Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Langit Bogor sore itu berwarna kelabu, sama kelabunya dengan semangat Faiq. Dari jendela kamar kosnya di lantai dua, ia bisa melihat rintik hujan pertama mulai jatuh, menato aspal jalanan dengan bintik-bintik gelap. Di layar laptopnya, kursor berkedip-kedip di halaman ke-73 dari draf skripsinya. Berkedip-kedip, mengejeknya. Seharusnya ia bersemangat, karena hanya tinggal satu langkah lagi menuju gerbang kelulusan. Seharusnya.
Tapi Faiq tidak merasakan apa-apa selain kelelahan yang meresap hingga ke tulang. Tiga semester terakhir hidupnya telah direnggut oleh pandemi, mengubah riuh rendah koridor kampus dan tawa di kantin menjadi keheningan kamarnya yang berantakan. Ambisinya yang dulu membara kini padam, menyisakan abu penyesalan dan kebosanan yang dingin. Setiap malam, ia merasa seperti hantu di dalam pendidikannya sendiri, hadir dalam bentuk kotak digital di layar Zoom, tapi jiwanya melayang entah di mana.
Malam itu, jam di dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Ia memutuskan untuk begadang di perpustakaan pusat kampus, mencoba memeras sisa-sisa inspirasi terakhirnya. Namun, hasilnya nihil. Pikirannya buntu. Yang ia inginkan sekarang hanyalah kasurnya yang reyot dan melupakan sejenak beban di pundaknya.
Ia berjalan keluar dari gedung perpustakaan yang megah, menuju gerbang utama. Udara malam terasa dingin dan lembap. Jalanan di dalam area kampus sudah sepi, hanya diterangi beberapa lampu taman yang cahayanya tampak enggan. Ia membuka aplikasi ojek online di ponselnya, memesan tujuan ke alamat kosnya.
Layar aplikasi menampilkan peta, mencari pengemudi di sekitarnya. Lingkaran pencarian itu berputar dan berputar, tanpa henti. Satu menit. Lima menit. Tidak ada satu pun pengemudi yang mengambil pesanannya. Ia mencoba aplikasi lain, hasilnya sama saja. Di layar peta, ia bisa melihat ikon-ikon motor para pengemudi yang aktif, namun semuanya tampak menjaga jarak aman dari area kampusnya, seolah ada medan magnet tak terlihat yang menolak mereka masuk. Ia tahu alasannya. Tidak ada yang mau masuk ke jalanan kampus yang gelap dan diapit pohon-pohon beringin besar itu pada jam selarut ini.
Faiq menghela napas, rasa putus asa yang dingin mulai merayapinya. Ia sudah pasrah, bersiap untuk berjalan kaki hampir satu kilometer ke jalan raya utama. Saat ia hendak memasukkan ponselnya ke saku, layarnya tiba-tiba berkedip. Bukan notifikasi biasa. Sebuah pop-up aneh muncul di layarnya, dengan desain yang minimalis dan berwarna hitam-putih.
“Jasa Ojek Hantu – Aman, Cepat, Tanpa Macet. Butuh tumpangan?”
Di bawahnya ada dua tombol: “Ya” dan “Tidak”.
Faiq mengerutkan kening. Aplikasi apa ini? Ia tidak pernah menginstalnya. Mungkin semacam iklan malware. Tapi ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Di bawah tombol “Ya”, ada tulisan kecil.
“Tarif: Gratis.”
Gratis. Kata keramat bagi mahasiswa tingkat akhir yang hidupnya bergantung pada mi instan. Rasa penasaran dan putus asa mengalahkan kewarasannya. Toh, apa ruginya? Paling-paling hanya prank. Ia menekan tombol “Ya”.
Layar ponselnya berubah menjadi hitam, hanya menampilkan sebuah peta sederhana dengan satu titik motor yang bergerak mendekat dengan kecepatan tak masuk akal. Tidak ada nama pengemudi, tidak ada plat nomor. Hanya tulisan: “Pengemudi sedang menuju lokasimu.”
Kurang dari satu menit, dari ujung jalanan kampus yang gelap, terdengar suara knalpot yang halus. Sebuah motor matic berwarna hitam kusam berhenti tepat di depannya.
