Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Janji Bapak
1
Suka
6
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

***

"Assalamualaikum..."

Seorang pria berpeci berdiri di depan pagar sebuah rumah. Di tangannya tergantung dua plastik kresek hitam yang tampak berat. Usianya sudah hampir separuh baya, namun raut wajahnya menunjukkan kerendahan hati.

Meski pagar rumah itu sedikit terbuka, ia tak berani melangkah masuk. Baginya, melintas tanpa izin bukanlah adab yang pantas.

"Assalamualaikum, Mbah Mo..." serunya lagi, kali ini dengan suara yang lebih lantang.

Dari dalam rumah, Bapak tergopoh-gopoh menuju pintu depan. Aroma sayur terik tahu yang baru saja ia masak masih menempel di tubuhnya—hidangan pelengkap untuk bubur yang dibelikan Adikku pagi tadi. Sudah sebulan aku hanya bisa berbaring di rumah, menjalani bed rest setelah dokter menyatakan aku terserang tifus.

"Waalaikumsalam..." sahut Bapak sambil memutar handle pintu. Wajahnya merekah dengan senyum tulus ketika mendapati tetangga depan rumah bertamu.

"Oh, Pak Edi... monggo, Pak," sambutnya hangat. Ia segera membuka pintu pagar lebih lebar, mempersilakan Pak Edi masuk.

"Tidak usah, Mbah Mo. Saya sebentar saja," ujar Pak Edi sambil mengangkat dua kantong plastik hitam di tangannya. "Ini titipan dari istri, buat Dek Wiwit sama Mbak Yanti."

Ia lalu menyerahkan bungkusan itu. "Ada buah nangka sama roti tawar, Mbah."

Bapak menerimanya dengan senyum yang tulus. "Waduh, kok repot-repot, to, Pak..."

Pak Edi terkekeh kecil. "Tidak repot, Mbah. Kebetulan istri saya dikasih nangka lumayan banyak sama saudaranya. Kalau dimakan berdua keburu bosan, jadi ya sekalian berbagi."

"Inggih, Pak. Maturnuwun sanget," balas Bapak, wajahnya jelas berbinar.

Aku mendengar percakapan itu dengan jelas. Kamarku berada di bagian paling depan, tak jauh dari pagar. Dari balik jendela, aku mengintip sambil duduk di atas ranjang, tubuhku masih lemas. Tubuh yang sudah kurus itu terasa makin menyusut, sebab hampir sebulan ini aku hanya bisa menelan bubur dan makanan lembut lainnya. Nafsu makan pun menurun drastis.

Aku memandangi Bapak dan Pak Edi yang asyik berbincang. Meski katanya hanya sebentar, Pak Edi tetap sempat menanyakan bagaimana perkembangan kesehatanku. Saat itulah jantungku mendadak berdebar keras—sekilas saja, tapi cukup membuatku terkejut. Rasa takut menghantam begitu tiba-tiba, hingga tanpa sadar aku menangis tersedu.

Ada apa ini? Mengapa dadaku terasa begitu tidak nyaman?

Bapak yang mendengar tangisku segera menyudahi perbincangan. Pak Edi pun berpamitan, dan dengan tergesa Bapak masuk kembali ke rumah, melangkah cepat menuju kamarku.

"Wiiit! Nang..." panggilnya seraya meletakkan dua kantong pemberian Pak Edi di lantai begitu saja. "Tolong bawa ini ke belakang!"

Nada suaranya terdengar cemas. Mendengar tangisku yang makin tersedu, Bapak langsung masuk tanpa sempat mengetuk pintu.

"Nduk, ada apa?" tanyanya gelisah. "Bagian mana yang sakit, Nduk?"

Aku menatap Bapak dengan mata berair, lalu menggeleng pelan. Aku sendiri bingung, mengapa tangis ini tiba-tiba pecah. Tubuhku memang lemas, perut sesekali masih terasa tidak nyaman, tapi semua itu masih bisa kutahan. Rasa yang membuatku meraung ini bukanlah sakit fisik—melainkan sejenis ketakutan yang tiba-tiba mencengkeram hatiku begitu kuat.

Apakah ini pertanda buruk?

Dengan gemetar aku mendekap perut Bapak erat-erat, menyembunyikan wajahku di dadanya. Bapak hanya diam, menunduk lembut sambil mengelus rambutku penuh kasih.

