Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Mentari sore memendarkan jingga keemasan di atas atap genting Kota Selong, Lombok Timur, saat suara anak-anak mengaji bersahutan dari rumah sederhana berpagar bambu itu. Izzah, dengan mukena putih yang sedikit kebesaran di tubuh remajanya, sabar membimbing tangan-tangan kecil mengeja huruf hijaiyah. Kesabaran itu seperti oase di tengah hiruk pikuk kehidupan. Sesekali ia menunjuk dengan pensil, membetulkan makhraj, atau sekadar tersenyum ketika salah satu muridnya berhasil melafalkan ayat dengan benar. Ia senang sekali melihat binar di mata mereka.
"Assalamualaikum, Bu Guru!" sebuah suara ceria menginterupsi, disusul tawa renyah.
Izzah menoleh, pipinya sedikit memerah. Di ambang pintu, berdiri Pramudya, sebayanya, dengan senyum usil yang selalu berhasil membuat jantungnya berdesir aneh. Ia mengenakan kaus oblong dan celana selutut, rambutnya sedikit acak-acakan seolah baru saja usai bermain bola. Para muridnya sontak menoleh, senyum simpul menghias bibir mereka, lalu kembali fokus pada bacaan Iqra mereka.
"Waalaikumsalam, Pram," jawab Izzah, berusaha terlihat tenang. Ia berdeham kecil, menata kembali mukenanya. "Ada apa?"
Pramudya melangkah masuk, menyalami beberapa anak dengan gaya akrab, seolah ia adalah bagian dari keluarga pengajian sore itu. "Mau lihat calon istri lagi ngajar, boleh kan?" godanya, matanya mengerling nakal.
Sontak pipi Izzah semakin merona. Murid-muridnya cekikikan. "Hush! Ngomong apa sih, Pram!" tegurnya, suaranya sedikit meninggi namun tak mampu menyembunyikan semburat bahagia.
Pramudya hanya tertawa, lantas duduk di salah satu karpet, menyandarkan punggung ke dinding. "Serius Izzah, kamu heb...