Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Jalan Itu Lagi
1
Suka
640
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Pagi-pagi, lagi-lagi jalan itu menyambutku tanpa senyum.Terong Tawah, nama yang sudah lebih sering kusebut dalam umpatan daripada doa. Sejak awal kuliah, jalan ini seperti tidak bergerak dalam waktu. Aspalnya keropos, penuh tambalan gagal, dan lubang-lubangnya makin kreatif dalam menempatkan diri. Ada yang kecil seperti jerawat remaja, ada yang besar seperti kolam ikan yang putus sekolah. Setiap kali rodaku menghantam salah satu, rasanya seperti ditegur alam bahwa hidup memang tak pernah bisa benar-benar lurus. Aku tak heran. Yang membuatku muak justru karena aku sudah terlalu biasa. Kadang mulutku menggerutu, kadang hanya bahuku yang mengangkat pelan. Tapi yang pasti, ada letih yang pelan-pelan mengeras di dada ,seperti kerak dari amarah yang sudah terlalu sering disiram sabar.

Lubang-lubang itu tak ubahnya luka yang tak mau sembuh, menganga diam-diam di sepanjang jalan, seolah menanti untuk merenggut sedikit demi sedikit sisa semangatku setiap pagi. Getaran dari roda motor seperti bisikan yang mengingatkan bahwa meski kendaraan ini masih muda, ia sudah lelah bertarung. Tanganku menggenggam setang sekuat mungkin, bukan hanya untuk menjaga keseimbangan, tapi untuk meyakinkan diriku sendiri bahwa aku masih bisa mengarahkan sesuatu meski hidupku, seperti jalan ini, penuh lubang yang tak pernah benar-benar kuhindari. Terong Tawah bukan sekadar lintasan ke kampus. Ia adalah pengingat sehari-hari bahwa perjalanan hidup tak pernah menawarkan kelancaran, hanya tuntutan untuk terus berjalan. Dan aku bergerak, bukan karena berani, tapi karena diam bukan pilihan.

Pagi ini aku lewat lagi. Matahari masih malu-malu naik dari balik atap rumah-rumah, tapi panasnya sudah mulai menembus sarung tangan yang ku pakai. Jalan Terong Tawah sudah kayak neraka kecil buat aku dan orang-orang yang melewatinya tiap hari. Motor-motor berseliweran seperti semut-semut panik di sarang yang di ganggu, truk tanah lewat dengan angkuh,mobil box berjalan pelan tapi menyesakkan. Debu tebal seperti kabut perang menyelimuti segalanya.Aku sudah pakai masker, tapi tetap aja rasanya mengunyah tanah.

Sarapan pagiku: mi instan tanpa kuah, telur ceplok setengah matang yang putihnya belum benar-benar keras. Rasanya ada yang ganjel di perut, tapi aku cuek. Yang penting kuliah nggak telat. Aku gas motor dengan percaya diri, padahal hati-hati waspada. Jalan Terong Tawah selalu punya kejutan,seperti badut pesta ulang tahun yang hobi menakuti anak-anak.

Baru beberapa meter melaju, klakson nyaring memecah udara pagi seperti alarm dari arah belakang. Jantungku sontak bergetar. Sebuah motor tua merayap melewatiku, ditumpuki barang-barang yang nyaris membentuk gunung kecil,kasur tergulung, galon air, kipas angin tanpa pelindung. Si pengendara, pria paruh baya dengan wajah lelah, melontarkan makian tanpa jeda, merasa kecepatanku terlalu pelan untuk ritme hidupnya. Aku menepi sedikit, membiarkannya menyalip sambil terus mengoceh. Tapi telingaku sudah mati rasa. Perhatianku tertambat pada satu titik: sebuah lubang di depan warung makan, lubang yang bentuknya lebar dan dalam, menganga dengan mulut bergerigi seperti sedang bersiap memangsa siapa pun yang lengah. Kemarin, lubang itu hampir menjatuhkanku. Hari ini, ia tetap di sana ,tenang, sabar, menunggu.

