Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Sejarah
JEJAK LANGKAH
1
Suka
2,405
Dibaca

Dongeng itu dimulai lagi. Suaranya yang mengalir benar-benar ajaib. Walau tidak begitu merdu (serak malah), namun terdengar seperti denting Bethoven di telinga kami. Semakin mendekat semakin pulas pula kami di atas tumpukkan buku. Aku curiga guru sejarah kami mempunyai titisan darah seorang penyihir. Bagaimana tidak jika di setiap jam pelajarannya semua anak langusng pergi kea lam bawah sadar mereka secara spontan. Bahkan Saskia, anak yang dikenal paling pandaid an paling rajin mencatat setiap penuturan guru di kelas kami-pun kalah dengan desingan mantera-mantera pelelap yang dirapalkan oleh guru sejarah kami. Lebih anehnya lagi, meskipun huruf “z” sudah memenuhi seisi ruang kelas, namun guru sejarah kami yang lebih akrab dipanggil Mr. Sleepmaker (nama asli: Pak Gito) itu tetap mengoceh. Tentang PBB-lah, tentang VOC-lah, dan tentang dunia sejarah yang membosankan lainnya.

Selama diajar beliau aku hanya dapat mengingat 3 hal saja: kata beliau, ”Bangsa yang besar adalah bangsa yang ingat dengan sejarahnya.” Serta penuturan beliau yang lain, ”Kita tidak mungkin ada seperti ini jika tidak ada sejarah,” serta kata-kata dari presiden pertama kita,” JASMERAH (jangan sekali-kali melupakan sejarah).”

Omong kosong. Buktinya tanpa tahu sejarah-pun aku bisa terlelap senyenyak ini, kok.

“Anak-anak,” mulainya dengan suara datar yang memberi kesan kurang bergairah. “Besok kita akan mengadakan kunjungan kesejarahan ke Museum Benteng Vredeburg.“

Ruangan langusng terisi penuh dengan amplitudo-amplitudo gelombang bunyi dari corong anak-anak. Semua anak dapat dipastikan gembira mendengar pengumuman yang disampaikan oleh Mr. Sleepmaker, kecuali aku. Yap, aku yang paling tidak suka dengan pelajaran sejarah. Menurutku sejarah adalah pelajaran yang paling tidak penting di muka bumi ini. apalagi kunjungan kesejarahan yang tidak dapat dipungkiri lagi pasti berujung pada pembuatan suatu laporan dan presentasi.

Jadi aku putuskan untuk melanjutkan tidurku.

***

Bangunan itu menjulang dengan angkuh menantang langit, juga menentangku yang tdiak mungkin tidak sebal setelah tahu perjalanan study tour kami jatuh di kota tua ini, kota Yogyakarta yang penuh dengan aroma rempah-rempah. Kejadiannya sungguh cepat, hanya sepersekian detik saja tangan-tangan yang berkuku jelek itu menjulang ke atas, menjatuhkan eksekusi kepadaku yang tidak begitu suka dengan daerah ini. dan kalian tahu apa kata si Mr. Sleepmaker? beliau bilang,” pilihan tepat. Di sana tergores jutaan langkah sejarah yang elok, yang pasti tak akan pernah kalian lupakan.”

Brt! Omong kosong. Kunjungan kesejarahan memang tidak pernah dan tidak akan pernah berjalan mengasyikan bagiku. Seperti tahun lalu, Lubang Buaya menjadi saksi bisu perjalanan kami yang membosankan. Andai kegiatan ‘buang waktud an tenaga’ ini tidak masuk dalam kegiatan, sudah barang tentu aku tidak akan berdiri di sini sekarang hanya untuk memelototi bangunan kusam yang didirikan tidak kongruen itu. Museum Benteng Vredeburg.

