Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
JEJAK DI JALAN SETAPAK
3
Suka
1,059
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Tahun-tahun berlalu seperti hembusan angin diam-diam, tanpa jejak suara. Jalan setapak itu kini berubah. Tak lagi sunyi seperti dulu. Rumput liar ditebas rapi, bangku-bangku baru dipasang, dan beberapa papan kayu bertuliskan kutipan singkat berdiri di sepanjang jalan.

Salah satunya berbunyi:

"Tak semua pertemuan harus dimiliki. Tapi setiap jejak menyimpan kisah."

Tulisan itu tampak biasa bagi mereka yang lewat, tapi bagi dia yang pernah menunggu dalam diam itu adalah penanda yang sangat pribadi. Sebuah pesan dari masa lalu yang terus bergema meski suaranya tak lagi terdengar.

Ia kini sering datang, bukan lagi sendiri, tapi kadang bersama anak-anak sekolah yang ia bimbing dalam klub menulis. Ia menceritakan tentang bagaimana kata-kata bisa menyembuhkan, bagaimana diam bisa bercerita, dan bagaimana cinta yang tak pernah memiliki tetap bisa meninggalkan cahaya.

Di setiap pertemuan, ia membawa buku catatannya. Buku itu sudah berganti beberapa kali, tapi semuanya memiliki halaman terakhir yang sama:

"Jika suatu hari kau kembali, jalan ini akan tetap ada. Tidak untuk memintamu tinggal, tapi untuk menunjukkan bahwa aku tak pernah pergi sepenuhnya."

Dan meskipun ia tak tahu apakah sosok itu pernah benar-benar membaca tulisannya lagi, ia merasa tidak perlu tahu. Karena sekarang, bukan harapan yang membawanya kembali ke jalan setapak, tapi rasa syukur.

Syukur bahwa ia pernah merasakan sesuatu yang begitu halus, begitu sunyi, namun begitu mengubah cara ia memandang dunia.

Pada ulang tahun ke-50 dirinya, ia menerima sebuah amplop tanpa nama. Isinya sederhana: sehelai foto jalan setapak itu di waktu senja, dan satu baris tulisan di belakangnya:

"Beberapa kisah tidak ditulis untuk berakhir. Tapi untuk menjadi tempat pulang bagi hati yang sabar."

Ia menyentuh foto itu lama, lalu tersenyum kecil. Tidak ada air mata kali ini. Hanya kelegaan. Bahwa meski mereka tidak berjalan bersama, arah mereka tetap bersilangan dalam satu keyakinan: bahwa rasa tidak selalu harus bersuara keras untuk menjadi nyata.

Malam itu, ia menutup buku terakhirnya. Di halaman paling akhir, ia menulis:

“Dan bila kelak kau melewati jalan ini lagi, duduklah sebentar. Tak perlu membawa bunga, tak perlu kalung, cukup diam. Karena aku mungkin sudah tak ada di sana, tapi aku selalu menitipkan rinduku pada angin yang menyapa pelan.”

Kemudian, seperti biasa, ia menyusuri jalan setapak itu satu kali lagi. Tidak untuk menunggu, tidak untuk mencari. Hanya untuk merasakan.

Dan kali ini, ketika ia duduk di bangku dekat sungai, angin datang membawa sesuatu.

Sepucuk kertas kecil yang melayang, terhenti di pangkuannya.

Ia membacanya perlahan.

"Jejakmu sudah sampai. Kini waktuku yang menyusul."

Lalu ia menatap langit. Bintang-bintang kecil mulai muncul satu per satu, seperti dulu. Seperti saat mereka duduk di bawah pohon yang kini hanya tinggal kenang.

Dan ia tahu di antara sunyi, cinta tetap hidup. Dalam cara yang tidak bisa dijelaskan, namun selalu bisa dirasakan.

Setelah malam itu, ketika selembar kertas terakhir singgah di pangkuannya, ia tidak lagi sering datang ke jalan setapak. Bukan karena lupa, tapi karena ia merasa cukup.

Namun “cukup” itu bukan berarti selesai. Karena kenangan tidak tunduk pada waktu.

Tahun-tahun berlalu. Rambutnya memutih pelan. Langkah tak lagi secepat dulu. Tapi setiap kali angin membawa bau tanah basah, hatinya kembali ke sana ke jalan setapak di mana segalanya pernah bermula.

Suatu pagi di akhir musim gugur, ia menerima undangan reuni dari sekolah lama. Ia ragu. Sudah terlalu lama tak kembali ke masa lalu yang nyata. Ia lebih akrab dengan kenangan sunyi di bawah pohon tua daripada wajah-wajah yang pernah berjalan bersamanya dalam riuh kehidupan.

Namun entah kenapa, pagi itu ia memilih datang. Bukan karena ingin bertemu siapa pun, tapi karena ingin menguji dirinya sendiri apakah ia benar-benar telah merelakan?

Di antara wajah-wajah yang mulai asing, ia melihat satu sosok yang membuat napasnya tercekat. Bukan karena sosok itu adalah orang yang pernah ia tunggu. Tapi karena mata orang itu memandangnya dengan cara yang sama lembut, tenang, seolah membawa pesan yang belum sempat dikirim.

Pria itu mengenakan jas abu-abu, langkahnya pelan, dan senyumnya samar. Ia mendekat.

“Apakah ini milikmu?” katanya sambil mengangkat sesuatu dari dalam tas kecilnya.

