Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Horor
Jam Setengah Empat
0
Suka
566
Dibaca

Tidak banyak yang tahu, tapi setiap pukul 03.30 pagi, lonceng tua di atap sekolah dasar yang telah terbakar itu berdentang pelan. Suaranya tidak nyaring, bukan seperti lonceng upacara Senin yang membangunkan semangat. Dentangnya berat, lambat, dan anehnya—berulang tiga kali saja.

Pak Winarno tidak pernah bercerita tentang hal ini kepada siapa pun. Ia hanyalah seorang penjaga sekolah tua yang menolak pindah, meskipun sekolah tempatnya bekerja telah hangus oleh api lima tahun lalu. “Aku sudah terlalu tua buat pindah,” katanya pada siapa pun yang bertanya. Tapi alasan sebenarnya jauh lebih dalam dari itu.

Malam itu, angin mengiris kulit. Udara dingin menggigit jari-jari meski sudah diselimuti sarung tangan wol. Jam tua di dinding rumahnya berdetak pelan, menunjukkan pukul 03.29. Ia tahu yang akan terjadi berikutnya. Dan benar saja—dentang… satu kali.

Dentang… dua kali.

Dentang… tiga kali.

Pak Winarno menutup matanya. Ada sesuatu dalam suara itu yang membuat bulu kuduknya berdiri. Seolah-olah, suara itu memanggil… bukan hanya mengingatkan waktu.

---

Tiga hari sebelumnya, Dini—cucunya yang duduk di bangku SMA—datang dari kota. Liburan semester ini, orangtuanya mengirimnya ke desa agar tidak melulu menatap layar ponsel. Ia remaja cerdas dan aktif, penuh rasa ingin tahu. Terlalu banyak, menurut Pak Winarno.

"Di sini sinyal susah, Din," katanya ketika menjemput Dini di pertigaan jalan desa.

"Nggak papa, Eyang. Aku bawa buku kok. Lagian… aku juga mau tahu, kenapa sekolah Eyang nggak dibangun lagi?"

Pak Winarno diam. Matanya mengarah ke reruntuhan bangunan di balik semak, tertutup kabut tipis. “Itu cerita panjang.”

"Tapi aku mau tahu."

Dan begitulah—malam pertama Dini menginap, ia mendengar sesuatu dari kamarnya. Tiga kali dentangan lonceng. Tidak keras, tapi cukup membuat jantung berdebar. Ia membangunkan Eyang-nya, tapi Pak Winarno pura-pura tidak dengar.

---

Besok malamnya, Dini sengaja menahan kantuk. Ia memandangi jam dinding. 03.28. Ia membuka jendela kamarnya sedikit, menyembulkan kepala, dan…

Dentang.

Dentang.

Dentang.

Tepat seperti malam sebelumnya. Sekolah yang katanya terbakar itu… bagaimana bisa loncengnya masih berbunyi?

Pagi harinya, Dini mendesak Eyangnya.

“Siapa yang bunyikan loncengnya, Yang?”

“Lonceng rusak. Kena angin.”

“Ah masa iya setiap malam jam segitu? Kayak ada jadwalnya!”

Pak Winarno menghela napas, lalu duduk di kursi rotan. Matanya menatap kosong ke depan. Ia tidak ingin cucunya tahu. Tapi Dini adalah gadis cerdas. Ia pasti tidak akan berhenti sebelum tahu sendiri.

“Dulu,” Pak Winarno mulai pelan, “ada kebakaran besar. Hari Kamis pagi. Anak-anak masih di kelas. Tapi guru-guru panik, nggak semua berhasil keluar. Ada yang terkunci di ruang kelas.”

Dini menggigit bibir bawahnya. “Terus?”

“Lonceng itu terakhir dibunyikan hari itu. Oleh seorang anak yang naik ke loteng. Supaya orang desa tahu ada api.”

“Siapa?”

Pak Winarno terdiam.

“Siapa, Yang?”

“…Arfan. Anak kelas lima. Dia… anak baik.”

Dini tak bertanya lebih lanjut. Tapi malam ketiga, ia nekat mengajak Eyangnya ke lokasi sekolah setelah pukul tiga dini hari.

---

Mereka berjalan pelan di tengah kabut, hanya berbekal senter kecil. Sekolah itu kini hanya sisa puing. Tembok berlumut, papan nama sekolah miring, gerbang besi digembok, tapi karatan.

Tiba-tiba…

Dentang… Dentang… Dentang…

Mereka membeku.

“Itu bukan angin, Yang,” bisik Dini.

Pak Winarno menggenggam tangan cucunya. “Ayo pulang.”