Pengemudi itu duduk tegap di atas motornya. Ia mengenakan jaket lusuh tanpa logo dan helm hitam yang menutupi seluruh wajahnya. Sosoknya tinggi, tapi ada sesuatu yang aneh dari posturnya. Kaku.
“Mas Faiq?” suaranya terdengar berat dan sedikit bergema dari dalam helm, seolah berasal dari sebuah sumur yang dalam.
“Iya, Bang …” jawab Faiq ragu.
“Saya Danu,” kata pengemudi itu. “Silakan naik.”
Faiq naik ke boncengan, sedikit ragu. Jok motor terasa dingin sekali, lebih dingin dari udara malam. Saat ia duduk, ia bisa melihat wajah Bang Danu dari pantulan kaca spion. Kulitnya pucat pasi, seperti kertas.
Motor melaju dengan kecepatan konstan. Tapi perjalanan itu terasa sangat aneh. Jalanan utama Bogor, Jalan Pajajaran, yang seharusnya masih ramai pada jam selarut ini, tiba-tiba menjadi lengang. Hanya ada motor mereka dan beberapa mobil di kejauhan. Lampu-lampu dari ruko dan papan iklan di pinggir jalan tampak lebih redup dari biasanya, warnanya seolah memudar.
Yang paling aneh adalah suaranya. Suara knalpot motor mereka yang seharusnya memecah keheningan, justru terdengar teredam dan menggema, seolah mereka sedang melaju di dalam sebuah terowongan panjang yang tak terlihat. Tidak ada suara klakson, tidak ada deru mesin dari kendaraan lain. Hanya sunyi.
“Cepat juga ya, Bang. Nggak macet,” kata Faiq, mencoba memecah keheningan yang menyesakkan.
“Saya tahu jalan pintas,” jawab Bang Danu singkat.
Dalam waktu kurang dari sepuluh menit, sebuah rekor untuk rute yang biasanya memakan waktu setengah jam mereka tiba di depan gang kos Faiq. Ia turun dengan perasaan campur aduk antara lega dan bingung.
“Terima kasih banyak, Bang,” kata Faiq sambil merogoh saku, lupa kalau tarifnya gratis.
Bang Danu hanya mengangguk. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi, ia memutar motornya dan melaju pergi, menghilang ditelan kegelapan malam. Faiq berdiri mematung sejenak, lalu mengangkat bahu. Mungkin ia hanya terlalu lelah.
Keesokan paginya, saat ia hendak membeli sarapan di warung depan kos, ia melihat kerumunan kecil. Ibu pemilik kos dan beberapa tetangga sedang berbisik-bisik dengan wajah cemas.
“Ada apa, Bu?” tanya Faiq.
Ibu kos menatapnya dengan khawatir. “Itu, Mas. Sari, anak kamar 204. Nggak pulang dari semalam. Tadi pagi orang tuanya telepon, katanya Sari nggak bisa dihubungi sejak tengah malam.”
Seorang tetangga lain menimpali. “Temannya bilang, terakhir kali Sari pamit pulang dari kafe sekitar jam dua belas malam. Katanya mau naik motor, ada yang jemput.”
Jantung Faiq berhenti berdetak. “Naik motor, Bu?”
“Iya. Kata temannya, motornya matic hitam. Pengemudinya pakai helm full face dan jaket lusuh. Aneh banget, katanya datangnya cepat sekali setelah Sari bilang mau pulang…”
Deskripsi itu sama persis dengan Bang Danu. Faiq merasakan hawa dingin merayap di punggungnya, lebih dingin dari jok motor semalam.
***
Faiq tidak bisa tenang. Wajah Sari, mahasiswi dari fakultas sebelah yang sering ia lihat di perpustakaan, terus terbayang di benaknya. Apakah hilangnya gadis itu ada hubungannya dengan tumpangan gratis yang ia terima?
Rasa curiganya berubah menjadi obsesi. Malam itu, ia tidak menyentuh skripsinya sama sekali. Ia membuka laptopnya dan mulai mengetik di mesin pencari: “ojek misterius bogor”, “driver aneh bogor”, “mahasiswa hilang ojek”.
