Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Thriller
Jangan Bercerita Dengan Kucing
1
Suka
51
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Jika ada teman yang bisa menjadi tempat bercerita, Damar hanya punya satu tempat, yaitu si Dom, kucing peliharaannya. Namun, jika Damar punya kuasa atas waktu, ia akan memilih kembali di mana ia tidak pernah sama sekali bercerita dengan kucingnya.

Sudah hampir setengah hari Damar habiskan waktu hanya untuk rebahan sambil mengelus kucingnya itu, sementara Dom hanya berguling-guling sambil sesekali memandangi tuanya. Lantai yang dingin dan berdebu sudah tak jadi masalah bagi keduanya. Semenjak kehilangan ayahnya setahun yang lalu, kehidupan Damar mulai terasa sulit. Ibunya harus bekerja keluar kota demi bisa membiayai kehidupan anak semata wayangnya. Sebenarnya setelah lulus dari SMP Damar ingin bekerja, membantu sang ibu agar tak perlu bersusah payah menyokong kehidupannya. Damar ingin menjadi tulang punggung, menggantikan peran Ayahnya. Namun, sang Ibu melarang, dan memohon kepadanya untuk tetap melanjutkan sekolah. Pendidikan lebih penting katanya. Sebagai anak yang baik, Damar memutuskan untuk mengabulkan permohonan itu. Walau terpaksa.

Damar bukanlah anak yang hobi berkawan, kesunyian sudah menjadi ruang ternyaman baginya. Ia selalu gagal dalam berteman atau pun mencari teman, ia gugup saat berinteraksi dengan orang lain, apalagi dengan wanita. Keunikannya itu yang membuat dirinya dijaili, bahkan dirundung oleh orang-orang di sekitarnya. Tapi semua itu sudah tak jadi soal, asalkan ia masih memiliki kucing kesayangannya, si Dom.

Dom bukanlah kucing ras, ia hanya kucing kampung berbulu hitam biasa yang Damar pungut di tong sampah tepat di samping rumahnya, yang membuat Damar tertarik dengan kucing itu adalah warna matanya, berbeda dari kucing lainya, mata Dom berwarna merah. Cinta Damar amatlah tulus terhadap Dom dan Damar juga merasa Dom pun menyayanginya. Damar percaya bahwa ada yang sepesial dari Dom. sebab kucingnya itu hanya akan mengeong saat dia bercerita. Damar tidak pernah mendapati kucingnya mengeong kepada orang lain, atau mengeong entah sebab apa. Sebagai seorang yang memiliki bakat kebal dengan kesepian, Damar bisa merasakan bahwa Dom juga sama sepertinya. Damar bersumpah bahwa ia amat beruntung bisa memiliki si Dom.

“Hari ini aku tidak masuk sekolah lagi Dom” Damar mengelus pundak kucingnya, “enakkan di rumah sama kamu.”

Dom, hanya mengeong.

“Kalo masuk sekolah aku hanya akan di siksa sama Yanto dan gengnya itu. Bangsat memang!” Ucap Damar. Matanya selalu menyala setiap mengingat wajah mereka, dadanya terasa panas dan refleks tangannya mengepal dengan sangat keras. Damar amat dendam.

Dua hari yang lalu, Yanto dan gengnya mengerjai Damar saat setelah pulang sekolah, mereka sering melakukannya lagi dan lagi, tapi kali ini sungguh keterlaluan. Damar yang saat itu tengah berjalan dengan tenang dikagetkan dengan kedatangan mereka. “Mar, jangan buru-buru pulang dulu, ayo, main sama kita-kita.” Ucap Yanto sambil merangkul Damar. Ia tertunduk, kedua tangannya menggenggam strap ranselnya.

“Eng-enggak, a-aku mau pulang.” Jawab Damar.

Mereka saling melihat satu sama lain, lalu tertawa. Entah, apa yang mereka tertawakan, Damar berusaha mencari-cari apa yang lucu dari ucapannya, tapi ia tak menemukan, yang Damar tahu seorang pembully selalu bisa tertawa di atas kesakitan dan penderitaan orang lain, dan mereka akan mencari orang lain dan akan selalu mencari orang lain itu. Dan mungkin saat ini adalah gilirannya.

Lalu, seketika tanpa aba-aba, mereka semua mengangkat tubuh Damar, membawanya ke tengah kebun. “Woy! Aku mau diapain, lepas!” mereka tak menghiraukan dan masih terus tertawa. Sesampainya di dekat pohon sawo, mereka mengangkat tubuh Damar semakin tinggi, menarik celana belakangnya dan mengaitkannya di salah satu dahan yang sudah koyak. Damar tergantung di dahan. Dia hanya bisa sedikit menjijit, namun tak bisa melepaskan diri. Mereka tertawa semakin kencang, memotretnya dan melemparinya dengan buah sawo busuk, bekas dimakan codot yang sudah berjatuhan.

Sepuluh menit berlalu semenjak mereka melakukan hal keji itu, tapi Damar merasa itu seperti berjam-jam. Bagi mereka itu kesenangan, bagi Damar itu neraka. Ia sudah lama berdoa atas ganjaran yang semoga lekas didapat oleh mereka. Katanya ayahnya, doa orang terzalimi itu pasti akan didengar, tapi nyatanya berhari-hari, berbulan-bulan, mereka masih saja bisa tertawa.

“Mar, kita sudah capek ini, besok kita main lagi ya. Da-da Damarr!” Ucap Yanto.

“Iblis!” umpat Damar pelan.

Mereka meninggalkan Damar tanpa lebih dulu menurunkannya. Kini ia sendirian, tergantung dan kotor. Damar sama sekali tidak menangis. Hatinya sudah tak lagi merasakan apa-apa. Kosong. Kepalanya kini penuh dengan pertanyaan perihal kenapa ia harus merasakan ini semua, ia membenci Yanto dan gengnya, ia membenci ayahnya yang mati meninggalkannya, ia membenci semua orang. Tapi lebih dari itu semua, Damar sangat membenci dirinya sendiri. Mau bagaimana pun ia harus tetap bertahan demi ibunya, dan selama ia masih memiliki si Dom, semua akan baik-baik saja.

