Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Horor
Jam Dinding
2
Suka
32
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Suara tangisan terdengar semakin jelas. Di tengah lahan pekuburan, di antara kuburan-kuburan yang lama, terlihat sebuah lubang yang baru selesai digali. Di sisi kanannya ada sebuah keranda dengan jenazah yang tertutupi kain batik dari ujung kepala hingga ujung kaki. Seorang perempuan paruh baya yang sangat dikenal Joni duduk di sisi kepala jenazah sambil meratapi kehilangannya.

Joni tidak pernah membayangkan akan kehilangan adiknya, Acil, secepat ini. Anak kesayangan ibunya itu meninggal dengan sebab yang tak diketahui pasti. Yang Joni tahu, malamnya Acil hanya mengeluh demam padanya, tau-tau keesokan harinya meninggal.

Ketika berita kematian Acil disampaikan kepada ibunya yang tinggal beda kota dengan mereka yang berjarak sekitar tiga jam perjalanan, wanita itu menyambutnya dengan histeris. Dia menghujam Joni dengan rentetan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan.

"Kenapa gak langsong dibawa ke rumah saket?" Atau "Kenapa gak langsong telpon ibuk?" Atau "Kenapa gak langsong diantar pulang ke rumah ibuk?" Dan pertanyaan-pertanyaan menyudutkan lainnya.

Namun, jawaban yang diterima dari anak sulungnya itu sama sekali tidak bisa memuaskannya. Dia malah balik menuduh Joni tidak peduli kepada adiknya yang pada saat itu sedang sakit.

"Gak dibawa adeknya ke rumah saket. Sampe hati dia liat adeknya saket." Kalimat itu terus terucap dari mulut ibunya di tengah isakan tangisnya, seolah mengumumkan kepada orang-orang kalau Joni lah penyebab kematian Acil.

Kalimat itu kemudian terus menggema mengisi setiap ruang-ruang memori Joni, bergantian dengan momen-momen ketika adiknya memelas dan merintih padanya namun diabaikan. Dia sama sekali tidak menyangka efeknya akan sejauh ini.

Mungkin ibunya memang benar. Mereka pun sebenarnya jarang terlihat akur. Sejak berumur lima tahun sampai 15 tahun kemudian, hubungan adik-kakak itu selalu saja diwarnai perselisihan, bahkan pada hal-hal yang remeh. Mungkin bagi mereka yang hanya terpaut usia dua tahun, adu mulut adalah cara komunikasi yang paling efektif.

Kesimpulan ibunya sungguh berdasar. Seandainya saja dia responsif dengan keluhan adiknya pada malam itu, mungkin saja ibunya tidak akan mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang akan memojokkannya.

Sejak jenazah Acil tiba di rumah duka hingga saat menjelang dimakamkan, Joni dan ibunya tidak saling bertutur. Ketika Joni berusaha mendekati ibunya untuk membuka percakapan di antara mereka, yang ia terima hanyalah penghakiman. Dia kembali terpojok. Dan hal tersebut membuatnya kian menjaga jarak dari ibunya demi memberikan ruang bagi duka di antara mereka.

Dalam susana pemakaman, di saat semua orang yang hadir mengelilingi jasad Acil dan mencoba menenangkan ibunya, Joni hanya berani memandang dari jarak 15 meter, jarak yang menurutnya aman. Matanya mulai berkaca-kaca. Napasnya agak berat dan tertahan. Dia ingin menyaksikan lebih dekat dan masuk ke dalam liang untuk mengantarkan Acil secara langsung untuk terakhir kalinya. Namun, dia hanya bisa mematung dan tidak sedikitpun berani melangkah lebih dekat.

Pemakaman itu dihadiri oleh beberapa pria dewasa. Joni tidak menghitungnya dan tidak juga memperhatikan wajah-wajah mereka yang turut hadir. Ia hanya fokus mamandang jenazah adiknya dan wajah pilu ibunya secara bergantian.

