Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Jatuh Jauh
4
Suka
3,555
Dibaca

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, kecuali jika ada yang mencuri buah itu. Peribahasa itulah yang kira-kira paling layak menggambarkan diri ini. 

Perempuan ini, meski telah meneduhiku sejak aku belum bisa bicara sepatah kata pun, ia tetap bukanlah pohon yang aku jatuh darinya. 

Kisah ini mungkin cukup klise: tentang seorang anak yang tumbuh dewasa dan telah cukup pengetahuannya untuk menyadari bahwa orang yang mengasuhnya selama ini bukanlah betul-betul ibunya, dan lalu ia mencari tahu di mana ibu kandungnya sekarang. Pernah membaca atau menonton kisah itu? Cerita yang seru. Bersifat petualangan. Bisa mengandung misteri pula.

Iya… tapi di cerita atau film yang kamu nikmati itu tokohnya bukanlah aku.

Dan ya, aku berbohong. Bukan aku yang mengetahui sendiri fakta ini. Mamakulah yang menceritakannya ketika usiaku 25 tahun —setelah lulus kuliah dan bisa makan dengan pikiran dan keringat sendiri, lengkap dengan di mana ibuku itu tinggal (ternyata kurang seru ya ceritanya?).

Semua lamunan tadi buyar ketika seorang petugas kereta menegurku untuk berdiri dari kursi. “Maaf Mbak, bapak ini butuh duduk,” katanya sambil menunjuk seorang lelaki tua yang kira-kira berusia 66 atau 67 atau 68 tahun.

Aku segera berdiri tanpa sepatah katapun. Tak masalah, aturan dan etikanya memang begitu. Aku lalu menuju “sandaran” yang terletak persis di samping pintu komuter ini. Kuberi tanda kutip karena itu bukanlah betul-betul sandaran. Hanya sebuah dinding yang membatasi setiap baris kursi. 

Pukul 22.35, kereta masih cukup ramai. Masih ada yang berdiri, tak kebagian kursi. Tentu tidak sesesak tiga, empat, lima jam yang lalu ketika rush hour, saat-saat pulang kerja. 

Aku sendiri juga baru pulang gawe. Memang baru pulang jam segini, tadi berangkatnya siang. Aku pindah ke kantor yang sekarang ini karena jam kerjanya tak membuat aku mesti berdesak-desakan di transportasi umum. Meski gajinya lebih kecil. Dan melalui kabar dari teman yang terlebih dulu kerja di sana, ibu pimpinannya pro work-life balance dan tidak toksik.

“Sebentar lagi, kereta komuter akan sampai di Stasiun Margonda Baru. Harap bersiap-siap dan perhatikan barang bawaan, jangan sampai ada yang tertinggal.” Bunyi pengumuman dari operator memenuhi setiap gerbong kereta.

Aku bersiap-siap. Mengarahkan tubuhku ke pintu untuk siap-siap turun.

Ada banyak orang yang turun di stasiun ini. Transportasi publik utama yang mengangkut warga Depok untuk pergi bekerja di Jakarta. Makanya, stasiun dan kawasan di sekitarnya ini sangatlah besar. 

Jika dirimu berdiri di depan gerbang stasiun pada tiga, empat, atau lima jam yang lalu, tunggulah kereta datang dari arah Jakarta. Dan ketika kereta itu sampai, kau akan melihat kereta itu seperti memuntahkan ratusan peluru. Wajah-wajah lelah karena delapan jam kerja ditambah perjalanan pulang pergi yang cukup lama, yang jika kau traktir semangkuk bakso dan segelas es jeruk, akan membuat mereka teramat senang. Mereka akan lupa kalau di kereta tadi mesti menciumi bau ketek masing-masing. 

Tapi kau tak perlu mentraktir bapak-bapak yang dari wajah dan gesturnya menyiratkan ia sudah menikah dan punya anak. Percayalah, mereka lebih senang segera sampai ke rumah, menanti gadis kecilnya yang menanti, “Ayaaaah!”

