Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
JALAN PULANG
1
Suka
14
Dibaca

Hidup jauh dari kampung halaman memang sangatlah berat, terlebih saat tiba-tiba mendapat surat atau kabar dari keluarga. Benar-benar membuat rasa rindu akan kampung halaman semakin bergejolak.

Aku adalah mahasiswi semester lima di kampus yang jaraknya cukup jauh dari kampungku tercinta. Kenyataan bahwa aku tidak bisa sembarangan mengeluarkan uang, membuatku harus menahan diri untuk pulang, tidak peduli seberapa parah rasa rindu ini hampir meledakkan jantungku.

"Lagi?" gumamku begitu sebuah amplop bertengger di atas mejaku.

"Kurasa kau harus pulang. Tidak biasanya kau mendapat hampir lima surat dalam seminggu," sahut Widy yang baru saja keluar dari kamar mandi.

"Bagaimana aku bisa pulang dengan keadaan seperti ini?" keluhku. Aku mulai meninju lengan kiriku begitu rasa pegal menyerang. Namun aku langsung berhenti saat kusadari warna amplop surat itu tidak seperti biasanya. Amplop yang biasa kuterima berwarna putih dengan garis-garis merah dan biru di tepinya. Tapi kini yang kuterima adalah amplop biru dengan gambar-gambar lucu.

"Ada yang aneh?" tanya Widy begitu menyadari aku masih melamun sambil menatap amplop di tanganku.

"Ini tidak biasa," gumamku.

"Apanya?"

"Warna amplopnya," Widy langsung mendengus begitu mendengar jawabanku.

"Mungkin ibumu kehabisan amplop putih," jawab Widy yang langsung menyambar tasnya dan berlari keluar. Namun tidak lama kemudian ia kembali melongokkan kepalanya. "Aku mau ke perpus. Jangan lupa kunci pintu kalau kau mau keluar."

Perlahan kubuka amplop itu, kuamati rentetan kalimat sambil sesekali mengernyit. Sulit memang untuk mengerti maksud dari tulisan anak TK. Ya, surat itu dari adikku yang masih TK. Walaupun tidak karuan, tapi harus kuakui kalau aku bangga dengan usahanya dan karena ia masih peduli padaku. Asal tahu saja, aku tidak begitu dekat dengan adikku, karena aku memang tidak menginginkan seorang adik. Kami sering bertengkar, bahkan hanya karena hal kecil.

Baru kemarin aku menangis sesenggukan karena membaca surat dari ibuku yang mengatakan kalau beliau ingin mengunjungiku sesekali. Kali ini aku dibuat menangis lagi oleh adik kecilku yang mengatakan bahwa setiap hari ibu membuatkan telur gulung kesukaanku. Yang lebih membuatku tidak kuasa membendung air mata adalah saat ia mengatakan bahwa ia selalu menyisihkan uang sakunya agar bisa mengajak ibu mengunjungiku.

Sungguh, aku semakin tidak bisa menahan air mataku. Bagaimana mungkin seorang adik yang setiap hari bertengkar denganku bisa memikirkan hal semacam itu.

"Yuna? Kau baik-baik saja?" tanya Eki yang baru saja melempar tasnya sembarangan. "Surat lagi?" bisiknya pelan, kemudian aku mengangguk seraya berusaha meredam suara tangisanku.

Hampir lima menit Eki berusaha menenangkanku, namun bukannya semakin reda, tangisanku semakin pecah ketika ia berbisik pelan, "Pulanglah! Kampung halamanmu merindukanmu."

Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku memang harus pulang. Hampir tiga tahun tidak menyapa orang tua dan adikku, tentu saja aku merindukan mereka. Aku memang tidak pernah pulang setelah menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di kota ini, bahkan saat lebaran tiba. Selain karena tidak ada biaya untuk pulang, tempatku bekerja pun tidak mengizinkan.