Hasil pencarian teratas membawanya ke sebuah forum horor lokal di Kaskus, sebuah utas yang dibuat delapan tahun lalu namun masih aktif hingga beberapa bulan terakhir. Judulnya: “Pernah Denger ‘Ojek Hantu Bogor’?”
Faiq membaca setiap balasan di utas itu dengan napas tertahan. Puluhan cerita. Polanya selalu sama. Mahasiswa atau pekerja yang pulang larut malam, terjebak di tempat sepi, lalu mendapatkan tumpangan dari seorang pengemudi motor matic hitam yang datang entah dari mana. Para penumpang itu tidak pernah terlihat lagi. Saksi mata selalu memberikan deskripsi yang sama: pengemudi tinggi, pucat, mengenakan jaket lusuh tanpa logo dan helm hitam yang menutupi seluruh wajahnya.
Sebuah balasan dari seorang pengguna anonim membuat bulu kuduk Faiq berdiri.
“Gan, gue pernah hampir naik. Waktu itu gue lagi nunggu angkot di deket Tugu Kujang sekitar jam setengah satu malam. Tiba-tiba ada yang nawarin tumpangan, persis kayak yang diceritain di sini. Gue udah mau naik, tapi pas gue liat jam tangan gue, udah jam 01:01. Tiba-tiba si driver langsung ngegas pergi gitu aja, kayak marah. Besoknya gue baru sadar, semua cerita orang hilang di sini kejadiannya pas tengah malem, antara jam 12 pas sampe jam 1.”
Jendela waktu. Antara pukul 00:00 hingga 01:00. Faiq melihat riwayat perjalanannya di aplikasi peta semalam. Ia memesan pukul 23:45. Ia sampai di kos pukul 23:55. Ia selamat. Tapi Sari … mungkin tidak seberuntung itu.
Di halaman terakhir utas itu, seseorang memposting sebuah teori yang paling mengerikan. Teori itu disertai tautan ke sebuah artikel berita lama.
“Bokap gue polisi. Dulu dia pernah cerita, driver ojol pertama di Bogor itu meninggal kecelakaan di Jalan Pajajaran, pas banget di tikungan deket hotel. Duluuu banget, pas ojol baru-barunya ada. Katanya dia ditabrak lari pas lagi ngejar setoran. Namanya Danu Wijaya. Mungkin… arwahnya masih narik kali ya?”
Faiq mengklik tautan itu. Sebuah artikel berita dari tahun 2016. Foto Danu Wijaya yang tersenyum samar menatapnya dari layar. Wajahnya … pucat. Persis seperti yang Faiq lihat di pantulan kaca spion.
***
Akal sehat Faiq menyuruhnya untuk berhenti. Untuk melupakan semua ini, mengabaikan aplikasi aneh itu, dan tidak pernah pulang malam lagi. Tapi sisi lain dari dirinya, sisi akademisnya yang selalu penasaran, dan sisi empatinya yang terusik oleh tragedi Sari dan Danu menuntut sebuah jawaban. Ia harus membuktikannya.
Malam berikutnya, ia sengaja pulang dari kampus pukul setengah satu malam. Ia duduk di halte yang sama di depan gerbang. Dan benar saja, notifikasi itu muncul lagi di ponselnya. “Jasa Ojek Hantu. Butuh tumpangan?”
Kali ini, Faiq sudah siap. Ia menyalakan perekam suara di ponselnya, dan menyelipkannya di saku dada jaketnya, dengan lensa kamera yang sedikit mengintip keluar. Ia menekan “Ya”.
Bang Danu tiba dalam sekejap, motornya yang hitam kusam seolah menyatu dengan kegelapan.
“Kita ketemu lagi, Mas Faiq,” kata Bang Danu, suaranya yang berat terdengar familier.
“Iya, Bang. Langsung ke kosan biasa.”