Kujepit rem perlahan, bersiap menghindari lubang yang sudah kukenal seperti bekas luka lama. Tapi dari seberang, meluncur motor matic.Seorang ibu dengan anak kecil memeluk erat di depan, wajahnya penuh waspada. Kami sama-sama menghindar, sama-sama membaca bahaya, tapi tak cukup cepat. Mata kami sempat bertemu sepersekian detik sebelum semuanya nyaris beradu. Aku refleks membanting setang ke kiri, terlalu mendadak. Ban depanku tetap masuk ke dalam lubang. “Jedug!” Suaranya menggema di tubuhku, getarannya naik tajam hingga ke tulang rusuk, seperti peringatan keras dari sesuatu yang bosan diperingatkan dengan halus. Rahangku mengatup, kemarahan terasa seperti bara di belakang tenggorokan ,tapi di jalan ini, marah hanya membuat makin cepat lelah.

“Bangke,” aku ngomel pelan.Tapi marah di jalan ini cuma buang energi.Jalan Terong Tawah adalah medan perang tanpa pahlawan.

Di depan, genangan besar membentang seperti jebakan yang sedang menunggu korban berikut. Bukan sisa hujan,ini hadiah dari got yang menyerah. Bau amisnya naik bersama udara, menusuk seperti ejekan. Aku menepi perlahan, mencari jalur kering meski sempit, seperti mencoba menghindari keputusan buruk yang tak bisa diulang. Tapi dari belakang, motor matic menerobos tanpa ragu. Air hitam terangkat, lalu jatuh menghantamku mengenai wajah, celana, dan sisa harga diri yang tersisa pagi itu. Cipratannya seperti tamparan dari seseorang yang tidak pernah aku kenal tapi sangat paham cara melukai. Aku hanya bisa terdiam. Kendaraan itu sudah menghilang di kejauhan. Tak ada pelaku untuk dimaki. Yang tersisa hanya bau got, lumpur lengket, dan perasaan asing yang mendadak menyelinap: ditinggalkan tanpa alasan.

“Kurang ajar,” aku gumam.

Aku tarik napas, meski baunya masih menusuk seperti peringatan yang datang telat. Lumpur di celana menempel seperti bekas omelan yang sulit hilang,nggak sakit, tapi nyebelin. Aku gas motor pelan-pelan, ngelewatin genangan berikutnya dengan hati-hati, seolah sedang melangkah di atas omongan orang. Jalan ini seperti guru yang sabar tapi kejam: setiap hari memberiku pelajaran yang sama, dengan cara yang sedikit lebih menyebalkan. Dan pagi ini, pelajarannya jelas,kadang yang bikin kotor bukan hujan, tapi orang yang melaju tanpa peduli.

Aku tetap melaju, perlahan, melewati deretan toko kecil yang baru saja menggeliat dari tidurnya. Warung kopi mulai mengepul, suara wajan beradu, aroma minyak goreng bersaing dengan debu pagi. Seorang tukang sayur lewat pelan, keranjang plastiknya bergoyang lembut seperti meninabobokan harapan pagi. Di sisi jalan, ibu-ibu duduk bersisian di bangku panjang, bercakap ringan seolah dunia sedang baik-baik saja. Tak ada yang terganggu, meski motor-motor melesat nyaris menyentuh ujung sandal mereka. Anak-anak berseragam berlarian di pinggir jalan, suara tawa mereka melintasi kekacauan seperti angin kecil yang menertawai keruwetan dunia dewasa. Segalanya tampak biasa. Terlalu biasa. Dan di tengah kebiasaan itu, aku merasa seperti satu-satunya yang sedang menahan sesak.

Di depan bengkel tambal ban yang bersisian dengan tempat laundry, kulihat seorang bapak berjongkok. Motornya mogok, wajahnya putus asa. Keringat membasahi dahi. Tukang tambal duduk santai, ngerokok, matanya menatap kosong ke jalan. Tidak ada upaya membantu, seolah menunggu ‘rezeki’ datang dari penderitaan orang lain. Aku dan dia bertatapan. Diam-diam kami tahu: Jalan Terong Tawah adalah lahan basah bagi ban kempes dan emosi pecah.