Namun, fokus Joni seketika teralihkan ketika suara nyaring dering ponsel dari arah belakangnya memecah keheningan. Dia berbalik dan melihat Heru (temannya dan juga Acil) baru saja memasuki gerbang yang berjarak sekitar 10 meter dari tempatnya berdiri.

Langkah Heru terhenti. Ia merogoh kantong celana dan mengambil ponselnya, menatap pada layar beberapa detik, kemudian berbicara melalui ponselnya. "Iya, Bang.... Hari ini tutup dulu ya, Bang. Ada teman meninggal.”

Sepertinya panggilan itu dari pemilik warkop warmindo tempatnya bekerja. Joni tak menyapa. Dia kembali membalikkan badannya ke arah kerumunan pelayat dan memilih mengabaikan temannya itu. Namun, semua orang kini telah menatap ke arahnya dengan tatapan sinis disertai suara-suara mereka yang saling berbisik. Dia tidak bisa mendengar kata bisikan itu dengan jelas, tapi yang jelas bisikan itu terdengar begitu tajam di telinganya, seperti desisan sekelompok ular. Sangat mengganggu.

Joni tersentak, ia mulai merasa tidak nyaman dan memilih mundur dengan langkah yang pendek dan lambat.

Satu. Di tengah-tengah suara desisan orang-orang yang masih menatapnya tajam, samar-samar ia mendengar suara ibunya.

Dua. Lirih dan parau sambil menatap pada jenazah anaknya dan berkata, "kenapa harus anak ini?"

Tiga. Masih dengan posisi dan nada yang sama, "kenapa bukannya..."

Empat. Pada langkah keempat dia dikejutkan oleh suara ibunya yang berteriak dengan mengacungkan telunjuk ke arahnya, wajahnya memerah, tatapannya tajam seolah ingin menerkam. "...DIAAA."

Joni terbangun dari tidurnya. Napasnya terengah-engah. Wajahnya telah basah dengan keringatnya sendiri. Mimpi itu terus mengusiknya selama dua minggu ini, setiap malam sejak malam pertama setelah pemakaman. Dia berusaha untuk melawannya dengan tidak tidur. Namun, kantuk itu tak tertahankan. Mimpi itu pun kembali menghampirinya barusan. Itulah alasan mengapa ia selalu menghabiskan sepanjang malamnya bergadang dengan Heru di warkop tempat temannya itu bekerja, satu-satunya warung yang buka 24 jam di dekat kontrakannya (dan Acil).

Warkop itu memanjang. Dapur, meja bar, dan bangkunya sejajar. Di ujungnya terdapat sebuah kamar yang terhubung langsung dengan dapur, membentuk huruf "L". Antara kamar dan ruang pengunjung dibatasi oleh partisi triplek dengan pintu yang berada tepat di tengah, dekat bangku pengunjung.

Joni masih dalam posisi duduk di tengah-tengah bangku dan menghadap ke arah dapur yang dibatasi meja panjang dengan tiga dandang stainless di baliknya. Sekelilingnya tampak kosong. Tak ada pengunjung yang tersisa selain dia. Heru juga tidak terlihat di depannya. Mungkin sedang di kamarnya.

Dari ujung mata, di sudut kanan dapur yang terhubung langsung dengan kamar, Joni sekelebat melihat bayangan lelaki bergerak ke dalam kamar. Dia tidak menghiraukan dan mengecap kopi hitamnya yang telah dingin dan tersisa setengah.

"Harusnya kasih lebih banyak gula, Sat. Biar melek terus."

Tak ada jawaban dari Si Bangsat (panggilan akrab yang orang-orang sematkan untuk Heru).

Joni memandangi jam dinding tua yang berada 45 derajat di atas kepalanya, tepat di atas barisan kotak-kotak yang berisi stok mi instan. Pukul 11.40 malam. Pantas sepi.

