Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Lo mutusin Bang Raka? Perjaka paling dicari se-KKTV?!" teriak Seno dari luar kamar mandi. Udah malam lho, ini. Apa kata tetangga?
By the way, Aku dan Seno bekerja di gedung yang sama di salah satu perusahaan televisi swasta meski beda bagian. Makanya dia tahu siapa pacarku. Eh, sekarang mantanku.
"Dosa, gue?" balasku malas.
"Dosa, kalau usia lo udah lewat kepala tiga! Elah, Kak. Apalagi alasannya kali ini?" teriaknya gemas. Aku tebak dia sedang mondar-mandir sambil menjambak rambutnya. Biasanya yang nyinyir aku belum menikah itu kalau enggak tetangga, ya para tante budiman. Ini? Adik semata wayang kesayanganku.
"Bentar, gue kentut. Bau. Tahan omelan lo sepuluh detik!" perintahku.
Pasti kalian udah judgmental ke aku. Mana wajar ngobrol sambil buang hajat? Buatku normal-normal aja, tuh. Awas kalau ada yang julid!
Setelah sepuluh detik, suara Seno merambat melalui sela-sela pintu dan kusen.
"Bentar lagi gue nikah sama Manda, Kak. Nanti, siapa yang bakal ajakin ngobrol kalau lo lagi pup? Siapa yang bakal pegangin tangan lo kalau lagi nonton di bioskop yang gelap? Gue enggak selamanya ada buat lo meski gue ingin," melasnya menyedihkan.
Seno benar. Selama ini hidupku selalu bergantung pada Seno. Masalahnya, menjadi penakut bukan keinginanku. Aku pun tak berdaya dengan itu.
Pluk!
Ah, leganya.
Dan aku sadar kelegaan seperti ini tidak akan bertahan lama kalau Seno pergi dari rumah dan memulai petualangan rumah tangganya dengan Manda. Aku harus bagaimana?
Saat keluar dari kamar mandi, wujud Seno berdiri bersidekap memandangku lekat. Tatapan menguncinya seakan bertanya, Kenapa lo putus? Ini jawabanku.
"Raka takut gelap. Gue enggak mau kawin sama laki-laki sepenakut gue."
Nyatanya, dia bukannya penakut, tapi hanya manusia pecundang yang suka mengolok-olok penyakit klaustrofobiaku.
***
Apa aku kesal dengan keadaanku? Dulu iya, ketika aku tidak mampu menerima bahwa yang memunculkan penyakit mentalku adalah orang terdekatku yang seharusnya menjaga dan menyayangiku sepenuh hati. Sekarang? Aku mulai berdamai dengan masa lalu.
Tidak semua orang tua berhati malaikat. Mamaku termasuk kategori itu. Berkat mama tersayang, aku diberi 'warisan' berharga yang mesti aku tenteng ke manapun aku pergi.
Namun, aku tidak mungkin selamanya bergantung pada orang lain seperti yang sudah aku lakukan lebih dari dua dekade. Sebentar lagi Seno menikah. Aku tidak boleh mengintervensi kegiatan beranak pinaknya. Sahabatku Nadia pun demikian. Aku tidak mungkin meminta tolong padanya setiap kali hendak ke toilet kantor yang kecil, sempit, dan gelap itu. Aku tahu Nad tidak akan menolak permintaanku, tapi terkadang, aku bisa merasakan keengganannya di satu waktu meski tak sepatah kata protes terucap dari bibirnya.
Demi Tuhan. Aku hanya butuh satu keyakinan bahwa aku tidak sendirian di ruangan sesempit toilet atau lift. Aku hanya butuh suara dan kehadiran seseorang yang dapat mengalihkan kecemasanku saat merasa tercekik di dalam bilik kecil, atau saat dadaku terasa terhimpit lemari dan sesak napas di dalam kotak besi berjalan.
Biasanya aku akan mendaki tangga demi mencapai ruanganku di lantai lima, tapi masalahnya aku harus ke lantai dua belas dari lobi. Lift menjadi satu-satunya jalan kalau tidak mau betisku mengalami kram otot. Hitung-hitung belajar menaklukkan ketakutanku sendiri.
Baiklah. Aku melangkah berat ke dalam kotak besi. Belum dua detik, aku sudah diserang kecemasan luar biasa. Mau kabur, karyawan lain mendorongku masuk sehingga tubuhku terpojokkan hingga ke bagian sudut. Aku telah terjebak niat baikku sendiri! Tidak!
Aku hanya harus bertahan sebelas lantai lagi, kan? Tenang, wahai diriku. Tapi bagaimana mau tenang? Semakin penuh ruangan sempit ini, semakin aku rasakan gerakan lift, keinginan muntah semakin menjadi-jadi. Keringat dingin menyerang, dadaku semakin sesak, seakan seluruh pasokan oksigen di muka bumi menghilang secara misterius. Aku hanya bisa terengah-engah menekan dadaku sambil memejam mata.