Namun Dini menolak. “Eyang, aku harus tahu. Ini… ini bukan hal biasa. Ada sesuatu di sana.”

Tepat saat itu, angin bertiup pelan, menggerakkan rumput liar. Di balik pagar, mereka melihat… siluet anak kecil berdiri di lorong sekolah.

Siluet itu berdiri diam. Ukurannya kecil—seukuran anak SD. Tapi posisinya tegak, tak berkedip, tak bergerak. Senter Dini diarahkan ke sana, namun bayangan itu tidak memantul cahaya. Seolah-olah… dia tidak berasal dari dunia ini.

Pak Winarno mundur satu langkah, menggenggam tangan Dini lebih erat. “Kita pulang,” bisiknya tegas. “Sekarang.”

Namun Dini terpaku. “Tunggu… dia—dia pakai seragam sekolah, Yang. Lihat… dasinya merah.”

Siluet itu tiba-tiba mengangkat tangan. Tidak melambai, tidak menunjuk. Ia hanya mengangkatnya… lurus ke depan. Ke arah lonceng.

Dan kemudian, lonceng itu berdentang lagi. Sekali. Dua kali. Tiga kali.

Dini berlari. Pak Winarno mengejar dari belakang. Mereka tidak bicara apa-apa sampai tiba di rumah. Nafas masih terengah, tangan Dini bergetar saat menarik selimut. Sementara Pak Winarno menatap langit-langit kamar, matanya tak bisa terpejam.

---

Keesokan harinya, Dini tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. Ia diam-diam mencari di rak tua milik Eyangnya, membuka-buka dokumen lama. Sebagian sudah lapuk, tapi ia menemukan satu buku tebal: Album Tahunan Sekolah Dasar Kaliwungu Tahun 1999.

Di halaman tengah, ada foto hitam putih. Barisan anak-anak berseragam merah putih. Di bawahnya, daftar nama: Doni, Lestari, Bagus, Intan, dan…

“Arfan.”

Ia menyentuh nama itu. Anak laki-laki yang disebut Eyangnya. Foto Arfan tidak biasa. Ia berdiri di pinggir, sedikit terpisah dari teman-temannya. Wajahnya agak kabur, entah karena kamera, atau… karena sesuatu yang lain?

---

Hari keempat, Dini tidak bisa tidur. Pukul 03.25 ia sudah duduk di ruang tamu, senter dan jaket tebal siap. Ia tahu Eyangnya pasti melarang, jadi ia menulis secarik kertas:

> Eyang, aku harus ke sana. Aku janji akan baik-baik saja. Aku harus tahu kebenarannya. —Dini

Dengan langkah ringan, ia menyusup keluar. Kabut menggantung rendah. Langkahnya gemetar tapi mantap. Begitu tiba di depan sekolah, ia melihat pagar sudah… terbuka.

Ia masuk perlahan. Tak ada suara selain detak jantungnya sendiri. Lorong yang dulunya dipenuhi tawa kini hanya menyisakan bau arang dan debu tua. Dinding dipenuhi coretan waktu, jendela kaca pecah.

Dan di ujung koridor… ada pintu menuju ruang lonceng.

Tangga kayu berderit ketika ia melangkah naik. Setiap anak tangga memekik, seolah menjeritkan nama-nama yang tertinggal.

Ketika ia mencapai puncak, ia melihat lonceng itu. Besar, tua, tergantung miring. Tapi bukan itu yang membuat napasnya tercekat.

Di balik lonceng, ada Arfan.

---

Wajahnya polos. Kulitnya pucat, seragamnya bersih meski usang. Ia memandang Dini tanpa berkedip.

“Kau dengar aku,” katanya, suaranya nyaris seperti bisikan.

Dini tak bisa menjawab.

“Aku ingin pulang.”

“Pulang ke mana?” suara Dini parau.

“Ke rumahku. Tapi semua sudah tak ada. Ibuku… ayahku… rumahku terbakar juga malam itu.”

Dini menggigit bibir. “Kenapa lonceng itu berbunyi tiap jam 03.30?”

Arfan menunduk. “Itu waktu aku naik ke sini. Waktu terakhir aku hidup. Aku memanggil… tapi tak ada yang datang.”

Dini menelan ludah. “Lalu… kenapa kamu masih di sini?”

“Karena belum ada yang menjawab panggilanku.”

---

Suara lonceng tiba-tiba berdentang. Sendiri. Sekali. Dua kali. Tiga kali.

Dini menutup mata, tapi ketika membukanya lagi, Arfan sudah tak ada.