Aku lanjut,pelan-pelan.Jalan makin . Ada bagian yang bekas galian, sudah lama dibiarkan begitu saja. Aspalnya hilang, cuma tanah dan kerikil tajam yang tersisa. Motorku bergoyang seperti kuda liar. Pantatku lompat-lompat di atas jok. Aku pegang setang erat-erat seolah hidupku tergantung disana, nahan supaya nggak jatuh.

“Ini jalan atau labirin neraka?” aku mengomel. Tapi tak ada jawaban selain debu.

Aku terus melaju, walau tiap meter terasa seperti sedang main petak umpet dengan nasib sial. Bekas galian itu seperti luka yang dibiarkan menganga, mengering setengah hati, lalu dilupakan begitu saja. Setiap kerikil yang kulewati seperti bisikan kecil yang sengaja bikin goyah, mengetes seberapa jauh aku bisa bertahan tanpa marah. Motorku bergetar hebat, seperti ikut protes atas perlakuan jalan ini. Aku cuma bisa mengatupkan rahang, tahan gerutu. Di jalan ini, kadang bukan soal sampai tujuan, tapi soal bagaimana bertahan tanpa tumbang di tengah jalan yang makin hari makin tak bersahabat.

Akhirnya aku sampai di perempatan kecil yang selalu macet.Di situ ada seolah-olah seperti pasar yang dimana orang-orang sangat ramai dan seenaknya nyeberang, tukang parkir teriak-teriak kayak komandir. Aku berhenti, nunggu giliran lewat. Keringat sudah ngucur deras. Aku lihat jam tangan, waktu tinggal mepet banget. “Ah sudahlah, kuliah telat dikit nggak mati,” aku bilang dalam hati.

Sampai di parkiran kampus, aku turun dari motor, ngos-ngosan. Aku elus bodi motor yang berdebu dan lecet di sana-sini. “Maaf ya, sudah nyusahin kamu lagi hari ini.” Motor itu diam saja, tapi aku tahu dia juga capek. Ban depannya kayak ngeluh minta pensiun dini.

Aku jalan masuk kampus, sambil ngebayangin nanti sore harus lewat jalan itu lagi. Jalan yang sama, lubang yang sama, orang-orang yang sama. Tapi begitulah hidup. Kadang kita terjebak di jalan yang sama, dengan lubang yang sama, orang-orang yang sama, dan luka yang sama. Tidak ada pilihan selain terus berjalan. Jalan Terong Tawah mungkin hanyalah aspal berlubang, tapi buatku, ia adalah cermin dari kehidupan: keras, tak terawat, penuh kejutan, tapi tetap harus dilewati. Karena di ujungnya, ada tujuan. Walau kadang hanya sebatas kelas kuliah yang nyaris kosong, atau senyum teman yang pura-pura ceria.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Jalan Itu Lagi
nazila ardiani
Cerpen
Bronze
Buat Apa Membeli Kembang Api?
Juli Prasetya
Cerpen
Harapan
Cassandra Reina
Cerpen
Bronze
Keputusan Abah
T. Filla
Cerpen
Bronze
BOY BEHIND THE VEIL
glowedy
Cerpen
Tantangan
Cassandra Reina
Cerpen
Bronze
Juru Kunci Makam yang Tertangkap KPK
Sri Wintala Achmad
Cerpen
Obrolan di Malam Hari
Hai Ra
Cerpen
Bronze
Eulogi Hama
Adam Nazar Yasin
Cerpen
Bronze
Galau Mutasi Sang Peneliti
spacekantor
Cerpen
Bronze
Kenangan Pada Sebuah Jam Tangan
Yuisurma
Cerpen
Mimpi Setinggi Menara
Muhammad Nur Syafi'i
Cerpen
Bronze
Alien
Cassandra Reina
Cerpen
Obral Obrol Tetangga
Lovaerina
Cerpen
Bronze
Astrophile
lidia afrianti
Rekomendasi
Cerpen
Jalan Itu Lagi
nazila ardiani