Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Damon Haverford berdiri di tepi jurang keputusasaan, menggenggam secarik kertas yang penuh angka utang. Wajahnya penuh lelah, matanya menatap kosong ke kejauhan. Di sudut pikirannya, ia terus bertanya-tanya, "Apakah semua janji mereka hanya omong kosong belaka?"
Tiba-tiba suara anaknya, Liam, memecah lamunannya.
“Ayah, apakah kita sudah dapat uangnya? Aku harus menyerahkan dokumen minggu depan kalau ingin mendaftar,” tanya Liam penuh harap.
Damon tersenyum kecil, menyembunyikan kekecewaannya.
“Tenang, Nak. Ayah sedang berusaha. Kau hanya perlu fokus pada sekolahmu,” jawab Damon sambil mengacak rambut Liam.
Tapi di balik senyuman itu, hatinya hancur. Damon sudah mengetuk banyak pintu—rumah para pejabat dan tokoh partai yang dulu bersumpah untuk memberdayakan rakyat kecil. Namun, semua jawabannya sama: tidak ada dana.
“Tidak ada dana, ya?” gumam Damon dengan getir saat berjalan pulang dari salah satu rumah pejabat.
Ia ingat bagaimana garasi rumah itu penuh dengan mobil-mobil mewah, konon katanya kebun sawitnya yang luas, dan meja makan yang selalu penuh hidangan mahal.
Ketika Damon mencoba menjelaskan alasannya memohon bantuan, pejabat itu hanya menjawab dengan senyuman dingin,
“Maaf, Pak Damon. Bukan kami tidak peduli, tetapi dana partai sedang fokus untuk program lain.”
Damon menahan diri untuk tidak meledak di tempat. Setelah keluar dari rumah itu, ia menatap langit. "Mereka bilang dana habis, tapi lihat bagaimana mereka hidup," katanya pada dirinya sendiri.
Setiap langkah menuju rumahnya terasa berat. Ia teringat kembali kampanye-kampanye penuh janji yang dulu membuatnya percaya. Janji tentang pengentasan kemiskinan, pemberdayaan rakyat kecil, dan keadilan sosial. Tapi sekarang, ia tahu semuanya hanya slogan kosong.
Di rumah
Damon duduk di ruang tamu, memandang sertifikat tanah yang ia siapkan sebagai jaminan untuk pinjaman. Di sisi lain, istrinya, Clara, duduk gelisah sambil melipat pakaian.
“Kau sudah mencoba menghubungi mereka lagi, Damon?” tanya Clara dengan suara pelan.
“Sudah,” jawab Damon singkat, “Pesanku tidak dibaca. Mungkin mereka sibuk menghitung untung dari proyek-proyek besar mereka.”
Clara menghela napas panjang, lalu berkata, “Kita tidak punya pilihan lain, Damon. Kalau mereka tidak mau membantu, mungkin kita harus menjual tanah ini.”
“Tidak, Clara,” potong Damon tegas. “Aku sudah berjanji pada Liam. Dia harus mendapatkan pendidikan yang layak. Aku akan mencari cara lain, apa pun itu.”
Malam itu, Damon kembali teringat pidato seorang tokoh partai beberapa bulan sebelumnya:
“Pendidikan adalah senjata melawan kemiskinan! Kita harus memastikan anak-anak Indonesia mendapatkan pendidikan setinggi mungkin!” seru tokoh itu dengan lantang di atas panggung.
Ironisnya, pikir Damon, justru mereka yang memegang kekuasaan kini menutup pintu bagi seorang ayah yang berjuang untuk pendidikan anaknya.
Hari berikutnya
Damon berdiri di antrean panjang di bank, mencoba mengajukan pinjaman. Tapi birokrasi yang rumit membuatnya merasa kecil. Setelah proses yang panjang dan berbelit, petugas bank berkata,
“Maaf, Pak Damon. Kredit Anda tidak bisa disetujui tanpa jaminan tambahan.”
“Jaminan tambahan? Sertifikat tanah saja tidak cukup?” tanya Damon dengan suara yang hampir putus asa.