Ini gara-gara kepala sekolah gila yang dengan bodohnya memasukkan kegiatan buang-buang waktu & tenaga ini dalam daftar kegiatan wajib tahunan di sekolah kami. Hanya sekedar info saja, bagi kalian yang sedang sibuk mencari sekolah, pastikan tidak ada kegiatan semacam ini di sekolah yang kalian pilih, sefavorit apapun sekolahannya, atau kalian hanya akan menjadi penggerutu seumur hidup seperti aku.

“Selamat datang kepada para peserta kunjungan kesejarahan di Benteng Vredeburg,” suara entah dari mana itu menari-nari di telingaku, membuatku semakin pusing dan jengkel. Apalagi setelah AC berbau aneh itu menerobos setiap pori kulitku, menggoyang-goyangkan kelenjar di baliknya, membangkitkan kembali alergiku akan apapun yang berhubungan dengan sejarah.

Remang-remang menyergap. Miniatur-miniatur kepahlawanan yang berdiri membeku menertawai setiap langkahku, membuatku ingin mengoyak setiap kungkungan kaca itu dan mematahkan leher-leher pemeran dalam diorama-diorama yang membuatku kesal. Dari dulu aku memang tidak pernah menyukai sejarah. Untuk apa masa lalu dipelajari? Bukankah ada istilah “yang lalu biarlah berlalu”? belum lagi selama ini guru sejarah yang aku temui benar-benar menyebalkan. Waktu SMP dulu gurunya baik, sih. Namun baru mengajar satu bulan sudah meninggal dan digantikan guru sejarah yang penyakit darah tingginya luar biasa. Saat di SMA ternyata guru sejarahnya sama parahnya. Jadi aku rasa tidak hanya diriku seorang yang tidak menyukai sejarah.

Untuk mengurangi kebosananku aku memutuskan untuk ‘menikmati’ pemandangan yang tidak terlalu jelek itu sembari makan bekalku. (tak kupedulikan peringatan dilarang makan disepanjang lorong). Bahkan aku memutuskan untuk melakukan tourku sendiri.

Yang paling aku ingat dari tour pribadiku ini adalah bahwa aku sangat tidak peduli dengan apapun di dalam bangunan itu. Dampaknya, sewaktu aku menyelipkan bungkus bekas cemilanku di belakang diorama secara diam-diam, aku baru sadar bahwa aku sendirian di lorong yang muram. Aku lupa bagaimana aku bisa masuk ke situ. Anehnya, ketika aku berniat untuk kembali, yang terjadi kelihatannya justru malah sebaliknya. Aku semakin masuk ke lorong yang sepi. Nafasku yang memburu memantul beradu dengan cat caramel di dinding yang mengungkungku bulat-bulat. Hawa dingin terasa lebih dingin dengan hadirnya kilau asin di sekujur tubuhku.

Ini benar-benar gila. 5 menit sebelumnya aku masih berada di kerumunan makhluk sejenisku, dan semenit berikutnya aku sudah berada di sini, sendirian.

Sedang genting-gentingnya memikirkan nasibku yang tidak jelas ini tiba-tiba terdengar dentuman yang entah apa, menggetarkan setiap lapisan udara. Aku merunduk secepat mungkin, menutupi telingaku yang gendangnya mungkin sudah terkoyak, dengan dada tertusuk-tusuk. Rasa penasaran juga menyelimuti kepalaku. Ada apa gerangan?

Bunyi ,menggelegar itu terdengar lagi, membuatku semakin khawatir dan bertanya-tanya. Aku segera melanjutkan perjalananku mencari jalan keluar.

Di tengah perjalanan aku mendapati bahwa ada orang lain di tempat ini. samar-samar aku mendengar percakapan lirih dari ruangan di dekatku. Pintunya sedikit terbuka dan kuputuskan untuk mengintip ke dalam.