Ada yang salah. Joni kembali memicingkan matanya dan menangkap sebuah kejanggalan. Jarum detiknya hanya bergerak pada angka dua belas. Satu ketukan ke kanan. Satu ketukan ke kiri. Tik-tok. Tik-tok.

"Sat, jam mu itu lho, batre nya abis kah?."

Tak ada jawaban dari Heru.

Tiba-tiba pintu kamar yang berada di sisi kanannya terbuka dengan pelan, kira-kira selebar dua jengkal.

Joni memalingkan wajahnya ke arah pintu yang terbuka. Tetap tak bisa mendapatkan informasi apapun dari balik celah itu.

"Sat, kamu lagi ngapain sih?" Tanya Joni dengan agak kesal.

Hening. Udara malam yang dingin mulai menusuk. Bulu romanya berdiri. Telapaknya mulai mengelus-elus lengannya.

Suasana masih tetap hening hingga beberapa saat. Joni penasaran. Temannya itu bukannya menjawab pertanyaannya, malah memainkan pintu. Semenit kemudian dia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ke arah pintu yang terbuka dan mendorongnya hingga terbuka sempurna.

Dia masuk ke dalam kamar.

Langkah Joni mendadak terhenti. Raut wajahnya berubah. Matanya melebar. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Dia melihat Acil sedang merintih, terbaring di pojokan belakang pintu dengan memakai selimut tebal yang menutup seluruh badannya yang bergetar dan hanya menyisakan kepalanya. Jelas ini adalah sebuah pemandangan yang ganjil. Bagaimana mungkin Acil masih di sini? Joni sadar betul Acil sudah beda alam dengannya. Dia masih ingat ketika dirinya mengantarkan adiknya itu ke peristirahatan terakhirnya tepat dua minggu lalu, walau hanya dari jarak beberapa meter. Namun dia bisa memastikan semua yang dilihatnya pada hari itu adalah nyata. Adiknya telah meninggal.

Bulu kuduk Joni berdiri. Napasnya memburu. Dia tak mengubah posisinya dan mencoba memberanikan diri untuk bertanya. "Cil.... Aman, Cil?"

Acil membuka matanya. Tak ada gerakan berarti. Dia masih merintih dan badannya masih bergetar. Matanya terlihat memerah dan wajahnya sangat pucat.

"Sakit Jon. Lemes," jawab Acil lirih. Sama sekali tak bertenaga seperti ketika mereka biasa berkomunikasi secara efektif. 

Joni masih belum berani mendekat.

"Ke dokter mau?" Tanya Joni ragu-ragu. "Sanggup bangun kau Cil?" Sambungnya dengan posisi yang kini setengah berlutut menghadap Acil.

"Jamnya Jon!" Suaranya pelan dan parau. Acil melirik, menujuk ke arah jam dinding di dapur dengan gerakan matanya (walaupun tak mungkin bisa melihat jam itu jika dari posisi Acil). "Putar jamnya Jon," pintanya.

Joni mengernyitkan dahi. Entah apa yang dimaksud Acil. Dalam keadaan penuh ketakutan dan kebingungan, dia berjalan ke arah dapur di tengah suara rintihan adiknya. Dia melewati sisi kiri kamar warkop yang terhubung langsung dengan dapur.

Dia melirik pada jam dinding di atasnya. Terlalu tinggi. Dia melihat ke sekeliling untuk bisa menemukan sesuatu yang bisa menjangkau jam itu. Tidak ada. Dia lalu menunduk dan menemukan sebuah kursi di bawah meja dapur, meraihnya, dan menggunakannya sebagai pijakan.

