Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Janji yang Tak Dibayar, Tak Bisa Digoreng
44
Suka
973
Dibaca

Warung Bu Siti tak besar, bahkan bisa dibilang nyaris tumbang dimakan waktu. Tapi dari sana, orang kampung mencari pagi, meneguk sore, dan menawar hidup dengan selembar dua lembar uang ribuan. Dindingnya kayu lapuk, atapnya seng berkarat, tapi di warung itu, dunia kecil kami berjalan seadanya.

Warung ini sudah berdiri sejak zaman dulu, lebih lama dari banyak pernikahan yang ada di kampung ini. Bu Siti, dengan wajah yang mulai dipenuhi kerutan dan mata yang selalu tampak lelah, adalah saksi hidup bagi setiap cerita yang datang dan pergi. Setiap pagi, dia bangun lebih awal dari siapa pun. Menyiapkan teh manis, menggoreng tempe, dan menyusun gorengan yang sudah mulai basi, meski tak jarang ada yang datang dan membeli, sedikit demi sedikit, untuk mengisi perut yang kosong.

Bu Siti membangun warung itu bersama almarhum suaminya, Pak Harjo. Waktu itu, mereka baru saja pulang dari kota setelah merantau gagal. Dengan modal hasil menjual cincin kawin dan sepeda tua, mereka menyewa petak kecil dan membuka warung. Makanan pertama yang dijual adalah nasi jagung dan sambal terasi. Murah, sederhana, tapi mengenyangkan. Dari sana semuanya dimulai.

Dulu, warung itu hanya berupa meja kayu dan tikar plastik. Tapi seiring waktu, orang-orang mulai datang lebih sering. Ada yang untuk makan, ada yang untuk sekadar duduk, ada pula yang datang hanya untuk berbagi keluh kesah. Warung Bu Siti perlahan menjadi ruang pertemuan, ruang curhat, ruang hidup.

Ada Pak Giman, pensiunan hansip yang setiap pagi duduk di bangku panjang sambil mengelus-elus kumisnya. Ada Yati, janda muda dengan dua anak yang kadang membayar dengan pisang atau daun singkong dari kebun belakang. Ada juga Udin, bocah kelas enam SD yang selalu datang setelah mengantar adiknya ke PAUD, sekadar meneguk teh manis dan memandangi langit.

Bu Siti tak pernah banyak tanya. Ia hanya mencatat di buku kecil usangnya, satu persatu. "Utang Udin, teh manis, seribu." Lalu tersenyum. Katanya, hidup ini bukan soal untung rugi, tapi soal bertahan. Maka ia bertahan, dengan sabar dan pelan.

Lalu datanglah dia. Lelaki berjas, rambut klimis, sepatu yang mengilat seperti baru dibeli khusus untuk hari itu. Namanya Pak Darto. Ia bilang dirinya calon. Calon wakil rakyat. Calon perubahan.

“Saya cuma mau makan tempe dan teh manis, Bu,” katanya. “Yang sederhana aja. Rakyat banget.”

Bu Siti hanya diam, menyendok nasi ke piring logam dengan tangan yang sejak tadi gemetar pelan. Entah karena letih, entah karena jengah.

Setiap kali datang, Pak Darto membawa janji. Tentang subsidi, tentang harga murah, tentang pendidikan gratis, dan mimpi-mimpi lain yang terlalu tinggi untuk bisa kami ucapkan sendiri. Tetapi ada satu hal yang selalu sama di setiap kunjungannya. Satu kalimat yang berulang:

“Catet dulu ya, Bu. Nanti kalau saya duduk, saya bayar semuanya.”

Kalimat itu terdengar begitu mudah. Terlalu mudah. Mungkin juga Bu Siti tahu itu, tapi dia tidak pernah mengeluh. Sebagai pengusaha kecil yang terus berjuang, hidupnya sudah penuh dengan janji kosong. Janji-janji itu hanyalah salah satu dari banyak hal yang harus diterimanya dengan diam.

Aku sering melihatnya dari kejauhan. Duduk di bangku miring warung itu, dikelilingi warga yang haus harapan. Mereka yang datang hanya untuk sedikit mengisi perut atau sekadar melepas lelah setelah seharian bekerja di sawah atau pasar. Mereka bercerita tentang hidup mereka, tentang anak-anak yang belum menemukan pekerjaan, tentang harga barang yang semakin melambung, dan tentu saja tentang Pak Darto yang datang dengan wajah penuh harapan, seperti malaikat yang datang membawa kabar baik.

Namun, aku curiga, apakah yang ia tahu hanyalah cerita tentang lapar, bukan laparnya itu sendiri?

Ketika pemilu semakin dekat, warung Bu Siti berubah. Bukan lagi tempat orang menunggu kembalian, tapi tempat orang menunggu harapan. Poster-poster dipasang, spanduk digantung, dan warung kecil itu jadi posko tanpa nama. Bu Siti tak lagi hanya menyajikan teh dan gorengan, tapi juga menyimpan keluh kesah yang tak muat ditampung di rumah.

