Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Januari & Anggrek
Aku melempar pena ke lantai dengan frustrasi yang sudah tak tertahankan. Sudah entah berapa kali aku menulis, mencoret, menghapus lagi, dan mulai dari awal. Kertas-kertas berserakan di mana-mana, seperti saksi bisu dari kegelisahan yang tak kunjung reda. Kata-kata yang kutuliskan tak pernah cukup, tak pernah mampu menangkap apa yang sebenarnya kurasakan.
“Kenapa gak selesai-selesai sih?” gumamku pelan, suaraku hampir tenggelam dalam keheningan kamar.
Bukan tulisannya yang membuatku frustrasi. Bukan juga karena aku tak punya ide. Tapi rasa yang menggelayut di dalam dada ini, rasa yang sudah kubiarkan tumbuh, mengakar, dan kini membusuk dalam diam. Aku bicara sendiri, padahal aku tahu tidak akan ada jawaban. Aku menangis tanpa suara, padahal tidak ada yang melihat. Tanganku gemetar saat meraba satu bagian tubuhku yang dulu menjadi saksi bisu dari sebuah keindahan yang kini hilang. Bukan karena sesak. Tapi karena hampa. Karena ada yang hilang. Tapi tak benar-benar pergi.
Lalu diam.
Dan dari diam itu, kenangan datang seperti angin dingin yang menyusup dari celah-celah jendela, membawa aku kembali pada satu bunga yang pernah tumbuh di tubuhku.
Kalian tahu, Bumi itu luas. Terlalu luas, bahkan untuk satu luka. Tapi tetap saja, ada luka yang memilih tinggal, menetap di satu tubuh saja. Di tubuhku.
Pernah tumbuh satu bunga di sana, anggrek. Tidak kupilih, tidak kupaksa. Ia tumbuh sendiri. Dengan tenang. Dengan indah. Di satu sudut tubuhku yang hanya aku yang tahu. Ia bukan hanya sekadar bunga. Ia bernapas dengan senyum-senyum pagi, disiram dengan sapaan hangat, dirawat dengan percakapan lembut yang lebih hangat dari sinar matahari.
Setiap tahun ia mekar. Selalu di waktu yang sama. Tepat ketika hujan mulai reda dan langit mencairkan kabutnya. Bunga itu tidak pernah ingkar. Mekarnya adalah ritual, semacam pertanda bahwa hidup baik-baik saja. Bahwa apa pun yang terjadi di dunia luar, tubuhku menyimpan ruang kecil yang penuh damai.
Hingga Januari datang. Tidak dengan badai, tidak dengan guntur, tidak juga dengan air mata. Hanya dengan diam dan sunyi.
Pagi-pagi itu tetap datang seperti biasa. Tapi tidak ada lagi senyum. Tidak ada lagi tangan yang menyiram, tidak ada lagi sapaan yang menenangkan kelopak-kelopaknya. Aku menunggu, seperti biasa. Tapi bunga itu tidak lagi mekar. Ia berhenti tumbuh.
Hari-hari berlalu seperti kabar buruk yang ditunda. Aku mencoba bicara pada langit-langit kamar yang berwarna coklat itu, seolah ia bisa menjawab. “Kau tahu?” bisikku lirih, “Bunga itu tak lagi bernapas.”
Langit-langit diam. Tapi dalam diamnya, aku seperti mendengar ia berkata, “Aku yang menjadi saksi. Bahwa setiap senyum yang kau terima dulu, adalah ketulusan.”
Aku tertawa. Hampa. Tawa yang tidak membawa bahagia. Pelan, tapi menusuk. Ruangan ini terlalu penuh, tapi juga terasa begitu sesak. Udara kehilangan arah. Atau mungkin, akulah yang kehilangan segalanya.
Tanganku menyentuh bagian tubuh tempat bunga itu dulu tumbuh. Perlahan, lalu erat. Kukeratkan genggamanku, berharap ada rasa. Tapi tidak ada. Tidak sakit. Tubuhku baik-baik saja. Itu yang membuatku takut.
“Apa ini? Kenapa begini?” batinku berkecamuk.