Perjalanan kali ini terasa jauh lebih aneh. Begitu mereka meninggalkan gerbang kampus, Faiq merasakan udara menjadi jauh lebih dingin. Lampu-lampu jalan di sepanjang rute mereka mulai berkedip-kedip, lalu padam satu per satu saat mereka lewati. Jalanan aspal yang basah perlahan berubah menjadi jalan setapak yang diselimuti kabut tebal. Papan-papan penunjuk jalan yang tadinya bertuliskan “Ciawi” atau “Sukasari”, kini berganti dengan tulisan-tulisan aneh dalam aksara yang tak ia kenal.
Faiq mencengkeram jaketnya erat-erat. Jantungnya berdebar kencang. Ini bukan lagi Bogor.
Tiba-tiba, dari dalam kabut, muncul motor-motor lain. Puluhan, bahkan ratusan. Semuanya bergerak tanpa suara ke arah yang sama. Di boncengan setiap motor, duduk seorang penumpang dengan wajah pucat dan tatapan kosong. Mereka semua seperti arwah yang sedang diantar ke sebuah tujuan akhir. Faiq melihat seorang gadis yang mirip Sari di salah satu motor, tapi ia tidak berani menatapnya lama.
Dengan tangan gemetar, Faiq mengangkat sedikit ponselnya. Ia memberanikan diri menengok ke kaca spion motor Bang Danu, berharap bisa merekam wajahnya.
Apa yang ia lihat membuatnya menjerit.
Di dalam kaca spion, di balik kaca helm hitam itu, bukanlah wajah pucat seorang manusia. Yang terpantul adalah sebuah tengkorak hitam yang hangus, dengan dua titik api kecil yang menyala di rongga matanya yang kosong.
Faiq menjerit panik. Tanpa pikir panjang, ia mendorong tubuhnya ke samping dan melompat dari motor yang sedang melaju itu.
Ia mendarat dengan keras, terguling-guling di atas sesuatu yang terasa seperti kerikil tajam. Saat ia akhirnya berhenti, ia mendapati dirinya tidak berada di jalanan berkabut.
Ia berada di sebuah tempat yang tampak seperti terminal bus raksasa yang tak berujung, namun versinya yang terdistorsi dan mengerikan. Langit di atasnya berwarna ungu pekat tanpa bintang. Ratusan motor seperti milik Bang Danu terparkir rapi, masing-masing dengan pengemudi berwajah kabur yang menunggu penumpang. Ini adalah Terminal Bayangan.
Di kejauhan, Faiq melihat barisan penumpang yang baru saja diturunkan. Mereka semua berjalan dengan langkah gontai menuju sebuah gerbang raksasa yang memancarkan cahaya merah yang berdenyut, seperti pintu masuk ke neraka versi modern. Mereka mengantre, pasrah. Mereka tidak akan pernah bisa kembali.
Sesosok bayangan mendekatinya. Bang Danu. Ia berdiri menjulang di hadapan Faiq yang masih terduduk di tanah. Anehnya, ia tidak tampak marah.
“Kamu seharusnya sudah masuk daftar antrean itu sejak semalam,” kata Bang Danu, suaranya kini terdengar jelas, penuh dengan kelelahan abadi. “Jadwal keberangkatanmu adalah pukul 23:55. Tapi kamu masih diberi kesempatan. Sesuatu melindungimu.”
Faiq teringat sesuatu. Setiap kali ia akan pergi jauh atau pulang malam, ibunya di kampung selalu mengirim pesan yang sama:
“Hati-hati di jalan, Le. Ibu selalu doain kamu.” Doa ibunya.
“Jadi,” lanjut Bang Danu, menunjuk ke arah antrean panjang menuju gerbang merah. “Mau ikut mereka sekarang, atau mau lari?”
Sebuah pilihan. Ia diberi sebuah pilihan yang tidak dimiliki oleh Sari dan ratusan arwah lainnya.
Naluri untuk bertahan hidup mengambil alih. Faiq bangkit berdiri. “Aku … aku mau lari.”
Bang Danu hanya menatapnya. “Pilihan yang menarik. Tapi jalan keluar tidak mudah ditemukan.”
