Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Selepas pelajaran olahraga, Jaz panik membongkar isi tasnya. Jangka pemberian nenek Demung lenyap bersama kotaknya. Dengan muka menahan tangis, gadis ceking itu lalu melapor pada Pak Gangsa, guru matematika yang sedang menjelaskan rumus Pythagoras.
Panas kemarau siang itu sudah membuat gerah suasana kelas. Ditambah panas berkeringat sekujur badan sehabis lari mengelilingi stadion Kridosono saat pelajaran olah raga tadi. Kini disambung lagi dengan panas logika dihajar matematika. Dan puncaknya ketika Pak Gangsa meminta teman sekelas Jaz sudi digeledah.
Kegaduhan pun terjadi.
Teman sekelas geram dituduh pencuri. Mereka riuh mencerca Jaz. Si gadis ceking bergeming tak peduli. Keroyokan verbal teman sekelas tidak seberapa dibanding bayangan kemarahan nenek Demung nanti. Walau nenek selalu mengistimewakannya, tapi untuk urusan amanah dan tanggung jawab, nenek selalu cerewet mengingatkan.
Setelah penggeledahan dilakukan, akhirnya Jaz menyerah pasrah. Jangka antik itu tetap tak berjejak.
“Ikhlaskan, Jaz. Insyaa Allah, nanti gantinya berlipat.” Hibur Rocka saat mereka bersepeda beriring pulang sekolah. Keduanya bertetangga dan sudah bersahabat sejak masih belajar merangkak, makan masih disuapi nenek mereka, yang juga bersahabat.
“Tapi Rock, itu jangka hadiah nenekku juara umum di sekolahnya dulu. Mana mungkin kuikhlaskan begitu saja. Apa kata nenekku nanti?” Jaz mengayuh sepedanya sambil bersungut-sungut sedih.
“Jangan kuatir, Jaz. Kita beli jangka baru, amplas sedikit supaya kelihatan antik. Lalu grafir nama nenekmu. Kamu masih ingat font hurufnya?”
“Sudah dosa membohongi nenekku, duitnya pun gak ada. Kamu kan tahu, uang jajanku gak seberapa.”
“Ya, jangan sampai ketahuan nenekmu. Dan kita nabunglah.” Rocka menenangkan. “Nanti kita patungan belinya.”
Saat itu harga jangka berkualitas baik lumayan mahal. Belum lagi terkumpul tabungan keduanya, Jaz pindah ke Medan. Rocka tetap meneruskan sekolah di Jogja dan membantu usaha ayahnya mengelola hasil bumi. Namun persahabatan jarak jauh mereka terus berlanjut. Hingga suratan nasib mempertemukan mereka kembali sepuluh tahun kemudian. Rocka sudah berhasil mengembangkan usaha Ayahnya, menjadi eksportir barang komoditi. Sementara Jaz bekerja pada pengembang properti terkemuka di Jakarta, yang ditugaskan ke Jogja, sebagai pengawas pekerjaan interior mall dan hotel.
Bersuka citalah Rocka, sahabatnya kembali sekota. Segera dia hubungi teman sekelas yang masih tinggal di Yogya. Pada satu Sabtu mereka berkumpul makan siang lesehan di rumahnya.
Kenyang makan, Jaz izin buang air. Dia melewati ruang kerja Rocka yang terbuka pintunya. Tampak meja kerja, laptop, printer dan satu vitrin antik yang membuat Jaz penasaran. Pekerjaan mengurusi interior dan perabot menyeret Jaz ingin meneliti vitrin tersebut lebih detail. Terpajang di dalamnya jepit rambut berbunga, kaca mata baca, jam saku. Lalu mata Jaz tertumbuk pada satu jangka klasik. Ya Tuhan, ingin menjerit Jaz rasanya.
“Benda-benda ini sejarah hidupku, Jaz.” Bisik Rocka mengejutkannya. Pemuda itu tiba-tiba sudah berdiri dibelakang Jaz. Telunjuknya mengarah pada benda-benda dalam vitrin. “Itu jam saku milik Kakekku. Di sebelahnya, jepit rambut dari kulit penyu penuh ukiran bunga kesayangan Nenekku. Yang dibelakang, kacamata baca yang rantainya selalu mengalungi leher Papaku.”
Rocka lalu membuka pintu vitrin, mengambil jangka klasik, kemudian menunjukkannya pada Jaz. “Jangka ini rencananya pengganti warisan nenekmu. Pernah akan kukirimkan padamu, tapi kautolak. Ingat?”
Jaz mengangguk. “Aku tidak menggambar secara manual lagi. Peralatan tulis dan gambarku sudah digantikan perangkat lunak komputer.”
Rocka tersenyum damai.