Jam itu hanya jam dinding biasa. Putih polos dihiasi angka-angka berwarna hitam sebagai penunjuk waktu dengan bingkai tebal berwarna kuning. Diameternya sekitar 30 cm. Tidak ada sesuatu yang spesial. Bahkan kaca depannya saja sudah tidak ada lagi. Pecah mungkin? Matanya menatap pada jarum detik yang masih bergerak dengan pola yang sama seperti yang ia lihat sebelumnya. Satu ketukan ke kanan dan satu ketukan ke kiri. Tik-tok. Tik-tok.

Suara rintihan Acil masih terdengar. Joni bingung harus memutar jarumnya ke arah mana. Lalu diputarnya sekenanya salah satu dari jarum jam itu. Dia memutar jarum menitnya ke arah kanan dan berhenti tepat di angka dua belas. Waktu pada jam tersebut menujukkan pukul 12.00 dini hari. Dan tanpa menunggu jeda, kondisi cuaca di luar mendadak kacau.

Joni dikejutkan dengan suara guntur yang memekakkan telinga, disusul kilatan cahaya yang begitu silau. Dari dalam, Joni bisa melihat dengan jelas cuaca di luar yang tadinya tenang mendadak berganti menjadi hujan badai dengan petir dan guntur yang saling bersahutan, terus-menerus tanpa henti. Joni tampak bingung dan merasakan bulu kuduknya kembali berdiri. Hawanya terasa semakin dingin.

Belum selesai mencerna perubahan cuaca yang seketika menjadi begitu ekstrem, tiba-tiba telinganya dihantam dengan sebuah suara yang penuh penekanan.

"Putar ke belakang, Anjingggg.”

Joni terkejut diikuti gerakan reflek menutup telinganya. Wajahnya berubah pucat. Suara itu jelas familiar baginya, suara Acil kalau lagi marah. Tapi kali ini amarahnya begitu besar, suaranya begitu keras.

Sepersekian detik dia tersadar akan kondisi Acil. Joni berlari ke kamar mencoba memastikan kondisi adiknya di tengah badai ini. Kosong. Acil sudah tidak ada di sana. Hanya menyisakan selimut yang berantakan.

Kemana dia pergi? Bagaimana mungkin dia bisa kabur dengan kondisi sakit di tengah hujan badai seperti ini? Mustahil dalam rentang waktu yang begitu singkat, orang dengan kondisi yang tadinya terbaring lemas bisa benar-benar hilang. Terus suara siapa yang dia dengar barusan? Benarkah suara adiknya? Kenapa dia terdengar begitu marah?

Joni terdiam sejenak, mencoba mencerna kejadian sebelumnya yang begitu membingungkan. Dia kembali berjalan menuju jam dinding, memutuskan megikuti instruksi dari suara yang mirip Acil tadi, dan memutar jarum jamnya lagi. Dia memutar jarum yang paling pendek ke arah kiri tepat di angka sembilan. Jam menunjukkan tepat pukul 9.00 malam.

Mendadak suasana di luar kembali tenang. Hanya gerimis. Namun, dinginnya tetap masih sangat menusuk. Sayup-sayup terdengar suara percakapan dua orang dari dalam kamar.

"Badan ku lemes banget Jon. Tolong antarin ke dokter lah! Udah gak kuat aku." Suara Acil kembali terdengar lirih.

Tapi dia berbicara dengan siapa? Kenapa menyebut nama Joni. Jantungnya berdegup kencang. Napasnya naik-turun tak karuan.

"Alaaah, demam biasa itu. Bawak tidur aja. Besok juga sembuh." Suara satunya membalas. Terdengar jelas seperi suara dirinya. Ia yakin betul itu suaranya.

Joni mulai ragu dan takut untuk kembali ke kamar itu. Tapi rasa penasaran sepenuhnya menguasai langkahnya yang kaku. Dia mendekat perlahan. Mencoba mengintip dari balik sekat partisi kamar. Benar. Joni melihat dirinya yang lain berdiri tepat di depan Acil yang sedang terbaring lemas dalam selimutnya.