“Bu, bilang ke Pak Darto, ya. Anak saya belum kerja.”

“Bu, tanya ke dia, gas naik kenapa terus?”

Dan Bu Siti hanya mengangguk. Mungkin karena ia tahu, semua itu takkan pernah benar-benar disampaikan. Dan andai disampaikan pun, tak akan benar-benar didengar.

Pemilu datang. Semua orang bersemangat. Tak peduli mereka tahu atau tidak siapa sebenarnya yang akan duduk di kursi dewan, yang penting mereka memilih. Dan setiap orang yang memilih merasa mereka telah melakukan sesuatu untuk perubahan, meskipun sesungguhnya mereka hanya dipilih oleh janji-janji yang tak pernah ditepati.

Malam terakhir sebelum pemilu, Pak Darto datang lagi. Kali ini sendiri. Tanpa senyum lebar, tanpa semangat berapi-api. Ia duduk lama, menatap meja kayu tua yang sudah mulai lapuk di sisi-sisinya.

“Bu Siti,” katanya, pelan. “Kalau saya nggak kepilih… Ibu masih buka warung, kan?”

Bu Siti memandanginya. Lama. Lalu menjawab, lirih, “Saya buka bukan karena kampanye, Pak. Saya buka karena orang harus makan.”

Pak Darto hanya mengangguk dan berjalan pergi. Saat itulah, aku tahu, mungkin Bu Siti sudah lama tahu jawaban dari pertanyaannya itu. Bukan hanya tentang Pak Darto, tapi tentang segala hal yang datang dan pergi dalam hidup ini.

Pemilu berlalu. Pak Darto menang. Baliho besar dipasang di sudut jalan — wajahnya lebih besar dari wajah siapa pun di kampung ini. Tapi warung Bu Siti kembali sepi. Tak ada lagi yang duduk di sana bercerita. Hanya suara radio tua, dan bau minyak goreng yang makin jarang dipakai.

Harga-harga naik. Orang-orang mulai lupa dengan janji. Mereka kembali ke rutinitas mereka. Mereka bekerja, berharap pada hari esok, meskipun esok tak pernah benar-benar datang. Tapi buku utang Bu Siti tetap ada. Isinya tak berubah, hanya bertambah.

Beberapa bulan setelah pemilu, aku melihat Bu Siti duduk di pojok warung, menulis sesuatu di halaman terakhir bukunya. Ia menulis dengan spidol biru, seperti biasa. Kalimat itu sederhana, namun begitu menyakitkan:

“Janji yang tak dibayar,

tak bisa digoreng. Apalagi dimakan.”

Setelah itu, Bu Siti menutup buku utangnya. Ia berdiri dan mengunci pintu warung. Tak ada yang tahu ke mana dia pergi setelah itu, tetapi warung itu tetap berdiri. Mungkin tak lama lagi, dindingnya akan runtuh begitu saja, seperti janji-janji yang selama ini begitu mudah diucapkan, namun terlalu berat untuk dipenuhi.

Tapi bagiku, warung itu tidak pernah benar-benar kosong. Ia menyimpan gema tawa dan air mata, napas para petani yang singgah, dan mata lelah anak-anak yang pulang sekolah. Di warung itu, hidup pernah tumbuh, meskipun hanya sebentar.

Dan setiap kali aku lewat di depannya, aku masih bisa mencium bau tempe goreng dan teh manis, seperti kenangan yang belum selesai.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (4)
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Janji yang Tak Dibayar, Tak Bisa Digoreng
Renaldy wiratama
Novel
Meragukan, yang berakhir nyata.
Callista Vine Wijaya Buntoro
Cerpen
Dunia Sang Penjelajah
Elysiaaan
Novel
Bronze
Sepotong Kisah tanpa Akhir
Ansar Siri
Novel
Gold
SHADOW
Falcon Publishing
Novel
Uncomentary
Nia
Flash
Bronze
Buku Bertanda Tangan
Afri Meldam
Cerpen
Bronze
Pembunuhan yang Sempurna
Sulistiyo Suparno
Novel
Me?? Beautiful
Momo
Novel
The Lost Twin
berLilana
Flash
Bronze
Rey
Onet Adithia Rizlan
Novel
Gold
Raksasa Kesepian
Mizan Publishing
Novel
Growing Up: Let's walk on flowers path together
Lilly Amundsen
Skrip Film
LISTEN (SCRIPT)
Ika Karisma
Cerpen
Bergegas Tumbuh
Hai Ra
Rekomendasi
Cerpen
Janji yang Tak Dibayar, Tak Bisa Digoreng
Renaldy wiratama
Cerpen
Manusia dan Waktu
Renaldy wiratama
Cerpen
Mah Kameha Meha Familia
Renaldy wiratama
Novel
Negara, Hidup dan Mimpi
Renaldy wiratama