Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Mimpi buruk masih terasa membekas di benak Wahyu. Wahyu mengerjap, mencoba mengusir sisa-sisa kengerian yang entah apa wujudnya. Namun, di tengah kekosongan pasca-mimpi, sebuah fragmen percakapan justru menyeruak, lebih nyata dan menusuk daripada bayangan-bayangan tadi. Kata-kata itu, terucap lembut namun tajam, milik seorang wanita yang baru saja ia antar pulang dengan Mio Sporty birunya.
Putri seorang kiyai. Sosok yang teduh dan penuh cahaya, seperti rembulan di antara gemerlap lampu kota. Wahyu masih bisa merasakan degup jantungnya saat wanita itu, setelah basa-basi singkat di teras kosannya yang sederhana, menatapnya dengan mata yang menyimpan kedalaman samudra. Ia ingat betul bagaimana bibirnya bergetar saat mencoba menyampaikan apa yang selama ini bergejolak di dadanya. Sebuah rasa yang tumbuh diam-diam, seperti benih yang disiram kebaikan dan perhatian.
Dan jawaban itu… sebuah tamparan halus namun membekas. “Jangan mencinta terlalu dalam, Mas Wahyu. Cinta kepada makhluk hanya menghalangi cintamu kepada Tuhan.”
Kata-kata itu bagai mantra yang mengunci hatinya. Wahyu menghela napas panjang, mencoba mencerna maknanya. Ia mengerti, tentu saja ia mengerti. Sebagai seorang muslim, ia tahu betul keagungan cinta kepada Sang Khalik. Namun, mengapa cinta yang tumbuh dalam hatinya untuk seorang hamba-Nya terasa begitu salah? Begitu menghalangi?
Dengan senyum yang dipaksakan, Wahyu berpamitan. Ia menaiki Mio birunya, menyalakannya dengan enggan. Gas ia tarik perlahan, membelah dinginnya malam Jakarta dengan kecepatan siput. Pikirannya melayang, menari-nari di antara kenangan-kenangan singkat namun membekas bersama wanita itu.
Mereka bertemu di komunitas penulis. Sebuah wadah bagi para pejuang kata, tempat ide-ide bersemi dan persahabatan terjalin. Wahyu ingat betul bagaimana matanya selalu mencari sosoknya di antara kerumunan. Bagaimana jantungnya berdebar lebih kencang saat tak sengaja bersitatap. Dan yang paling ia ingat, aroma harum cemilan buatannya yang selalu menggoda.
Suatu sore, di tengah diskusi yang hangat, wanita itu menyodorkan sepiring kue kering yang renyah dan manis. Tanpa sadar, Wahyu meraihnya dan melahapnya dengan lahap. “Ini enak sekali,” ucapnya spontan, matanya berbinar. “Aku sangat suka! Bukan hanya cemilannya, tetapi… dirimu.”
Wajah wanita itu sedikit terkejut, namun segera digantikan dengan senyum tipis yang sulit dibaca. Ia menatap Wahyu lekat-lekat, seolah mencoba menyelami setiap sudut hatinya. “Hanya karena ini kamu suka kepadaku, Mas Wahyu?” tanyanya lembut, menunjuk kue kering di tangannya.
Wahyu terdiam. Pertanyaan itu membuatnya tersentak. Benarkah sesederhana itu? Ia mencoba mengingat kembali, menggali lebih dalam alasan mengapa hatinya terpaut pada wanita itu. Bukan hanya karena kebaikan hatinya yang terpancar pada semua orang, bukan hanya karena tutur katanya yang lembut dan menenangkan. Ada sesuatu yang lebih, sesuatu yang sulit ia definisikan. Sebuah kehangatan, sebuah ketulusan yang jarang ia temui.
Namun, benarkah ia hanya seorang pria yang tidak enakan? Sosok yang selalu berusaha menyenangkan orang lain, yang dengan mudahnya memberikan hati sebagai balas budi atas kebaikan kecil? Ia memang sering membuatkan minuman untuk teman-temannya di komunitas, selalu siap membantu jika ada yang kesulitan. Apakah itu berarti ia hanya seorang pencari validasi, yang salah mengartikan kebaikan sebagai cinta?
Sebuah suara, entah dari mana asalnya, berbisik di benaknya. Kau hanyalah orang yang senang membalas budi, Wahyu. Ketika diberi sedikit kebaikan dan tidak mampu membalas dengan materi, kau menggantinya dengan hatimu yang rapuh.
Ia menggelengkan kepala, berusaha menepis bisikan itu. Tidak, ini berbeda. Rasa ini lebih dalam, lebih tulus. Tapi mengapa wanita itu seolah meremehkannya?