Petugas itu hanya menggeleng tanpa rasa simpati.
Damon melangkah lunglai keluar dari pintu bank. Sertifikat tanah yang ia janjikan sebagai jaminan tadi pagi kini terasa begitu berat di genggamannya. Matanya menerawang, mencari harapan yang entah di mana. Ia tahu masih ada satu jalan: meminta bantuan kepada teman-temannya.
Setibanya di rumah, ia duduk di kursi kayu yang sudah usang di ruang tamu. Ia mengeluarkan ponselnya dan membuka daftar kontak. Nama-nama yang dulu sering ia ajak berjuang bersama terpampang di layar. Mereka semua kini sukses, jauh berbeda dengan Damon.
“Baiklah,” gumamnya, mencoba membangkitkan keberanian. “Mereka pasti mengerti. Setidaknya, mereka tahu siapa aku.”
Damon mengetik pesan pertama.
“Anton, apa kabar? Ini Damon. Aku sedang butuh bantuan mendesak. Aku punya sertifikat tanah yang bisa kujadikan jaminan. Maukah kau membantuku?”
Setelah beberapa detik berpikir, Damon menekan tombol kirim. Ia menunggu, tetapi tanda centang biru tidak muncul. Dengan napas panjang, ia membuka percakapan lain.
“Bagaimana kalau Beni?” pikir Damon. Ia mengetik pesan serupa untuk teman lamanya itu.
Tak lama kemudian, ia mengirim pesan kepada beberapa teman lainnya: Herman, Surya, dan bahkan Riko, yang kabarnya sekarang memiliki perusahaan angkutan besar.
Namun, setelah sejam, tidak ada satu pun pesan yang dibalas. Damon mencoba menghibur dirinya sendiri. “Mungkin mereka sedang sibuk,” gumamnya pelan.
Malam itu, Damon duduk di meja makan bersama istrinya, Clara. Wajahnya kusut, matanya lelah. Clara menyadarinya, tetapi ia tahu Damon butuh waktu untuk bicara.
“Bagaimana tadi di bank?” tanya Clara akhirnya.
“Gagal,” jawab Damon singkat. “Syaratnya terlalu rumit. Aku pikir, mungkin teman-teman lamaku bisa membantu.”
Clara menatap Damon dengan ragu. “Mereka sudah membaca pesanmu?”
“Belum. Atau mungkin sudah, aku tidak tahu,” sahut Damon. “Tapi ada yang lebih menyakitkan.”
Clara diam, menunggu Damon melanjutkan.
“Aku perhatikan tadi,” Damon berkata pelan, “Beberapa dari mereka mengaktifkan penghapus pesan otomatis. Pesanku bahkan tidak sempat dibaca.”
Mata Clara membelalak. “Mereka... sengaja mengabaikanmu?”
Damon mengangguk kecil. “Sepertinya begitu.”
Clara menarik napas panjang. “Tapi kau punya sertifikat tanah, Damon. Itu jaminan yang sangat kuat. Mereka kenal kau. Mengapa mereka tidak percaya?”
“Mungkin karena aku tidak berada di lingkaran mereka lagi,” kata Damon dengan getir.
Malam itu, Damon mencoba menghubungi salah satu dari mereka, Riko, melalui panggilan telepon. Ketika akhirnya tersambung, ia merasa lega.
“Halo, Riko! Ini aku, Damon,” katanya penuh harap.
“Oh, Damon! Lama tidak dengar kabarmu,” jawab Riko dengan suara ramah di awal, tetapi terdengar canggung.
“Aku butuh bantuan kecil, Riko. Anak lelaki-ku mendapat kesempatan belajar di luar negeri, tapi aku butuh dana tambahan. Aku punya sertifikat tanah sebagai jaminan. Kau tahu aku tidak main-main soal ini,” kata Damon langsung ke intinya.
Terdengar hening di ujung telepon sebelum Riko menjawab, “Damon, kau tahu aku ingin membantu. Tapi kondisi sekarang… ya, kau tahu sendiri. Aku tidak punya dana cair saat ini. Maaf ya.”
