Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Jejak di Tanah Banda Neira
“Pah, ini apa?” tanya Rafi, bocah kelas enam SD, sambil memungut kacamata tua berbingkai logam dari tanah di belakang rumah. Mereka sedang membersihkan kebun di tepi pantai Banda Neira, tempat angin laut selalu membawa aroma pala dan ombak kecil berdebur di karang.
Ayahnya, Pak Amir, menatap benda itu lama. “Wah, ini mirip kacamata model lama. Mungkin peninggalan zaman Belanda.”
Rafi membaliknya penasaran. “Kok di sini, Yah? Apa dulu orang Belanda juga tinggal di Banda Neira?”
Pak Amir tersenyum. “Bukan cuma orang Belanda, Nak. Di tanah ini juga pernah tinggal salah satu tokoh paling cerdas dan berani dari Indonesia—Mohammad Hatta.”
“Bung Hatta? Wakilnya Soekarno itu?”
“Iya,” jawab ayahnya sambil duduk di batu besar dekat pohon pala. “Tapi jauh sebelum menjadi wakil presiden, Bung Hatta pernah diasingkan di sini, di Banda Neira. Di tempat seperti inilah, ia menulis dan bermimpi tentang Indonesia yang merdeka.”
Rafi duduk bersila di samping ayahnya, matanya berbinar. “Kenapa dia diasingkan, Yah?”
“Karena ia berani melawan penjajah lewat pikirannya,” jawab Pak Amir. “Belanda takut pada orang yang berpikir merdeka. Mereka kira, kalau Bung Hatta dijauhkan, semangatnya akan padam. Tapi ternyata, justru di sini semangatnya makin menyala.”
“Jadi dia sendirian di sini?”
“Tidak sepenuhnya,” ucap Pak Amir lembut. “Ada juga Sutan Sjahrir dan beberapa pejuang lain. Tapi Bung Hatta berbeda. Ia tak pernah membalas kebencian dengan kekerasan. Ia melawan lewat pena, lewat ilmu. Bayangkan, Nak, malam-malam ia menulis dengan lampu minyak kecil, sementara laut bergelora di luar sana.”
Rafi memegang kacamata itu lebih erat. “Berarti... mungkin ini saksi perjuangannya ya, Yah?”
Pak Amir tersenyum. “Mungkin bukan milik beliau, tapi benda ini bisa jadi pengingat. Bahwa dari tempat terpencil seperti Banda Neira, lahir gagasan besar yang menyalakan semangat kemerdekaan.”
Rafi menatap laut yang membentang di depan mereka, seolah melihat sosok Bung Hatta berdiri di kejauhan—berkemeja putih, berkacamata, memandang cakrawala dengan tenang.
“Jadi Bung Hatta itu petualang juga, ya?”
“Benar,” jawab ayahnya. “Tapi petualangannya bukan mencari harta atau kejayaan. Ia menjelajah dalam pikirannya, menaklukkan ketakutan, dan berjuang untuk kebebasan.”
Angin sore membawa aroma laut, seakan waktu berputar kembali ke masa lalu. Di antara deburan ombak dan riuh burung camar, Banda Neira masih menyimpan jejak sang cendekiawan yang tak pernah berhenti bermimpi — Mohammad Hatta, sang petualang dalam sunyi.
Malam turun perlahan di Banda Neira. Rumah Pak Amir diterangi lampu minyak, sementara suara jangkrik bersahut-sahutan di kebun pala. Rafi masih memandangi kacamata tua yang siang tadi ia temukan. Ia merasa ada sesuatu yang belum selesai — seperti potongan cerita yang hilang.
“Yah,” panggilnya sambil menunjuk lemari tua di sudut ruang tamu, “lemari itu dari zaman kakek, kan?”
“Iya,” jawab Pak Amir. “Itu peninggalan rumah lama, katanya sudah ada sejak masa pengasingan Bung Hatta.”
Rafi berdiri dan membuka perlahan pintu lemari yang berderit. Di balik tumpukan buku-buku berdebu dan kertas lusuh, tangannya menyentuh sebuah kotak kayu kecil dengan ukiran halus di sisi-sisinya. Di atas tutupnya tertera inisial: M.H.
“Yah… lihat ini!” seru Rafi pelan.
Pak Amir segera mendekat, menatap tak percaya. “Astaga… M.H.? Bisa jadi… Mohammad Hatta.”
Dengan hati-hati, Rafi membuka kotak itu. Di dalamnya tersimpan surat tua berwarna kecokelatan, terikat pita lusuh. Hurufnya rapi dan tegas, ditulis dengan tinta hitam yang mulai pudar. Di bagian atas tertulis:
> Banda Neira, 12 Juli 1938
Untuk generasi yang akan datang…
Pak Amir mengambil napas panjang, lalu mulai membaca keras-keras:
> “Jika surat ini kau temukan, berarti waktunya telah tiba untuk mengingat bahwa kemerdekaan bukan akhir dari perjuangan, melainkan awal dari tanggung jawab.
Di pulau kecil ini aku belajar bahwa kebebasan sejati lahir dari pikiran yang merdeka — dari keberanian mempertanyakan, menulis, dan berpikir untuk sesama.
Aku tidak tahu siapa dirimu, tapi jika kau membaca ini, teruslah belajar dan berpikirlah untuk bangsamu. Sebab ilmu adalah cahaya yang tak bisa dipenjara.”