Seharian rebahan membuat Damar lapar. Ia pergi ke dapur untuk mengambil lele goreng yang di masaknya tadi malam. Dipotongnya lele itu menjadi dua, Damar ambil bagian kepala yang menyisakan daging yang amat sedikit, dan sisanya diberikan ke pada Dom.

Mereka dengan nikmat makan bersama, bagaikan keluarga, atau lebih tetapnya memenang keluarga. Karena di rumah itu mereka hanya memiliki satu sama lain, Damar mencubiti sisa-sisa daging yang ada di kepala ikan untuk dilahap bersama dengan nasi, Dom rakus memakan daging ikan itu lengkap dengan duri-durinya.

“Tapi, mau tidak mau, aku harus tetap bersekolah Dom. gak apa-apa misal aku ketemu mereka lagi. Demi Ibuk. Aku gak boleh bikin kecewain Ibuk.” ucap damar di sela-sela makan. Dom hanya mengeong. “Kalo saja membunuh itu boleh, sudah aku kirim ke neraka mereka. Aku pengeng mereka, MATI!” kali ini, Dom hanya menatap tuanya yang tengah kalut dengan dendam. Pupil matanya yang merah itu mulai sedikit melebar, lalu perlahan-lahan menyala. Damar tak sadar, dan terus mengunyah nasi yang sudah tak menyisakan lauk lagi dengan penuh amarah.

“Aku tahu, Dom, Membunuh itu dosa, itu perbuatan setan. Ya maka biarlah aku jadi temannya setan, katanya teman sejati tak selalu berasal dari manusia-manusia yang sering berkhianat kayak bapak yang janjinya pulang malah mati atau yang suka menyiksa kayak mereka. Mungkin lebih baik aku bersahabat sama kamu, Dom. atau bahkan setan sekalipun."

 Kini hati damar telah penuh dengan dendam, dendam yang amat sangat berbahaya. Ia sudah acuh dengan apa yang telah ia ucapkan barusan, siang itu Damar hanya ingin marah, marah dan marah. Karena itulah satu-satunya cara ketika seseorang telah kehilangan harapan. Saat semua jalan tampak tertutup, kemarahan menjadi suara yang paling jelas, mewakili rasa sakit dan ketidakpercayaan. 

*** 

Damar terbangun di sore hari dengan perasaan penuh kepanikan. Dom, yang semula terlelap di atas dadanya, kini sudah tidak ada. Damar paham betul, itu bukan sesuatu yang wajar. Dom biasanya masih berada di sana atau di samping Damar, sambil menjilati bulu-bulunya sendiri. Damar bergegas mencari ke sepenjuru rumah—ke loteng, dalam kotak sampah, bak mandi, hingga Toren—tapi sama sekali tidak menemukan kucing kesayangannya. Kali ini, Damar memutuskan untuk mencari keluar. Saat ia berdiri di ambang pintu rumahnya, kakinya terasa berat, seolah ada beban tak terlihat yang menariknya untuk tetap di rumah. Melangkahkan kaki keluar adalah keputusan paling sulit bagi Damar. Di luar sana, ada orang-orang dengan tatapan tak menyenangkan, komentar yang menyakitkan, dan bisikan-bisikan yang selalu membuatnya ingin menghilang. Tapi Damar sudah benar-benar tidak menghiraukannya. Ia hanya ingin menemukan Dom, kucing kesayangannya. Damar mulai berlari.

Udara sore terasa lengket di kulit Damar. Matahari hampir tenggelam, tapi ia tidak peduli. Damar terus mencarinya, berkeliling ke seluruh desa—ke sungai, sawah, hutan, bahkan kuburan paling angker sekalipun—tapi ia sama sekali tidak menemukan kucingnya. Meski begitu, ia masih terus mencari dan terus berlari tanpa henti sambil meneriakkan nama kucingnya.

“Lihat Damar si bocah aneh itu, sudah mulai gila rupanya.” Ucap seorang penduduk desa yang melihatnya berlarian ke sana kemari.

“Kehilangan kucing saja sudah seperti kehilangan uang satu karung.” Ucap seseorang menimpali sambil tertawa kecil.

Mungkin benarnya apa yang mereka katakan. Dom memang lebih dari sekadar kucing bagi Damar. Dom adalah harta paling berharga yang ia miliki, Setelah Ibunya tentunya. Dom adalah tepat di mana Damar bisa bercerita, tempat ia pulang. Dom adalah rumah bagi damar. Hingga saat ini Dom adalah alasan kenapa ia tetap memilih untuk terus hidup. Namun, setelah Dom menghilang sekelebat perasaan ingin mati mulai kembali menghantuinya.

Bulan pucat di langit mengintip di antara dedaunan, menerangi jalan setapak yang ia lalui. Gagal. Sekali lagi, ia gagal menemukan Dom. Udara malam yang dingin semakin menyesakkan dada Damar, seolah menyerap segala harapan yang tersisa.

"Dom, kamu di mana?" bisiknya pelan, suaranya pecah oleh tangis. "Kamu sama saja kayak semua orang. Jahat. Kenapa, Dom?" Seketika, secara otomatis otaknya memutar semua kenangan pahit yang ia alami, ia merasa benar-benar sendiri. Dalam perjalanan pulang, Damar menyimpulkan tangannya, mencoba memeluk diri sendiri dengan erat.

"Meong..."

Damar berhenti, tubuhnya menegang. Suara itu, suara yang ia kenal lebih dari apa pun, membuat segala gundah, amarah, dan kesedihannya menguap bagai kilat. Dom, kucing itu sudah di rumah. Tubuh kecilnya tampak dengan tenang duduk di depan pintu, seolah menunggu kepulangan tuanya yang hampir gila karena mencarinya. Damar segera berlari mendekati Dom, padahal beberapa detik yang lalu ia tidak bisa merasakan kakinya, yang kebas dan lemas karena kelelahan setelah berjam-jam berlarian.

“Dom, kamu ke mana saja? Sudah aku duga kamu gak mungkin meninggalkan aku...” Damar masih menangis. Kali ini tangis kelegaan, Dom hanya menciut dalam pelukan tuanya.