Yang tertinggal hanyalah hawa dingin menusuk tulang dan… secarik kertas kecil di lantai, bertuliskan:

> Tolong bilang pada Eyang… aku maafkan dia.

Dini merasa seakan berada di antara kenyataan dan mimpi. Hatinya berdebar kencang, wajah Arfan yang tiba-tiba menghilang masih membekas di benaknya. Ia memungut kertas kecil yang tertinggal di lantai. Tulisannya jelas, meskipun tidak terlalu rapi. Setiap kata seakan ditulis dengan perasaan yang sangat mendalam.

> Tolong bilang pada Eyang… aku maafkan dia.

Tangan Dini terasa dingin, tapi ia tetap memegang kertas itu erat-erat. Ada sesuatu yang tidak beres. Arfan seharusnya tidak ada di sana, dan seharusnya, lonceng itu tidak berbunyi tanpa alasan.

Ia harus kembali ke rumah. Semakin lama ia berada di tempat itu, semakin banyak pertanyaan yang menggantung di pikirannya. Bagaimana bisa Arfan muncul begitu saja, dan mengapa ia harus berada di ruang lonceng? Apa hubungan Arfan dengan Eyang?

Sesampainya di rumah, Dini langsung menuju ruang keluarga. Eyangnya sedang duduk di kursi panjang, menatap jauh ke luar jendela, seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat.

“Eyang,” Dini memanggil pelan. “Eyang tahu tentang Arfan?”

Eyang menoleh, matanya menyiratkan kejutan. “Arfan? Mengapa kamu menanyakan dia, Nak?”

“Eyang… Arfan yang muncul di sekolah itu, dia bilang dia ingin pulang, dan dia menulis pesan untuk Eyang.”

Eyang terdiam sejenak, wajahnya mendung. Ia menatap Dini dengan tatapan yang penuh beban, seperti ada sesuatu yang ingin disembunyikan. Kemudian, Eyangnya menghela napas dalam.

“Dini, ada hal yang sudah lama aku sembunyikan. Arfan adalah anak yang sangat dekat denganku, tetapi…” Eyang terdiam. “Tapi dia sudah tiada.”

Dini terkejut. “Tapi kenapa? Apa yang terjadi pada Arfan?”

Eyang menunduk, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Ada kebakaran di rumah Arfan malam itu. Waktu itu, aku tidak bisa menyelamatkan mereka. Arfan dan orangtuanya… semuanya tewas di dalam kebakaran itu.”

“Jadi… mengapa Arfan mengatakan bahwa dia ingin pulang?” Dini bertanya bingung.

Eyang menunduk. “Aku tidak pernah memberitahumu semua ini. Setelah kebakaran itu, aku merasa sangat bersalah. Arfan adalah anak yang sangat baik, dan seharusnya aku bisa menyelamatkannya. Aku tidak tahu kenapa, tapi sejak saat itu, aku merasa bahwa Arfan tidak benar-benar pergi. Entah bagaimana, aku merasakan kehadirannya di sekitar rumah ini.”

“Jadi… Arfan masih di sini?”

Eyangnya mengangguk perlahan. “Ya, Nak. Sejak kebakaran itu, aku merasa ada sesuatu yang hilang. Aku merasa seperti ada yang menghantuiku, dan itu adalah Arfan. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa ada yang tidak selesai. Mungkin dia belum bisa pergi karena rasa sakitnya yang belum terselesaikan.”

Dini merasakan sesuatu yang mendalam. Semua yang ia alami malam itu tiba-tiba terasa lebih nyata. Arfan bukan hanya muncul dalam bentuk bayangan, tapi juga melalui rasa kesalahan dan penyesalan yang belum selesai. Eyangnya merasa terjebak dalam kenangan Arfan yang tak pernah selesai.

“Apa yang harus aku lakukan, Eyang?” tanya Dini dengan suara lembut.

Eyang memandang Dini dengan mata yang penuh air mata. “Kamu harus membantu Arfan pergi. Bantu dia menuntaskan segala hal yang belum selesai. Dia merasa terperangkap, dan aku juga merasa begitu. Jika kamu bisa membantu, mungkin dia akhirnya bisa beristirahat dengan tenang.”

---

Dini tidak bisa tidur malam itu. Keterangan Eyangnya menggantung di pikirannya, terus berputar. Apa yang harus ia lakukan? Bagaimana caranya untuk membantu Arfan pergi? Ia tahu bahwa segala sesuatu yang terjadi bukan hanya tentang kehadiran Arfan di sekolah tua itu, tetapi juga tentang perasaan yang belum selesai—perasaan yang bisa saja mengikat Arfan di dunia ini.