Aku menempelkan kartu uang elektronik di pintu keluar. Stasiun sudah relatif sepi. Tapi masih ada beberapa kaki lima yang berjualan di depan stasiun, ada pula angkot dan tukang ojek yang menunggu. Motor yang dititipkan di parkiran pun masih banyak (termasuk motorku). Omong-omong soal itu; pedagang, tukang ojek, dan angkot, mereka mungkin akan menunggu sampai sekitar pukul satu kurang, ketika komuter terakhir melintas. Entahlah, aku tidak pernah sampai semalam itu.

Sementara jalanan yang basah sehabis hujan memunculkan genangan-genangan kecil di jalanan sekitar stasiun yang rusak. 

***

“Perempuan itu tinggal di desa, jauh di atas, di Bogor sana. Kalau dia mau mengirim WA ke mama, dia mesti berjalan ke depan sebuah sekolah dasar,” kata mama, orang tua yang mengadopsiku di mana aku tumbuh bersamanya selama ini. Mari kita bersepakat untuk memanggil “mama” dan “papah” untuk orang tua adopsiku, “ibu” dan “ayah” untuk orang tua kandungku. 

Kali pertama aku mendengar kabar itu, aku tak tau harus bagaimana. Yang jelas, aku jadi tidak banyak bicara selama satu bulan. Cukup sebentar bukan untuk ukuran kabar sebesar itu? 

Aku tidak marah, aku tidak marah pada mama. Hanya bingung. Bingung mesti bersikap apa. 

Mama, ternyata bukan orang tua kandungku. Apa signifikansinya? Beliau, bersama papah, telah merawatku selama dua puluh lima tahun ini dan memberikan segalanya untuk itu. Ternyata mereka bukan “asalku”, apakah itu penting? Apakah itu melunturkan kasih sayang yang mereka berikan selama ini? 

Apa yang disebut orang tua? Yang melahirkan kah, atau yang menumbuhkan?

Tapi, tetap ini kabar yang mengejutkan bagiku. Aku memikirkan banyak hal selama satu bulan itu. Dan aku memutuskan untuk menemuinya. Perempuan desa itu, yang usianya hanya terpaut belasan tahun dariku, yang menyerahkan bayinya saat ibuku berkampanye politik di sana. Aku akan menjumpainya. 

“Kapan kau akan kesana?” tanya mama.

“Di penghujung akhir tahun nanti. Saat liburan.”

***

Aku suka pula membayangkan bagaimana jika. Bagaimana kalau ternyata aku tetap di desa itu. Mungkin bahasaku berbeda, tak ada lu gue saat bercakap.

Lebih jauh dari itu, mungkin aku juga berakhir yang sama seperti ibuku. Nikah muda. 

Lamunanku buyar ketika roda kursiku berputar, membuatku kaget.

“Woi jangan ngelamun, dong! Masih jam kerja nih!” kata orang itu setelah menyenggol kursiku. Dia berjalan ke arah ruangannya. Menoleh pun tidak kepadaku.

Orang itu adalah anak dari pemilik sekaligus pemimpin perusahaan. Baru dua bulan belakangan ia menggantikan posisi ibunya di perusahaan karena ibunya ditunjuk jadi pejabat tinggi di kementerian.

Perempuan lulusan pascasarjana studi bisnis di Singapura itu tidak butuh waktu lebih lama untuk menjadikan suasana kerja bak neraka.

Inovasi, katanya. Perusahaan ini telah lama berjalan stagnan, baginya. Harus ada perubahan.

Mendadak pula aku tak menjadi betah di kantor ini. 

Nepo baby itu, bagaimanapun, telah menjadi gunjingan di kantin, di kaki lima depan kantor, di saat weekend manakala para karyawan hang out bareng, dan di grup WhatsApp kantor bayangan yang tak memuat orang-orang penting di kantor dan orang-orang yang berpotensi melapor ke orang-orang penting itu.