***

Mimpi buruk bagi Damar benar-benar telah sirna, tiada kebahagiaan yang nyata bagi Damar selain melihat Dom pagi ini. Tumbuhnya yang kecil, berbulu hitam dengan mata yang berwarna merah itu tengah menggeliat-geliat di antara kakinya. Dengan lembut, Damar menurunkan tangannya dan membelai bulu halus kucingnya, ia merasakan kehangatan dan kenyamanan dari makhluk yang sudah seperti saudaranya. Entah, apa yang akan dilakukan Damar jika kucing kesayangannya benar-benar hilang. Ia membayangkan dirinya tersesat tanpa arah di dunia yang keji ini, tanpa satu alasan pun untuk bertahan. Atau mungkin saja bolos sekolah, seperti hari-hari sebelumnya. Tapi pagi ini, ia memutuskan untuk masuk sekolah, sesuai apa yang ia katakan kepada Dom tempo hari. Meski bayangan geng bajingan itu masih saja menghantuinya, tapi bayangan ibunya yang bekerja banting tulang di kota sana mengalahkan segala ketakutannya. Ia tidak pernah mau bercerita pada Ibunya, walau ia kerap disiksa dan dijahili sana-sini. Mereka berdua akrab, setiap minggu selalu berkirim pesan. Tapi Damar memegang prinsip bahwa pantang baginya bercerita soal kesusahannya saat ibunya saja mungkin kewalahan memikirkan kesusahannya sendiri. Oleh karena itu, hanya Dom tempat damar bercerita, meski dijawab hanya dengan dengkuran dan meongan lembut. Selama ada Dom, Damar akan baik-baik saja.

Jalanan setapak pagi ini begitu berbeda dari biasanya. Tak hangat karena matahari berselimut langit mendung. Udara dingin terasa begitu menusuk paru-paru. Damar jadi sedikit pilek dibuatnya. Damar melangkah pelan, kedua tangannya bersembunyi di balik kantung celananya, berharap tetap hangat. Matanya fokus melihat ke bawah menyusuri setapak jalan. Ia tak mau memandang orang lain, lebih tepatnya melihat wajah orang yang menatap kecut kepadanya. Ia hanya melihat ke bawah.

“Gila sekali, aku yakin bukan manusia yang melakukan itu, mual aku melihatnya.” Ucap seseorang di sisi jalan yang tak sengaja terdengar di telinga Damar. “Aku juga, mungkin tak akan bisa makan dengan tenang minggu ini. Kasihan sekali keluarga mereka...” jawab salah seorang lagi. Damar masih merunduk. Acuh dengan perbincangan mereka. ia terus melangkah menyusuri jalan memasuki area perkebunan, dia hanya berharap tidak bertemu geng bajingan yang menyiksanya tempo hari. Trauma menghantuinya, tapi ia tetap harus masuk sekolah hari ini.

Tak jauh dari sana, keramaian benar-benar hampir memenuhi separuh jalan. Damar mengangkat sedikit kepalanya, mencoba melihat sekitar. Sepertinya tak ada mata yang melirik ke arahnya saat itu. Semua orang tengah fokus berkerumun dan sibuk memperbincangkan suatu yang berada dibalik perkebunan, tempat yang sangat ia kenali, tertanam jelas di otaknya. Yaitu, kebun tempat ia digantung dan dilempari sawo busuk. Rasa penasaran menyusup ke dalam hatinya, perlahan dengan pasti ia menerobos kerumunan, Suara mereka terdengar riuh, membicarakan sesuatu yang tak Damar mengerti. Namun, yang jelas, jawaban atas rasa penasarannya ada di depan sana. Bau amis dan busuk yang tajam bercampur dengan udara dingin menyergap saat ia mendekat. Hidungnya terasa perih, setiap tarikan napas bagai menghirup racun yang merayap pelan ke tenggorokannya. Langkahnya ragu, namun ia tak bisa mundur. Semakin ia mendekat, semakin kuat bau menjijikkan itu, seperti ada sesuatu yang memintanya untuk tidak mendekat. Dan segalanya mulai terlihat.

“MAMPUS!”

Spontan kalimat itu keluar dari mulut Damar tepat saat ia tahu bahwa apa yang ada di hadapannya adalah mayat dari tubuh Yanto, bersama anggota geng lain yang selama ini selalu merundungnya. Mayat mereka tergantung, atau lebih tepatnya tertancap di pohon sawo. Mata mereka terbelalak kosong, ranting yang kokoh menusuk dubur mereka hingga mencuat menembus perut, darah kental mengalir dari ranting dan menetes, kulit pucat membiru, tubuhnya penuh dengan sawo yang dilempar super kuat hingga tertanam di tubuh-tubuh mereka membentuk cekungan, dan bau yang tak bisa diterima akal semakin menyengat. Jantung Damar berdebar kencang, kakinya gemetar, tapi ia tidak bisa berpaling. Apa yang menjadi ketakutan terbesarnya kini menjadi bangkai di depan mata. Mengenaskan. Damar tak menghiraukan perihal penyebab apa hal ini bisa menimpa mereka. yang jelas dengan penuh sadar dan waras ia benar-benar lega dan puas. Hal semacam ini amat menakutkan bagi semua orang, tapi ia melihatnya dengan penuh suka cita. Saat itu sulit bagi seseorang untuk tersenyum, tapi di situ hanya Danar satu-satunya orang yang tersenyum dengan lebar. Tak ada yang menyadarinya.

Satu minggu telah berlalu selepas kejadian mengerikan itu terjadi, satu minggu pula belum ditemukan alasan paling masuk akal bagai mana bocah-bocah itu bisa mati dengan sangat konyol dan mengerikan. Hingga kabar kematian ini tersiar ke desa-desa seberang. Beberapa orang menyebar fitnah bahwa ini ulah iblis pesugihan yang disewa pemilik kebun agar segala apa yang ditanam dapat tumbuh subur dan panen, tapi pemilik kebun membantah dan terlalu kaya untuk dengan mudahnya memenjarakan si penyebar fitnah. Orang sok tahu bilang ini ulah Alien yang sengaja bermain-main dengan tubuh mereka, orang-orang musyrik sesekali datang ke kebun itu, meminta nomor togel, dan sebagian ibu-ibu bertakhayul di depan anak-anaknya yang nakal bahwa berbahaya keluar di senjakala, sebab akan ada sosok keji yang akan menggondol mereka ke pohon sawo.

