Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Jas Hujan Biru
3
Suka
1,925
Dibaca

"Ayu, bangun! Tolong anterin pesanan Ibu dulu sebentar!" Sebuah guncangan membuatku terpaksa membuka mata. 

"Apa, sih, Buu!" Aku menarik selimut sampai menutup wajah, bergulung. 

"Ayo, bantuin Ibu dulu sebentar. Habis itu terserah kamu kalo mau tidur lagi. Ibu lagi repot soalnya, gak ada yang antar. Orang yang pesan kuenya udah nungguin." Ibu masih terus mengguncang-guncang dan menarik selimut yang menutupi tubuhku. 

"Bu ... aku masih ngantuk! Memangnya Kak Cici ke mana?" 

"Aduh, Cici lagi cuti buat beberapa bulan ke depan. Dia lagi hamil muda. Ibu juga sudah rekrut orang baru, tapi hari ini dia izin masuk siang, soalnya masuk kuliah pagi." Ibu menarik tubuhku hingga terduduk. Aku mengucek-ngucek mata dengan perasaan kesal. 

"Ibu, sih, rekrut karyawan anak kuliahan. Baru masuk udah izin masuk siang, ngerepotin orang. Nanti minta gaji full, tapi kerjanya kebanyakan izin gara-gara alasan kuliah. Aku juga yang ikut repot." Aku terpaksa bangun dan bergegas ke kamar mandi sambil mencebikkan bibir dan mengentakkan kaki. 

"Ibu justru salut sama dia. Kuliah mau sambil kerja, bukan kuliah cuma buat gaya-gayaan sambil ngabisin biaya dari orang tua." 

Aku menutup pintu kamar mandi tanpa menjawab perkataan Ibu. 

"Siap-siapnya jangan lama-lama!" Samar terdengar teriakan Ibu dari luar. 

"Iya!" 

Aku bersiap secepat kilat sesuai dengan perkataan Ibu. Aku hanya memakai hoodie kebesaran dan celana jeans warna hitam. Mengoles sedikit sunscreen di wajah, mencepol rambut, lantas menyemprotkan minyak wangi. 

Setelah siap, aku keluar dari kamar dan menghampiri Ibu di lantai bawah. 

"Mana yang harus aku antar, Bu?"

"Itu udah Ibu siapin, yang di kantong plastik putih. Dalamnya juga sudah di double, biar gak basah." Ibu masih berkutat di belakang toko, menyiapkan kue-kue pesanan. 

"Alamatnya?" 

"Ibu kirim lokasinya ke ponsel kamu. Jangan lupa pake jas hujan." 

"Hah? Emang hujan?" 

"Gerimis sedikit aja, kok." 

"Yah, Ibu tega banget, sih, nyuruh aku yang cewek nganterin pesanan hujan-hujan gini. Emang enggak bisa gitu antarnya pas hujan udah berhenti?" Baru saja aku ingin membantu Ibu dengan ikhlas melihat pekerjaan Ibu yang memang menumpuk. Namun, kalau tahu hujan begini mending lanjut tidur saja. 

"Kali ini aja, Yu. Ibu bener-bener minta tolong sama kamu. Ibu lagi repot banget sama pesanan, belum bisa nganter sendiri." 

"Yaudah, mana jas hujannya?" Aku mengalah. Memang, seharusnya aku tidak mengeluh hanya karena hal sepele seperti ini. Ibu berjuang menjadi single parent untuk membuatku hidup nyaman seperti sekarang. 

Ibu mengambilkan jas hujan berwarna merah muda. Daripada jas hujan, itu hanya terlihat seperti plastik tipis berbentuk jubah panjang yang diberi kupluk di tengahnya. 

"Bu ... sobek." Aku memperlihatkan sobekan di bagian punggung jas hujan. Tidak terlalu besar, tapi cukup untuk membuat punggung basah. 

"Eh? Bolong, ya? Yaudah, karetin aja biar gak bolong. Kamu bisa sendiri, kan? Ibu mau angkat kue dulu, takut gosong." Ibu memberikan karet gelang sebelum kembali berkutat dengan oven. 