Malam semakin larut, namun Dini tahu bahwa jawabannya hanya ada satu tempat: sekolah.

Dini terdiam sejenak saat melihat nama Doni yang tercoret di dinding. Itu bukan nama yang ia kenal. Namun, sesuatu dalam dirinya menyadari bahwa ini adalah petunjuk penting, meskipun ia belum tahu apa maknanya. Tanpa ragu, ia mendekati tanda itu dan meraba permukaan dinding yang kasar. Sebuah getaran aneh menyelusup ke dalam tubuhnya. Ada sesuatu yang aneh di balik tanda itu, seolah-olah dinding itu menahan sebuah rahasia besar yang belum terungkap.

“Arfan…” Dini berbisik, berharap arwah itu mendengarnya. “Apakah ini tentang Doni?”

Namun, hanya keheningan yang menyahut. Dini menarik napas panjang dan mencoba berpikir lebih jernih. Ia harus menggali lebih dalam, mencari tahu siapa Doni dan hubungannya dengan Arfan. Mungkin inilah kunci agar Arfan bisa pergi dengan tenang.

Sambil melangkah mundur, Dini melihat ke sekitar ruangan. Ada banyak benda tua yang berdebu, dan lonceng besar yang masih menggantung dengan tenang. Namun, pandangannya terhenti pada sebuah buku tua yang tergeletak di meja dekat jendela. Buku itu tampak sudah lama tidak dibuka. Tanpa berpikir panjang, Dini mendekati buku itu dan membukanya dengan hati-hati.

Halaman pertama tertulis nama yang tak asing lagi—Doni. Dengan tangan gemetar, Dini membaca lebih lanjut.

“Doni adalah sahabat Arfan. Mereka berdua selalu bersama. Namun, suatu hari, terjadi kecelakaan. Doni terjebak di dalam rumah yang terbakar. Arfan tidak bisa menyelamatkannya, dan mereka berdua terpisah selamanya.”

Dini membaca kalimat itu berulang kali. Ia merasakan beban yang luar biasa. Ternyata, selama ini Arfan merasa bersalah karena tidak bisa menyelamatkan sahabatnya, Doni. Itulah sebabnya ia tidak bisa pergi—karena perasaan bersalah itu mengikatnya.

Tapi, apakah hanya perasaan bersalah Arfan yang menyebabkan arwahnya terperangkap? Ataukah ada sesuatu yang lebih besar dari itu?

Dini menatap buku itu dengan penuh tekad. Ia harus menemukan Doni. Jika Doni bisa diberi kedamaian, maka Arfan juga bisa melepaskan diri dari rasa bersalahnya dan akhirnya beristirahat dengan tenang.

Tanpa buang waktu, Dini memutuskan untuk pergi mencari tahu lebih banyak tentang Doni. Ia keluar dari ruang lonceng dan menuju ke perpustakaan sekolah. Di sana, mungkin ia bisa menemukan sesuatu yang lebih banyak tentang Doni—tentang siapa dia sebenarnya, dan bagaimana hubungan mereka dengan Arfan.

Sesampainya di perpustakaan, Dini mulai mencari-cari di rak buku yang penuh debu. Beberapa saat kemudian, ia menemukan album foto yang tampak sudah sangat tua. Ketika membuka halaman pertama, Dini terperanjat. Di dalam album itu, ada banyak foto Arfan dan Doni yang tampak sangat akrab. Mereka berdua tertawa bersama, tampak sangat bahagia. Namun, di halaman selanjutnya, ada foto yang sangat mencolok—foto Arfan berdiri di depan puing-puing rumah yang terbakar. Di sampingnya, ada satu nama yang tertulis di bawah foto itu: Doni.

Dini merasa ada sebuah kekuatan yang menariknya ke foto itu. Dengan hati-hati, ia menyentuh foto tersebut, mencoba merasakan kehadiran Doni. Ada kesedihan yang sangat mendalam terpancar dari foto itu. Seolah-olah Arfan masih merasakan kehilangan yang sangat besar.

“Arfan…” Dini berbisik. “Aku tahu apa yang kamu rasakan. Aku akan membantu kamu.”

Tiba-tiba, Dini mendengar suara langkah kaki dari belakang. Ia menoleh cepat, namun tidak ada siapa pun di sana. Hanya angin yang berhembus pelan.

Dini menggigit bibirnya. Tidak ada waktu lagi untuk ragu. Ia harus mencari Doni—entah di mana, ia harus menemukan cara untuk menyelesaikan semuanya.