***

“Dia pikir dia siapa! Bocah fresh graduate!” kataku pagi-pagi di kantor saat masih berdua saja dengan salah seorang rekan, Ella.

“Iya. Tapi fresh graduate dari kampus bergengsi di Singapura. Master pula.” kata sahabatku itu. Aku tau dia tak serius mengatakannya, hanya ingin membangun per-gibah-an ini.

“Sama saja! Dia lulus sarjana langsung ambil pasca. Tak pernah meniti karir seperti kita. Pengalamannya paling cuma magang beberapa bulan, itupun karena mata kuliah wajib. Tahu apa dia soal kerja?” aku menimpal.

“Hahaha. Heran juga. Ibu bos sebagus itu mengelola perusahaan termasuk kita para pekerjanya. Tapi tak mampu membiarkan anaknya meniti karir dari awal, hal yang mesti ia lakukan. Anak itu tak punya pengalaman mengerjakan hal yang remeh-temeh seperti pergi ke tukang fotokopian. Apalagi pengalaman makan siang dengan bekal dari rumah karena mesti berhemat dengan gaji sedikit di atas UMR.”

“Juga tak ada pengalaman berdesak-desakan di komuter!”

“Setidaknya anak kecil itu bisa datang lebih pagi dari ibunya, bahkan lebih pagi dari siapapun di kantor ini,” tiba-tiba suara yang lain muncul begitu saja, pelan tapi menyetrum. Perempuan fresh graduate itu menatapku dingin. Lalu tak bicara apa-apa lagi. 

Sorenya aku menerima notifikasi sebuah surel masuk: SP 1. Juga untuk Ella.

***

“Lu baik-baik aja?” ujar salah seorang teman di grup WhatsApp bayangan, nomor Ella dan nomorku di-tag

“Baik-baik saja. Baru juga SP 1. Walau denger-denger kabar, kantor ini nggak pernah ngasih SP semenjak tiga tahun yang lalu. Padahal sebelum si nepo baby ketiban jabatan lungsuran, ada kejadian yang jauh lebih parah dari yang kita lakukan pagi tadi. Sial banget. Nasib.” Ella menjawab pesan itu.  

“Lagi di komuter arah balik. Rasanya aku pengen desak-desakan di kereta lagi asal gak sekantor sama cecurut itu!” aku menambahkan.

“Sabaaaar. Mudah-mudahan ada keajaiban yg menyelamatkan kantor ini.” ujar salah satu lagi.

Aku mematikan layar ponsel. Sebentar lagi pintu komuter terbuka, mempersilahkan penumpangnya keluar di Stasiun Margonda Baru. 

Aku berjalan ke arah parkiran motor sebelah utara stasiun, seperti biasa. Seorang pengemis cilik berjalan ke arahku membawa semacam ember kecil. Aku merogoh saku dan memasukkan lembaran lima ribu ke embernya. Tak ada kata terima kasih, pengemes cilik itu langsung berjalan entah ke mana. Oh, ternyata dia berjalan ke seorang perempuan paruh baya yang duduk di tanah beralaskan kain, sambil menggendong bayi.

Parkir motor ada di samping stasiun. Tapi untuk mencapai pintu gerbangnya, aku mesti berjalan sekitar dua sampai tiga menit. 

Di depan penjaga parkir aku mencari-cari karcis parkir. Tidak ada. Tadi kutaruh di kantong celana, di tempat yang sama dengan uang lima ribu tadi. 

"Maaf, Pak. Karcis parkirnya hilang."

"Ada STNK-nya, Mbak?"

"Ada, Pak." Aku mengambil STNK dari dalam dompet lalu menyerahkannya. 

"Sesuai. Tapi bayar parkirnya jadi 26.000 ya, Mbak. 20.000 untuk denda."

"Lah. Denda, Pak?”

“Iya.”