Ruangan itu tampak biasa saja kecuali orang-orang yang berada di dalamnya. Seorang bule dengan pakaian militernya berdecak-decak tampak tidak puas, sementara lawan bicaranya tampak terus berbicara meyakinkan dengan bahsa yang tak kuketahui. Mungkin bahasa Belanda. Yang satu ini aku tahu betul orang Indonesia. Bahkan sepertinya aku mengenalnya. Namun karena ingatan kesejarahanku amat terbatas, maka aku tidak dapat membertikan keterangan lebih jauh lagi tentang pria paruh baya ini.

Ada pertunjukan apa ini? kok sama sekali tidak ada penontonnya?

Kuarahkan pandanganku ke sudut lain ruangan. Di balik punggung prajurit-prajurit asing itu aku dapat melihat sebuah kalender tahun 1945. Ah, pendukung alur cerita, gumamku dalam hati.

Aku menangkap sekelebat bayangan di ujung lorong, disusul kelebatan yang lain. Aku mengendap untuk memastikan bahwa mataku masih normal. Tiba-tiba pintu rungan tempat pembicaraan dua orang tadi berderit terbuka, memaksaku untuk meringkuk di tiang pemisah ruang. Walaupun begitu aku sempat melihat pria Indonesia itu melirik ke arahku penuh makna sebelum akhirnya melenggang pergi bersama kawanan orang asing yang mengawalnya.

Seperginya orang-orang itu aku kembali merayap, memastikan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Kemana perginya para pengunjung yang sering kali berdecak kagum setelah memasukkan koin ke diorama yang berkisah? Ah, bahkan diorama-diorama itu sudah hilang entah kemana. Satu lagi yang aku baru sadar. Dinding bangunan ini terasa berbeda dari sebelumnya. Aneh. Aku mulai yakin bahwa bangunan ini bukan Benteng Vredeburg yang aku kenal.

Aku menelusuri ruangan dan lorong-lorong yang sepi. Rasa takut mulai menyelimuti dadaku. Sekarang kulihat hanya sekumpulan tentara asing yang mengkudeta benteng ini. kuputuslkan untuk menanyakan pada mereka dengan bahasa Inggris yang amat kukuasai.

Baru saja aku mendekati tentara asing dengan niat mau mencari informasi ketika selongsong tangan mendekap mulutku dan menarikku bersembunyi di belakang lemari perabotan.

“Mau apa kau bodoh?!” kata orang yang membekap dan menarikku tadi. Yang kutahu dari orang ini hanya bau keringatnya yang tidak sedap, karena dalam posisi ini aku susah untuk melihat wajahnya.

“Jangan biocara kalau mau selamat!” katanya sambil menjauhkan tangannya dari mulutku. Aku segera terengah-engah.

“Ada apa ini?”

“Pst!” Pria hitam itu melirik kearah tentara asing dan berujar mengingatkan padaku, dengan suara super pelan tentu saja,” jangan keras-keras! Apa kau mau melubangi kepalamu sendiri?!”

Terengah-engah aku menunggu kelanjutannya. Tanpa membuang waktu dia angkat bicara,”Siapa kau? Sepertinya kamu orang sini, tapi kenapa kamu tidak tahu apa yang sedang terjadi?” Aku menggeleng, dan pria hitam berbibir tebal itu mendesah keheranan kemudian melanjutkan,”Kita sedang merencanakan perebutan benteng ini dari tangan Belanda. Makannya Sultan Hamengku Buwono menunda-nunda terus pembangunan benteng ini. masakan kamu tidak tahu.”

Tiba-tiba aku ingat siapa pria paruh baya yang kulihat di ruangan tadi. Tersentak dengan fakta yang baru saja kudapat aku segera bertanya,” Tahun berapa sekarang?”

“Kau benar-benar gila atau baru saja terbentur?” oceh pria berkulit malam itu. Aku menatapnya menunggu. “Sekarang tahun 1945. Sudah ingat? Dan kita sedang dalam misi penting. Jadi berhentilah bertanya yang aneh-aneh lagi.”