Aku bekerja di toko milik orang yang super disiplin. Bahkan toko itu tetap buka walaupun hari raya. Lagipula penjaga toko hanyalah aku dan seorang ibu rumah tangga. Saat aku kuliah, Bu Jannah yang menjaga toko. Saat lebaran tiba, seharian penuh aku yang menjaga toko. Tentu saja aku tidak bisa membiarkan Bu Jannah yang menjaga toko sementara anak-anaknya memaksa untuk pulang kampung.

"Aku tidak bisa," bisikku, masih dengan isak tangis yang enggan berhenti.

"Kenapa? Masalah uang lagi?" aku tidak menjawab. Aku yakin dia memang tahu alasanku. "Bukannya bermaksud untuk sok bijak, tapi keluargamu lebih penting dari semuanya. Kau harus tahu bagaimana mereka sangat merindukanmu," ada nada kesal dari ucapannya. Mungkin karena aku tidak pernah mengindahkan sarannya untuk pulang ke kampung halaman.

"Kau tahu sendiri kan bagaimana sifat bosku. Bagaimana mungkin aku bisa pulang? Bisa-bisa aku dipecat nanti," aku masih menangis tersedu. Ternyata susah juga menghentikan isakanku ini.

"Daripada tidak bisa bertemu dengan keluarga, lebih baik berhenti saja, kan?" aku langsung terdiam. Entah kenapa aku merasa ucapannya seperti ribuan anak panah yang tiba-tiba menusuk jantungku.

Tanpa sadar, aku langsung mendelik dan meliriknya dengan tajam. "Kau bisa dengan mudah mengatakan hal itu karena kau punya uang untuk pulang. Tapi bagaimana denganku? Apa kau pernah memposisikan dirimu sebagai diriku? KAU PIKIR SEMUA INI ADALAH KEINGINANKU?" amarahku benar-benar meledak sekarang.

Eki tertegun dengan sikapku yang tiba-tiba berubah. Ya, aku memang tidak pernah membentak teman-temanku. Ini pertama kalinya, sungguh. Lagipula aku pun sekarang menyesal karena telah membentaknya. Namun sia-sia saja, dia langsung pergi saat aku akan meminta maaf padanya.

"Maafkan aku, Eki," tangisku kembali meledak. Kali ini diriku sendiri lah penyebabnya.

***

Sikap Eki masih sama dinginnya seperti kemarin. Aku sudah mencoba untuk minta maaf, tapi dia selalu saja menemukan cara untuk menghindar dariku. Persis seperti hari ini.

"Eki, aku ...."

"Teman-teman, aku berangkat dulu ya. Ada presentasi," teriaknya. Sepertinya dia memang pura-pura tidak menyadari kehadiranku.

"Yuna?" aku terlonjak begitu Widy menepuk bahuku.

"Eh?"

"Kunci pintunya kalau kau mau keluar. Ely sedang tidur. Aku harus pergi sekarang."

"Kemana?"

"Kerja. Aku tidak boleh terlambat," ucapnya dengan tersenyum lebar. Belum sempat aku bertanya lagi, Widy telah melesat keluar.

Kerja? Untuk apa? Keluarganya kaya, kenapa harus kerja? Apa dia ingin membeli sesuatu? Tapi biasanya kan dia langsung minta pada orang tuanya. Ah, entahlah. Kenapa juga aku harus memikirkan hal itu. Yang seharusnya kupikirkan sekarang adalah hukuman apa yang akan kudapatkan karena terlambat bekerja.

"Maaf, saya terlambat," bisikku pelan. Sungguh, aku tidak berani mengangkat wajahku dan menatap wajah Ci Lingling yang seperti harimau kelaparan. Walaupun toko ini milik suaminya, tapi Ci Lingling dipercaya untuk mengawasi karyawan toko, pusat ataupun cabang.