Aku mengembuskan napas pasrah, lalu menarik bagian jas hujan yang bolong menjadi satu gumpalan, lalu mengikatnya dengan karet. Itu memang efektif membuat lubangnya tertutup, tetapi bagian bawah jasnya menjadi lebih pendek karena tertarik. 

Ini memalukan, tapi mau bagaimana lagi? 

Aku pasrah, bergegas memakai jas hujan yang sudah diikat karet itu. Lantas mengambil kantong plastik putih dan menyambar kunci motor yang tergantung. 

Hujannya tidak terlalu deras, tapi jika lama-lama di luar pasti basah juga. Aku lalu berjalan ke halaman rumah di mana motor matic tua terparkir di sana, menggantung kantong plastik di motor lalu menarik gas perlahan. 

Aku sudah cukup hafal dengan daerah perumahan ini, jadi untungnya tidak perlu melihat ponsel tiap waktu untuk memastikan tidak salah arah. Namun, belum juga aku sampai di tujuan, masalah lain datang. 

Motor yang kukemudikan terasa berbeda. Lajunya terasa tersendat-sendat seperti sedang menarik gas dan rem secara bergantian dan tak beraturan. Aku hampir kehilangan kendali saat tiba-tiba motor mati. 

"Yah ... kenapa, sih, hari ini rasanya sial mulu!" Aku hampir menangis. Mencoba untuk menyalakan motor berkali-kali, tetapi hasilnya nihil, tidak hidup sama sekali. Saat aku memperhatikan, ternyata memang bensinnya kosong. 

Terpaksa aku harus mendorong motor ini sampai di pom bensin depan. Jaraknya masih lumayan jauh. Sungguh, aku benar-benar ingin menangis. Belum lagi, pelanggan Ibu mungkin saja akan mengajukan komplen karena pesanannya telat diantar. 

Sudah jelas, ini semua salah karyawan baru itu. Kalau saja dia tidak beralasan telat masuk karena kuliah, mungkin sekarang aku tidak perlu repot-repot seperti ini. 

Atau mungkin semua ini salah Ibu yang asal-asalan memilih karyawan yang tidak kompeten hanya karena kasihan dengan anak itu. Mungkin saja si karyawan baru itu mau bekerja dengan beralasan untuk tambahan uang kuliah, jadi Ibu bersimpati. 

Ah, kalau saja Kak Cici tidak cuti, aku bisa santai di rumah seperti biasanya. 

Aku memang jarang membantu Ibu di toko kue, karena memang sedang sibuk-sibuknya sekolah dan les untuk mempersiapkan ujian nasional. Aku berangkat jam tujuh pagi dan pulang jam enam sore, sedangkan toko buka jam sembilan pagi dan tutup jam tiga sore. Oleh karena itu, aku jarang sekali ikut campur urusan toko. 

Kalau pun sedang libur sekolah, biasanya banyak kuhabiskan dengan mengerjakan tugas sekolah, belajar dan tidur. Ibu juga tidak pernah protes kalau aku tidak membantunya. Aku hanya sesekali membantu Ibu saat sedang jenuh dan memiliki waktu senggang, hanya melayani pelanggan yang datang atau belajar menghias kue. Itu pun kalau soal mengantar pesanan, biasanya aku ditemani Kak Cici. 

Ketika sedang asyik-asyiknya bersumpah serapah dan mengeluhkan keadaan mengenaskan ini, sebuah ranting pohon yang ukurannya tidak terlalu besar hampir menimpaku. Aku berteriak kaget dan berusaha menghindar. 

Untungnya aku selamat, tetapi jas hujan yang kupakai tersangkut ke ranting itu dan membuatnya sobek besar. Alhasil, punggungku basah kuyup. 

"Sial bener hidup gue!" Aku benar-benar menangis kali ini, untungnya tidak ada orang yang memperhatikan sehingga aku tidak malu mengeluarkan air mata. Terlebih, hujan menyamarkannya. 

Aku tetap mendorong motor di tengah hujan dengan dada yang terasa sesak. Ibu pasti terlalu sibuk sehingga tidak memperhatikan kalau motornya belum diisi bensin. 

Kenapa semua ini harus terjadi padaku hari ini? Saat pulang nanti, aku benar-benar harus meminta Ibu untuk memberhentikan karyawan baru itu. Setidaknya dia harus tahu kalau bekerja di tempat orang itu, harus punya tanggung jawab supaya tidak merepotkan orang lain. 