Percakapan itu berulang secara terus menerus, dengan kalimat yang sama dan intonasi yang perlahan semakin meninggi, seakan-akan waktu bagi mereka hanya bergerak pada momen-momen itu. Momen Joni menolak membawa Acil ke dokter.

Joni terlihat semakin pucat. Keringatnya mulai bercucuran di tengah udara yang dingin. Ketakutan kini telah menguasai dirinya. Rentetan peristiwa aneh tentang Acil yang silih berganti membuatnya takut sekaligus bingung. Joni berbalik dan melihat ke arah jam dinding. Pemandangan aneh lainnya kembali terjadi. Jarum detik yang tadinya hanya bergerak-gerak di angka dua belas, kini bergerak dari angka sembilan ke angka dua belas, kemudian berbalik dan mengulang secara terus menerus. Lima belas detik. Menegaskan kalau waktu memang sedang bergerak pada detik-detik ketika Joni menolak membawa Acil ke dokter. 

Dia kembali berbalik menghadap ke arah Acil dan dirinya yang lain. Mencoba tak menghiraukan anomali yang terjadi pada jam dinding itu. Namun, sosok yang tadi adalah dirinya kini telah berubah, berganti dengan sosok wanita yang posturnya mirip ibunya. Joni tersentak dan menghantam partisi kamar.

Duk.

Sadar ada yang menguping, pandangan Acil langsung mengarah ke padanya. Wanita itu masih dalam posisi yang sama, berdiri menghadap sosok yang terbaring di lantai. Setelah arah pandang Acil berubah, Joni menyaksikan kepala wanita itu berputar 180 derajat menghadapnya.

Kretek. Kretek. Kretek.

Lehernya terpuntir.

Ekspresi Joni penuh ketakutan. Yang dilihatnya sekarang adalah wajah ibunya dengan matanya yang melotot hingga nyaris terlepas.

Dua sosok di hadapannya berteriak serentak. "Anjiiing Kau."

Teriakan itu terdengar sangat keras, intimidatif, dan berulang. Semakin lama semakin keras dan memekakkan. Joni ketakutan dan berlari sempoyongan ke arah jam dinding. Mencoba kembali memutarnya ke waktu yang dirasa "tepat" dan berharap keganjilan ini akan segera berakhir. Tetapi anehnya lagi, ketiga jarum jam itu malah berputar cepat dengan sendirinya ke arah yang saling berlawanan, seperti baling-baling yang berputar tak beraturan.

Pemandangan di luar pun terasa begitu mengerikan. Hujan badai mendominasi. Gelap dan terang bergantian dengan sangat cepat hanya dalam hitungan detik. Guntur terus bergemuruh seperti tabuhan genderang para raksasa dalam tempo yang sangat sangat cepat.

Joni sudah tidak bisa lagi berpikir. Dia hanya ingin mengakhiri semua ini, menghentikan putaran jarum-jarum jam yang liar itu. Dia menahan jarum-jarum tersebut dengan kedua tangannya.

Prak.

Jarum “menit” dan “jam” terlepas, jatuh ke lantai. Kini hanya menyisakan jarum “detik” yang berhenti tepat di angka dua belas.

Teriakan makian tadi sudah tak lagi terdengar. Lenyap entah kemana. Sekarang berganti suara rintihan yang samar-samar terdengar dari dalam kamar. Di luar, susana berubah menjadi gelap. Hanya gelap. Cuacanya kembali tenang. Gerimis.

Joni memberanikan diri melangkah ke dalam kamar. Kali ini hal gila apalagi yang akan dihadapinya?

Langkahnya telah mengantarkan dirinya tepat di depan sumber suara rintihan itu. Seseorang terbalut selimut tebal sepenuhnya, merintih kesakitan dengan suara yang tak bertenaga.

“Cil?” Joni memastikan, tetapi tak ada jawaban. Hanya terdengar suara rintihan yang semakin intens.