Jalan menuju kebun itu benar-benar telah sepi, kebanyakan warga lebih memilih jalan memutar meski itu jauhnya berbeda satu kilometer. Yang ramai dari jalanan di sekitar kebun itu adalah suara serangga yang berdering di siang hari, para pencari wangsit, pekerja kebun yang disewa dari luar desa dengan bayaran tinggi, dan tentu saja Damar. Tak pernah terlintas dalam benaknya akan ada hari di mana ia berangkat ke sekolah dengan penuh kelegaan, ia dapat dengan bebas mengangkat kepalanya, berlarian, melompat-lompat dan menari-nari saat berangkat dan pulang dari sekolah. Tidak ada mata yang menatap kecut ke arahnya, dan tidak ada orang-orang brengsek yang merundungnya. Tiap kali melewati tempat kejadian itu, Damar akan sesekali menyempatkan mampir ke pohon sawo, bukan untuk mendoakan mereka yang pernah mati di sana, tapi membayangkan posisi Yanto dan teman-temanya yang mati tertancap di ranting-ranting, karena itu akan membuatnya tertawa terpingkal-pingkal. 

“Siapa pun yang melakukan ini. Entah manusia, Tuhan, atau pun Setan—aku berterima kasih.” ucap Damar, dan akan terus mengulanginya sebanyak 40 kalinya di depan pohon sawo itu.

***

Tidak melakukan apa-apa adalah hal terbaik yang bisa di lakukan saat libur. Damar dan Dom, mereka benar-benar bersantai dalam kamar yang apek, mereka asyik bercakap-cakap dengan dua bahasa yang berbeda, dan anehnya mereka bersahut-sahutan, Damar berucap dan Dom mengeong. Begitu terus.

“Jadi manusia terlalu rumi..” kata Damar, “minggu ini aku kau jadi kucing saja.” Dan ia mulai mengeong-ngeong layaknya kucing.

Bukanya paham, Dom malah menatapnya bingung, tidak menjawab dengan meongan seperti sebelumnya, dan berhenti menjilat. Damar sedikit salah tingkah. Merasa malu. Padahal apa yang di depannya hanya seekor kucing. Ia berpikir mungkin ada pelafalan yang salah dalam meongan-nya sehingga Dom menafsirkan sesuatu yang aneh, seperti “Kamu akan kugoreng jadi lauk” atau “Boleh aku menjilati anusmu?”

Sesaat kemudian, secuil kenangan melintas di kepala Damar. Wajahnya langsung berseri-seri saat mengingat kenangan itu, dan pipinya memerah seperti udang rebus. Sesekali ia tertawa tanpa sebab, mirip orang sinting, lalu menutupi wajahnya dengan bantal yang sudah cokelat penuh iler. Dom, yang sedang santai, tiba-tiba diraih dan diangkat dengan kedua tangannya. Kini Dom tampak melayang di atas Damar yang berbaring. Dom hanya pasrah.

“Jika harus ditukar dengan nyawa untuk bisa dapatkan hatinya...” Damar mulai bercerita, lalu menurunkan Dom ke dadanya dengan hati-hati. “Mungkin tanpa ba-bi-bu, akan aku lakukan saat itu juga...”

Waktu itu, Damar duduk mojok sendirian memakan jajan kacang polong yang ia beli di kanti sekolah. ia amat jarang mengunjungi tempat itu, terpaksa jika memang lapar dan punya uang lebih untuk jajan. Dan hari itu ia lapar, oleh karena itu ia duduk di kantin saat itu. Dalam lamunannya, ia benar-benar dikejutkan oleh seorang wanita yang kira-kira berumus 34 tahun, bermata coklat, alisnya indah bagai sayap angsa, rambutnya hitam berkilau dan dipangkas setinggi bahu.

“Mau pesan sesuatu, Kak. Makanan atau minuman mungkin?”

Tentu saja, wanita itu hanya menawarkan dagangannya kepada Damar tanpa ada maksud lain. Sebagai seseorang yang mengais rezeki di kanti sekolah, menginginkan dagangnya laku terjual adalah cinta-cita besar bagi seorang penjual. Melihat Damar yang hanya menikmati kacang polong, ia merasa Damar belum makan sesuatu yang berat, atau paling tidak, memesan sebuah minuman. Tapi lain kata bagi Damar. Ia malah terpaku memandang lekat ke pada mata si penjual. Hatinya berdebar-debar seperti melihat bidadari yang beru saja turun dari kayangan. Tak ada satu pun kalimat keluar dari mulut Damar atas pertanyaan itu. Justru malah ia mencoba tersenyum yang terlihat dipaksakan. Wanita itu justru bergidik geli dan mengerutkan kening sehingga ujung-ujung alisnya bertemu. Sebelum sempat damar mengeluarkan sepatah dua kata, wanita itu melenggang pergi meninggalkannya. Ada sesuatu yang mengeras di balik celananya, sesuatu sensasi yang lama sekali tak ia rasakan. Saking lamanya hingga dia tidak bisa membedakan mana cinta, mana birahi. Tapi sayangnya, ia menafsirkan itu sebagai nuansa jatuh cinta yang tersulut dan membara di hatinya terhadap wanita itu.

“...aku akan menemuinya kembali besok.” Ucapnya bersemangat dengan burung yang tegang sebab membayangkan wanita itu. Seperti biasa, Dom hanya mengeong, dan matanya yang merah mulai menyala. Damar tak menyadari itu.

***

Langkah Damar tak bertempo pagi itu, sesekali cepat, dan sesekali melambat. Debar di dadanya sudah tak terbendung lagi. Keringat dingin ikut membasahi kening bagaikan orang demam di malam hari. Jam pelajaran sebenarnya sudah berjalan, izin ke toilet adalah kebohongan yang ia buat-buat. Sudah tak sabar Damar ingin pergi ke kantin, bukan itu memakan kacang polong, tapi untuk bertemu dengan salah seorang penjual di kantin itu yang benar-benar mengikat hatinya, atau birahinya. Mungkin tak ada bedanya cinta dengan birahi.

“Aduh burungg, kamu kenapa berdiri sih?” Damar sedikit mengendurkan ikat pinggangnya. Tak nyaman dengan tonjolan di balik celananya.

