Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Sejarah
JEJAK DI TANAH MAJAPAHIT
0
Suka
16
Dibaca

Jejak di Tanah Majapahit

“Kakek, apa ini?” tanya Aruna sambil mengangkat kepingan logam kuno dari tumpukan tanah kering. Ia dan kakeknya sedang membersihkan lahan belakang rumah di Desa Trowulan.

Kakek Jaya mendekat, matanya membesar saat melihat ukiran segi delapan di permukaan logam itu. “Itu… lambang Surya Majapahit,” gumamnya pelan.

“Majapahit? Yang ada di buku sejarahku itu?” tanya Aruna antusias.

Kakeknya tersenyum samar. “Bukan hanya ada di buku. Ia juga hidup… di tanah ini.”

Aruna duduk bersila di tanah. “Ceritakan, Kek!”

“Dulu, pada abad ke-13,” mulai Kakek Jaya, menatap ke kejauhan seolah melihat masa lalu, “di tanah subur Trowulan ini berdiri kerajaan besar bernama Majapahit. Raden Wijaya baru saja diangkat menjadi raja setelah mengusir pasukan Mongol. Rakyat bekerja dengan semangat, membangun pelabuhan, jalan, dan pasar.”

“Seperti membangun negeri dari nol?” tanya Aruna.

“Betul. Lalu beberapa puluh tahun kemudian, datanglah masa emas. Di bawah Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada.”

Aruna menirukan gaya pendekar. “Yang bersumpah tidak akan makan buah Palapa sebelum menyatukan Nusantara!”

Kakek tertawa. “Kau ternyata tidak hanya main gawai saja ya.”

Ia melanjutkan, “Kapal-kapal mereka mengibarkan bendera Majapahit dari Sumatra hingga Maluku. Pasar penuh rempah dan kain sutra. Anak-anak berlari di pelataran candi, para pandai besi menempa senjata. Damai, sejahtera…”

Aruna membayangkannya seperti film. “Tapi… lalu kenapa hilang?”

Kakek Jaya menarik napas panjang. “Karena manusia lupa. Saat Gajah Mada wafat, para bangsawan mulai berebut kekuasaan. Kerajaan-kerajaan kecil mulai memisahkan diri. Mereka tidak bersatu lagi.”

“Seperti teman yang bertengkar lalu pisah geng?” tanya Aruna polos.

“Kurang lebih begitu… hanya saja ini memecah seluruh negeri.” Kakek mengangguk sedih. “Dan pada akhirnya, sekitar tahun 1527, Majapahit benar-benar runtuh. Istana yang megah ditelan semak dan waktu.”

Aruna menggenggam kepingan logam itu lebih erat. “Jadi… ini peninggalan mereka? Harus kita simpan di museum ya, Kek?”

Kakek tersenyum bijak. “Boleh. Tapi lebih penting dari itu…”

Ia menepuk pundak cucunya.

“Simpan kisahnya dalam hatimu. Karena kerajaan bisa runtuh, tetapi persatuan—itulah jejak sejati yang harus kita jaga.”

Aruna menatap langit Trowulan yang memerah senja. Di kejauhan, ia merasa seolah mendengar suara dari masa lalu:

“Palapa…”

Dan hari itu, Aruna tahu—ia bukan hanya anak desa. Ia adalah penjaga cerita Nusantara.

Malam itu, Aruna tak bisa tidur. Kepingan emas Majapahit yang ia temukan siang tadi tergeletak di atas mejanya, berkilau samar diterpa cahaya bulan. Entah kenapa, ia merasakan dorongan untuk menyentuhnya lagi.

Begitu ujung jarinya menyentuh permukaannya

Cahaya terang menyilaukan.

Ketika Aruna membuka mata, ia tidak lagi berada di kamarnya.

Ia berdiri di tengah pasar yang ramai, penuh pedagang rempah, kain sutra, dan kendi tanah liat. Orang-orang memakai pakaian kuno. Di kejauhan, terlihat gapura bata merah menjulang megah.

“Ini… Majapahit?” bisiknya tidak percaya.

Tiba-tiba, seorang anak laki-laki sebaya dirinya menepuk pundaknya. “Hei! Kau dari mana? Bajumu aneh sekali!”

Aruna panik. “Aku… tersesat. Namamu siapa?”

“Jalak,” jawabnya ringan. “Aku anak pandai besi. Ayahku menempa keris untuk prajurit Majapahit. Kalau kau lapar ikut saja ke rumah!”

Mereka melewati jalan batu merah, melewati para prajurit yang sedang berlatih tombak. Jalak berbisik bangga, “Itu pasukan Mahapatih Gajah Mada! Mereka sedang bersiap menjaga pelabuhan dari perompak.”

Aruna terpukau. “Jalak… kerajaan ini besar sekali ya?”

Jalak tersenyum lebar. “Tentu! Nusantara akan bersatu semua! Kata Mahapatih, tak ada satu pulau pun boleh terpisah!”

Namun tiba-tiba, suara lonceng besar berdentang. Prajurit berteriak:

“Serangan dari laut! Semua warga berlindung!”

Jalak menarik tangan Aruna. “Cepat! Kita harus ke rumah!”

Namun Aruna justru menoleh ke arah pelabuhan. Di kejauhan, ia melihat kapal-kapal asing mendekat dengan bendera yang tidak ia kenali. Debu mulai mengepul. Prajurit Majapahit mengangkat tombak, siap bertarung.

Aruna menggenggam kepingan emas di saku celananya. Jantungnya berdetak kencang.

