Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Religi
JALAN PULANG
1
Suka
366
Dibaca

Jalan Pulang

Aku bukan siapa-siapa. Bukan ustaz, bukan orang pintar bukan pula orang alim. Aku hanya manusia biasa seorang lelaki desa yang pernah terjatuh terlalu dalam dalam lumpur dunia. Dan entah bagaimana, aku sedang berjalan pulang.

Pulang, bukan ke rumah. Tapi ke dalam diriku sendiri.

Aku masih ingat malam itu, ketika hujan turun deras di desaku. Angin berhembus kencang, membuat dedaunan bergoyang seperti sedang mengaji dalam bahasa yang tak kupahami. Aku duduk sendirian di serambi rumah yang mulai lapuk dimakan usia. Rokok tinggal separuh, dan hatiku terasa kosong. Setelah sekian lama mengejar uang, nama, dan perempuan, yang kudapat hanya tubuh yang letih dan jiwa yang rapuh.

Kupandangi jalan desa yang becek, kenangan datang silih berganti. Dulu aku bangga bisa keluar dari desa, menapaki dunia yang gemerlap. Tapi kemewahan itu seperti gula yang membius. Di balik senyuman dan jas mahal, aku menyimpan kehampaan yang tak pernah selesai. Rumah besar, mobil mewah, dan pesta-pesta hanya membuatku merasa makin jauh dari diriku sendiri. Aku menjadi orang asing di hidupku sendiri.

Lalu, malam itu, datang seorang lelaki tua yang entah dari mana. Pakaiannya lusuh, seperti petani biasa, tapi wajahnya bening. Ia duduk di pinggir jalan, di bawah pohon randu. Aneh, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku berdiri dan menghampirinya. Matanya seperti cermin memantulkan sesuatu yang sudah lama kulupakan.

“Kamu mencari sesuatu?” tanyanya.

Aku jawab sekenanya, “Saya cuma capek, Pak.”

Dia mengangguk pelan. “Capek karena berjalan ke arah yang menjauh dari asalmu. Pulanglah.”

“Pulang ke mana?”

“Ke Tuhanmu.”

Kalimat itu sederhana, tapi menampar. Sejak malam itu, aku mulai berubah. Bukan karena merasa suci. Justru karena merasa sangat kotor. Seperti sungai yang keruh, tapi masih punya mata air yang jernih di hulu. Aku mulai shalat dengan benar, bukan karena takut neraka, tapi karena ingin bicara. Ingin didengar. Ingin dekat. Aku mulai membaca kembali ayat-ayat yang pernah kulupakan. Mulai memahami bukan hanya lafaznya, tapi getarannya.

Aku mulai menulis catatan kecil dalam buku saku yang selalu kubawa.

Hari ini aku shalat tepat waktu. Rasanya seperti kembali menjadi anak kecil yang berbicara dengan Bapaknya.

Aku membaca Al-Hikam malam ini. Kalimatnya tajam, tapi menyembuhkan.

Di desa kecil ini, suara azan lebih menenangkan daripada denting notifikasi ponsel.

Tak lama, aku mengambil keputusan besar. Aku meninggalkan bisnis, handphone, dan hingar-bingar kota. Aku membawa ransel kecil, sehelai sarung, dan kitab Al-Hikam warisan almarhum ayahku. Aku berjalan kaki dari desa ke desa. Mampir ke surau-surau tua, menginap di masjid, bertemu para kiai sepuh yang tak dikenal media sosial. Mereka menasihati dengan kalimat pendek tapi menusuk:

“Zikir bukan di mulut, tapi di hati.”

“Jangan takut miskin, takutlah kalau Allah meninggalkanmu.”

“Yang paling berat di dunia ini bukan dosa orang lain, tapi kejujuran pada diri sendiri.”

Aku bertemu banyak orang. Seorang pemuda buta yang hafal Al-Qur'an tiga puluh juz. Seorang tukang becak yang tak pernah meninggalkan shalat tahajud. Seorang ibu penjual nasi pecel yang sabar merawat anaknya yang lumpuh. Mereka semua adalah guru-guru dalam diam. Mereka tak berceramah, tapi hidup mereka adalah ceramah yang paling jujur.

Di kaki Gunung Sasak, aku bertemu seorang wanita renta yang sedang menanam bunga di samping makam suaminya.

“Untuk apa Ibu menanam bunga di makam?” tanyaku.

Ia tersenyum, “Biar harum. Kalau Allah lewat, siapa tahu mencium dan mengampuni kami.”

Aku menulis itu di buku sakuku. Setiap kalimat yang kutemui di perjalanan menjadi pengingat. Aku menyebutnya: jejak pulang.

Di sebuah majelis kecil, aku membantu kegiatan dan mengajar anak-anak mengaji. Mereka tak tahu siapa aku, dan aku pun tak peduli. Tak ada yang memanggilku “bos” atau “pak direktur.” Hanya “panggilian namaku.” Itu cukup. Aku menikmati setiap hari tanpa agenda. Bangun sebelum subuh, membersihkan halaman, membaca kitab, dan bercanda dengan para santri majlis. Dunia ini ternyata tak serumit yang kubayangkan. Kebahagiaan ternyata sesederhana secangkir teh panas dan suara burung pagi.