Perasaan yang tiba-tiba datang seperti badai yang mengguncang hatiku, membuat segala sesuatu terasa tak menentu dan penuh tanda tanya. Aku mencoba mencari jawaban di dalam diri, namun yang kutemukan hanya kebingungan dan kegelisahan yang semakin dalam. Setiap detik berlalu, pikiranku berputar tanpa henti, mempertanyakan alasan di balik gugurnya bunga anggrek itu. Seolah dunia di sekitarku berubah menjadi kabut tebal yang menyembunyikan arah dan tujuan, membuatku merasa tersesat dalam labirin emosi yang rumit dan tak berujung.
Bukan tentang bunga. Bukan tentang cinta. Bahkan bukan tentang manusia.
Delapan tahun. Angka itu seharusnya punya akar. Seharusnya bisa menjalar, menancap, dan tidak mudah tercabut. Tapi mungkin justru karena terlalu dalam, ia merobek dari dalam saat pergi.
Dan Januari adalah musim cabut. Tanpa aba-aba, tanpa salam perpisahan, tanpa kata selamat tinggal. Yang ada hanya ruang yang kosong, sepi yang menggema.
Aku mulai menghindari cermin. Takut kalau-kalau bayanganku bukan lagi aku. Takut kalau-kalau kelopak bunga yang dulu tumbuh dari senyumku sudah luruh semua. Tapi malam-malam tetap datang, dan tubuh ini tetap menua. Tanpa ada yang menyirami, apa pun bisa layu.
Ada malam ketika aku mencoba menulis kembali. Menulis tentang dia, tentang kami, tentang bunga itu. Tapi setiap kata berakhir di kata ikhlas. Kata yang terlalu besar untuk dimengerti, tapi terlalu pahit untuk ditelan.
Ikhlas, katanya, adalah bentuk cinta yang paling jujur. Tapi siapa yang tahu pasti bagaimana bentuknya? Apakah ikhlas adalah ketika kau tidak lagi menangis? Atau ketika kau tidak lagi menunggu? Atau ketika kau bisa berkata terima kasih pada luka?
Aku tidak tahu. Yang aku tahu, bunga itu sudah tidak ada. Tapi bekas tumbuhnya masih terasa. Seperti getar samar setelah petir. Seperti jejak di pasir yang enggan hilang meski ombak datang berkali-kali.
Pernah aku coba tanam bunga baru. Tapi tanahnya menolak. Katanya, masih ada akar yang belum sepenuhnya mati. Akar yang diam-diam berharap ada tangan lama yang kembali.
Delapan tahun bukan waktu yang pendek. Ia menyusun ruang, membangun jalan, menanam banyak hal yang tak bisa segera dicabut. Maka jangan salahkan aku bila masih berdiri di titik yang sama, dengan tatapan kosong ke arah yang dulu ada bunga itu.
Januari terus berganti. Tahun demi tahun. Tapi tidak ada lagi bunga yang mekar di bulan itu. Tidak ada lagi pagi yang benar-benar pagi. Semenjak hari itu, waktu hanya bergerak. Tapi aku tidak. Aku tetap sama.
Anggrek yang dulu adalah simbol, bukan sekadar bunga. Ia tumbuh dari harap. Ia mekar dari kepercayaan. Dan ia mati oleh sesuatu yang bahkan tidak punya nama.
“Ikhlas? Mati? Tumbuh?” batinku frustrasi.
Lalu hening menjelma menjadi musim baru yang tak lagi kupahami. Delapan tahun bukan sekadar waktu, tapi akar yang telah menjalar di bawah kulit, tumbuh bersamaan dengan degup dan napas. Dan kini, ketika satu per satu bagiannya dicabut oleh yang pernah kusebut rumah, aku hanya bisa menatap bekasnya yang masih hangat. Bukan luka yang menganga, tapi kehampaan yang menolak pergi.
Di dalam tubuhku, bunga anggrek itu mungkin telah gugur, namun harum sunyinya masih bergelayut. Januari ini tidak membawa angin segar atau kelopak baru, ia datang seperti jeda panjang yang tak kunjung selesai, membuatku mengerti bahwa kehilangan tidak selalu berbunyi. Kadang ia hanya hadir, dan menetap diam-diam.
Kini, kalau kau tanya apa yang tersisa? Mungkin hanya ruang kosong di tubuhku. Yang dulu pernah tumbuh bunga anggrek. Kini hanya sunyi. Dan satu kata yang masih menempel di dinding hati “ikhlas.” Atau setidaknya, sesuatu yang coba kupercayai sebagai itu.