Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ayah pergi bekerja, meninggalkan aku sendirian di rumah yang cukup luas. Rumah baru, juga kota baru. Aku sudah cukup bosan harus terus-terusan berpindah rumah dari kota satu ke kota yang lainnya.
Aku selalu sendirian. Satu-satunya teman adalah seekor kelinci jantan berwarna putih yang kuberi nama Taci. Aku yang tidak pandai bergaul menjadi susah mendapatkan teman. Apalagi tidak sampai sebulan pasti Ayah akan mengajakku pindah lagi.
Entah sudah hari ke berapa aku tinggal di lingkungan baru ini. Aku bermain di halaman rumah bersama Taci. Hanya itu yang bisa kulakukan sambil menunggu Ayah pulang.
"Hei, kelincimu lucu." Tiba-tiba seorang bocah lelaki dengan seragam putih biru itu menyembulkan kepala dari balik pagar.
Aku hanya menatapnya sambil mempererat pelukanku pada Taci.
"Aku juga punya kelinci betina di rumah. Warna bulunya coklat tebal." Anak laki-laki itu terus mengoceh, sedangkan aku hanya menatap wajahnya.
Tinggi anak itu sedikit lebih pendek dariku, tetapi mungkin umurnya lebih tua dariku. Melihat dia sudah mengenakan seragam SMP, sedangkan aku baru menginjak kelas lima sekolah dasar dan aku homeschooling.
"Kalau kau mau, aku bisa membawamu berkenalan dengan Emily kelinciku. Kebetulan, ayahku juga seorang dokter hewan. Dia bisa memeriksa kesehatan kelincimu." Lelaki itu membujukku.
Aku menggeleng.
"Kenapa? Rumahku tidak jauh dari sini."
"A-aku tidak diizinkan keluar rumah oleh Ayah." Aku mengingat pesan Ayah, bahwa harus selalu berhati-hati dengan orang asing.
"Oh, begitu. Baiklah, aku akan membawa Emily ke sini. Tunggu sebentar." Lelaki itu lantas berlari, aku hanya menatap punggungnya yang semakin menjauh.
Tidak berselang lama, lelaki itu kembali dengan pakaian santai. Kaos oblong hitam dan celana jeans selutut, membuatnya tampak seperti bocah seumuranku. Tangannya memangku seekor kelinci berwarna coklat.
"Lihat, ini Emily." Dengan napas yang masih tidak beraturan, dia memamerkan kelincinya.
"Dia ... lucu." Aku tersenyum.
"Nama kelincimu siapa?"
"Taci."
"Nama yang bagus!"
Aku tersenyum sambil mengusap bulu putih Taci.
"Hei, ngomong-ngomong, apa kau tidak mau membuka pagar tinggi ini dan membiarkanku masuk?"
"Ah, itu ... maaf, Ayah mengunci pagarnya agar aku tidak keluar atau membiarkan orang asing masuk ke rumah." Aku menunduk, merasa tidak enak.
"Ayahmu itu membosankan." Lelaki itu akhirnya duduk bersandar ke pagar. "Kau ingin mengelus Emily?"
Aku mengangguk, lalu mendekat. Tanganku terjulur keluar pagar untuk menggapai Emily.
"Bulunya sangat lembut."
"Taci juga memiliki bulu yang bagus."
***
Anak itu setiap hari datang membawa kelincinya. Entah sejak kapan pula, aku selalu menunggunya pulang sekolah dan menghampiriku dengan membawa Emily.
"Hei, apa kau tidak bosan? Seharian berada di rumah ini sendirian?" Tiba-tiba saja lelaki itu bertanya.
"Entahlah, aku sudah terbiasa," jawabku tak acuh.
"Pertama kali melihatmu, kupikir kau hanya seorang gadis baru yang belum bisa beradaptasi. Tapi setelah setiap hari aku melihatmu sendirian, entah mengapa rasanya aku ingin menghampiri dan menemanimu."
"Begitukah?" Aku tidak percaya dengan apa yang dikatakannya. Apakah aku semenyedihkan itu sampai membuat seseorang ingin menemaniku?
"Hei, aku baru ingat. Kata Ayah, Emily bisa saja melahirkan anak kalau tinggal bersama kelinci jantan. Bagaimana kalau kita biarkan Emily dan Taci tinggal dalam satu kandang?"
"Tapi ... apa itu tidak apa-apa?"
"Aku tahu ayahmu itu keras dan suka melarangmu segala hal. Jadi kuurungkan niat untuk membawa Taci ke rumahku. Aku akan membiarkan Emily berada di sini."
Aku ragu.
"Aku akan datang setiap hari untuk melihat Emily."
"Baiklah."
"Nah, sekarang tolong pegangi Emily dulu." Lelaki itu menyodorkan Emily melewati sela pagar yang cukup luas. Aku menyambutnya dengan senang hati.
Setelah Emily berada di tanganku, bocah itu lalu memanjat pagar setinggi tiga meter itu.
"Apa yang kau lakukan?" Aku berteriak sambil mendongak ke atas.
"Aku tidak bisa terus-terusan dianggap orang asing dan berdiri di balik pagar untuk bermain. Aku ini temanmu."
Teman?
Lelaki itu lalu melompat tepat berada di depanku.
"Aku harus memastikan Emily mendapat kandang yang baik."
Aku hanya tersenyum. Jujur saja, sudah sejak lama aku ingin membukakan pagar untuknya. Hanya saja, kunci itu hanya dimiliki oleh Ayah.
"Ini kandang Taci, dan Emily boleh berada di sini sampai mereka berdua benar-benar menjadi orang tua."
"Itu bagus. Kita akan punya banyak kelinci nantinya." Lelaki itu tampak bersemangat.
