Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Jangan Seperti Ibu
0
Suka
78
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Tangisku semakin menjadi-jadi. Orang-orang yang melihatku hanya bisa tertunduk sambil menggumamkan doa-doa. Irana dan Yaya, teman karibku, ikut mengelus punggungku dengan lembut.

Ustadzah Ainon memelukku hangat. Meskipun sudah berumur, namun sosok sepertinya mampu memberikan kehangatan kepada orang-orang di sekitarnya. Dia sudah seperti keluarga bagiku. Dia begitu memperhatikanku semenjak pertama kali aku menjadi murid mengajinya.

Malam ini, Ibu sudah berpulang. Aku hanya bisa menangisi sosoknya yang telah meninggalkanku selama-lamanya. Aku sangat mengkhawatirkan keadaan ibuku selama di alam barzah nanti. Apakah dia bisa merasakan secuil taman-taman surga? Ataukah harus menghadapi siksaan dan azab yang membuat semua makhluk hidup akan bergidik ketakutan melihatnya?

Kain lebar kerudung Ustadzah Ainon berubah menjadi sapu tangan yang dia gunakan untuk mengelap air mataku. Kecuali dirinya, semua orang yang menghadiri acara ta'ziah malam ini mengira paham dengan arti sesungguhnya dari tangisanku. Mereka pikir aku menangis karena merasa kehilangan. Padahal mereka keliru.

Meski anggapan mereka itu tidaklah salah sepenuhnya namun hal itu juga tidak benar sepenuhnya.

***

Sebelum malam ta'ziah, ketika sedang mengaji di sore hari sebelum adzan maghrib dengan teman-teman, semua orang yang ada di dalam masjid bersimpati kepadaku. Selama pengajian berlangsung, semua temanku turut menyatakan perasaan dukanya. Berbelasungkawa atas diriku yang kehilangan sosok ibu. Dan selama itu aku memasang senyum hambar sambil mengangguk kecil untuk menanggapi semua ucapan mereka.

Padahal biasanya pengajian kami dipenuhi dengan kekhidmatan dalam membaca Al-Qur'an sambil diselingi sedikit gelak tawa dari kami yang suka usil. Namun, sore tadi sangat berbeda. Suasana yang justru membuat linangan menggenang di pelupuk mataku. Cukup lama aku menunggu saat yang tepat. Aku tidak ingin sembarangan menumpahkannya kepada orang lain selain sosok Ustadzah Ainon secara pribadi.

Seusai salat Maghrib, setelah satu-persatu kami salim berpamitan kepada Ustadzah Ainon untuk kembali pulang, ketika itulah aku—yang berada di antrian paling terakhir untuk bersaliman, menumpahkan semuanya. Aku menangis di atas punggung tangannya. Kian lama kian deras. Beliau mengelus kerudungku mencoba menenangkan. Setelah agak tenang, aku langsung memintanya mendengarkanku. Beliau mengangguk setuju. Selanjutnya, aku memulai kata-kata yang aku rasa paling berat untuk disampaikan. Namun kali ini aku butuh untuk menyampaikannya khusus kepada sosok guru sekaligus keluarga bagiku, Ustadzah Ainon.

***

Selama ini, semua orang mengira kalau ibuku hanyalah seorang pedagang asongan di pemukiman kumuh kami. Padahal, dibalik itu semua, setiap malam tiba, ibuku akan selalu menghilang dari rumah lalu kembali bersama sosok pria hidung belang yang membuatku sangat takut setiap kali belajar di rumah ketika malam hari. Bahkan, hampir setiap kali ibuku pulang, bisa dipastikan dia akan dalam keadaan tidak sadarkan diri. Dan mulutnya menguarkan bau alkohol yang sangat kuat. Setiap kali itu terjadi, aku sudah siap untuk menggotong Ibu dari depan teras rumah. Syukur-syukur kalau laki-laki itu tidak mencoba menerobos masuk rumah dan membiarkan Ibu tergeletak di teras. Dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat pakaian Ibu yang tinggal dalaman dan hanya dibalut selimut tipis.