"Motornya kenapa, Mbak?" Tanpa aku sadari, seorang pengendara motor telah berada di sampingku. 

"Eh ... a-anu ... ini kehabisan bensin, Mas." Aku tersenyum canggung, malu jika laki-laki yang memakai jas hujan biru muda itu melihat tangisanku. 

"Oh, yasudah. Tunggu di sini saja, biar saya carikan ke depan." Pria itu turun dari motornya dan membantuku mendorong motorku ke emperan toko yang tutup. 

"Tunggu sebentar, ya, Mbak." Lelaki itu lalu kembali ke motornya yang terparkir di tepi jalan. 

"Eh, Mas ...." 

Lelaki itu tancap gas di tengah rintik hujan yang semakin deras. Aku tidak menyangka, akan bertemu dengan orang baik yang mau menolongku, terlebih lagi tanpa basa-basi langsung bertindak menolong. Aku bahkan tidak sempat memberikan uang untuk membeli bensinnya. Akhirnya, aku duduk menunggu. 

Selang beberapa menit, pria dengan jas hujan berwarna biru muda itu kembali. Aku buru-buru berdiri menyambut kedatangannya. 

"Maaf, agak lama, Mbak. Tadi nyari wadah buat bensinnya dulu." Lelaki itu menenteng plastik bening berisi cairan hijau pekat. 

"Iya, gak papa, Mas. Makasih udah mau nolong saya." Aku membuka jok motor dan membiarkan lelaki itu mengisikan bensinnya. 

"Maaf, jadi ngerepotin." Aku merasa tidak enak hati. 

"Gak papa, saya kebetulan lewat aja, kok. Mbak mau ke mana? Hujan-hujan begini." Lelaki itu tersenyum, terdapat langsung pipit manis di balik wajah basahnya itu. 

"Ini, saya mau nganter pesanan kue. Gak lihat dulu kalau bensinnya sudah mau habis. Jadi, motornya mati di jalan." Aku tersenyum malu. 

"Oalah, lain kali kalau mau ke mana-mana memang harus cek dulu, Mbak." Lelaki itu menutup kembali jok motornya setelah menuangkan bensin ke tangki. 

"Iya, biasanya bukan saya yang nganter. Tapi, hari ini karyawan yang biasa lagi cuti, terus karyawan barunya gak tanggung jawab. Izin masuk siang, padahal baru mau masuk kerja hari ini." Aku tidak sengaja menumpahkan kekesalanku kepada lelaki itu. 

"Yang sabar, ya, Mbak." Lelaki itu terkekeh. Tawanya sangat renyah dan ringan, rasanya hangat. 

"Ini Mas, buat ganti uang bensinnya, sekalian gantiin bensin Mas buat ke pom." Aku menyerahkan sejumlah uang pada lelaki itu. 

"Gak usah. Lagian pom bensinnya deket, kok." 

"Eh, tapi uang Mas yang dipake buat bensin motor aku--"

"Udah, gak papa. Gak seberapa, kok." Lelaki itu mendekat, aku sedikit kaget karena dia terus mendekat. Dia lalu melepaskan jas hujannya, aku sedikit mundur karena takut. 

Apa dia gak mau ambil uangku karena ingin bayaran yang lain? Gawat, tidak ada seorang pun di sini selain aku dan lelaki ini. 

"Mbak, jas hujannya di buka aja." Lelaki itu dengan santainya berbicara seperti itu. 

"Eh? Ma-maksudnya?" Aku semakin takut dan berjalan mundur dengan perlahan. 

"Bukannya Mbak sekarang harus buru-buru anter kuenya, ya? Nanti kena komplen, loh. Itu jas hujan punya Mbak-nya sobek besar banget. Mendingan di buka, terus pake punya saya dulu aja." Lelaki itu merapikan rambutnya yang acak-acakan. Tenyata dia masih muda, mungkin masih kuliah di semester awal. 

"Ah, iya, kuenya!" Aku baru ingat masih ada kue yang harus diantar. 

"Ini pake. Rumah saya udah deket, kok." Lelaki itu menyerahkan jas hujan berwarna biru muda yang tadi dipakainya. 