“Apakah ini… awal dari keruntuhan mereka?” gumamnya.

Jalak menatapnya bingung. “Apa maksudmu?”

Aruna menatapnya dalam-dalam. “Jalak… janji satu hal padaku. Apa pun yang terjadi, kalian harus tetap bersatu. Jangan bertengkar sesama.”

Jalak mengerutkan kening. “Kenapa kau bicara seperti orang tua?”

Sebelum Aruna menjawab, cahaya terang kembali menyilaukan.

Ia kembali di kamarnya. Nafasnya masih berat.

Kepingan emas itu kini bersinar hangat, seolah mengerti.

Aruna menatapnya dan berbisik:

“Aku mengerti sekarang… Majapahit jatuh bukan karena musuh luar. Tapi karena mereka lupa pada sumpah persatuan.”

Dan malam itu, Aruna bertekad:

Jika masa lalu runtuh karena perpecahan... maka masa depan harus berdiri karena persatuan.

Beberapa hari setelah kejadian itu, Aruna kembali memandangi kepingan Surya Majapahit di meja belajarnya.

“Kalau dulu aku melihat masa kejayaan…” gumamnya, “…mungkin aku juga harus melihat saat keruntuhannya.”

Dengan hati-hati, ia kembali menyentuh logam itu.

Cahaya menyilaukan.

Ketika ia membuka mata, ia tidak lagi berada di pasar yang ramai.

Ia berdiri di balairung kerajaan yang sepi dan suram. Obor-obor menyala redup. Para bangsawan tampak berbisik-bisik dengan wajah tegang. Di tengah ruangan, duduk seorang raja yang tampak murung dan tua—Hayam Wuruk.

Aruna menahan nafas. “Benarkah… itu beliau?”

Tiba-tiba, suara berat terdengar dari belakangnya.

“Siapa kau?”

Aruna berbalik. Seorang pria tegap dengan sorot mata tajam berdiri di sana, memakai pakaian prajurit dan tongkat kayu di tangan—Gajah Mada, namun jauh lebih tua dari versi gagah yang selalu digambarkan di buku.

“A-aku… hanya pengelana,” jawab Aruna gugup.

Gajah Mada menatap dalam, seakan melihat lebih dari sekadar kata-kata. “Pengelana tidak datang dari pintu cahaya,” katanya pelan. “Kau bukan dari masa ini.”

Aruna terpaku. “Tuan… Majapahit… sedang dalam bahaya, bukan?”

Gajah Mada menarik napas panjang. “Bukan bahaya dari musuh. Tapi dari dalam.”

Ia menoleh ke arah para bangsawan yang masih berdebat kecil. “Mereka tak lagi ingat Sumpah Palapa. Mereka sibuk berebut kuasa.”

“Kalau begitu… hentikan mereka!” seru Aruna.

Gajah Mada menatapnya, bukan marah, tapi lelah. “Aku sudah tua. Kata-kataku tak lagi didengar. Persatuan tak bisa dipaksakan oleh satu orang—harus dijaga bersama.”

Aruna menggigit bibirnya. Ia tak tahu harus berkata apa.

Tiba-tiba, Hayam Wuruk berdiri dari singgasananya. Dengan suara berat ia berkata, “Majapahit ini bukan milik bangsawan. Bukan pula milikku… Majapahit adalah milik rakyat Nusantara!”

Ruangan mendadak hening.

Aruna menatap Gajah Mada. “Masih ada harapan.”

Namun Gajah Mada menggeleng pelan. “Harapan selalu ada. Tapi tak selalu cukup untuk mencegah takdir.”

Ia menatap Aruna dalam-dalam.

“Jika kelak Majapahit jatuh… ceritakan pada mereka yang hidup di masa depan. Bahwa persatuan itu pernah menjadi kenyataan—dan bisa terwujud lagi.”

Aruna menahan air matanya. “Aku berjanji.”

Cahaya kembali menyilaukan.

Ia kembali ke masa kini. Duduk di kamarnya, tangan menggenggam kepingan emas itu erat-erat.

Aruna berbisik,

“Majapahit runtuh bukan karena kalah… tapi karena lupa. Dan aku tidak akan membiarkan bangsa ini lupa lagi.”

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Sejarah
Cerpen
JEJAK DI TANAH MAJAPAHIT
Aprialdo Situmorang
Novel
Misteri Si Kembar
Drezzlle Alexandar
Novel
Gold
Komsi Komsa
Falcon Publishing
Flash
Nukilan
Soerja HR Hezra
Novel
PENGARUNG WAKTU: 21 Tahun Mencari Abimanyu
Braindito
Cerpen
Pencari Kursi Suapan
Temu Sunyi
Novel
Sinkronisasi Jiwa
Adinda Amalia
Cerpen
Patung Rorojonggrang
Ridhawd
Novel
Bronze
Menikah dengan Pria yang Membenci Ibu Kandungku
Okhie vellino erianto
Novel
Malam Yang Menghapus Nama
Temu Sunyi
Cerpen
Anak Siapa Kau?
Adinda Amalia
Novel
Nona yang Ternoda
Kalam Insan
Novel
Bronze
Saat cahaya menyentuh Es
hiskiana
Cerpen
Bronze
Kepada Siapakah Berpijak?
Adinda Amalia
Novel
Bronze
Dialektika Mei
Lukita Lova
Rekomendasi
Cerpen
JEJAK DI TANAH MAJAPAHIT
Aprialdo Situmorang