Setelah aku menggotong ibuku dan membaringkannya di atas ranjang, tidak jarang, dia akan mengatakan sesuatu dengan tidak jelas. Dan itu bisa tentang banyak hal yang berkaitan dengan pekerjaan malamnya itu.

Hingga suatu kali, tepatnya seminggu sebelum Ibu meninggal, setelah aku membaringkan Ibu yang tidak sadarkan diri di atas ranjang, tiba-tiba, seperti merapalkan mantra, Ibu mengucapkan namaku secara berulang-ulang.

“Sar…Sara…, Sara…Sa…”

Tidak sampai disitu. Tiba-tiba, Ibu menarik diriku dengan sangat kasar. Membuatku yang dari tadi termangu menatap dirinya mengigau di atas ranjang langsung ikut terbaring di sisinya.

Aku menatap wajahnya. Pada saat yang sama pandangan Ibu mengawang tidak jelas. Tapi sepertinya dia berusaha mencari bayangan wajahku. Tangannya meraba-raba wajahku. Dia lalu tersenyum. Aku sedikit bergidik melihat tingkahnya kali ini. Apakah dia kerasukan? Tidak mungkin. Pasti itu karena pengaruh alkoholnya yang masih kuat. Sekuat baunya yang menyengat di cuping hidungku. Meskipun bau itu sudah tercampur dengan bau rokok yang rutin dihisap olehnya, tapi masih cukup kuat untuk ku cium dari sisinya. Dan aku hanya diam sambil menutup hidungku. Tidak tahan dengan bau yang aku cium semenjak menggotong Ibu tadi.

Entah kekuatan dari mana, Ibu mulai berkata dengan sangat lirih.

“Nak, Sara sayang. Maafin Ibu ya. Ibu belum bisa jadi Ibu yang baik buat kamu. Tapi, tolong, Nak. Ikuti saja apa yang Ibu perintahkan buat kamu. Sekolah yang rajin, pergi ngaji, salat lima waktu, ya. Kamu, Nak, harapan Ibu satu-satunya. Dan jangan pernah coba-coba untuk ikut-ikutan apa yang Ibu kerjakan. Jangan pernah!“

Aku tahu kalimat terakhir yang dia ucapkan itu adalah perintah. Itu terlihat dari intonasinya yang sedikit lebih ditekan. Sekaligus aku juga sangat terkejut dengan perkataan Ibu yang, meskipun lirih, namun cukup panjang untuk menjadi igauan seseorang yang sedang mabuk. Aku jadi ragu apakah Ibu memang mengigau atau sadar dengan perkataannya?

Tapi, malam itu berlalu dengan kepala Ibu yang langsung kembali tergeletak lemas di atas ranjang. Suara mendengkur yang panjang dan keras terdengar hingga setiap sudut kamar.

Perlahan, aku melepaskan diriku dari genggaman Ibu yang sudah mulai melonggar. Lalu beranjak pergi ke kamarku untuk istirahat.

Saat itu aku bahkan tidak mengira bahwa Ibu sebentar lagi tiada. Setelah kejadian itu, selama seminggu, Ibu mengeluh sakit demam. Hingga pada akhirnya dia harus menghembuskan napas terakhir di atas ranjangnya di rumah kecil kami.

***

Aku telah menuntaskan setiap kata dengan deraian air mata. Ustadzah Ainon tersenyum teduh setelah aku tuntas menceritakan semuanya.

Beliau lalu melingkarkan tangannya di sepanjang punggungku sambil menepuk-nepuk lembut untuk menenangkan diriku yang masih menangis dalam dekapannya.

“Mbak, kamu berhasil. Anakmu, Insya Allah, akan menjadi penolongmu dari api neraka di akhirat kelak.” Ucap Ustadzah Ainon lirih. Saking lirihnya, aku bahkan sampai tidak menyadari kalau beliau mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang ternyata membawa diri beliau kepada memori masa lalu.

