Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Langit malam Jakarta kembali menampakkan wajah glamornya: penuh lampu, riuh kendaraan, dan jejak-jejak manusia yang seolah tak pernah tidur. Di sudut sebuah kosan sederhana yang menghadap jalan sempit, Kelly duduk sendirian di balkon kecil. Gitar tuanya terletak di pangkuan, jari-jarinya memetik pelan senar yang mulai berkarat. Di sampingnya, puntung rokok menumpuk dalam asbak. Kaos hitam tanpa lengan yang melekat di tubuh kurusnya menyempurnakan kesan lelaki muda yang tengah bergulat dengan hidup.
Malam itu, pikirannya sedang kalut. Setelah magrib, ponselnya berdering.
“Bang… Mamak sakit. Dokter bilang, Mamah harus segera operasi,” suara adiknya terdengar panik di seberang.
Kelly terdiam beberapa detik. “Demi Tuhan…” Nafasnya tercekat. “Oke, Dek. Abang cari pinjaman dulu ya. Nanti abang kirim. Salam buat Mamak, maaf abang belum bisa pulang.”
Setelah telepon ditutup, Kelly sibuk menghubungi teman-temannya satu per satu. Ada yang menolak. Ada yang mengingatkan soal utang lama yang belum dibayar. Sebagian lagi bahkan tidak menjawab. Saat dia hampir menyerah, sebuah telepon masuk.
“Itung-itung nebus dosa ke kau, Kel. Jaga Mamak baik-baik. Gak usah dibalikin duitnya, simpan buat kau bertahan hidup.” Itu dari Frankie, teman SMA-nya yang dulu membencinya, sekarang sudah menjadi seorang pengacara.
Air mata Kelly menetes. “Makasih, Frank. Nanti kalau udah punya duit, aku ganti.”
“Udah. Jangan banyak omong Kau.” Teleponnya dibalas singkat dan percakapan berakhir.
Tak lama setelah dana ditransfer, Kelly mengambil gitarnya. Di teras kos, dia menyanyikan lagu Raim Laode dengan suara pelan namun penuh perasaan. Bagi Kelly, musik bukan sekedar hobi, melainkan tempat untuk meluapkan segala bentuk emosi yang tak bisa ia ucapkan.
Dari kecil, Kelly memang berbakat. Ia sering menang lomba menyanyi dan saat SMA, ia membentuk band bernama Ankara bersama tiga temannya. Mereka tampil di berbagai kedai kopi dan panggung festival. Namun setelah lulus, band itu bubar. Yance kuliah di Jogja. Yosep ikut ayahnya jadi tentara. Kelly dan Ferdinan memilih ke Jakarta. Awalnya mereka bekerja di coffee shop yang sama, tapi Kelly dipecat hanya karena warna kulitnya tak secerah Ferdinan.
Kini, Kelly bekerja sebagai cleaning service di sebuah perusahaan. Pekerjaan kasar tak membuatnya malu. Yang penting baik, sebagaimana pesan Mamak sebelum ia merantau lima tahun lalu.
Sayangnya, hidup tak seindah lagu-lagu yang ia tulis. Penyakit Mamak yang kian parah membuat Kelly sering kehilangan fokus. Ia beberapa kali dimarahi karena temperamen buruk. Syukurlah, atasannya masih memberinya kesempatan. Tapi tekanan dan olok-olokan di tempat kerjanya kian menjadi. Ia sering dihina karena warna kulitnya. Gajinya pun dipotong hanya karena membela disaat dirinya di olok-olok. Kelly mulai tidak nyaman dan ingin segera keluar. Tapi, ia juga bingung ingin bekerja dimana lagi.
Sampai pada suatu malam, telepon dari Ferdinan memberinya opsi baru.
“Kel, ada lowongan satpam di klub malam. Gajinya lumayan.” Awalnya Kelly ragu. Ayahnya merupakan tokoh agama di kampungnya. Artinya, jika ia ketahuan, ia pasti akan kena marah besar. Pun demikian dengan mamaknya.
Tapi, hidup tak bisa selalu ideal. Ia butuh uang. Mamak butuh operasi.
Tiga hari kemudian, ia pun datang ke klub malam itu.
“Seragammu di atas. Jaga pintu depan, awasi tamu yang masuk. Kalau ada yang rusuh, langsung keluarkan,” ucap Jackson, atasannya.
Awalnya, semua berjalan lancar. Sebulan, dua bulan, hingga tiga bulan, ia bekerja tanpa cela. Di bulan keempat, ia diangkat menjadi kepala staf karena kepala sebelumnya ditangkap polisi akibat kasus narkoba.