Suatu malam yang sunyi, aku duduk sendiri di lereng bukit. Angin dingin berhembus lembut, dan langit penuh bintang. Tak ada suara motor, tak ada dering telepon. Hanya suara jangkrik dan desir angin. Lalu tiba-tiba aku menangis. Bukan karena sedih. Tapi karena merasakan sesuatu yang selama ini hanya jadi teori di buku.

Allah itu dekat. Sangat dekat. Lebih dekat dari napasku sendiri.

Aku tak melihat cahaya, tak mendengar suara dari langit. Tapi aku merasa dipeluk. Oleh siapa? Entahlah. Tapi hatiku hangat. Damai.

Malam itu aku bersyahadat lagi, bukan karena pindah agama, tapi karena merasa baru benar-benar mengerti maknanya: bahwa tiada yang layak dipuja, kecuali Dia. Dan Muhammad bukan sekadar nabi, tapi cermin kesempurnaan cinta yang bisa kuteladani.

Waktu berlalu. Aku tak mencatat semua perjalananku, karena tak semua bisa ditulis. Ada hal-hal yang hanya bisa dirasakan. Tapi satu hal yang kupelajari: dunia ini fana, tapi perjalanan pulang itu nyata. Ia bukan tentang tempat, tapi tentang kesadaran. Kesadaran bahwa segala sesuatu, dari rezeki sampai rasa, semua bersumber dari-Nya. Bahwa hidup bukan tentang menaklukkan, tapi menyerah dan berserah.

Suatu hari aku sampai di sebuah desa di tepi sungai. Desa itu sederhana, rumah-rumah dari bambu, tapi warganya ramah. Aku tinggal di sana selama sebulan. Membantu panen padi, mengaji bersama anak-anak, dan kadang hanya duduk di tepi sungai sambil memandangi air yang mengalir pelan. Di desa itu, aku bertemu dengan seorang guru ngaji yang sudah berumur. Ia tidak bisa membaca dengan lancar, tapi suaranya menggetarkan. Ia berkata:

“Ilmu tanpa cinta hanya akan jadi beban. Tapi cinta, meski tanpa banyak ilmu, bisa menggerakkan langit.”

Aku terdiam. Kata-katanya mengendap di hati. Aku semakin menyadari bahwa agama bukan sekadar kewajiban, tapi keindahan. Bukan sekadar aturan, tapi jalan pulang. Bukan tentang siapa yang paling benar, tapi siapa yang paling lembut hatinya.

Kini, aku kembali ke rumah. Tapi tidak sebagai ahmad yang dulu. Aku tidak lagi banyak bicara. Tidak lagi mengejar dunia. Kadang orang memanggilku “orang aneh,” tapi aku tidak marah. Karena aku tahu, dunia tak selalu memahami orang yang sedang jatuh cinta… pada Tuhan.

Aku kembali ke ladang, menanam singkong dan sayur. Membaca kitab setiap pagi, dan tidur lebih awal. Anak-anak kecil sering datang ke rumahku hanya untuk mendengarkan kisah. Mereka menyukai kisah tentang Nabi, para sahabat, dan tentang lelaki tua di bawah pohon randu.

Suatu hari, aku menulis surat kepada diriku yang dulu. Surat itu kutulis dengan pena tua, di atas kertas yang kubeli dari warung kecil.

"Ahmad, maafkan aku karena telah menjauhkanmu dari dirimu sendiri. Aku tahu, dulu kamu hanya ingin dihargai. Tapi kini aku tahu, cinta terbesar adalah saat kau dihargai oleh Yang Tak Terlihat, bukan oleh manusia."

Aku masih berbuat salah, masih belajar setiap hari. Tapi satu hal yang kupastikan, aku tak lagi berjalan menjauh.

Aku sedang menempuh jalan pulang.

Dan perjalanan ini, insyaAllah, takkan sia-sia.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Religi
Cerpen
JALAN PULANG
M. ALGIFARI
Novel
kalau boleh memilih,aku tetap kamu
Fatimah
Novel
KalaLesa (ketika keabadian menjadi kutukan)
iza arsalan
Novel
Bronze
SPLASH LOVE IN SEOUL
Puput Sekar K
Novel
Gold
Terapi Shalat Tahajud
Noura Publishing
Cerpen
Bronze
Ibu Polwan di Libur Natal Tahun Ini
Anjrah Lelono Broto
Cerpen
Bronze
Epilo Melodi Yang Menyentu Surga
go han
Novel
Bronze
Lelaki yang Dirindu Surga
Imajinasiku
Novel
Bronze
Riwayat Al-Arada
Vitri Dwi Mantik
Novel
Gold
Pemimpin yang Tuhan
Bentang Pustaka
Novel
Bronze
Menjemput Cinta
Daud Farma
Novel
Madah Rindu Maria
Hadis Mevlana
Novel
Bronze
Sebuah Pengabdian
Anggrek Handayani
Cerpen
Bronze
Ketidakadilan Guru Mengaji
Nurul Adiyanti
Cerpen
Bronze
Di Balik Piring "Kisah Perjuangan dan Kesuksesan Seorang Chef"
TATAN RUSNANTO
Rekomendasi
Cerpen
JALAN PULANG
M. ALGIFARI