***

Temaram malam itu, langit menggeliat dalam deras hujan yang mengguyur bumi tanpa ampun. Setiap suara tetesannya menghapus kesunyian, bagai dzikir alam yang tak henti memuja Sang Khalik.

Ainon melangkah pelan di bawah teduhan payungnya yang usang, tubuhnya lelah setelah seharian berjibaku sebagai kasir di warung makan halal. Udara basah menempel di kulitnya yang kuning langsat, sementara jalanan begitu sepi, hanya diramaikan oleh gemericik air yang memantul di aspal yang retak, juga kendaraan yang sesekali—bahkan sangat jarang, melintas di jalanan.

Tiba-tiba, di balik deru hujan, terdengar rintihan pilu. Suara itu mengiris nalurinya. Seketika dia berhenti, matanya menyapu sekeliling. Di balik bayang-bayang overstek dari sebuah gang sempit di antara perumahan orang-orang, terlihat sosok wanita berpakaian daster tipis duduk merintih di atas kardus basah. Rambutnya kusut, wajahnya pucat pasi. Kedua tangannya mencengkeram perutnya yang menyembul, napasnya tersengal-sengal. Ternyata, wanita itu sedang menahan sakit kontraksi dari perutnya yang sedang hamil. Sebentar lagi, jabang bayi akan keluar dari rahim wanita itu.

"Mbak, tenang...Saya akan bantu!” seru Ainon, bergegas mendatangi wanita itu, lalu berlutut di sampingnya. Ingatannya melayang kembali ke masa remajanya dulu saat dia masih sering membantu dukun beranak dalam proses persalinan orang-orang di kampungnya.

Jari Ainon gemetar menghubungi Pak Gandar, pemilik warung makan halal tempat dia bekerja. Setelah menjelaskan panjang lebar, Ainon berkata dengan nada yang sangat tegas, “Bapak, tolong bawakan air hangat dan handuk! Ini darurat!” Dari ujung sambungan telepon, Pak Gandar mengiyakan. Berjanji akan segera tiba di lokasi Ainon kurang dari sepuluh menit.

Pak Gandar tiba dengan wajah cemas. Setelah mendapatkan barang-barang yang dia minta, Ainon memulai proses persalinan. Dia meminta Pak Gandar untuk menunggu di tempat lain. Pak Gandar manut.

Hujan masih menggila, tapi tekad Ainon tidaklah goyah.

Semuanya berlalu dalam dua jam yang menyayat, setelah kontraksi demi kontraksi mendera si wanita, akhirnya, suara tangis bayi yang pecah menjadi alunan melodi yang memberikan kehangatan atas harapan setiap orang yang melihat momen itu. Ainon bernapas lega. Ibu dari anak itu juga terlihat sudah sangat kelelahan. Tapi, raut bahagia tetap terlihat demi menyambut kelahiran anak miliknya.

Sang wanita tersenyum lemah, matanya berkaca-kaca. “Apakah, apakah anakku ini anak haram, Bu?“ Bisiknya lirih.

Ainon menghela napas. “Hanya Allah yang tahu, Mbak. Tapi, selama Mbak merawatnya dengan ilmu dan iman, pahala akan mengalir sampai ke liang lahad.“

Wanita itu memandang bayinya dengan rindu yang terpendam. “Kalau begitu, tolong asuh anakku, Bu. Saya tinggal tidak jauh dari sini. Tolong, Bu, bawa anak saya. Saya ingin ia tumbuh menjadi anak yang salehah...seperti nasihat Ibu.“

Ainon tertegun. “Tapi, anak Mbak butuh kehangatan dan susu dari Mbak langsung.“

“Kalau begitu, bawalah anak saya ini. Dan tolong setiap hari Ibu datang ke tempat saya untuk mengambil susu dari saya langsung. Saya ingin anak saya dirawat dengan benar oleh orang yang saya yakin bisa membuat anak saya kenal dengan agama, seperti Ibu dan perkataan Ibu tadi.“

Dan malam itu, Ainon melihat wanita itu mengelus sekali lagi anaknya dengan penuh kasih sayang. Air matanya menetes di atas pipi anaknya yang masih montok. Bayi itu perempuan. Kebahagiaan wanita itu sungguh tidak dapat dikiaskan dengan kata-kata. Begitu juga dengan Ainon yang melihatnya. Bagaimana bisa seorang ibu hendak memisahkan dirinya dari anak yang dikandungnya sendiri? Sungguh tidak masuk akal. Tapi, wanita itu hendak meniatkan yang terbaik untuk anaknya. Meminta Ainon yang ketika itu berbalut kerudung panjang untuk menjaga bayinya yang masih kecil.