Joni berjongkok dan memberanikan diri untuk membuka selimut tersebut. Dia tersentak. Matanya terbelalak. Betapa terkejutnya ia dengan sosok yang ada di balik selimut itu. Kali ini bukan Acil, tapi dirinya sendiri, merintih kesakitan seperti seseorang yang sedang sekarat, persis seperti kondisi Acil menjelang ajalnya.

Hawa dalam ruangan itu mendadak terasa panas di tengah udara luar yang dingin. Pakaiannya mulai dibasahi peluh. Wajahnya pucat. Dia dikuasai sepenuhnya oleh ketakutan.

Rasa takut itu mengalahkan rasa penasarannya terhadap fenomena yang sedang terjadi di depan matanya. Dia kembali berdiri dan mengatur langkah mundur dengan cepat. Joni semakin tidak paham dengan apa yang sedang terjadi. Dia mencoba mencerna segala rentetan peristiwa aneh yang terus menerus dialaminya malam ini. Kenapa kali ini dia malah menyaksikan dirinya sendiri yang kesakitan? Hal gila apa lagi ini?

Dalam langkahnya yang terseok, ia mulai merasakan napasnya tersengal. Dadanya terasa berat. Namun, matanya tetap awas pada sosok dirinya yang tengah sekarat. Ia terus mundur sambil mengelus dadanya, bergerak menjauh, dan semakin menjauh dari dirinya sendiri. Dan tanpa ia sadari, dia telah mundur terlalu jauh hingga menembus dinding warkop dan berdiri di bawah langit yang cerah.

Joni reflek, dan melihat ke sekelilingnya. Udara terasa begitu sejuk. Napasnya perlahan kembali normal. Dia mendapati dirinya telah berada di tengah jalan yang begitu sepi, jalan yang pernah dia datangi ketika mengantarkan Acil ke pemakamannya. Dan di depannya kini terhampar lahan pemakaman yang sama.

Jalanan di depan area pemakaman tampak kosong. Hanya terlihat satu mobil ambulance dan lima sepeda motor yang terparkir berjejeran di sisi dinding pagar yang catnya telah luntur. Dari arah dalam terdengar sayup-sayup suara tangisan. Siapa yang meninggal?

Joni melangkah masuk ke dalam areal pemakaman. Dia melihat di tengah-tengahnya ada sekelompok orang yang sedang mengelilingi keranda jenazah. Dia berjalan mendekat ke arah kerumunan orang-orang itu.

Masih setengah jalan, langkah Joni tiba-tiba terhenti ketika dia mendengar sebuah suara dari arah belakangnya. Suara seseorang yang familiar.

"Iya, Bang.... Hari ini tutup dulu ya, Bang. Ada teman meninggal.”

Joni berbalik dan tampak terkejut ketika melihat Heru yang sedang berbicara melalui ponselnya. Dia mulai penasaran dan menerka siapakah yang meninggal di antara orang yang sama-sama mereka kenal.

“Iyaa Bang..." Heru menarik napasnya dalam-dalam, suara ingusnya sedikit terdengar. "Semalam, Bang. Jam dua belas..."

Joni meninggalkan Heru yang sedang berbicara melalui ponselnya. Dia masih bisa mendengar apa yang dibicarakan temannya itu, walau suaranya mulai terdengar kecil akibat jarak.

"Iyaa, aku juga gak nyangka, Bang... Katanya demam tinggi... Iya, jam sembilan itu sempat ke IGD..."

Suara Heru perlahan mulai berganti dengan suara dengungan. Semakin dekat jaraknya ke sisi kerumunan, semakin keras dengungan di telinganya terdengar. Namun, dia berusaha sekeras mungkin untuk mengabaikannya.

Joni melihat jenazah itu terbaring tepat di sebelah kuburan yang baru selesai digali. Dengan rasa penasaran ia bergerak mendekat, mencoba berbaur bersama pelayat lain dan memastikan pemakaman siapa yang tengah ia hadiri.