— M. Hatta
Rafi terdiam. Surat itu terasa hidup, seolah Bung Hatta berbicara langsung kepadanya dari masa lalu.
“Yah… jadi Bung Hatta benar-benar menulis ini untuk kita?” tanyanya lirih.
Pak Amir tersenyum haru. “Mungkin memang begitu, Nak. Ia menulis untuk anak-anak bangsa di masa depan—sepertimu.”
Rafi menatap laut yang tampak perak di bawah sinar bulan. Dalam dadanya tumbuh sesuatu yang sulit dijelaskan: semangat, rasa kagum, dan tekad yang baru. Ia menggenggam surat itu erat.
“Yah,” katanya pelan, “aku ingin jadi seperti Bung Hatta. Bukan cuma berani, tapi juga berpikir untuk orang lain.”
Pak Amir menepuk bahunya lembut. “Kalau begitu, petualanganmu baru saja dimulai.”
Di luar rumah, angin Banda Neira berhembus tenang, membawa aroma laut dan pala. Di antara bintang-bintang malam, seolah suara lembut Bung Hatta masih bergaung:
> “Ilmu adalah kebebasan yang abadi…”
Dan malam itu, sejarah pun kembali bernapas — melalui seorang anak kecil yang menemukan jejak masa lalu di tanah penuh makna.
Pagi itu, matahari Banda Neira memantul di permukaan laut yang tenang. Perahu nelayan melintas perlahan, dan di kejauhan, burung-burung camar menari di udara.
Rafi berjalan berdampingan dengan ayahnya menyusuri jalan setapak menuju Rumah Pengasingan Mohammad Hatta — rumah sederhana bercat putih, berdiri di antara pepohonan rindang.
“Yah, ini rumah Bung Hatta yang asli?” tanya Rafi takjub.
“Iya, Nak,” jawab Pak Amir. “Dulu di sinilah beliau menulis, membaca, dan berdiskusi dengan warga. Sekalipun diasingkan, pikirannya tak pernah terkekang.”
Seorang pria tua dengan rambut memutih menyambut mereka di depan rumah. Ia penjaga museum kecil itu — Pak Hasan, keturunan dari keluarga yang dulu membantu Hatta selama di Banda Neira.
“Selamat datang,” sapa Pak Hasan ramah. “Jarang anak seusiamu datang ke sini. Apa yang membawamu kemari?”
Rafi menunduk sopan lalu mengeluarkan kotak kayu dan surat tua dari tasnya. “Saya menemukan ini di rumah, Pak. Ada inisial M.H. dan tulisan yang sepertinya dari Bung Hatta.”
Pak Hasan memandang surat itu lama, lalu matanya berkaca-kaca. “Nak… ini bukan sembarang surat. Tulisannya mirip sekali dengan naskah-naskah Bung Hatta di museum. Lihat, bentuk huruf ‘M’-nya melengkung khas… mungkin ini salah satu salinan surat yang beliau tulis untuk rakyat di masa depan.”
Rafi tertegun. “Jadi… benar ini dari beliau?”
Pak Hasan mengangguk. “Bung Hatta sering menulis surat untuk rakyat Banda, untuk murid, bahkan untuk generasi yang belum lahir. Ia percaya, setiap anak bangsa punya tanggung jawab untuk melanjutkan perjuangan.”
Pak Amir menatap rumah tua itu dengan kagum. “Hebat ya, Bung Hatta tidak pernah berhenti menulis, bahkan saat dipenjara.”
Pak Hasan tersenyum. “Karena baginya, pena adalah senjata paling tajam. Di ruangan ini—” ia menunjuk meja kecil dari kayu jati tua, “—ia menulis tentang demokrasi, koperasi, dan cita-cita kemerdekaan. Di sinilah Indonesia dilahirkan dalam pikiran.”
Rafi mendekat. Ia mengusap meja tua itu dengan lembut, lalu menatap jendela yang menghadap laut. Dalam imajinasinya, ia melihat sosok Bung Hatta duduk di sana, menulis dengan wajah tenang, sementara angin laut meniup lembaran kertasnya.
“Pak,” tanya Rafi, “kalau Bung Hatta masih hidup, kira-kira apa yang ia harapkan dari anak-anak sekarang?”
Pak Hasan tersenyum penuh makna.
“Mungkin ia akan berkata: ‘Jangan hanya mengenang perjuangan, tapi teruskan dengan cara baru. Gunakan ilmu, kejujuran, dan kepedulian untuk membangun negeri.’”
Rafi menggenggam surat itu erat. Di matanya, semangat baru menyala—bukan hanya untuk mengetahui sejarah, tapi untuk melanjutkannya.
Sebelum pulang, ia menulis sesuatu kecil di buku tamu museum:
> “Bung Hatta, aku janji akan terus belajar, agar kemerdekaan ini tidak sia-sia.”
— Rafi, murid kecil dari Banda Neira.
Angin sore kembali berembus. Surat dari masa lalu kini telah menemukan penerusnya di masa kini.
Dan di atas laut Banda yang tenang, seolah cahaya lembut memantul dari jendela rumah tua itu — cahaya pengetahuan, cahaya perjuangan, cahaya abadi dari seorang pejuang bernama Mohammad Hatta.