Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Jejak Lembut di Lantai Gelap
2
Suka
1,056
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Aluna lahir tanpa pernah mengenal seperti apa sosok ayah kandungnya. Kata ibunya, pria itu pergi bahkan sebelum sempat menatap wajahnya. Sejak saat itu, seluruh hidup Aluna hanya berpusat pada ibunya satu-satunya orang yang ia kenal sebagai rumah.

Namun sejak kehadiran Damar, ayah tirinya, semua berubah. Setiap malam, Aluna hafal ritmenya: Damar biasanya masih terjaga di ruang tamu, dengan rokok menyala dan televisi menyala nyaris tanpa suara menyisakan keheningan yang justru mengintimidasi. Setiap langkah terlalu keras bisa jadi panggilan. Setiap bunyi tak seharusnya terdengar bisa menjadi awal dari interogasi, tatapan mengancam, atau sentuhan yang membuat bulu kuduknya berdiri. Ruangan itu terasa seperti jebakan, setiap sudut adalah mata yang mengamati, siap menghancurkan ketenangan sesaatnya.

Dulu, sebelum ibunya menikah lagi, rumah mereka sempit tapi hangat. Sebuah rumah yang dibangun dari tawa dan nyanyian. Ibunya suka menyanyikan lagu-lagu lawas sambil mencuci piring, suaranya mengisi setiap sudut, menciptakan melodi kehidupan yang harmonis. Lagu-lagu itu adalah pengantar tidur Aluna, pengobat luka di lututnya, dan pengingat bahwa kebahagiaan itu ada, meskipun kini hanya tersisa sebagai kenangan yang menyakitkan.

“Luna, kamu suka menari ya?” tanya ibunya dulu, saat ia ketahuan menirukan tari di televisi. Mata Aluna berbinar. Ada kebahagiaan murni yang terpancar dari ekspresi polosnya.

Aluna mengangguk malu-malu, menyembunyikan wajahnya di balik tangan kecilnya. “Iya, Bu. Tapi jangan bilang siapa-siapa.”

“Kenapa?” ibunya terkekeh kecil, tak mengerti beban yang sudah Aluna rasakan, betapa rentan jiwanya saat itu.

“Soalnya... takut diketawain Ayah.” meninggalkan jejak kekecewaan dan keraguan di hati kecilnya.

Wajah ibunya sempat berubah, senyumnya memudar sesaat, tapi hanya sekejap. Sebuah keraguan, sebuah penyesalan yang tak terucap. “Kalau kamu suka, lakukan saja. Nggak perlu minta izin siapa pun,” katanya, suaranya kembali meyakinkan, sebuah janji perlindungan yang sayangnya tidak bisa ia tepati selamanya. Janji yang kini menjadi kekuatan Aluna untuk terus melangkah, sebuah bisikan penguat dari masa lalu.

Ada tekad baru dalam diri Aluna, ia harus mewujudkan impiannya dari kecil, setiap ayunan lengannya, sebuah pemberontakan yang perlahan tumbuh, sebuah api yang menyala di tengah kegelapan. Gerakan-gerakan yang dulu hanya untuk dirinya, kini menjelma menjadi sebuah pernyataan. Sebuah deklarasi bahwa ia tidak akan lagi hidup dalam ketakutan, bahwa ia akan menemukan jalannya sendiri, meski itu berarti harus melarikan diri, harus berjuang sendirian di tengah badai.

Setelah Damar hadir, cahaya di rumah Aluna perlahan meredup. Ruangan yang tadinya penuh tawa kini diselimuti keheningan mencekam. Aluna mulai terbiasa tidur dengan lampu menyala dan pintu kamar terkunci dari dalam. Sentuhan tidak nyaman, tatapan yang membuat merinding, serta jeda canggung menjadi bagian dari rutinitas barunya. Rumah yang dulu tempat teraman, kini terasa seperti penjara, dengan setiap sudutnya dipenuhi bayangan yang mengancam.

***

Beberapa bulan kemudian, ibu Aluna jatuh sakit. Batuknya tak henti, dadanya sesak, dan tubuhnya terus melemah. Semakin hari, batuk itu semakin memilukan, seolah mengikis kekuatan hidupnya perlahan-lahan. Hingga suatu pagi, Aluna pulang sekolah dan ibunya meminta Aluna untuk temani mandi karena tubuhnya sudah tidak sekuat dulu. Aluna menggangguk dan membantunya berjalan ke kamar mandi, setelah itu Ibu masuk kamar, Aluna duduk di ruang tamu.

Udara terasa dingin dan menusuk, membawa firasat buruk yang mematikan, Teriakan samar terdengar dari kamar. Aluna tersentak, berlari panik, dan benar saja wanita itu, ibunya, sudah tidak berdaya, hanya tangis yang mampu Aluna keluarkan. Tak ada kata, tak ada daya. Dunia Aluna runtuh, hancur berkeping-keping di hari itu, bersamaan dengan kepergian satu-satunya pelindungnya.

Sejak saat itu, rumah hanya milik mereka berdua. Rumah yang dulunya hangat kini menjadi ruang hampa, sebuah neraka yang nyata bagi Aluna. Ia tahu, kepergian ibunya bukan hanya kehilangan sosok terkasih, tetapi juga berarti ia kini terperangkap dalam cengkeraman Damar, sendirian, tanpa ada lagi yang bisa melindunginya.

Ia mulai terbiasa pergi ke sekolah pagi-pagi, ikut organisasi, apa saja asal tidak berada di rumah terlalu lama. Sekolah menjadi tempat perlindungan, setiap kegiatan di luar rumah adalah pelarian. Melia, satu-satunya teman dekatnya, yang selalu bisa membaca sorot mata Aluna, pernah menarik tangannya,

“di Pagelaran Seni mau tampil nari, ya?”