"Kamu baik-baik saja, Selen?"
Setelah membuka mata menuju sumber suara, aku dapati wajah familiar yang membuatku langsung menghembuskan napas lega. Tapi, atasanku justru mengernyit khawatir. Kenapa dia? But, Hey! Ke mana semua orang tadi? Tinggal kami berdua di sini.
"Selenia, kamu baik-baik saja?" tanyanya lagi. Ekspresinya konsisten.
"Hm, ya, tentu," ucapku terbata-bata.
"Kamu ... sakit?" Dia tidak percaya jawabanku.
GEDUBRAK!!! PRANG!!!
Getaran maha dahsyat mengguncang kotak besi ini selama dua menit penuh, seakan-akan kabel baja yang menahan lift putus, membuat tubuh kami terhuyung ke sana ke mari. Aku dan Mas Ferro seperti dikocok dalam kotak Tupperware.
Getaran berhenti, lampu lift pun padam seketika. Ketiadaan cahaya membuat dadaku makin sesak. Rasanya mau mati.
"Selenia! Kamu punya riwayat asma?" Mas Ferro mengguncang kedua bahuku.
Aku tetap menggeleng sebagai jawaban meski dia tak bisa melihatku. Dada terus aku tekan, berharap rasa nyerinya pergi.
"Selen, demi Tuhan! Sebentar."
Mas Ferro pergi untuk berdiri di depan interkom yang terpasang di dinding. Aku melihatnya setelah lampu darurat menyala.
"Halo! Kami terjebak di lift karyawan," teriaknya gusar.
"Kami minta maaf atas ketidaknyamanannya, Pak. Perbaikan tim kami membuat listrik ikut drop. Kami akan segera menyalakan power listrik."
"Perbaikan di jam kerja?! Bercanda kalian! Staf saya sakit dan harus keluar dari sini. Kami pikir lift-nya jatuh!"
"Maaf, Pak. Kami akan segera mengirim tim ke sana. Mohon ditunggu."
"Ya pastilah! Kalian pikir apa lagi yang bisa kami lakukan selain menunggu?!" Sangat sarkas!
Klik.
Ternyata teriakan Mas Ferro tak mampu mendistraksi kecemasanku yang mulai naik level. Yang ada kesadaranku makin menurun dan tubuhku meluruh bagai es mencair.
"Selen!" Aku merasakan rengkuhan Mas Ferro dan dia membawaku ke dadanya, erat, tak berjarak seangin pun.
"Saya takut, Mas," bisikku tersengal-sengal. Bayangan mimpi buruk itu kembali.
Punggungku digosok pelan. "Jangan takut. Ada saya, Selen. Ada saya," mohonnya.
Tapi aku tidak menggubrisnya. Aku terus meracau tentang gelap, sesak napas, takut, tercekik, dan jatungku yang terasa nyeri karena dentamannya yang kelewat kuat.
"Selenia dari Selenium. Arseno dari Arsenik. Betul?" katanya tiba-tiba. Aku mendongak dan mendapati dia juga mencari mataku di tengah temaram lampu darurat.
"Ya, dari tabel periodik." Aku membenarkan. "Tapi ... Arseno? Mas kenal adik saya?"
Mas Ferro terkekeh dan mengembalikan kepalaku ke dadanya. "Seno teman minum kopi yang menyenangkan di kafe lobi." Herannya, aku tidak berjengit dengan pelukannya.
"Ah, begitu." Tepukan konstan di punggungku membuatku memejam mata sambil melakukan gerakan inhale dan exhale beberapa kali.
"Orang tua kalian sangat ilmiah."
Aku mendengkus sebelum menjawabnya. "Mendiang Papa dosen kimia, dan mendiang Mama ... guru kimia SMA."
Pelukannya mengerat. "Maaf."
"Nggak apa-apa. Kepergian mereka sudah jadi kenangan di museum." Kenangan yang tak menyenangkan, lebih tepatnya.
"Debaran jantungmu melambat." Aku mendongak sebentar. "Dan itu bagus."
Aku kembali bersandar. "Makasih."
"So, Selenia. Dengan Raka hanya bertahan dua minggu?"
"Excuse me?!" Dia malah tertawa lepas, membuat tubuhku ikut berguncang.
"Seno. Jangan marah padanya. Dia hanya mengkhawatirkan kakaknya."
"Mengkhawatirkan saya bukan dengan cara mengghibahi kakaknya pada atasannya." Aku memutar bola mata.
GEDUBRAK!!! KRAAK!!!
Sepertinya lift kami kembali terjatuh entah berapa lantai. Kami berdua terlonjak untuk terhempas lebih keras.
Tuhan, aku belum lihat Seno menikah. Tolong jangan matiin aku dulu.
Yang aku rasakan, rengkuhan Mas Ferro makin erat. Napasnya memburu di puncak kepalaku. Ah, dia ternyata sama takutnya denganku.