Tiba-tiba, ia teringat percakapan mereka di teras kosan. Setelah kata-kata tentang cinta kepada Tuhan, wanita itu menatapnya dengan tatapan yang lebih serius, meski di ujung bibirnya tersungging senyum kecil.
“Hey, dengarkan aku, penulis yang berjuang di usia muda,” katanya dengan nada bercanda namun menusuk. “Apa yang kamu harapkan dari pernyataan cintamu ini? Mengajakku pergi menonton bioskop, makan malam romantis, dan staycation di hotel?”
Wahyu tersentak. Kata-kata itu, meski diucapkan dengan nada ringan, terasa seperti cambuk yang menghantam hatinya. Ia tidak pernah berpikir sejauh itu. Baginya, mengungkapkan perasaannya adalah sebuah kejujuran, sebuah pengakuan atas apa yang ia rasakan. Ia tidak mengharapkan imbalan apa pun, apalagi hal-hal duniawi seperti yang disebutkan wanita itu.
Wanita itu menarik napas panjang, senyumnya menghilang, digantikan dengan ekspresi yang lebih sungguh-sungguh. “Ini Jakarta, Mas Wahyu. Apapun bisa terjadi di sini! Aku berharap kamu adalah pria yang baik, bukan hanya di mata manusia, tapi juga di mata Tuhan.”
Kata-kata itu kembali menghantamnya. Ia merasa seperti ditelanjangi, seluruh kelemahan dan keraguannya terpampang nyata di hadapan wanita itu. Benarkah ia hanya seorang pria yang terlihat baik di luar, namun rapuh dan penuh dosa di dalam?
Ia teringat akan godaan-godaan duniawi yang terkadang menghantuinya, bisikan-bisikan syaitan yang mencoba meracuni pikirannya. Kesibukannya berpuasa dan berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan terkadang membuatnya lupa bahwa dalam dirinya juga bersemayam nafsu, keinginan-keinginan duniawi yang bisa menyeretnya jauh dari jalan kebaikan.
Benarkah? Orang baik dan buruk sama-sama melakukan dosa. Tetapi orang yang beriman adalah orang yang segera bertobat dan menjauhinya. Bisikan itu kembali hadir, kali ini lebih menenangkan.
Wahyu menarik napas dalam-dalam. Ia harus jujur pada dirinya sendiri. Ia memang bukan malaikat tanpa dosa. Ia memiliki kelemahan, ia pernah tergelincir. Namun, ia selalu berusaha untuk kembali, untuk memperbaiki diri, untuk menundukkan pandangannya dari hal-hal yang dilarang.
Ia ingat sebuah hadis yang pernah didengarnya, tentang seorang pemuda yang menjaga pandangannya karena takut kepada Allah, dan Allah menggantikannya dengan keimanan yang manis di hatinya. Hatinya tiba-tiba menghangat. Apakah mungkin, usahanya selama ini untuk menundukkan pandangan, untuk menjaga hatinya dari godaan, akan berbuah manis?
Mio biru Wahyu terus melaju perlahan, membawa tubuhnya menjauhi kosan wanita itu, namun pikirannya justru semakin mendekat pada Tuhan. Kata-kata wanita itu, meski terasa menyakitkan, justru menjadi cambuk yang membangunkannya. Cinta kepada makhluk memang bisa membutakan, jika tidak diletakkan pada tempatnya yang benar. Cinta yang sejati adalah cinta yang bersemi karena cinta kepada Sang Pencipta.
Wahyu memejamkan mata sejenak, merasakan angin malam menerpa wajahnya. Ada sebersit harapan yang mulai tumbuh di hatinya. Mungkin, dengan menundukkan pandangannya, bukan hanya dari hal-hal yang haram, tapi juga dari keterikatan yang berlebihan pada makhluk, Tuhan akan memberinya sesuatu yang jauh lebih indah. Bukan sekadar cinta dari seorang wanita, tapi cinta dan ridha dari Sang Pemilik Hati.
Malam itu, di atas Mio biru yang melaju perlahan, Wahyu mulai memahami. Cinta sejati bukanlah tentang memiliki, melainkan tentang merelakan. Bukan tentang menggenggam erat, melainkan tentang melepaskan dan menyerahkan segalanya kepada Yang Maha Kuasa. Dan mungkin, dengan begitu, hatinya akan menemukan kedamaian yang selama ini ia cari. Sebuah kedamaian yang jauh lebih dalam dan abadi daripada sekadar senyuman seorang wanita.
-Tamat