“Nggak dibolehin,” jawab Aluna cepat, refleks.

“Siapa yang nggak bolehin? Ayahmu?”

Aluna diam. Ada kepahitan dalam kebisuan itu.

“Kalau kamu suka, ikut saja. Jangan tunggu siapa-siapa. yaa?” Melia mendorong, suaranya lembut tapi penuh keyakinan.

Akhirnya ia ikut. Diam-diam. Sebuah keputusan yang diambil dengan ketakutan, tapi juga dengan harapan yang membara. Pulang larut, berbohong kalau ada tugas kelompok. Setiap langkah pulang adalah pertaruhan, setiap kebohongan adalah upaya untuk bertahan hidup. Damar tidak bertanya. Diamnya lebih menakutkan daripada pertanyaan, karena di balik keheningan itu tersembunyi ancaman yang tak terucap. Tapi malam-malamnya jadi lebih berat. Pintu kamarnya diketuk lebih sering. Tatapan Damar lebih lama, lebih intens, menggerogoti ketenangannya.

***

Pagelaran seni sekolah semakin dekat. Aluna menjadi penari utama. Sebuah kesempatan, sebuah panggung untuk menunjukkan dirinya yang sebenarnya. Ia berlatih sampai sore, pulang malam dengan alasan rapat panitia. Melia mengajarinya teknik-teknik pernapasan agar tarian bisa lebih bertenaga.

“Kamu itu kayak bawa cerita sendiri pas nari,” kata Melia, matanya berbinar.

“Karena aku nggak bisa cerita pakai kata-kata,” Aluna menjawab pelan, mengakui kebenaran yang pahit.

Hari pertunjukan tiba. Aula penuh, udara bergetar dengan antisipasi. Lampu panggung menyala, menyoroti Aluna yang menari dalam balutan kostum abu dan perak. Gerakannya lembut namun tajam, seolah menumpahkan beban dari setiap putaran. Penonton bertepuk tangan riuh.

Di barisan depan, Damar tidak ada. Tak ada seorang pun dari rumah. Tapi Melia ada. Itu sudah cukup.

Setelah acara usai, Aluna tidak pulang. Ia duduk di trotoar taman bersama Melia. Udara malam terasa sejuk.

“Kamu yakin mau lanjut ke tempat itu nanti?” tanya Melia, khawatir.

Aluna mengangguk pelan, sorot matanya tenang. “Aku nggak akan pergi dari rumah. Tapi aku nggak akan tinggal di bawah bayangannya lagi. Aku udah hampir lulus. Setelah ini, semuanya akan berubah.”

“Kalau dia nyari kamu?”

“Biarin. Nggak ada lagi yang bisa dia ambil,” ucap Aluna penuh tekad.

Hari-hari menjelang kelulusan terasa berat, tapi juga penuh harapan. Aluna tetap tinggal di rumah, namun kini ia punya arah. Ia mendaftar ke Perguruan Tinggi jauh dari kota itu. Ia belajar dengan sungguh-sungguh, mengikuti ujian sambil tetap menari diam-diam bukan lagi untuk bersembunyi, tapi sebagai bentuk pembuktian diri.

Di kamar kecilnya, Aluna mulai mengisi jurnal kecil yang dulu selalu kosong. Ia menuliskan rencana-rencana sederhana tentang masa depannya, hal-hal yang dulu hanya berani ia simpan dalam hati. Malam itu, saat hujan turun pelan di luar jendela, ia membuka laci meja belajarnya. Di sana, sebuah piala lomba tari tergeletak diam, mengingatkannya pada mimpi lama yang nyaris padam.

Aluna menyandarkan punggungnya ke tembok, membiarkan suara rintik hujan menjadi musik yang hanya ia mengerti. Tangannya meraba ponsel di samping bantal, hari ini pengumuman hasil ujian diumumkan. Beberapa detik hening, lalu layar menampilkan satu pesan masuk. Ia lulus. Untuk pertama kalinya, masa depan terasa mungkin.

Ia menatap langit-langit, lalu berdiri. Dengan langkah pelan, ia kembali menari di lantai kamarnya. Tak ada panggung, tak ada penonton. Hanya suara hujan dan dirinya sendiri. Ia menari, bukan untuk melarikan diri, tapi untuk merayakan kebebasan yang akhirnya datang. Di tengah kesunyian malam, Aluna menemukan kekuatannya, perlahan mengukir takdirnya sendiri. Sebuah bayangan samar menari di balik tirai jendela. Bayangan itu bukan miliknya. Siapa?

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Jejak Lembut di Lantai Gelap
Astri Rahmawati Dewi
Cerpen
Bronze
Magdhalena dan Topengnya
ANINZIAH
Cerpen
Jodoh di Tangan Juragan
Dian Rinda
Cerpen
Liburan Juga Bermanfaat
LISANDA
Cerpen
Bronze
Kumpulan cerita inspiratif
Banana with Cucumber
Cerpen
Bronze
Kita & Semesta
Bintang Senja
Cerpen
Bronze
Hiraeth
Illa Fadillah
Cerpen
Beli Salah, Tidak Juga Salah
Elsa Ayu
Cerpen
Bronze
Kerja / Dikerjain?
Rolly Roudell
Cerpen
Bronze
Tubuh yang Tak Pernah Aku Pilih
JI
Cerpen
Bronze
Pendar
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Harapan
Cassandra Reina
Cerpen
Goodbye, My Cats
May Marisa
Cerpen
Waktu yang Tak Pernah Padam
Meliawati
Cerpen
Bronze
BERHENTILAH BAIK
Husni mubaroh
Rekomendasi
Cerpen
Jejak Lembut di Lantai Gelap
Astri Rahmawati Dewi