Satu gerakan kecil, kotak besi ini ikut bergerak mengikuti gaya gravitasi. Jadinya, kami tidak berani bergerak seinci pun. Aku makin menempel bak anak koala pada induknya.
Aku sudah kehilangan pita suara untuk sekedar cemas. Yang bisa aku lakukan hanya menangis tergugu di dadanya.
"Jangan takut," ulangnya berkali-kali.
"Gelap, Mas," isakku. Tidak ada lagi cahaya temaram lampu darurat. Gelap total membuat dadaku sesak. Ingatan masa kecilku kembali mengejekku sekarang.
"Astaga! Saya punya ponsel." Ponselku sendiri tertinggal di kubikelku.
Aku menyimak saat dia mencoba menelepon pemadam kebakaran, tapi gagal. Tidak ada sinyal. Jadi yang dia lakukan menyalakan lampu senternya saja. Cahaya terang membuat tubuhku berangsur rileks dan sesak karena ketiadaan cahaya mulai mengendur.
"Kalau kita mati?"
"Kita tidak akan mati," katanya meyakinkan. "Lebih baik kamu cerita mengapa tidak ada satu lelakipun yang bertahan lebih dari dua bulan dengan kamu, termasuk Raka." Sebelum aku bereaksi, cepat-cepat dia menambahkan, "Seno yang cerita."
Aku pikir, yang dilakukannya hanya untuk mengalihkan ketakutan yang sama-sama menyelimuti kami. Baiklah. Aku menyeka air mata dan mulai bertutur.
"Saya mutusin Yudis. Dia enggak suka Seno."
"Terus?" Mas Ferro mengelus rambutku di punggung.
"Latar belakang keluarga saya yang melakukan KDRT ke anak-anaknya membuat Bima mundur." Mas Ferro berhenti mengelus rambutku lima detik. Detik berikutnya, dia menempelkan pipinya ke puncak kepalaku dan menepuk punggungku. Aku ... menyukainya. Membuat perasaanku nyaman menceritakan aib sendiri meski di tengah ketidakpastian nasib kami.
"Lalu?"
"Gilang takut saya akan menurunkan gen rusak untuk penerusnya nanti. Dia nggak mau anak-anaknya jadi preman kayak mama saya. Jadi dia pun menghilang."
"Gilang brengsek!" desisnya.
Aku tertawa. "Memang." Tawa tadi lumayan mengendorkan sarafku.
"Yang terakhir?" Aku menyipit curiga. "Seno. Jangan marahi dia," katanya bersalah.
"Baiklah. Raka mengejek penyakit saya."
"Penyakit?"
"Klaustrofobia." Mas Ferro terkesiap. Dia malah mempererat pelukannya.
"Aku jadi mengerti mengapa kamu terlihat sangat enggak nyaman sejak masuk lift."
"Mama sering mengurung saya di WC kecil kami yang gelap selama berjam-jam. Katanya hukuman. Entah itu karena saya tantrum karena sesuatu, atau habis memukul Seno yang merebut mainan saya. I was four back then." Aku menghela napas lega karena telah membuang sebongkah beban. Dan yang lebih wow lagi, aku curhat ke atasanku sendiri!
"Sorry to hear that."
"Enggak apa-apa. Itu sebabnya saya enggak bisa bertahan dengan pria-pria itu. Sepertinya saya hanya perlu berteman akrab dengan kegilaan ini sendirian setelah pernikahan Seno dan Manda." Lelah akut melanda. Tubuhku tak lagi tegang. Hanya bersandar sepenuhnya pada atasanku.
"Izinkan saya menggantikan Seno untuk menemani kamu dan 'kegilaan'-mu. Kamu bisa pulih, Selen. Saya akan bantu. Dan saya berbeda dengan semua laki-laki tadi."
Aku memisahkan diri dan duduk saling berhadapan. "Hellow, Sir! Mas bercanda?" Kotak besi berderik, tapi aku malah lebih butuh penjelasan pria ini.
"Saya tidak bercanda. Cukup tiga tahun saya nunggu kamu. Sekarang giliran saya yang melindungimu, Selenia," ucapnya sungguh-sungguh.
"Mas Ferro ...." Dadaku berdebar untuk alasan lain, bukan karena penyakit sialan ini.
KRAAAK!!! KRIET!!!
Seseorang membuka paksa pintu besi di depan kami!
Seiring dengan cahaya yang menyeruak masuk melalui celah pintu lift, harapan untuk melihat Seno menikah menghangatkan sanubariku. Dan harapan untuk memulai petualangan baru bersama seseorang yang tidak akan menjatuhkan kekurangan dan latar belakang keluargaku, juga mulai tumbuh.
"Ayo keluar, Selen! Setelah kita benar-benar selamat, baru kamu pikirkan mata-kata saya tadi." Dia menarik tubuhku protektif keluar lift.
Mungkin aku tidak perlu memikirkannya karena, aku sudah tahu jawabannya.[]