“Nak, Ibu akan menamaimu Sara Amiroh.” Wanita itu membelai kepala plontos bayinya.

“Jangan ikuti Ibu, ya, Nak. Dunia Ibu tidak layak untuk mendidik kamu untuk menjadi baik. Ibu yakin, kamu pasti akan lebih bahagia kalau tinggal dengan...”

“Bibi Ainon.” Sambut Ainon dengan muka jenaka yang membuat si bayi semakin menggeliat dalam balutan kain di gendongan ibunya.

Ainon dan wanita itu sangat senang. Mereka tersenyum satu sama lain. Kemudian, setelah mendapatkan susuan pertamanya, Sara berpindah ke tangan Ainon.

Di bawah derasnya hujan dan air mata wanita itu, Ainon berjanji akan merawat anak itu sebaik-baiknya.

***

Hingga bayi itu kini sudah besar dan menangisi ibunya yang sudah tiada. Dan sedang menumpahkan kesedihannya di dalam dekapan Ainon.

Kepala Ustadzah Ainon lalu mendongak dengan air mata yang menggenang. “Maya, anakmu adalah hadiah bagimu. Sampai kapanpun, dia tidak akan mengecewakanmu sedikit pun.”

Ucap Ustadzah Ainon dengan penuh keyakinan. Sekaligus menjadi doa yang akan selalu menyelimuti Sara, semenjak dia mengasuhnya, kini, sampai kapan pun selama dia menjadi anak salehah yang selalu mengingat dan mendoakan orang tuanya.

Alunan adzan berkumandang. Menandakan salat isya sebentar lagi akan dimulai. Para jemaah mulai berdatangan satu-persatu. Aku mengusap sisa air mataku. Pelan-pelan, aku bangkit dari dekapan Ustadzah Ainon.

Tiba-tiba beliau menggenggam lembut kedua lenganku, “Sara, jangan lupa doakan Ibu, ya, Nak. Supaya tenang di alam sana.”

Aku menggangguk. Dan dengan khusyuk mendoakan Ibu di sepanjang salat. Juga di setiap salat yang aku tunaikan hingga akhir hayatku nantinya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
Kurebut Istri Mandul Milikmu
Sarah Jihan
Cerpen
Jangan Seperti Ibu
Nabil Jawad
Novel
Gold
KKPK Pink Cupcake
Mizan Publishing
Skrip Film
He Says He Loves Me
Aditya Prawira
Skrip Film
Star Syndrome
Hello there ...
Flash
Bronze
Telapak Tangan Ayah (Membicarakan Adam 16)
Silvarani
Cerpen
Tawar-Menawar
Nada Niken Anggraeni
Cerpen
Bronze
Arti Dari Ketulusan
Laskar ibrahim
Novel
I HOLD YOU
hulyah diana
Skrip Film
Nge-Band! 107
Yorandy Milan Soraga
Flash
Hadiah Untuk Bunda
R Hani Nur'aeni
Novel
Bronze
Pintu Tauhid 2
Imajinasiku
Skrip Film
SKETSA JODOH
Kim Hakimi
Flash
TIDAK BESOK
Shina El Bucorie
Cerpen
Bronze
Pelangi Satu Menit
Aneidda
Rekomendasi
Cerpen
Jangan Seperti Ibu
Nabil Jawad
Cerpen
Pantang Untuk Mencintai
Nabil Jawad
Cerpen
Mata Cekung Mbah Kukung
Nabil Jawad
Flash
Aurora di Petala Langit
Nabil Jawad