Jantungku serasa berhenti berdetak untuk sepersekian detik. Ini seperti mimpi saja. Aku tidak percaya kalau aku berada doi dalam sejarah!

DOR!

Terdengar letusan senapan yang membangunkanku dari ketakpercayaanku. Pria hitam di dekatku menarikku ke belakang punggungnya dan menembak si tentara asing tadi hingga tewas.

“Hei, apa-apaan kamu?!” kataku miris.

“Kita harus membunuh mereka atau mereka yang akan membunuh kita!” kata si pria hitam dengan mimi serius. “Rencana ini sudah di mulai. Siapkan senjatamu,” desisnya sembari menarikku pergi. Sepertinya dia belum tahu siapa aku.  

Benar apa yang pria berkulit kelam itu katakana. Sudah puluhan mayat menghiasi lantai dengan darah. Tubuhku kaku tak bisa bergerak. Ini sungguh konyol. Aku berada di masa lalu?

“Aku tidak mau terlibat dalam urusan ini. peduli amat dengan urusan kalian.”

“PLAK!”

Pria hitam itu langusng menamparku dan membentak,” PUTRA BANGSA MACAM APA KAMU, HAH, YANG RELA TANAHNYA DIINJAK-INJAK?!”

Kami bersitegang sebelum aku memutuskan untuk keluar dari persembunyian.

“AWAS!” teriak si pria hitam seraya berlari ke arahku.

DOR! DOR1 DOR!

Titik darahnya menempel pada pipiku sebelum akhirnya pria hitam itu mencium lantai dengan 2 lubang di dada. Tentara asing yang hamper saja merenggut nyawaku itu juga tewas di tangan si pria hitam yang roboh karena melindungiku.

“Jangan mati! Bertahanlah. Ku mohon,” erangku di sela teriakan meminta tolongku.  Tapi tak ada seorangpun yang datang.

“Jang…an…ber…teriak,” kata sipria hitam dengan penggalan nafas terakhirnya. “Bawa…pis…tol ini,” katanya dengan susah payah sebelum akhirnya benar-benar gugur sebagai pahlawan tak dikenal.

Entah kenapa airmataku tiba-tiba mengalir untuk orang yang tidak kukenal. Tiba-tiba ada sesuatu yang menelusup ke dalam dadaku, membuatku merinding. Dengan tangan gemetar kuangkat senjatanya, kutorehkan darahnya di kedua pipiku seperti Indian, kemudian kutata hatiku sambil maju melangkah ke medan perang yang sesungguhnya.

Aku menembaki semua tentara asing yang kutemui dengan brutal karena ketidak tahuanku mengoperasikan senjata dengan benar. Aku sempat tertembak di lengan kiriku. Mungkin ini detik terakhirku menghirup udara dunia ini. talk pernah kubayangkan sebelumnya akuakan mati di tahun 1945, jauh sebelum aku dilahirkan.

Samar-samar kulihat seseorang berdiri di depanku, disusul nyanyian senapan yang mengamuk.

Aku masih terjaga dalam keremangan ketika suara itu menggelegak penuh semarak dan kesenangan, mengaum melapisi dinding, lantai, dan atap-atap benteng.

“BERHASIL KITA BERHASIL!!!”

Aku juga mengangkat tanganku dengan susah payahsambil berusaha ikut berseru dengan sisa suaraku. “Berhasil.”

Aku merasa senang. Beginilah rasanya orang-orang yang berada didalam sejarah? Seharusnya aku tidak meremehkan mereka. Seharusnya aku lebih memeprhatikan sejarah kalau tahu sejarah diukir dengan tinta darah, dan dihiasi dengan bermacam-macam pengorbanan, seperti yang baru saja kulihat sendiri.

Air mataku mengalir sewaktu kelopak mataku saling bertautan.

***

“Kau sudah sadar, Nak?”