Tanpa sadar ia telah sampai di area kantin. Aroma semerbak kuah soto dan gorengan hangat menyeruak ke dalam hidung Damar. Ada empat penjual di sana, dan setiap tempatnya di sediakan ruang yang bersekat-sekat dan dapur sendiri-sendiri, persis seperti ruko di pasar. Pandangan Damar terfokus pada WR SOTO BU NANIK, posisinya ada di paling ujung, tempat di mana sosok yang ia idam-idamkan berada. Dari nama warungnya pun ia sudah bisa menyimpulkan nama penjual itu adalah Nanik. Kepala Damar di buat berputar memikirkan kalimat apa yang layak di ucapkan untuk pertemuan pertama dengan wanita itu. Berulang kali ia menyusun kata dan berulang kali juga yang merasa gagal menyusunya. Disela-sela kebingungan, ia melihat sosok kecil berwarna hitam berlari menuju warung itu.

“Loh, Dom!” ia terkejut “kok bisa dia di sini?”

Ia meloncat bagai walang melangkahi pot-pot bunga, berlari kencang menuju ke mana dom berlari. Yaitu, ke sebuah warung yang ingin ia tuju. Seakan terhipnotis tanpa sadar Damar memasuki warung itu, clingak-clinguk Damar mencari keberadaan Dom, namun yang ia lihat hanya setumpuk gorengan hangat, sate-setan, sambal, toge, timun yang di potong dadu, daun ketumbar, bihun, daging ayam cincang, jeroan dan daging sapi yang tertata rapi di etalase dan beberapa sayuran-sayuran segar yang bertumpuk di kolong-kolong. Berarti hanya ada satu tempat yang belum ia cek, dapur. Damar melangkah cepat ke sana. Dan benar saja, Dom ada di sana, menunggunya di balik tirai penyekat menuju dapur.

“Dom. jauh sekali kamu main!” ucap damar, berjongkok dan mengusap kepala kucingnya, ia amat bingung saat itu, yakin sekali padahal sebelum berangkat telah mengunci pintu dan menutup jendela rapat-rapat. Dom, hanya mengeong.

“Kamu, bocah yang kemarin, ya?

Damar tertegun sesaat, jantungnya kembali berdebar mendengar suara itu, yang tak lain adalah wanita yang sedari tadi ingin sekali ia temui. Mata mereka bertemu. Lain dari yang kemarin, Ia tampak tersenyum dengan mata yang lebar sedikit iler keluar dari sudut bibirnya. Ia mendekati Damar yang hanya terdiam meninggalkan sepanci besar kuah soto yang sedang di masaknya, lalu menarik kedua tangan Damar, mengajaknya berdiri. Dom melompat ke atas bak cuci piring, mencoba berjarak dan memandangi mereka berdua. 

“Aku tahu matamu melihat ke arah mana.” Ucap wanita itu, lalu menuntun Damar lebih dalam masuk ke area dapur. “Sekarang, bagian mana yang ingin lebih dahulu kau sentuh?” ucap wanita itu menggoda. Damar bergidik hebat. Segala perasaan aneh berkecamuk dalam hatinya. Ia masih tak paham dan apa yang tengah di hadapi.

“Ti-ti-tidak... a-aku tidak bisa.” Hanya kalimat itu yang dapat ia pikirkan.

Wanita itu tersenyum, “Mulutmu berkata tidak, tapi yang satu ini... sepertinya berkata lain.” Tangan wanita itu meraba sesuatu di balik celana Damar. “Bocah kurang ajar, bagaimana bisa kau bernafsu dengan wanita yang sudah berkepala tiga dan bersuami sepetiku.”

Di ruang dapur, bersama kuah soto yang mulai mendidih. Wanita itu menanggalkan pakaiannya, memaksa Damar menghisap putingnya yang masih berisi susu, sisa dari bayi yang baru dilahirkannya empat bulan yang lalu. Mereka memulai kegilaan itu, dengan Dom yang masih di sana, menatap mereka, dengan anteng.

***

Damar terbangun di toilet, bau pesing melekat dengan sergamnya. Kebanyakan toilet sekolah memang seperti itu, kotor dan bau. Tapi tak sedikit pun ia memusingkan hal itu, yang sedang ia pikirkan saat ini adalah; kenapa ia bisa berada di sana. Damar yakin betul beberapa menit yang lalu ia baru saja tenggelam dalam hasrat dengan Ibu penjual soto di kantin, dan kini ia justru berada di toilet. Dan ia yakin itu bukan mimpi, burungnya pun masih terasa sedikit ngilu dan lengket. Tapi, jika benar itu mimpi, berarti ia baru saja bercinta dengan setan. Pikirnya.

Matahari telah berada tepat di atas kepala Damar, yang berarti ia telah melewatkan dua mata pelajaran. Damar hanya mematung. Ia tak menyangka bahwa dirinya telah tertidur selama itu di toilet.

“Bagaimana bisa?” Ucapnya bingung. “Berarti benar, aku habis digondol setan.”

Damar mencoba tenang. Matanya awas melirik ke sekitar, tetapi tak ia dapati satu pun orang di sana. Padahal sekarang adalah jam istirahat. Cukup mencurigakan, tetapi setidaknya ia sedikit lega dengan situasi saat itu, yang berarti tidak ada orang lain yang melihatnya.. Ia mulai melangkah menuju kelas. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah mengambil tas dan pulang, sudah tidak ada alasan lagi baginya untuk melanjutkan pelajaran setalah dua mapel terlewat, dan keanehan yang baru saja menimpanya.

Langkahnya pelan menyusuri koridor menuju ruang kelas, suasana mulai berubah saat itu. Beberapa murid berlarian ke arah kantin, wajah-wajah mereka dipenuhi rasa ingin tahu setelah mendengar desas-desus yang mencurigakan, Damar tak begitu peduli. Namun, setelah suara sirene ambulans datang bersama hembusan udara, rasa penasaran mulai mengusiknya.