Betapa terkejutnya ia ketika melihat ibunya sendiri sedang menangis di sisi kepala jenazah. Bukankah Acil sudah dimakamkan? Atau siapakah dari keluarga ibunya yang meninggal? Kenapa dia tidak diberitahukan? Dan sepengetahuannya pun, keluarga ibunya berada jauh di seberang pulau. Atau apakah ini masih mimpi buruk yang sama yang kerap menghampirinya? Mimpi yang membuatnya selalu terjebak dalam momen pemakaman adiknya.

Namun Joni menyadari satu keanehan lagi. Postur tubuh jenazah yang terbalut kain batik itu terlalu tinggi bagi Acil. Jika bukan Acil, lalu siapa?

Menyadari keanehan postur tubuh itu, membuatnya tiba-tiba dibanjiri keringat dingin. Matanya kembali terbelalak ketika ia melihat kain yang menyelimuti jenazah itu disingkap. Jantungnya berdegup sangat kencang. Napasnya terus memburu. Seluruh badannya serasa seperti terkena sengatan listrik. Peluhnya terus membanjiri. Betapa terkejutnya ia ketika mendapati dirinya sendiri terbujur kaku di hadapannya, terbalut dengan kain kafan.

Dia tergerak mundur dengan langkah kaku yang tak beraturan. Di saat itu dia menyaksikan seseorang baru saja berjalan menembusnya. Tak ada sentuhan fisik yang terasa.

Heru baru saja menembusnya dan langsung turun ke liang kubur untuk membantu menguburkan jenazahnya.

Pandangan Joni pun perlahan ikut meredup seiring dengan orang-orang yang memasukkan jasadnya ke dalam lubang dan mulai menguburkannya. Dan dari pandangan yang redup itu, ia bisa melihat silhouette sebuah sosok sedang bergerak menghampirinya. Ia mengenal sosok itu dengan sangat baik sejak dulu. Dengan gaya berjalan yang terkesan angkuh serta suara melengking yang persis sama seperti yang sering ia dengar, sosok itu menyapanya dengan kasar, seperti biasa.

"Oi Jon. Jelek kali muka kau. Senyum lah sikit." Acil menyapanya.

Joni menghela napas. Dia tersenyum kepada sosok yang ada di depannya. Kehangatan kembali terasa ketika tubuhnya dirangkul dengan kasar oleh adiknya. Joni membalasnya dengan menyikut sosok itu dan dilanjutkan dengan gelak tawa mereka berdua.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Horor
Cerpen
Jam Dinding
Reja Fahleza
Komik
VICTIM
irhamna ramadhan
Cerpen
Bronze
Mana Paket Saya?
Jasma Ryadi
Flash
Ucang-ucang Anggè
Suci A.D.T
Cerpen
Bronze
Pesugihan Makhluk Pemakan Janin
Salim
Cerpen
Bronze
Penunggang Kuda Hitam
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Jam Setengah Empat
Penulis N
Novel
Gold
Sleepy Hollow and Other Horror Stories
Mizan Publishing
Cerpen
Bronze
Kutukan Polaroid
Christian Shonda Benyamin
Flash
Lembur
Lovaerina
Cerpen
Bronze
Telung Dino
Iena_Mansur
Flash
Undangan Lingsir Wengi
Choirunisa Ismia
Flash
Berdansa Dengan Hantu
Adnan Fadhil
Flash
Bronze
Nenek di Balik Cermin
Nyaa ko
Novel
RESIDENT WORST NIGHTMARE : ALV-VIRUS
Alvin Suhadi
Rekomendasi
Cerpen
Jam Dinding
Reja Fahleza
Cerpen
Mobil Kodok, Mobil Monyet
Reja Fahleza
Cerpen
Nasihat Ibuk
Reja Fahleza
Cerpen
Hanya Ingin Bermain
Reja Fahleza