Meski penampilannya tak menarik perhatian, Kelly dikenal ramah. Ia sering melerai perkelahian, membantu perempuan mabuk pulang dengan selamat, dan tak pernah sekalipun menyentuh alkohol. Tapi justru karena itu, ia menjadi bahan olokan bagi teman-temannya.
“Hei kau, Hitam. Masa kau kerja terus? Gabunglah, minum sama cewek-cewek cantik itu,” goda seorang staf sambil tertawa.
“Aku kerja di sini, bukan mabuk-mabukan,” jawab Kelly tegas.
“Kaku kali kau ini. Belum ngerti budaya Jakarta, ya Kau? Chill, dulu lah.”
Kelly hanya diam. Tapi ejekan demi ejekan itu terus datang.
Hingga malam itu tiba. Sebuah penggerebekan mendadak dari kepolisian mengacak-acak klub tempatnya bekerja.
“Angkat tangan kalian!” teriak salah satu petugas.
Kelly kaget. “Pak, ada apa ini?”
“Cepat angkat tanganmu, atau kami akan bawa ke kantor!”
Kelly mencoba menjelaskan. “Saya cuma satpam di sini, Pak. Tolong bicara baik-baik.”
“Dia menghalangi proses, Ndan!” teriak polisi lain.
“Bawa dia!”
Kelly berontak. “Saya cuma bertanya, Pak! Lepaskan saya… Lepaskan!”
Namun semuanya sudah terlambat. Ia digiring paksa ke mobil polisi.
Keesokan harinya, berita soal penangkapan jaringan pengedar narkoba di klub malam itu tersebar luas. Tujuh orang ditangkap – empat di antaranya satpam. Salah satunya, Kelly.
Kabar itu sontak menggegerkan keluarganya. Banyak yang tak percaya. Kelly bukan anak nakal. Ada yang menyayangkan, ada yang membela, dan ada yang hanya bisa diam dalam kaget.
Dalam gelap sel penjara, Kelly duduk termenung. Dunia hiburan, gemerlap malam, musik, semuanya tiba-tiba terasa jauh. Yang tersisa hanya sunyi dan rasa bersalah. Entah pada mamaknya, pada dirinya sendiri, atau pada dunia yang tak pernah memberinya cukup ruang untuk sekadar bernapas sebagai manusia.
***
Setelah satu bulan mendekam di balik jeruji, akhirnya jelas sudah Kelly dinyatakan tidak terlibat dalam sindikat pengedar narkoba. Namun, ia tetap harus menjalani hukuman. Tuduhannya: melanggar aturan saat proses penggerebekan. Vonis pun dijatuhkan dengan enam bulan penjara.
Beberapa hari setelah putusan itu, ayahnya datang menjenguk. Tatapannya tajam, namun sorot matanya menyimpan kesedihan yang tak bisa disembunyikan. Kelly, yang biasanya keras kepala, mendadak rapuh. Ia menunduk, memohon ampun, dan mengungkap semua alasan mengapa ia harus bekerja di klub malam itu, termasuk demi pengobatan Mamak.
Sang Ayah mendengarkan tanpa banyak bicara. Ia menerima pengakuan itu dengan kepala dingin, walau ada luka yang belum sepenuhnya bisa ia terima. Akan tetapi, waktu kunjungan yang singkat membuat pertemuan itu terasa menggantung.
Sebelum pulang, sang Ayah menatap Kelly dalam-dalam, lalu berkata dengan suara tegas tapi penuh kasih, “Kau jaga diri baik-baik. Jangan sampai berulah macam-macam lagi.”
Kabar tentang penangkapan Kelly pun sampai ke telinga Mamak. Perempuan renta itu nyaris tak percaya, tapi sang Ayah menenangkan. Ia bilang bahwa semua ini hanyalah kesalahpahaman yang akan berlalu. Meski ia bisa saja menuntut balik demi nama baik, sang Ayah memilih tidak melakukannya. Ia ingin Kelly belajar dari pengalaman, bukan dengan cara dihukum lebih berat, tapi tumbuh menjadi pribadi yang lebih bijak.
Suatu hari, Ferdinan datang menjenguk. Dengan wajah penuh penyesalan, ia mengungkapkan permohonan maafnya. Kelly memang sempat menaruh amarah, bagaimanapun, Ferdinanlah yang merekomendasikan pekerjaan itu. Tapi ia tahu, temannya itu bukan orang jahat. Mereka hanya sama-sama korban keadaan. Kelly tak butuh lama untuk memaafkan. Ferdinan juga sudah mengenalnya terlalu baik, tahu betapa mudahnya Kelly tersulut emosi, tapi juga tahu hatinya akan tetap hangat.