"Bapak jangan ninggalin Yanti, ya? Tetap di sini terus, bareng sama Wiwit juga."

Bapak terkekeh pelan. "Kamu ini kenapa, to, Nduk?"

"Pokoknya Bapak kudu janji!" suaraku lirih, nyaris teredam tangis, tapi tetap terdengar seperti sebuah tuntutan.

"Iya, Nduk... Bapak janji," jawabnya akhirnya, tak ingin membuatku semakin terisak. Dalam hati, mungkin Bapak merasa heran dengan sikapku yang tiba-tiba begitu ganjil.

Beberapa saat kemudian, Adikku muncul di depan pintu. Ia sempat tertegun melihatku menangis, wajahnya menampakkan sedikit kecemasan. Namun, sekejap kemudian perhatiannya malah teralihkan pada kantong kresek berisi nangka—buah kesukaannya. Dasar! Kadang rasanya ia benar-benar tidak punya empati.

"Taruh di kulkas dulu, Nang. Besok habis Subuh kita bersihin bareng-bareng. Roti tawarnya kemarikan, biar dimakan mbakyumu."

***

Hari mulai condong ke sore. Cahaya matahari menyelinap masuk lewat tirai tipis jendela, jatuh ke lantai kamar, menimbulkan bayangan samar dari tubuhku yang terkulai. Aku mencoba memejamkan mata, berharap kantuk bisa menenggelamkan keresahan yang sejak siang tadi menjerat dada. Tapi semakin aku memaksa tidur, semakin jelas rasa itu—seperti ada sesuatu yang akan pergi dan aku tidak sanggup mencegahnya.

Bapak duduk di kursi kayu di samping ranjang. Tangannya masih menggenggam sebuah kipas kecil, ia mengipas pelan, wajahnya letih tapi penuh kasih.

“Bapak nggak usah di sini terus, nanti capek,” ucapku lirih, meski sebenarnya aku ingin beliau tetap saja di situ, tak bergeser sejengkal pun.

“Sudahlah, kamu tidur saja. Bapak jagain,” balasnya, tersenyum samar.

Aku kembali menutup mata. Dalam keheningan itu, aku mendengar suara panci beradu dari dapur—adikku, Wiwit, pasti sedang mencoba mencicipi nangka yang tadi dibawa Pak Edi. Aku tersenyum kecil, membayangkan wajah rakusnya. Sesaat, perasaan hangat mengusir takutku.

Namun tak lama, dada ini kembali sesak. Seolah ada kabut hitam menyelimuti batin. Aku membuka mata, menatap Bapak yang sudah bersandar di kursi, hampir terlelap.

“Bapak...” panggilku lirih.

“Hm?” Ia mengangkat kepala, separuh mengantuk.

“Kalau... kalau besok ada apa-apa sama Yanti, Bapak jangan nyesel ya? Jangan salahin diri sendiri. Soalnya Yanti sudah bahagia punya Bapak.”

Kata-kataku membuatnya terdiam. Ia menatapku, lama sekali, sebelum akhirnya mengangguk pelan. Senyum getir merekah di bibirnya. “Ah, Nduk... ucapanmu kok aneh-aneh. Sudah, jangan mikir macam-macam. Gusti sing ngatur kabeh.”

Air mataku menetes lagi, kali ini tanpa tersedu. Hanya mengalir begitu saja, meninggalkan rasa pedih yang tak terucapkan.

Aku tidak tahu, apakah ini sekadar rasa cemas karena sakitku, ataukah memang isyarat bahwa janji Bapak—janji yang baru saja ia ucapkan—pada akhirnya tidak akan bisa ia penuhi.

Malam itu akhirnya aku terlelap juga, entah pukul berapa. Rasa letih menenggelamkanku, padahal hati masih gelisah. Hingga suara tangis lirih membangunkanku—bukan tangisku sendiri, melainkan tangis Wiwit.

Aku membuka mata dengan susah payah. Tirai tersingkap separuh, memberikan celah bagi sang mentari agar masuk menyinari kisi-kisi kamar. Sedangkan tubuhku masih lemah. Di tepi ranjang, Wiwit duduk dengan wajah basah oleh air mata.

“Mbakyu...” suaranya parau, tersendat-sendat. “Bapak... dibawa ke rumah sakit... sama Pak Edi... Shubuh tadi...”