Tanpa menunggu lebih lama, Faiq berbalik dan berlari sekuat tenaga, menjauhi gerbang merah itu. Seketika, suara raungan ratusan mesin motor terdengar di belakangnya. Motor-motor hantu itu kini mengejarnya, lampu-lampu mereka yang redup seperti mata para predator di kegelapan.
Faiq terus berlari, napasnya terengah-engah, paru-parunya terasa seperti terbakar. Ia melewati pemandangan-pemandangan aneh, pohon-pohon tanpa daun, bangunan-bangunan yang separuh hancur. Ini adalah dunia di antara dunia, tempat bagi mereka yang perjalanannya telah usai.
Di tengah keputusasaannya, ia melihat secercah cahaya berbeda di kejauhan. Bukan cahaya merah yang mengerikan, tapi cahaya putih yang lembut. Ia berlari ke arah sana. Semakin dekat, ia melihat sebuah papan penunjuk jalan tua yang tergantung miring. Tulisannya samar dan berkarat, tapi masih bisa terbaca.
“KELUAR – HANYA UNTUK YANG MASIH HIDUP.”
Harapan membanjiri dirinya. Ia mengerahkan sisa tenaganya, berlari menuju papan itu. Suara motor di belakangnya semakin dekat. Ia bisa merasakan hawa dingin yang menusuk saat salah satu dari mereka hampir menggapainya. Bayangan Bang Danu kini ada tepat di sampingnya.
“Waktumu habis, Faiq!”
Saat tangan dingin Bang Danu hampir menyentuh bahunya … Faiq terbangun dengan jeritan.
Ia berada di kamarnya. Keringat membasahi seluruh tubuhnya, napasnya tersengal-sengal. Jantungnya berdebar begitu kencang seolah akan meledak. Di luar, suara azan Subuh mulai terdengar. Semuanya hanya mimpi? Mimpi buruk yang sangat nyata?
Ia meraih ponselnya yang tergeletak di samping bantal. Ia membuka galeri. Tidak ada video. Tapi saat ia membuka aplikasi perekam suara, sebuah file baru ada di sana, dibuat sekitar pukul tiga pagi. Tangannya gemetar saat menekan tombol ‘play’.
Yang terdengar bukanlah suaranya atau suara Bang Danu. Hanya ada suara statis dan deru knalpot motor yang menggema aneh, persis seperti yang ia dengar dalam perjalanannya. Ia tidak pernah menekan tombol rekam.
***
Faiq tidak pernah merasakan kelegaan yang begitu besar seumur hidupnya. Ia selamat. Pagi itu, ia langsung menghapus notifikasi aneh yang menjadi gerbang menuju mimpi buruknya. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak akan pernah pulang selarut itu lagi. Ia menelepon ibunya, suaranya sedikit bergetar, hanya untuk mendengar suaranya dan mengucapkan terima kasih.
Siangnya, ia menatap draf skripsinya. Beban yang selama ini terasa begitu berat, kini tampak begitu ringan. Itu bukan lagi sebuah tugas akhir, tapi sebuah simbol dari kehidupan yang masih ia miliki, masa depan yang hampir direnggut darinya.
Sore itu, merasa sedikit lebih baik, ia hendak memesan makanan. Ia membuka aplikasi ojek online resminya, yang berwarna hijau cerah, terasa begitu menenangkan dibandingkan aplikasi hitam-putih dari neraka itu.
Saat aplikasi terbuka, sebuah notifikasi dari sistem aplikasi itu sendiri muncul di bagian atas. Notifikasi yang seharusnya berisi promo atau diskon. Tapi isinya membuat darah di tubuh Faiq kembali membeku. Tulisannya berwarna merah menyala.
“Jasa Ojek Hantu – Anda belum melunasi perjalanan terakhir. Tagihan Anda: 1 Nyawa.”
Faiq menatap pesan itu dengan horor. Itu tidak mungkin. Ini adalah aplikasi resmi. Bagaimana bisa …
Tiba-tiba, dari luar jendela kamarnya, terdengar suara yang sangat ia kenal.
Suara motor matic hitam kusam yang berhenti tepat di depan gerbang kosnya.
Dan kali ini, Faiq tahu, pengemudi itu datang untuk menagih.