“Tapi kau punya perusahaan angkutan besar, Riko. Ini hanya pinjaman sementara,” Damon mencoba memohon.
“Damon, maaf. Aku benar-benar tidak bisa. Mungkin lain kali.” Riko langsung memutuskan panggilan sebelum Damon bisa bicara lagi.
Damon memandang ponselnya dengan getir. Ia memejamkan matanya sejenak, mencoba menahan rasa kecewa yang menyesakkan dada.
“Tidak ada uang,” gumamnya. “Selalu itu alasan mereka.”
Clara mendekatinya, memegang bahunya. “Mungkin kita harus mencari jalan lain, Damon. Jangan terlalu berharap pada mereka.”
Damon mengangguk pelan. “Aku tahu, Clara. Tapi rasanya... menyakitkan. Kita dulu berjuang bersama. Mereka tahu aku bukan orang yang hanya meminta-minta tanpa alasan.”
“Yang penting sekarang adalah anak kita, Damon,” kata Clara lembut. “Kita harus fokus untuk Liam.”
Damon tersenyum tipis, meskipun hatinya masih bergolak. Malam itu, ia bertekad bahwa meskipun semua pintu tertutup, ia akan tetap mencari celah. Sebab bagi seorang ayah, mimpi anaknya adalah hal yang paling berharga.
Malamnya dia tidak bisa tidur, kasihan dengan anaknya yang penuh harap. Akhirnya dia berdoa sepanjang malam, menyerahkan semuanya kepada Tuhan. Engkau yang membuat aku dilahirkan, maka engkau bantulah aku Tuhan, ujar Damon dalam hatinya dengan berurai air mata.
Besoknya dia berjalan lagi mencoba mencari pinjaman, yang sebenarnya dia tidak tahu ke mana lagi. Sudah juga semalam dia tidak tidur sampai pagi. Tiba-tiba dia berjumpa dengan seorang kawannya yang tidak kaya. Hanya cukup makan pagi dan sore.
“Damon, kau terlihat lelah. Apa yang terjadi?” tanya Arman.
Karena terpaksa, Damon menceritakan semua kesulitan yang ia alami. Dia ceritakan semuanya dari A sampai Z. Setelah mendengar ceritanya, Arman mengangguk dan berkata,
“Aku tidak punya banyak, Damon. Tapi aku punya sedikit tabungan. Kalau kau mau, ambillah. Anggap saja pinjaman tanpa bunga.”
Mata Damon berkaca-kaca. “Arman... aku tidak tahu harus berkata apa. Terima kasih.”
Ternaytta tabungan Arman hanya berisi beberapa puluh juta, tetapi dia mau membantu Damon dengan tulus. Dia sedikitpun tidak ragu jika Damon tidak mengembalikannya.
Beberapa minggu kemudian
Dengan bantuan Arman, Damon akhirnya bisa melunasi utangnya di bank dan mendapatkan pinjaman baru. Ia berhasil mengirim Liam ke Perancis untuk melanjutkan pendidikannya. Saat berdiri di bandara, Damon memeluk Liam erat-erat.
“Jangan pernah lupa dari mana kau berasal, Nak,” bisiknya. “Dan jangan pernah menjadi seperti mereka yang melupakan rakyat kecil.”
Liam mengangguk dengan mata berkaca-kaca. “Aku berjanji, Ayah.”
Di malam yang sunyi, Damon duduk sendirian, merenungkan semuanya. Ia tersenyum pahit, memikirkan para pejabat itu—orang-orang yang berbakat memainkan retorika, memperkaya diri, dan mengkhianati kepercayaan rakyat. Ia berpikir,
“Kalian mungkin berkuasa sekarang, tapi kekuasaan itu fana. Suatu hari, suara rakyat akan lebih keras daripada pidato-pidato kalian.”
Ia tahu bahwa perjalanan hidupnya belum selesai. Tapi satu hal yang pasti: ia tidak akan membiarkan impian anaknya hancur oleh mereka yang hanya peduli pada diri sendiri.
***