Aku mengerjap-ngerjapkan mata dan berusaha bangkit. Tangan kiriku terasa sakit sekali. Mr. Sleepmaker, maksudku Pak Gito menanyai aku dengan nada penuh kekhawatiran. Setelah sadar setarus persen tanpa dikomando aku langusng memeluk pria kurus itu dan menangis.

“Maafkan saya, Pak, tiodak pernah memperhatikan pelajaran bapak,” isakku.

“Sudahlah,” kata beliau lembut sambil mengusap-usap kepalaku. Orang-orang yang mengelilingiku bertepuk tangan riuh.

Aku tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi padaku. Yang jelas sekarang aku berada di tanah yang lembek, dan di waktu yang semestinya. Walaupun begitu masa lalu yang baru aku jalani entah dengan cara bagimana berhasil mengubah detak di dalam dada ini.

***

“Jadi begitulah. Benteng Vredeburg berhasil direbut oleh kita dengan kegigihan dan perjuangan yang tidak mudah,” kataku mengakhiri presentasi, dengan airmata menggenang di sudut-sudut mataku.

Tepuk tangan menggaung di setiap sudut kelas, dan Pak Gito tersenyum penuh makna ke arahku.

Terima kasih pria hitam. Siapapun kamu, jejak langkahmu takkan pernah kuhapus.

Nb: kalian tahu, sejak kejadian aneh itu aku bercita-cita untuk menjadi ahli sejarah paling hebat di jagat raya ini!

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Sejarah
Cerpen
JEJAK LANGKAH
Rian Widagdo
Novel
RAJAWALI ORDER
Vitri Dwi Mantik
Novel
Perempuan, Tragedi, dan Air Mata
Astuti Parengkuh
Novel
Bronze
Kala Wengi
Andita Rizkyna N
Novel
Bronze
Gwenchana Parahyangan
Silvarani
Novel
Bronze
PERMAISURI PARK
Nurul Adiyanti
Novel
Gold
Mikiran Yayat: Dari Yayat, Oleh Yayat, Untuk Rakyat
Bentang Pustaka
Novel
Bronze
Luka Mey
Flora Darma Xu
Cerpen
Bronze
Penerbang yang Tak Pernah Jetlag
Silvarani
Novel
Gold
Indonesia Poenja Tjerita
Bentang Pustaka
Novel
Bronze
Harga Dari kebebasan
Pricilia Zhany
Novel
Dosa Turunan
Tian Setiawati Topandi
Cerpen
Bronze
September di Kota Kembang
Silvarani
Flash
Unjuk Rasa; Bung kecil berhati besar
Rizky aditya
Cerpen
ENCHANTED TO MEET YOU : NORMANDIA
Safinatun naja
Rekomendasi
Cerpen
JEJAK LANGKAH
Rian Widagdo
Cerpen
Bronze
MALAM BAGI SENJA
Rian Widagdo
Cerpen
NENEK MOYANGKU SEORANG PERAUT
Rian Widagdo
Cerpen
Bronze
SOBO DAN LENDIR AJAIBNYA
Rian Widagdo
Cerpen
PEREMPUAN BAYANG KELAM
Rian Widagdo
Novel
Bronze
PADA 1000 BANGAU KERTAS
Rian Widagdo
Cerpen
MUSIM PANAS YANG PANJANG
Rian Widagdo
Cerpen
ASAP
Rian Widagdo
Novel
Bronze
MR. LAWANA
Rian Widagdo
Cerpen
BONEKA-BONEKA YANG MENARI DI MALAM SEPI
Rian Widagdo
Cerpen
Bronze
ORANG-ORANG YANG KELUAR DARI BOTOL
Rian Widagdo
Cerpen
O2
Rian Widagdo
Novel
Bronze
End in lovE
Rian Widagdo
Cerpen
Bronze
JUTAAN WAKTUKU MENUNGGUMU
Rian Widagdo
Cerpen
TANGAN-TANGAN KECIL
Rian Widagdo