Beberapa meter dari kantin, Damar bisa melihat beberapa polisi sudah berada di sana, memasang police line, sementara sebagian guru memaksa siswa yang berkerumun untuk menjauh. Sebagian siswa lainnya sibuk merekam sesuatu yang pastinya tak Damar ketahui. Tak lama kemudian, dari pojok kantin sekolah yang bertuliskan ‘Warung Bu Nanik,’ keluar tiga orang perawat mendorong brankar, di atasnya terbaring seonggok mayat terbungkus kantung jenazah. Napas Damar mulai sesak, kepalanya berputar hebat. Beragam kebingungan dan pertanyaan benar-benar menyakiti otaknya saat ini. Damar mungkin tahu siapa yang ada di balik kantung jenazah itu, namun ia tetap memaksa dirinya untuk bertanya.

“A-Ada apa ini?" Tanya Damar, suaranya gemetar.

“Kau tak lihat? Seseorang baru saja mati," Ucap salah seorang siswa yang tak dikenalnya.

"A-A-Aku tahu... maksudku... siapa?"

"Ibu penjual warung itu. Dia ditemukan setengah telanjang di sana," jawab siswa itu dengan nada sedikit berbisik. "Kau tahu apa yang lebih gila?"

Damar terdiam, hatinya berdebar tak karuan.

"Dia mati dengan kepala tercelup ke dalam panci kuah sotonya sendiri."

***

Damar meringkuk dalam selimut, ketakutan merajai pikirannya. Bukan aku, bukan aku, bukan aku yang melakukannya, begitu terus kalimat yang keluar dari bibirnya sejak malam tadi. Ia tak tidur tadi malam, dan pagi ini lingkaran matanya sudah serupa pandan. Bola matanya benar-benar memerah, kulitnya pucat pasi, dan bibirnya kering kerontang. Pakaian yang ia kenakan masih sama seperti sehari yang lalu—seragam sekolah dengan aroma pesing. Kecemasan sudah benar-benar mengusik malamnya..

“Bukankah ini terlalu ganjil untuk jadi kebetulan, Dom?” Ucap Damar dari balik selimutnya. Dom mengeong. “Aku melihatmu, lalu kami bertemu, lalu melakukan itu, lalu tiba-tiba aku di toilet, dan dia mati.” Damar benar-benar frustrasi; ia mulai memukul-mukul kepalanya sendiri sepuluh kali dari balik selimut. Dom hanya memandanginya.

“Maaf, Dom, sarapannya nanti dulu ya.” Damar semakin meringkuk. “Saat-saat begini, aku hanya teringat Ibuk, Dom. Aku benar-benar tak nafsu makan, kecuali masakan Ibuk.” Dom hanya mengeong. Sedetik kemudian, ada cahaya aneh. Dari dalam selimut, Damar menerawang dua pasang cahaya berwarna merah menyala-nyala di hadapannya. Terkejut bukan main, secepat kilat ia segera mengibaskan selimutnya.

“Do-Dom, apa ini, Dom?” Damar terkejut untuk kesekian kalinya. Di hadapannya, telah tersaji sebakul nasi, sayur pindang, kangkung, sambal terasi, dan sepiring lalapan segar. Persis, persis seperti yang ia bayangkan. Damar langsung mencelupkan tangannya ke dalam semangkok pindang, meraihnya, dan memakannya. “Ibuk...” Damar berdiri, melompat dari kasur, kemudian berlari menyusuri seisi rumah. Ia amat yakin, pindang yang ia cicipi tadi adalah masakan ibunya. Karena itu, sekarang ia mencari-cari keberadaan ibunya. mungkin saja ibunya memberikan kejutan. Setelah berlarian ke sana kemari, Damar menyadari bahwa hanya ada dirinya dan Dom. Ia melangkah cepat ke dalam kamar, untuk kembali memastikan makanan yang tersaji di atas kasurnya, dan Dom.

Di depan pintu kamarnya, Damar bisa melihat Dom masih duduk anteng di sana, tak sedikit pun ia menyentuh pindang yang semerbak bau gurih itu. Perlahan Damar memasuki kamar, kembali ia pandangi segala makanan yang tersaji, ia cicipi kembali kangkung, sambal, serta kuah pindang. Tak bisa ia pungkiri, ini sama betul dengan apa yang ibunya buat. Damar kembali memandang Dom.

“Kamu yang lakukan ini?” Dom hanya mengeong. “Apa maksud dari meonganmu kali ini, Dom?” Damar menatap kucingnya lekat, “kamu jawab ‘iya’ atau kamu jawab ‘bukan’?” dengan suara yang bergetar.

“Kau yang meminta!”

Suara bernada mengerikan keluar dari mulut Dom. Damar jatuh terjengkang, terkejut lagi dan lagi. Napasnya tercekat beberapa detik; suaranya tertahan, lidahnya kaku hingga tak bisa berkata-kata. Dom mulai berdiri dengan kedua kaki belakangnya, matanya melotot bulat sempurna, hampir keluar dari kepalanya. Perlahan, segumpal darah dan daging menyerupai embrio tumbuh dan memecah, menyelimuti tubuh mungilnya, membesar dan terus membesar, hingga kasur yang ia pijak patah menjadi dua. Segala makanan yang tersaji tumpah ke kakinya. Samar-samar, tubuh itu membentuk sosok manusia dan perlahan mulai memadat.

Kini, di hadapan Damar, berdiri makhluk berperawakan manusia setinggi dua meter, berkaki sapi, berekor kelinci, berbadan seperti laki-laki, dan berkepala kucing, dengan satu tanduk tajam menjulang di dahinya dan gigi bawah melengkung ke atas bagai taring babi hutan.

“Si-siapa kau?” tanya Damar, tubuhnya menggigil, wajahnya yang pucat semakin pucat.

“Wahai cucu Adam, perkenalkan, namaku Felimor, gabungan dari feline dan mors. Aku adalah anak ke-982 dari Lucifer—ayahku yang tak pernah mengakuiku.” Ucap makhluk itu, memperkenalkan diri dengan sopan.

Damar hanya diam terpaku, menatap ke arah makhluk aneh itu. Ditamparnya muka sekali kanan dan sekali kiri, ini bukan mimpi, gumamnya. Ia ingat akan ceria ayahnya semasa kecil tentang nabi yang di datangi seorang malaikat dalam Goa, dan pulang dalam keadaan demam, mengigil. Kali ini Damar benar-benar merasakannya, tubuhnya menggigil hebat, keringat dingin membasahi keningnya. Tapi yang tengah dihadapinya bukanlah malaikat, melainkan iblis.