“Lah. Malah kadang-kadang saya enggak dikasih karcis. Diminta langsung masuk saja.”

“Tapi kan tadi mbaknya dikasih karcis. Ya harus kembalikan karcisnya, dong. Kalau enggak bisa, ya denda.”

“Wah, aneh. Aneh. Nggak bisa gitu dong, Pak. Dua puluh ribu tuh banyak. Mana juga peraturannya kalau karcis hilang, mesti denda? Toh, saya juga sudah membuktikan saya punya STNK-nya.”

Aku mengambil ponsel dari dalam tas dan menyalakan kamera. Mengarahkan kamera ke penjaga pos parkir. 

Aku mengulang lagi argumenku ke tukang parkir sialan ini. 

“Karcisnya hilang, disuruh denda dua puluh ribu. Padahal tidak ada aturannya. Sering juga saya nggak dikasih karcis dan tidak ada pengecekan STNK pas keluar. Ini sekali saya kehilangan karcis, disuruh menunjukkan STNK dan bayar denda. Halo, halo, jangan sewenang-wenang dong, Pak!” Aku berusaha seperti bercakap-cakap ke tukang parkir sekaligus ke warganet yang akan menyaksikan video ini. 

Aku menggerutu lantang lagi, “Nggak dikasih karcis parkir itu supaya kalian nggak perlu setoran kan? Kalian menyetor uang sesuai karcis parkir yang dirobek. Huuuu! Inilah kebiadaban organisasi preman yang menguasai lahan-lahan parkir, guys!”

 Keributan terjadi di sudut stasiun Margonda Baru yang besar ini. Pengemis cilik itu menonton dari jauh, di tangannya tergenggam uang lima ribu rupiah dan secarik kertas kecil. 

***

Tiiiiiiiiiiit! Suara klakson berbunyi keras setiap kereta komuter memasuki kawasan stasiun atau hendak melewati penyeberangan. Memperingatkan pejalan kaki, pengemudi motor maupun mobil. 

Sepuluh hari sejak SP 1. Kantor tak pernah sama lagi semenjak bos yang baru. Tak ada perubahan kembali, jika tidak lebih buruk.

Aku membayangkan lagi bagaimana jika.

Bagaimana jika mama tidak mengiyakan permintaan dua puluh lima tahun yang lalu. 

“Kami terlalu miskin. Kami sudah punya dua anak. Mbak caleg bilang anak-anak harus sekolah. Maka, tolong sekolahkan anak kami yang satu ini. Dan yang paling penting kami tak punya uang lagi untuk memberi makan. Kasian dia.” Itu kata ibuku kepada mama. 

 Ibu punya niat yang baik, begitu juga keikhlasan mama menerima aku yang belum genap satu tahun kala itu. 

Tapi… bagaimana jika aku tetap tinggal di desa itu. Meski tak sekolah, atau tak menerima asupan yang baik. Ah, barangkali itu juga kekhawatiran yang berlebihan dari ibu. Aku mungkin akan tetap sehat sebagaimana orang desa miskin pada umumnya. Dan aku akan tetap sekolah meski tidak kuliah apalagi masuk UI, tidak bisa bahasa Inggris, dan hanya membaca buku-buku dari penerbit tidak jelas di perpustakaan kecil sekolah dasar —limpahan dari perpustakaan daerah yang telah memperbarui koleksi. 

Aku akan jadi gadis kampung biasa, menikah di usia belasan akhir atau awal dua puluhan. Membuka kios kecil di depan rumah, bergantian jaga dengan suami. Paling banter, suamiku perangkat desa. Hidup sederhana di desa dengan masalah yang sederhana pula.

Rasanya aku ingin segera libur akhir tahun. Menjumpai mereka, ibu dan ayah.

Masih setengah perjalanan, lantai kereta basah-basah karena di luar hujan. Tak mungkin melarang penumpang hanya karena alas kakinya basah. 