"Pasti belum sarapan, mampir ke rumah dulu. Kebetulan aku tadi belajar masak opor ayam," sontak kepalaku terangkat, aku tercengang. Seorang Ci Lingling memintaku untuk mampir ke rumahnya? dan yang paling membuatku terdiam adalah karena Ci Lingling yang menampakkan senyum di wajahnya.

Ada apa ini sebenarnya? Hidupku kenapa jadi terasa aneh seperti ini? Ingin rasanya aku bertanya, "Ci, sehat?" Tapi bukankah itu terdengar tidak sopan?

"Yuna? Kok malah bengong. Ayo mampir, cicipi dulu opor ayamnya terus jaga."

"Tapi Ci, siapa yang jaga ...."

"Sudahlah, ayo cepat! Bu Jannah masih bisa jaga sampai kau selesai makan," Ci Lingling sedikit memaksa, bahkan langsung menarik lenganku. Kalau sudah berurusan dengan wanita satu ini aku bisa apa. Dimarahi tidak masalah, diperlakukan seperti ini pun bahkan sangat tidak masalah.

Tidak henti-hentinya aku mengagumi rumah Ci Lingling. Tidak kusangka aku akan diperlakukan berbeda hari ini. Berbagai macam makanan telah tersaji di atas meja begitu aku datang, seolah Ci Lingling memang sudah merencanakan semua ini.

"Duduklah!" aku hanya mengangguk pelan kemudian duduk di samping kiri Ci Lingling.

Ci Lingling langsung mengambil piring dan mengisinya dengan nasi serta berbagai macam lauk. Aku langsung tercengang begitu piring yang telah terisi penuh itu diletakkan di depanku.

"Sebenarnya ada yang perlu kubicarakan."

Aku pun menghentikan suapan yang siap masuk ke mulutku. Namun Ci Lingling langsung mengibaskan tangan kanannya, memintaku untuk tetap meneruskan suapanku.

"Teruskan makanmu selagi aku bicara!" Agak canggung, namun itu yang diperintahkan padaku, mana mungkin aku bisa menolak. "Kudengar kau belum pulang sejak pertama kali di sini. Apa kau tidak merindukan keluargamu?"

Aku kembali tersentak. Kenapa Ci Lingling tiba-tiba membahas itu? Ada apa ini?

"Eh, ehm ..."

"Pulanglah!" imbuhnya. Sontak aku menatapnya dengan nanar. Aku merasa yang ada di depanku kini bukanlah Ci Lingling yang biasa kutemui. "Kalau pekerjaan yang menjadi alasannya, aku bisa memberimu libur agar kau bisa pulang."

"Ci ..."

"Aku tidak suka jika ada orang yang menolak kebaikanku. Pulanglah selagi kuberi kesempatan."

Hampir satu jam aku berada di rumah Ci Lingling. Aku pamit begitu aku sadar kalau aku harus segera ke toko. Ci Lingling mengantarku sampai depan gerbang rumahnya tanpa menghapus senyuman di wajahnya. Menyenangkan memang saat melihat senyum manisnya, namun semua terasa aneh karena tidak biasanya aku mendapatkan senyuman itu.

***

Aku kembali ke kontrakan saat hari telah gelap. Jam sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh. Aku memang sudah biasa pulang selarut ini. Hari ini aku ke toko, kemudian kuliah. Pulang kuliah aku bekerja sebagai pelayan restoran. Pekerjaanku memang tidak tentu, hanya sebagai karyawan di toko Ci Lingling lah pekerjaan tetapku.

Aku masih memukul-mukul lengan kiriku untuk meredam rasa pegal. Namun aku langsung berhenti begitu kulihat sesuatu terselip di buku harianku. Sesuatu seperti ...

"Tiket pesawat?" gumamku pelan.

"Oh, kau sudah pulang?" Widy masuk ke kamar dengan sepiring pancake di tangan kanannya.

"Apa ini?" tanyaku seraya kuayunkan tiket pesawat di tanganku.