"Dan kita akan membangun istana kelinci!" Aku juga menjadi tak kalah semangatnya. Ternyata menyenangkan juga memiliki teman.
"Bagus! Itu hebat! Ayo, berjanjilah, kita akan membuat istana kelinci!"
Jari kelingking kami saling bertaut, diikuti tawa lepas yang menyenangkan.
***
"Bersiaplah kemasi barang-barangmu seperlunya saja, besok kita harus ke luar kota." Malam ini Ayah pulang lebih cepat, tetapi ucapannya itu membuatku tidak senang.
"Ayah! Aku tidak mau pindah lagi. Aku harap ini adalah rumah terakhir kita." Aku sedikit menyentak.
"Kita hanya pergi selama dua hari saja. Ayah janji kita akan kembali ke sini.
"Aku harap Ayah tidak membohongiku."
"Tentu saja tidak."
"Aku harus membawa Taci dan Emily juga."
"Ah, sepertinya tidak perlu. Kita akan kembali ke rumah ini. Jadi, daripada membawa mereka, lebih baik tinggalkan saja."
"Tapi ...."
"Nanti Ayah titipkan ke penitipan hewan, tenang saja."
"Baiklah."
***
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku dan Ayah sudah bersiap di mobil. Namun, saat mobil melaju, aku masih melihat Taci dan Emily masih berada di kandang.
"Ayah ... Taci!"
"Sudah, tidak apa-apa. Besok kita akan pulang ke sini lagi."
"Baiklah." Aku hanya tertunduk lesu. Apa yang akan lelaki itu katakan jika aku menelantarkan kelincinya?
***
Ayah berbohong!
Sudah hampir sebulan, dan Ayah tidak pernah kembali ke rumah itu.
Aku sudah berkali-kali protes dan merengek untuk kembali, setidaknya untuk membawa Taci jika memang Ayah harus pindah tempat lagi. Namun, Ayah sama sekali tidak menggubrisnya.
Aku merasa sangat bersalah pada anak lelaki itu. Aku belum sempat berpamitan dan mengembalikan Emily. Terlebih lagi, aku lupa menanyakan siapa nama anak lelaki itu.
***
"Sepertinya kamu sangat menyukai kelinci." Aku terkejut saat seseorang sudah berada di sampingku. Seorang pria bertubuh tinggi dan berkacamata.
"Ah, ya, aku pernah memelihara kelinci." Aku menutup buku sketsaku. Malu menyadari bahwa seseorang sedang melihat lukisanku.
"Kenapa di tutup? Gambarnya bagus."
Aku hanya tersenyum sambil menggeleng.
"Aku punya beberapa kelinci. Mau lihat?"
Aku hanya diam, menimang-nimang.
"Rumahku ada di sana." Ia menunjuk salah satu rumah yang tidak jauh dari bangku taman yang aku duduki sekarang.
"Kalau kau mau, mereka akan sangat senang menjadi model lukisanmu." Pria itu tersenyum sambil membenarkan letak kacamatanya.
Aku mengangguk ragu.
"Baiklah, ayo."
Aku mengemasi buku sketsa dan pensil ke dalam ransel. Sudah menjadi kebiasaanku, sepulang kuliah aku akan duduk di bangku taman untuk membuat sketsa hitam putih.
Aku mengekori pria itu. Sampailah kami di sebuah rumah minimalis yang sederhana. Halamannya cukup luas dengan banyak pohon dan tanaman bunga yang berjejer dalam pot.
"Mereka ada di kebun belakang."
Pria itu mengajakku ke belakang rumah. Alangkah terkejutnya aku melihat pemandangan di sana.
Banyak kelinci yang bermain-main di halaman belakang yang luas dengan dikelilingi pagar yang cukup tinggi. Di tengahnya, terdapat miniatur istana yang dibuat sedemikian rupa hingga bisa digunakan oleh para kelinci itu untuk bersembunyi dan tidur.
"Mau masuk?" Pria itu membuka pintu pagar dan membiarkanku masuk.
"Ini luar biasa." Tidak sadar aku bergumam saking senangnya. Aku menangkap satu kelinci putih besar dan mengusap bulunya.
"Dulu ... aku pernah berjanji dengan seseorang untuk membuat istana kelinci." Pria itu tiba-tiba berkata sambil menatap jauh ke depan.
Dadaku bergemuruh, mungkinkah?
"Seorang gadis penyendiri yang hanya bermain dengan kelinci."
Semakin aku mendengar ucapannya, semakin berdebar jantungku.
"Tapi, sebelum janji kami terwujud, gadis itu sudah lebih dulu pergi tanpa kata. Bahkan dengan tidak bertanggung jawabnya, dia meninggalkan sahabat sejatinya. Dia meninggalkan kelincinya hingga kelaparan. Untung saja aku datang tepat waktu untuk menyadari itu."
Pria itu tersenyum kecut.
"Aku pikir, dia hanya pergi untuk beberapa hari. Tapi, setiap hari aku menunggu, tidak ada tanda-tanda dia akan kembali. Hingga rumah itu dihuni oleh keluarga baru."
Ada sesak yang menyeruak dalam dadaku.
"Dan sialnya ... aku tidak tahu siapa nama gadis itu."
Aku tidak tahan lagi, kupeluk tubuh itu dan bendungan air mata tumpah begitu saja.
"Gadis itu ... nama gadis yang tidak bertanggung jawab itu ... Audina." Aku sudah lama mengharapkan pertemuan ini. Pertemuan yang kukira tidak akan pernah terjadi.
"Taci ... Emily ... maafkan aku ... mereka ...." Aku tidak sanggup melanjutkan kata.
"Kau ... aku merindukanmu." Pria itu memelukku erat.
***
Sumedang, 25 September 2023