“Maaf Mbak, bapak ini butuh duduk.” Petugas kereta memintaku mengalah.

Aku langsung berdiri. Dan seperti biasa, mencari sandaran. Sial, tak ada. Terpaksa aku berdiri saja, memegang handgrip yang menggantung di sepanjang gerbong kereta. 

Kereta sampai di Stasiun Margonda Baru. Aku membuka tas untuk mengambil payung. Langit masih menyisakan gerimis.

“Permisi. Apakah mbaknya bernama Arum?”

Aku menoleh. Itu bapak-bapak yang “mengambil” kursiku tadi. 

“Iya, betul. Bapak siapa?”

Pria tua yang kira-kira berumur 66 atau 67 atau 68 tahun itu terdiam. Aku bingung. Lama dia menatapku. Dan dia terlihat gugup. 

“Saya Faruq. Kita terakhir bertemu langsung sekitar dua puluh lima tahun yang lalu.”

Aku tahu. Tahu sekali nama itu. Mama pernah menyebutkannya, bahkan memperlihatkan foto KTP-nya. Aku menatap matanya, mata yang kukenal selama ini setiap bercermin.

Sekarang giliranku yang terdiam. Masih menatapnya. Pakaian beliau parlente. Berdasi. Jam tangan mahal. Sepatu pantofel hitam mengkilat. Tanpa ransel seperti karyawan rendahan pada umumnya. Dengan usia segitu, masih dengan pakaian kantoran yang elit, mustahil dia bukan pemilik atau petinggi perusahaan.

“Ini ibumu. Dia tak sabar bertemu denganmu.” Ia menunjukkan foto di layar ponsel, sebuah senyum yang kukenal selama ini setiap mengambil selfie. Foto yang berkualitas baik sekali dari ponsel yang kutahu berharga belasan juta. Ibu juga memakai pakaian rumahan yang parlente.

Tak ada lagi “desa” tersisa dari tampilan ayahku, juga dari ibu di foto itu. 

Tiba-tiba aku ingin berlari sejauh mungkin. 

Aku tidak bisa berandai-andai lagi, bagaimana jika.[]


Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@chika : Terima kasih apresiasinya. Terima kasih juga telah membaca :)
Seruu ❤️
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
Certainties
S. F. Hita
Cerpen
Di Balik Sebuah Fitnah
Hendra Wiguna
Cerpen
Jatuh Jauh
Muhammad Ilfan Zulfani
Novel
Bronze
Pelangi Pengganti
Nu
Novel
SANG PEMIMPI
Fahrul Fazhri Alvedro
Cerpen
He's Not My Boyfriend!
Angeline Kartika
Cerpen
Bronze
PELARIAN
Iman Siputra
Flash
Mempelai Perempuan
Joshua Vincentius
Novel
(Bukan ) Aku Menolakmu
Monica Melinda
Flash
Bronze
Icing Cookies Rena
Fidiya Sharadeba
Novel
Gold
Cinta dalam 99 Nama-Mu
Republika Penerbit
Flash
Ruang dan Waktu Membuat Kita Terhenti
Lita Soerjadinata
Cerpen
Bronze
Lentera Jiwa
White Blossom
Novel
Bronze
Mahar Untuk Deevika
Imajinasiku
Flash
Percakapan Dua Ikan Kecil
Fatimah Ar-Rahma
Rekomendasi
Cerpen
Jatuh Jauh
Muhammad Ilfan Zulfani
Flash
Buku Puasa Dhoni
Muhammad Ilfan Zulfani
Cerpen
Bocah Pecandu Lem
Muhammad Ilfan Zulfani
Cerpen
Dua Puluh Enam Makam Tanpa Nama
Muhammad Ilfan Zulfani
Cerpen
Kisah Maling yang Tolol
Muhammad Ilfan Zulfani
Flash
Mesin Waktu
Muhammad Ilfan Zulfani
Cerpen
Perihal Nama Bapak
Muhammad Ilfan Zulfani