"Eh, gak usah. Saya sudah banyak merepotkan, Mas." Aku malu jika terus-terusan menerima kebaikannya. 

"Udah, itu dipake aja. Saya duluan, ya, Mbak. Hati-hati nganter kuenya." Lelaki itu sudah lebih dulu pergi sebelum aku bisa menolak. Jas hujan berwarna biru muda itu dia simpan di atas motorku. 

Semoga saja, orang baik itu mendapat balasan yang setimpal. 

*** 

Akhirnya, aku bisa pulang. Sesampainya di halaman rumah, sebuah motor asing terparkir di sana. Aku sudah memprediksi kalau itu milik karyawan baru yang membuatku sengsara seharian ini. Sepertinya, aku akan merajuk pada Ibu dan menyindir karyawan baru itu sehingga dia merasa tidak enak hati dan tidak mengulanginya lagi. 

"Assalamualaikum." Aku berteriak, supaya Ibu tahu aku sudah pulang. 

"Waalaikumsalam. Ayu, kenapa lama banget nganter kuenya?" Ibu segera menghampiri. 

"Motornya mati gara-gara habis bensin. Mana hujan makin gede, pom bensin jauh lagi. Abis itu jas hujan yang Ibu kasih sobek, punggung aku basah semua. Untung ada orang baik yang nolongin." Aku tidak berhenti bicara. "Masih untung pelanggan Ibu mau ngertiin pesanannya telat. Ibu, sih, ngerekrut karyawan gak ada rasa tanggung jawabnya." 

Aku sengaja menaikkan nada bicaraku saat melihat seseorang mendekat. Sudah tidak diragukan lagi kalau dia adalah karyawan baru itu. 

"Ya sudah, sekarang ganti baju, terus nanti kita makan kue sama-sama." Ibu mencoba menenangkanku. 

"Bu, kue yang baru matang ditaruh di mana?" 

"Yang itu, taruh di piring aja, buat nanti kita makan sama-sama. Kebetulan semua pesanan hari ini udah beres." 

Aku menoleh, mencuri-curi pandang, ingin melihat wajah karyawan baru itu. Ingin melihat bagaimana rupa orang yang membuatku menderita. "Eh, ka-kamu, kan ... Mas yang tadi!" 

"Mbak-nya kerja di sini juga?" 

*** 

Sumedang, 13 Desember 2023

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Perlu lanjutannya 🤣
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Jas Hujan Biru
aksara_g.rain
Cerpen
Bronze
Luka di Lutut Alberto & Kisah Monogusha Taro yang Ganjil
Galang Gelar Taqwa
Cerpen
Bronze
By Your Side
Bisma Lucky Narendra
Cerpen
Impian Sang Burung
Celica Yuzi
Cerpen
Toko Buku Kecil di Kaki Bukit
Rafael Yanuar
Cerpen
Sejarah Pandemi
Athoillah
Cerpen
Bronze
ROTI ISI MATAHARI
Rian Widagdo
Cerpen
Counter Clockwise
Nida C
Cerpen
Bronze
Mendekap Surga
Trippleju
Cerpen
Bronze
Kertas Balas Kertas
Omius
Cerpen
Korban Semu
Alhuyaz
Cerpen
Bronze
Senja
Bisma Lucky Narendra
Cerpen
Bronze
Keresahan Robin Setiap Pagi
Reynal Prasetya
Cerpen
Bronze
Pukuc Kadit Odlas
Muhaimin El Lawi
Cerpen
24 Jam
Devi Wulandari
Rekomendasi
Cerpen
Jas Hujan Biru
aksara_g.rain
Cerpen
Cinta Sepanjang Durasi
aksara_g.rain
Cerpen
Diammu Bukan Emas
aksara_g.rain
Cerpen
Salah Siapa?
aksara_g.rain
Cerpen
Bronze
Balkon Lantai 4
aksara_g.rain
Novel
Black Rose
aksara_g.rain
Flash
Bronze
Gara-Gara Status
aksara_g.rain
Cerpen
Janji Kelinci
aksara_g.rain
Cerpen
Badut
aksara_g.rain
Cerpen
MONAS
aksara_g.rain
Cerpen
Rindu Suara Azan
aksara_g.rain
Novel
Yang Terkenang
aksara_g.rain