seperti ini daripada tempat yang penuh cahaya matahari. Memikirkannya sudah membuat kulitku terasa menjalar api. Kulihat lelaki itu masih di bilik kamar mandi. Apa yang dia lakukan selama itu? Dia bilang membersihkan diri sebentar, tapi kenapa seperti orang yang mau mensucikan diri? Tapi tidak apa, biarkan saja. Aku memang lebih suka bermain dengan barang bersih, walaupun pada akhirnya akan bersimbah cairan.
“Kau sudah lama menunggu, Nona?” Akhirnya dia keluar sambil tersenyum, dengan handuk putih yang melilit hingga pusar. Aku sedikit terkesiap melihat badannya yang begitu atletis. Mungkin dia suka berolahraga. Tapi itu berhasil membuat mataku bulat sempurna. Aku terkesima, tapi hanya sebentar saja. Demi menutupi kegilaanku yang sudah menggebu-gebu, aku mencoba menetralkan ekspresiku.
“Tidak lama dan tidak cepat. Kau memang sedikit peka. Aku sudah tidak sabar, jadi cepatlah kemari.” Aku melambaikan tanganku dan menepuk pinggiran kasur.
“Sepertinya kau memang tidak sabaran, Nona.” Dia berjalan mendekat ke arahku, dengan mempertahankan senyum manis.
Aku ikut tersenyum melihatnya. Biarkan saja bibir itu merekah menggila, sampai nanti akhirnya kau merintih meminta selesai.
“Mari kita mulai, Tuan. Biarkan aku memimpin permainan ini.” Aku memulai dengan membelai tangannya, perlahan menyapu halus, lembut, seperti kain di atas permukaan kulit bayi. Permainan ini tentu saja sudah sangat kuhafal, apalagi menaklukkan lawan demi mencapai permainan yang memuaskan. Perlahan tapi pasti, aku mulai merangkak untuk mendekatkan keintiman ini. Seperti yang diharapkan, lawan mulai lengah. Kudekatkan bibirku ke tengkuknya. Dia sedikit menggeliat. Aku semakin naik dan mendekatkan bibirku ke telinganya, sedikit melirik, dan dia mulai lengah.
“Selamat datang di permainanku, kaparat,” bisikku dingin. Senyum tipis mengembang di wajahku. Dengan satu gerakan cepat, jarum tajam itu kutancapkan tepat di sisi lehernya. Dia terperanjat, matanya membelalak, tubuhnya mulai kehilangan kendali. Tapi tenang saja, ini bukan untuk membunuh, hanya melumpuhkan. Karena kalau bicara soal mengakhiri nyawa… itu tugasku, dan tak akan aku bagi dengan siapa pun.
“Apakah kau sudah sadar, Tuan?” suaraku pelan sambil menatapnya. Dia perlahan membuka matanya. Pandangannya masih belum fokus. Pandangan liar yang penuh kebingungan.
“Sialan! Apa-apaan ini? Apa yang kau rencanakan dengan ini?” Dia berteriak lantang dengan suara serak. Ternyata suara aslinya begitu berisik dari yang kukira. Dengan kepala yang masih linglung, dia mencoba melepaskan ikatan tangan dan kakinya. Tapi sayangnya, lawan yang sudah kutangkap tidak bisa semudah itu lepas dari perangkapku.
“Seperti kemauanmu, Tuan… Aku hanya ingin bermain denganmu saja. Oh ya, sebelumnya, perkenalkan aku Malaka.” Nada suaraku ringan seperti anak kecil yang ingin bermain. Aku menatapnya sambil tersenyum lebar, menatap matanya penuh dengan kebingungan dan rasa takut. Dia masih kesusahan bergerak dengan tangan dan kaki yang terkunci rapat.
“Malaka?” Kebingungan sangat terpancar dari sorot matanya, mencoba mengingat dan mengenali. Tapi tak menemukan apa-apa.
“Ya, Malaka. Lebih jelasnya, ‘malaikat kematian’. Sebenarnya aku tidak mendahului Tuhan. Aku hanya membantu Tuhan untuk mempercepat seseorang kembali kepada Tuhan.” Dengan bilah pisau yang mulai menggores pelan, sangat pelan, hingga meninggalkan goresan nyaris sempurna di pipi putih mulusnya. Sayang sekali muka setampan ini harus merasakan sentuhan pisau kesayanganku.
“Muka seteduh dan setenang ini, ternyata bisa berpikir melakukan ini.” Dia meringis. Tubuhnya menegang, tapi matanya tak pernah tunduk. Di saat sedang merintih menahan sakit, dia masih bisa berbicara tenang juga. Sangat menarik.
“Aku hanya benci terhadap laki-laki yang hanya melihat wanita sebagai hasrat pemuas nafsu. Apakah kau berpikir semua wanita itu barang yang sedang dilelang?” Sedikit menekankan ujung pisau ke dadanya. Darah mulai merembes sedikit demi sedikit. Melihat ekspresi kesakitannya… ah, betapa memuaskannya. Membuat hasratku semakin menggebu untuk melanjutkan permainan ini.
“Kau yang menyerahkan diri padaku, Tuan, dan ingin bermain, bukan? Ya, permainan seperti ini yang kuinginkan. Permainan menuntaskan hasrat nafsuku.” Aku menggambar pelan pada setiap lekuk tubuh ini, seperti pelukis andal. Darah segar yang mulai mengalir, aromanya menelusup dengan sangat anggun melewati hidungku. Hangat dan manis. Rasanya seperti kehidupan yang kembali hadir. Benar-benar hidup.
“Kau iblis jalang!” Dia masih mencoba berteriak kencang. Tapi bagiku, itu hanya sebuah alunan suara kucing. Keadaannya semakin lemah, tetapi itu semakin membuatku bergairah memperdalam permainan pisau ini. Seperti seorang seniman, ukiran-ukiran yang cantik di atas badan telanjang menjadi sebuah mahakarya. Ini obsesi yang kudamba. Bukan cinta, tapi gairah melukis dengan darah.
“Aku bukan iblis. Biar kuperjelas, aku, Malaka. Terakhir, ucapkan selamat tinggal kepada dunia, Tuan Revan.” Titik terakhir napasnya. Dan kuselesaikan permainan dengan kutancapkan pisau di kepalanya. Sempurna. Di tempat di mana manusia berpikir. Merusak otak adalah kepuasan tersendiri bagiku, dan sebagai identitas kematian manusia berotak sampah.
“Angkat manusia berotak hina ini ke bagasi mobilku.”
Melihat hasil karyaku, mayat yang tergeletak di bawah langit malam yang kelam, cukup memukau. Ukiran bulan sabit di dada bagian kiri, sebagai makna bahwa malam tak pernah usai dan waktu akan terus bergulir seperti mestinya.