"Tiket pesawat. Kau bisa pulang besok."

"Apa maksudmu?"

Widy mendengus, kemudian meletakkan piringnya di mejaku dan menepuk bahuku pelan. "Itu tiket pesawatmu. Kau bisa menghabiskan liburanmu di rumah."

"Tapi siapa ..."

"Apa itu penting sekarang? Bukankah yang penting kau bisa pulang?" sahut Ely sambil menyilangkan lengan di depan dada.

"Apa semua ini dari kalian?" tanyaku gugup.

"Kami hanya membantu sedikit karena kami masih bekerja dua hari. Jadi bisa dibilang Eki lah yang membelikan tiket itu. Sekaligus sebagai permintaan maaf katanya." Aku langsung celingak-celinguk mencari sosok Eki. Biasanya ia akan langsung menemuiku begitu aku pulang. "Dia sudah pulang tadi siang setelah menemui bosmu," imbuh Widy.

"Bosku?"

"Kurasa dia berusaha meminta bosmu untuk memberimu libur."

Aku terdiam. Yang kutahu Eki hari ini berusaha menghindariku, tapi kenapa ia malah melakukan hal semacam ini?

"Kau bisa memanggilku kalau butuh bantuan untuk beres-beres," Widy tersenyum sebelum akhirnya meninggalkanku, sementara Ely langsung menyeret kopernya keluar. Ia baru saja mengatakan kalau ia akan dijemput malam ini.

***

Akhirnya, sebentar lagi aku akan bertemu dengan keluargaku. Aku akan kembali bersua dengan mereka setelah sekian lama dipisahkan oleh laut yang membentang. Hubunganku dengan Eki membaik setelah tadi malam aku menghubunginya dengan meminjam ponsel Widy. Aku benar-benar berterima kasih pada teman-temanku.

"Segeralah pulang ketika kampungmu mengirimkan pesan rindunya," ucapan Eki terus terngiang di telingaku hingga akhirnya aku terlelap sementara tubuhku telah terbang menuju ke kampung halaman tercinta.

***

30 September 2016

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
JALAN PULANG
Bie Farida
Cerpen
Bronze
Lurik
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Dia Bukan Dia
Samanta Radisti
Cerpen
Bronze
Panda
NRP
Cerpen
Tetangga Depan Rumah
ken fauzy
Cerpen
Bronze
Seni Olah Rasa
Wahyu Sandralukita Sari
Cerpen
Bronze
Dua Kunci
Jasma Ryadi
Cerpen
Bronze
Guru Anganmu Luas, Loyalitasmu Tanpa Batas
Sistiani Wahyuningdiyah
Cerpen
Liburan Juga Bermanfaat
LISANDA
Cerpen
Bronze
Kepergian Yu Sekar
Titin Widyawati
Cerpen
Tersesat di Utara
Gelato Cookies
Cerpen
Bronze
Si Kecil di Tepi Jalan
Anggrek Handayani
Cerpen
Bronze
Salah Jalan
Fitri Yeni Musollini
Cerpen
Uang Saku
Muhammad Azmi Fahreza
Cerpen
Bronze
Jalan Cemara No. 8
Shinta Larasati Hardjono
Rekomendasi
Cerpen
JALAN PULANG
Bie Farida
Novel
THE LOST GOBLET OF FIRE
Bie Farida
Flash
Bronze
DESTINY OF US
Bie Farida
Cerpen
Bronze
LOVENGE
Bie Farida
Flash
Bronze
THE PRECIOUS PEBBLES
Bie Farida
Cerpen
STICKER
Bie Farida
Flash
Bronze
KUKEMBALIKAN SAYAP INDAHMU
Bie Farida
Flash
SOMNIA
Bie Farida
Cerpen
THE AVERY INFERNO
Bie Farida
Cerpen
LUKA BERNAMA ZEA
Bie Farida
Cerpen
MELODEATH: COMA
Bie Farida