Sebuah pena tua. Kayu gagangnya mulai pudar, tapi ukiran di sisi sampingnya masih terlihat: satu garis bulan sabit dan huruf kecil inisial.

Tangannya gemetar. Itu pena yang dulu ia temukan di dalam kotak besi, di akar pohon yang tumbang.

“Ditemukan cucuku di pasar barang antik di kota lain,” kata pria itu. “Saya membelinya karena merasa... benda ini sedang menunggu orang yang tepat.”

Ia tak bisa berkata apa-apa. Hanya menggenggam pena itu erat. Lalu bertanya, hampir berbisik, “Apa kau tahu kisahnya?”

Pria itu hanya tersenyum. “Tidak. Tapi kadang kita tidak perlu tahu cerita lengkap untuk merasakan kedalamannya.”

Sejak hari itu, mereka mulai sering bertemu. Bukan karena saling mencari, tapi karena merasa nyaman. Mereka bukan anak muda lagi. Tidak ada harap yang mendesak atau janji yang ingin diikat. Hanya dua jiwa yang sama-sama lelah berjalan sendiri.

Suatu sore, mereka berjalan bersama ke jalan setapak. Tempat itu kini menjadi taman kecil yang dijaga warga desa. Ada papan bertuliskan: “Jejak Kenangan Jalan Setapak yang Menyimpan Cerita.”

Ia berdiri lama di bawah langit senja, lalu berkata, “Aku pernah mencintai seseorang tanpa pernah tahu namanya.”

Pria itu menoleh. “Mungkin namanya tak penting, kalau rasanya masih hidup sampai sekarang.”

Ia tersenyum. Mungkin benar. Nama bisa dilupakan, wajah bisa kabur, tapi rasa... rasa tinggal lama.

“Apakah kau menyesal tidak bertanya siapa dia?” tanya pria itu.

Ia menggeleng. “Tidak. Karena kalau aku tahu, mungkin aku akan mengejarnya. Dan bila aku mengejarnya, aku bisa kehilangan cara ini untuk mencintainya dalam diam, tanpa syarat, dan selamanya.”

Hari itu, mereka duduk lama di bangku kayu. Tak banyak bicara. Hanya membiarkan waktu lewat dengan perlahan. Seperti dulu, seperti masa yang ingin tetap tinggal.

Musim terus berganti.

Pada suatu hari, pria itu tidak datang seperti biasa. Tidak di pagi, tidak di sore. Hari-hari berikutnya pun tetap kosong. Ia bertanya diam-diam pada petugas taman, pada anak-anak yang kadang mereka ajari menulis, tapi tak ada yang tahu ke mana ia pergi.

Lalu, seminggu kemudian, sebuah bingkisan tiba di rumahnya. Tanpa alamat pengirim. Hanya secarik kertas di atasnya:

"Untuk yang pernah menunggu, kini aku giliran meninggalkan jejak terakhir."

Di dalamnya, sebuah buku kecil bersampul kulit. Di halaman pertama, tulisan tangan yang kini dikenalnya:

"Kau bukan yang kucari, tapi kau adalah tempat aku pulang. Dan itu lebih dari cukup."

Halaman-halaman selanjutnya berisi catatan. Tentang pertemuan pertama mereka. Tentang sore-sore diam yang ia pikir biasa, tapi ternyata berbekas. Tentang rasa yang tumbuh tanpa rencana, dan tentang penyesalan yang tak datang, karena semuanya telah cukup menjadi kenangan.

Ia menutup buku itu perlahan, menahan napas. Tak ada air mata. Hanya detak pelan di dada, yang memberitahu bahwa jejak itu kini sudah lengkap.

Ia pergi ke jalan setapak keesokan harinya. Kali ini sendiri. Ia membawa bunga liar dan pena tua. Ia letakkan di bangku dekat sungai, lalu menulis:

"Untuk yang pernah datang tanpa janji dan pergi tanpa pamit. Terima kasih telah memberi alasan untuk terus berjalan."

Langit senja menggulung pelan. Dan jalan setapak itu, seperti biasa, tetap diam, tetap sabar, tetap menunggu jejak berikutnya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
JEJAK DI JALAN SETAPAK
Alwais qorni
Cerpen
Bronze
Delusi
Nisa Dewi Kartika
Cerpen
Bronze
Keflavik 2020: Cinta, Curhat dan Cokelat
Rosa L.
Cerpen
Bronze
Keresahan Robin Setiap Pagi
Reynal Prasetya
Cerpen
Bronze
Sebuah Pilihan untuk Dikenang
I Putu Agus Yoga Permana
Cerpen
Bronze
Setelah Malin Menjadi Batu: Hasnah dan Debur Ombak
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Lelaki Bermata Teduh Part-5
Munkhayati
Cerpen
Bronze
Malu
Imajinasiku
Cerpen
Bronze
UANG IURAN KELUARGA
N. HIDAYAH
Cerpen
Bronze
Harapan dari Sepiring Nasi
Saifoel Hakim
Cerpen
Bronze
Andai Ayah Tak Begitu
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Tidak Benar Benar Terlihat
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Ay
Ancha Septya
Cerpen
Dari Ketinggian - Aku Mengerti Aku Tidak Mengerti
Firlia Prames Widari
Cerpen
Bronze
Mencari Cara Pulang
karyasmpitinsankamil
Rekomendasi
Cerpen
JEJAK DI JALAN SETAPAK
Alwais qorni