“Apa maumu, apa yang kamu lakukan pada Dom?” Tanya Damar dengan nada tinggi.

“Ow-ow-ow, yang kau sebut Dom, adalah aku. Akulah dia, kucingmu tersayang. Emm, Tak ada manusia yang memberiku nama sebelumnya, dan aku suka nama itu. Terdengar seperti... Demon, hahaha!” makhluk itu mulai tertawa terpingkal-pingkal. Lalu melanjutkan ucapannya. “Jika kau tanya mauku, mauku adalah sesuatu yang juga kau mau. Kau tinggal meminta, aku beri 8 permintaan, dan aku sudah beri kau tiga.” Sambil mengacungkan tiga jari, tampak dari masing-masing tangganya memiliki enam jari dan kuku hitam yang tajam.

“Tiga? aku tak pernah meminta apa-apa.”

“Ow, kau tak harus terang-terangan meminta, cukup kau ucapkan saja.” Mahluk itu melangkah mendekati Damar, berjongkok, lalu menunjuk dadanya. “Aku bisa lihat hatimu. Sesuatu yang paling kau ingin bisanya timbul di sana, dan aku akan mengabulkan sesuatu itu, benci, amarah, dendam, kesenangan, keserakahan semua akanku beri. Akulah Felimor. Sang pengabul doa-doa yang tak dijawab oleh surga.”

“Berarti kamu yang melakukan itu semua?”

“Menghabisi bocah-bocah yang kau benci, membuatmu bercinta dengan wanita yang kau suka, ya walau setelah sadar dia langsung bunuh diri, dan menyajikan masakan ibumu yang sangat kau rindukan? Ya, itu semua aku yang lakukan. Akulah Felimor. Sang pengabul doa-doa yang tak dijawab oleh surga, dan teman bagi yang malang.” Jawab iblis yang bernama Felimor itu, dengan bangga, dan mulai menari-nari.

“Perbaiki kasurku, aku meminta.” Ucap Damar tiba-tiba, tapi ia tak benar-benar meminta, ia hanya ingin mengetes saja. Felimor bilang, harus dari hati. Damar mulai berpikir, dan kembali memejamkan mata, aku benci keramaian di siang hari ini, aku ingin malam segera datang.” Ucapnya. Felimor mengangkat tangan kirinya, dan lalu menjentikkan jarinya, matanya yang merah mulai menyala, relativitas waktu mulai berbeda, di luar segalanya bergerak lebih cepat, dan di dalam rumah waktu tetap konstan. Damar bisa melihat hal itu dari jendela, awan bergerak sangat cepat, matahari menyingsing menuju senja, orang bersepeda bagai pembalap dan seketika langit benar-benar gelap.

“Kau sudah meminta empat, tinggal empat permintaan lagi.” Ucap Felimor menujukan empat jari.

Damar berdiri, mengepalkan tangan dan melangkah cepat mendekati Felimor. Namun, bukan untuk menghajarnya, tapi memeluknya tanpa ragu. Terima kasih, terima kasih, terima kasih, kamu penyelamatku. Begitu katanya. Gigil dan demam yang ia rasakan benar-benar sirna, saat ia tahu bahwa makhluk mengerikan di hadapannya ini adalah penyelamatnya, dialah yang membuat dirinya merasakan kebebasan dan suka cinta, dialah yang mewujudkan keinginan terbesar Damar, saat Tuhan tak mendengar doa-doanya. Mereka berdua mulai menari bersama-sama di bawah sinar rembulan. Falinor mengeluarkan sayapnya yang lebar bagai kelelawar, mengajak Damar terbang untuk melihat bulan lebih dekat. Tapi tak bisa lebih tinggi dari awan, sebab Felimor akan terbakar. Peraturan surga melarang makhluk sepertinya untuk mendekat ke langit, tempatnya ada di bawah. Mahluk rendah dan tercela sepertinya tak pantas berada dilangit.

“Malang sekali nasibmu, aku dirundung oleh Yanto dan kamu dirundung oleh surga, kita sama.” Felimor hanya tertawa terbahak-bahak. “Aku suka manusia seperti kau!”

Setelah puas terbang, Felimor membawa Damar ke sebuah tebing, lalu kembali bertanya, “Sekarang, apa permintaan kelima yang kau ingin?” Damar berpikir sejenak, lalu berkata, “Aku benci sekolah, aku benci orang-orang yang bisa dengan mudah berinteraksi, aku benci mereka yang tak pernah merasakan kesepian dan kehilangan atas kematian. Aku ingin… mereka semua merasakan apa yang aku rasakan.” Felimor mengangkat tangan kirinya, menjentikkan jarinya, matanya kembali menyala. Dan sebuah virus bernama Covid-19 mulai meraja rela ke seluruh negeri-negeri di dunia.    

***

Hampir dua tahun berlalu sejak terakhir Damar mengucapkan permintaan kelima. Hari-hari ia lalui dengan penuh ketenangan, saat orang-orang di luar sana menjalani hari dengan penuh kekacauan. Mereka takut dengan virus mematikan, sehingga memaksa mereka untuk bersembunyi di dalam rumah masing-masing. Sekolah di liburkan, dan segala kegiatan dilakukan hanya dari rumah. Damar di mana? Ia malah asyik berkeliling desa dan bermain kejar-kejaran bersama Felimor. Ini baru namanya kehidupan! Katanya.

“Hei, bocah gila! Jika mati, pastikan membakar sendiri mayatmu!” Ucap seseorang dari balik jendela dengan marah, saat melihat Damar yang dengan bebas berkeliaran. “Jangan khawatir. Dan tak perlu repot-repot juga mencari arang, karena dia akan memakan mayatku.” Jawab Damar. ‘dia’ yang ia maksud adalah Felimor, sesuatu yang tak bisa dilihat orang lain selain dirinya.