“Ah, Rocka memang sahabat langka melebihi saudara.” Pikiran Jaz terlontar mudur ke peristiwa itu. Belum sempat diceritakan kehilangan jangkanya pada nenek, selang seminggu kemudian, sang nenek yang merawatnya sejak bayi, meninggal dunia. Lalu keluarga besar menjual rumah nenek. Hingga Jaz harus menumpang sebentar di rumah Rocka, karena tiada saudaranya di Jogja yang peduli. Sampai akhirnya gadis itu dijemput Ayah kandungnya. Untuk kemudian hidup bersama Ibu dan adik-adik sambungnya di Medan. Jaz mengenal Ibu kandungnya hanya dari cerita nenek. Beliau gugur kelelahan saat melahirkannya.
“Lupakan yang sudah lewat, Jaz! Supaya nyaman langkahmu ke depan.” Rocka melihat wajah sahabatnya mengeruh. Segera dibimbingnya Jaz keluar ruang kerja, lalu Rocka mengunci pintu.
Celoteh dan canda teman-teman di ruang tengah mengembalikan kegembiraan Jaz. Mereka lupa diri dan usia, seolah kembali jadi anak SMP. Seenaknya bertukar cerita dan saling cela.
“Ingat waktu kita dulu beramai-ramai bersepeda ke Candi Prambanan? Tak ada yang bawa bekal minum atau makanan. Untung ada cukong Rocka traktir kita es temulawak.” Indie berseloroh.
“Kamu minum dua gelas, tapi ngaku cuma segelas, kan, In?” Ledek Poppy.
“Ah, itu sih kecil, Pop, dibanding waktu kita hampir digebukin mandor lori tebu, ingat?” Melebar senyum di bibir Salsa.
“Idenya Rocka tuh! Kita buntuti lori kereta yang berjalan pelan, mengangkut batang tebu menuju pabrik gula. Terus dari belakang kita berebutan melolosi, mencabut batang-batang tebu itu. Ketahuan Pak Mandor, langsung mengejar kita sambil mengacung-acungkan pentungan.” Rap tertawa.
“Rap menyeret Salsa sampai baret-baret kulitnya. Indie jatuh terjerembab, hampir kehilangan gigi depannya.” Tergelak Rocka sambil geleng kepala.
”Aku ingatnya, dulu Jaz suka mengejar layangan putus bersenjata galah. Dia tak peduli dapat atau tidak. Asalkan layangan yang diperebutkan sobek-sobek dan hancur! Puas dan lega dia!” Folka terkekeh.
“Juga panen salak ranum di kebun orang, ya Folka.” Jaz membalas. “Begitu penjaga kebun tahu, kita ngacir terbirit-birit. Yang kuingat, perih lho besetan duri pohon salak itu!”
“Ternyata sejak kecil kalian sudah biasa berlatih menjadi pencuri, ya?” Punkie angkat bicara. ”Gak heran kalo korupsi susah lenyap dari negri ini.”
“Halaah... sok suci kamu!” Mereka gemas menimpuki Punkie dengan bantal kursi, juga gumpalan tisu bekas.
Matahari sore memerah di ufuk barat. Rindu mereka belum pupus. Namun karena kesibukan masing-masing, terpaksa reuni mereka sudahi. Dengan janji kedepannya mereka lebih sering bertemu menganyam kenangan masa kecil. Masa indah tanpa masalah.
“Silaturahmi yang baik adalah pupuk perawatan jiwa.” Ujar Poppy sok bermakna.
***
Kembali di mess kantor, Jaz langsung masuk kamar untuk menyelesaikan adiministrasi proyek yang menumpuk. Di atas meja kerja, dia melihat satu kotak berpita. Dengan kartu kecil bertuliskan namanya, tanpa pengirim.
Jaz mengernyitkan kening. Ragu-ragu dia robek bungkusnya. “Mirip kotak jangkaku dulu.” Gadis itu menahan napas. Matanya tiba-tiba berlinang. Tidak ada yang berubah di dalam kotak. Lapisan beledu hitam menutupi lekuk-lekuk gabus penjepit jangka, trek pen dan alat pelengkap lainnya. Rapi dan kukuh, seakan setia ia mengapit dan menjaga lekuk-lekuk kenangan masa itu.
Di antara tepi kotak dan beledu yang kian usang, tampak satu celah robekan yang dulu selalu Jaz abaikan. Kali ini dia berusaha merapikan tepi beledu itu, malah mencuat keluar secarik lipatan kertas. Perlahan Jaz menariknya dan membuka lipatannya. Tertoreh tulisan tangan bertinta kecoklatan termakan usia.
Jaz cucuku tercinta.
Kutitipkan jangka ini padamu, dengan cerita sebagai hadiah karena aku juara umum sekolah.
Aku hanya ingin kau bangga pada nenekmu yang bukan apa-apa ini.
Maafkan nenek, Jaz.
Sebetulnya, kutemukan jangka ini di dalam tas sahabatku Kho Lin Tang, nenek sahabatmu Rocka.
Untuk menghindari tuduhannya, pulang sekolah langsung kugrafir namaku di satu sisinya.
Peluk cium.
Nenek yang selamanya mencintaimu.
Kering tercekat rasa dalam tenggorokan Jaz, terngiang suara Punkie tadi, ”...sejak kecil kalian sudah berlatih menjadi pencuri...”
***
Bumi Biru, 20 Jan 2023.
sudah mampir baca..