Aku sontak bangun, meski tubuhku menolak. Jantungku berdegup liar. “Kenapa, Nang? Kenapa Bapak?”

“Bapak jatuh di dapur, terus nggak sadar. Kata Pak Edi, Bapak... koma...” Wiwit kembali terisak, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

Dunia serasa runtuh di hadapanku. Rasa takut yang sejak kemarin menghantuiku kini menjelma nyata. Aku ingin bangkit, ikut ke rumah sakit, tapi tubuhku bahkan tak kuat berdiri. Aku hanya bisa meremas ujung selimut, air mata pun deras mengalir.

Tak lama, pintu kamar terbuka. Kakakku yang berdomisili di Mranggen, masuk dengan wajah yang pucat pasi. Ia baru pulang dari rumah sakit, masih mengenakan jaket yang telah basah oleh keringat. Begitu melihatku, ia langsung menghampiri.

“Nduk...” suaranya lirih, nyaris tak terdengar. Ia duduk di samping ranjang, lalu memelukku erat-erat. Tubuhnya bergetar.

Aku tahu! Sebelum ia mengucapkannya, aku sudah tahu!

“Bapak... wis orak ono...” katanya akhirnya, terisak di telingaku.

Aku menjerit tanpa suara. Hanya tubuhku yang terguncang, mataku basah tak terbendung. Janji Bapak, janji yang kupegang erat, pecah begitu saja. Dan aku hanya bisa terkulai dalam pelukan Kakakku, menanggung kehilangan yang terlalu berat untuk ditanggung seorang diri.

Seandainya aku bisa memohon kepada Gusti agar satu hari itu berulang tanpa henti.... Dari saat Pak Edi bertamu hingga Bapak menungguiku tertidur di kamar. Meski rutinitas akan selalu sama, aku yakin aku tidak akan pernah bosan. Sebab dalam pelukannya aku bisa terus menangis dan Bapak tidak perlu mengingkari janjinya padaku.

Rasa gelisah yang menghantuiku sepanjang hari kemarin, rupanya merupakan sebuah pertanda. Itu bukan pertanda mengenai kepergianku, melainkan sebuah peringatan tentang kehilangan yang harus kuhadapi.

Bapak berpulang tepat jam setengah sembilan lebih lima menit di pagi hari, di hari Senin di bulan Nopember di tahun 2011 di sebuah rumah sakit di perbatasan Semarang Timur.

Adikku berkata, buah nangka adalah kenangan terakhirnya bersama Bapak. Sebab sebelum tubuhnya ambruk, Bapak masih sempat menepati janji—mengupa

s nangka bersama-sama menjelang Subuh.

Namun, beliau tidak sanggup menepati janjinya padaku: untuk tetap tinggal.

***

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Janji Bapak
9inestories
Cerpen
Kristal Filsuf
Zaki S. Piere
Cerpen
Bronze
Nujum
Muram Batu
Cerpen
Bronze
Bukan Pelangi Terakhir
P' Jee
Cerpen
Bronze
My Weird Online Friend
Rosa L.
Cerpen
Bronze
Aroma Kayu
m aziz khulaimi hasni
Cerpen
Bronze
Perempuan Pemakan Bangkai
Nimas Rassa Shienta Azzahra
Cerpen
Sebuah Dermaga untuk Pulang
Tresnaning Diah
Cerpen
Lebih dari Seragam
Astromancer
Cerpen
Beranak Dalam Kaos Kaki
muhammad rio al fauzan
Cerpen
Bronze
Silence
Anisah Ani06
Cerpen
Bronze
Kuburan Di Bawah Gedung Megah
Desto Prastowo
Cerpen
Merayakan Nuha
Firlia Prames Widari
Cerpen
Terra Valley Rise of The Golem Empire
Tourtaleslights
Cerpen
Bronze
DIANTARA DETAK DAN DIAM
JI
Rekomendasi
Cerpen
Janji Bapak
9inestories
Novel
Senja di Batas Surya
9inestories
Flash
Surya di Ujung Senja
9inestories
Flash
Mbak Kunti yang Cengeng
9inestories
Flash
Cowok Meteora
9inestories
Flash
Gaza, Palestina
9inestories
Cerpen
Sihir
9inestories
Flash
Bronze
Nana
9inestories