“Meskipun orang di luar sana banyak yang gak suka sama kau, aku tetap bangga jadi sahabatmu,” ucap Ferdinan sambil memeluk Kelly. “Cepat keluar. Kita bikin band lagi!”
Kata-kata itu menyalakan sesuatu dalam diri Kelly. Semangat yang lama padam, perlahan menyala kembali. Malam-malam di balik jeruji pun dihabiskannya menulis lirik. Mengurai keresahan yang selama ini terpendam dalam sunyi.
Enam bulan berlalu. Hari kebebasan pun tiba.
Ferdinan menjemputnya dan langsung membawanya ke kontrakan Yance. Kini Yance sudah lulus dari studinya, sedang melanjutkan sekolah profesi advokat dan mengambil S2 di Jakarta. Saat mendengar kabar Kelly keluar penjara, ia langsung mengajaknya bertemu.
Begitu Kelly turun dari motor, Yance menyambutnya dengan senyum lebar.
“Hei, kau jagoan. Apa kabar?”
Kelly tertawa sambil memeluknya, “Sudah sukses kau rupanya. Aku? Gini-gini aja ini.”
Tawa mereka pecah. Hari itu, ketiganya tenggelam dalam nostalgia dan cerita. Kelly pun jujur soal masa kelam yang ia alami. Tak ada yang menghakimi. Hanya pelukan dan pemahaman. Sampai akhirnya, Yance melempar sebuah pertanyaan.
“Kau habis ini mau ngapain, Kel?”
Kelly terdiam sejenak. “Gatau aku, Ce. Pengen balik aja rupanya. Udah pesimis sekali aku di perantauan.”
“Hadeh, masa jagoan pesimis?” sela Ferdinan, diiringi tawa mereka bertiga.
Yance menatap Kelly serius. “Tapi kau masih mau main musik? Masih ingin jadi penyanyi hebat seperti cita-citamu dulu?”
Kelly menghela napas. “Pengennya sih begitu, Ce… tapi kau kan tau, aku udah gak punya apa-apa lagi.”
Yance menepuk pundaknya. “Hei, kau masih punya kami. Masih ada Ankara. Dan kalau kau mau jadi musisi, aku kenal produser musik yang lumayan terkenal. Gak usah bayar. Sebut aja namaku.”
Kelly menatapnya tak percaya. “Serius kau, Ce?”
“Untuk apa aku bohong?” jawab Yance, tersenyum. “Kalau butuh tempat tinggal, pakai saja kamarku yang belakang. Daripada dihuni hantu, mending dihuni sama kau.”
Kelly dan Ferdinan saling berpandangan dan mengangguk.
“Oke. Aku terima tawaranmu, Ce. Aku bakal buktiin kalau aku masih Kelly, si bintang musisi itu!” ucap Kelly penuh semangat.
Enam bulan setelah bebas, kabar baik datang dari kampung. Mamaknya sudah sembuh. Operasinya sukses. Kelly menangis diam-diam malam itu, kali ini bukan karena sedih, tapi karena lega.
Selama setengah tahun terakhir, ia tinggal di kontrakan Yance. Ferdinan memutuskan resign dari kedai kopi dan kini bekerja sebagai koordinator acara di perusahaan event. Kelly sendiri bertugas menjaga toko pakaian milik Yance.
Di sela kesibukan, mereka kembali membuat musik. Lirik-lirik yang ditulis Kelly selama di penjara, kini dibantu oleh kedua sahabatnya. Liriknya diberi nyawa oleh petikan gitar Ferdinan dan diproduksi apik dari kenalan Yance.
Di bulan ketujuh, lagu pertama Kelly dirilis di platform musik Indonesia. Judulnya: "Jatuh dalam Pelukan" sebuah lagu indie yang menjadi cerminan luka, perjalanan hidup, dan harapan. Lagu itu bercerita tentang jatuh, tentang kehilangan, dan tentang tangan-tangan yang memelukmu agar bangkit lagi.
Tak disangka, pada bulan kesebelas, lagu itu viral. Masuk jajaran top chart Spotify: musisi lokal, pendatang baru, hingga indie rising star.
Dalam sebuah wawancara, Kelly berkata,
“Lagu ini dibuat untuk semua orang yang pernah jatuh dan merasa sendirian. Tapi sebenarnya, cinta, sekecil apapun bentuknya, punya kekuatan untuk membangkitkan. Jangan pernah remehkan pelukan dari orang-orang yang mencintaimu, karena cinta selalu tahu jalannya pulang.”