Saat ia keluar dari perpustakaan, sebuah suara kecil terdengar di telinganya.

“Cari di rumah lama Doni…”

Dini membeku. Itu suara Arfan. Suara yang familiar, meskipun tidak bisa ia lihat dengan jelas. Dini tahu, itu adalah petunjuk yang harus ia ikuti.

---

Malam itu, Dini menuju rumah lama Doni. Rumah itu terletak di ujung jalan yang sunyi, jauh dari keramaian kota. Begitu sampai, ia merasa udara di sekitar rumah itu semakin berat. Langkah kakinya terasa semakin pelan, dan perasaan takut menyelimutinya. Namun, ia tahu bahwa ia harus masuk.

Rumah itu sudah sangat tua dan tampak sangat terbengkalai. Jendela-jendela pecah, pintu-pintu terbuka, dan semua dinding penuh dengan noda hitam akibat kebakaran yang pernah terjadi. Namun, saat ia melangkah masuk ke dalam, Dini merasakan hawa dingin yang sangat berbeda dari luar.

Tiba-tiba, lampu yang ada di ruangan itu menyala sendiri, seolah-olah memberi petunjuk untuk menuju ke suatu tempat. Dengan rasa takut yang semakin dalam, Dini mengikuti arah lampu itu. Di ujung lorong, ia menemukan sebuah pintu yang tertutup rapat.

Dini mendorong pintu itu pelan-pelan. Begitu pintu terbuka, sebuah ruangan yang penuh dengan debu dan barang-barang lama terbuka di hadapannya. Namun, ada satu hal yang membuat Dini terperanjat—di tengah ruangan itu, sebuah gambar besar terpampang di dinding. Gambar Arfan dan Doni, keduanya tersenyum bahagia, namun ada sesuatu yang salah di mata Doni. Ada kesedihan yang mendalam, seolah ia tahu sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan.

Dini mendekat dan menyentuh gambar itu. Saat jarinya menyentuh gambar Doni, tiba-tiba seluruh ruangan bergetar keras. Lampu berkedip, dan suara jeritan mengerikan terdengar dari segala arah.

Tiba-tiba, Arfan muncul di depannya, wajahnya penuh kecemasan.

“Dini… aku… aku ingin pergi…” Arfan berbisik pelan, “Tolong bantu aku… bantu Doni…”

Dini menatap Arfan dengan mata berkaca-kaca. “Aku akan membantumu, Arfan. Aku akan membuat semuanya selesai.”

Namun, ketika ia menoleh ke arah gambar itu, Doni tiba-tiba menghilang.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Horor
Cerpen
Jam Setengah Empat
Penulis N
Novel
Pesantren Gaib
Ariny Nurul haq
Novel
Gold
Fantasteen Diary of March
Mizan Publishing
Cerpen
Bronze
Lipstick Letter Ghost
Risman Senjaya
Novel
Bronze
Are You Ready?
Naia Novita
Novel
Misteri Rumah Mantan
Ahmad jimi
Cerpen
Bronze
Hantu Tima
Abdi Husairi Nasution
Cerpen
Bronze
Rahasia Batu Misterius
Mochammad Ikhsan Maulana
Cerpen
Bronze
Turun Gunung
AWSafitry
Flash
Bronze
Kutukan kastil tua
HERLIYAN BERCO
Cerpen
Bronze
Kado Untuk Ibu
Iena_Mansur
Skrip Film
BONGKAH
Aisyah
Cerpen
Bronze
Suara Dari Frekuensi Mati
Christian Shonda Benyamin
Flash
Jangan Khianati Aku
Roy Rolland
Flash
Makam Keluarga
Ahmad R. Madani
Rekomendasi
Cerpen
Jam Setengah Empat
Penulis N
Novel
Phantoms Eclipse
Penulis N
Cerpen
Senja & Luka
Penulis N
Cerpen
Satu Meja, Dua Rasa
Penulis N
Cerpen
Delta
Penulis N
Cerpen
TITIAN MASA LALU
Penulis N
Cerpen
Pembisik di Atap
Penulis N
Cerpen
Titik Kembali
Penulis N
Cerpen
Tangan yang Tak Terlihat
Penulis N
Flash
Langkah Pertama
Penulis N
Flash
LANGIT SETELAH HUJAN
Penulis N
Flash
Perpustakaan yang Tidak Pernah Ada
Penulis N
Cerpen
Dukun Dadakan dari Depok
Penulis N
Cerpen
Dari Lelah Menuju Lega
Penulis N
Cerpen
Tiket Sekali Jalan ke Diri Sendiri
Penulis N