Permintaannya yang keenam adalah mesin popcorn, sebuah kotak berwarna merah dengan lampu kelap-kelip yang mengelilinginya. Di dalamnya, jagung-jagung meletup hangat dengan aroma dan rasa daun jeruk, asin gurih dan mentega yang menguar menggoda. Mesin itu ajaib—tak perlu listrik dan tak akan pernah habis, meski satu kampung menyantapnya sekalipun. Damar menginginkannya sebagai camilan saat menonton berita-berita kematian di televisi. ia menonton setiap berita dengan penuh suka cita saat orang-orang dibuat berduka karenanya. Sambil sesekali melempar satu buah popcron ke arah Felimor dan ia akan menangkap popcron itu dengan mulut lebarnya.

Satu hari berlalu, dan senyumannya memudar di keesokan paginya, saat ia mendapati pesan bahwa ibu yang dicintainya terdampak oleh Virus itu. Kini ibunya tengah di rawat, sendirian, tidak ada yang beloh menjenguk, bahkan Damar sekali pun.

“Kenapa ibuk juga ikut sakit?!” Bentaknya.

“Ow-ow-ow, salah virus itu, aku hanya menjentikkan jari.” Jawab Felimor.

Damar benar-benar dihantam bimbang. Tidak pernah terpikir dalam otaknya bahwa hal ini akan berimbas pula kepada ibunya. Biar orang-orang mati, tapi ibuk jangan, ucapnya frustrasi, padahal ibunya belum tentu akan mati. Kehilangan ayah ia rasa sudah cukup, dan itu menyakitkan. Ia hanya ingin orang-orang ikut merasakannya. Oleh karena itu, virus-virus hanya akan lebih kuat menyerang para orang tua. Namun, ia lupa bahwa ibunya juga termasuk orang tua. Ia tak ingin kehilangan ibunya. Tak ada cara lebih cepat untuk menyelamatkan sang ibu selain meminta permintaan ke-7 kepada Felimor. Tapi, ia cukup peka untuk menyadari, percuma jika ibuku sembuh tapi virus itu tetap ada. Atau, ia bisa meminta agar ibunya kebal terhadap virus itu, tapi Felimor bilang tak bisa, karena itu akan merusak kontrak No-5: 'semua orang' berarti tanpa terkecuali. Jika ada yang dikecualikan, maka kontrak akan rusak dan harus ada yang Damar bayar. Maka, Damar memutuskan untuk langsung mengajukan dua permintaan sekaligus. Permintaan ke-7, ia meminta kesembuhan ibunya. Permintaan ke-8, ia menarik permintaan ke-5 agar virus itu hilang. Felimor menjentikkan jari, dan matanya mulai menyala.

Damar kembali tanang saat ibunya mengabari bahwa ia secara ajaib kembali sehat, dadanya sudah tidak sesak, lidahnya mulai kembali bisa merasakan rasa asin, dan hidungnya sudah kembali bisa membau. Sementara itu, dunia belum menyadari bahwa virus mematikan itu telah hilang. Negara-negara sibuk berlomba-lomba mengembangkan vaksin dan mempercepat uji klinisnya. Bahkan, negara-negara besar mulai memanfaatkan situasi, menjadikan vaksin sebagai komoditas bisnis baru di pasar global, tanpa tahu bahwa semua itu mungkin sudah tak lagi diperlukan.

“Oke-oke, baiklah tuan majikan, itu adalah permintaan terakhirmu.” Felimor membuka mulutnya lebar lebar, jemarinya masuk menyusup ke dalam kerongkongannya, suara huwek terdengar di telinga Damar. ia berbalik menghadap Iblis itu. Lalu, Felimor menyerahkan selembar kertas putih yang bercampur air liur, terlihat seperti struk belanja. Di dalam struk itu tertera segala permintaan Damar, dan nominal yang harus ia bayar. Tapi bukan membayar dengan uang, melainkan jumlah darah per-gram.

“Apa ini?” Damar bertanya, masih belum mengerti. Ia ingin menangis.

“Harga yang harus kau bayar.”

***

Meski berwajah kucing, Felimor bukan kucing, ia hanya iblis, anak dari Lucifer yang tak pernah diakui. Felimor adalah aib bagi ayahnya, sebab ia yang paling lemah di antara anak-anaknya. Felimor sangat ingin diakui. Pada umurnya yang ke-500 tahun, Lucifer memberikan kesempatan dan tantangan kepadanya: jika ia mampu mengorbankan 999 darah manusia, maka ia akan mengangkat derajatnya menjadi wakil dari Baal, sang panglima neraka, dan menempatkannya dalam jajaran dosa ke-8, setelah tujuh dosa mematikan. Yaitu dosa Vanagloria (Pengakuan), yang berarti kebanggaan atau keinginan untuk mendapatkan pujian yang sia-sia atau tidak berdasarkan nilai sejati. Dosa yang terlahir di era modern dan menjadi pelengkap atas dosa-dosa yang lainnya.

Mungkin saat ini Felimor masih mencari mangsa, menjelma kucing. Dia tak mendengar ucapanmu, dia hanya mendengar apa-apa yang terucap dari hatimu. Jika kau punya kucing, aku sarankan jangan pernah bercerita dengannya. Sebab bisa saja, dia Felimor.

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Thriller
Cerpen
Jangan Bercerita Dengan Kucing
A.F Huda
Novel
JEBAKAN MAYA
YUYUN BUDIAMAN
Novel
BROKEN BUTTERFLY; Beyond the Night That Differs Love and Lust
iswana suhendar
Novel
Bronze
L.A. THE DETECTIVE
Nur Baiti (Hikaru)
Novel
Bronze
Intrik
Eko Hartono
Novel
KELESAH
Yunita R Saragi
Flash
Membayar Dendam
Ahmad R. Madani
Novel
Bronze
Lorong
Febe Rosa Oktriviana
Novel
TRIAD
DENI WIJAYA
Novel
Bronze
DEBAT
Bakasai
Novel
Bronze
Catatan Balas Dendam
Dimas Adiputra
Novel
Bronze
OBSESI
KUMARA
Novel
Bronze
Ngereh
Bakasai
Novel
Selimut Ilusi
Yusuf Mahessa Dewo Pasiro
Novel
Bronze
Sebelum Saya Bertemu dengan Aku
Aliensi
Rekomendasi
Cerpen
Jangan Bercerita Dengan Kucing
A.F Huda
Cerpen
Bocah Merah (Mari bermain)
A.F Huda