Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Jaket Merah yang Tak Pernah Dikembalikan
0
Suka
11
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Bab 1 – Hujan Pertama Tanpamu

Hujan turun dengan lambat pagi itu. Tidak deras, tidak juga gerimis. Seperti langit tahu, ada seseorang yang datang membawa hati yang belum selesai. Di antara batu-batu nisan yang dingin dan basah, seorang perempuan berdiri diam.

Namanya Namira.

Tangannya menggenggam erat sebuah jaket merah yang sudah lusuh di lipatan, tapi masih utuh di ingatan.

Langkahnya lambat, pelan, seolah tanah pun ikut mengingat. Ia berhenti di depan sebuah batu nisan sederhana hanya bertuliskan satu nama:

Rayhan Ardiansyah

1993 – 2015

Tak ada kalimat puitis. Tak ada “yang tercinta” atau “kekasih yang dirindukan.”

Hanya nama, tahun lahir dan mati. Tapi di kepala Namira, puluhan kalimat ingin ia tancapkan ke batu itu.

Kalimat yang tak pernah keluar dari mulutnya.

Kalimat yang ia kubur lebih dulu dari jasad di hadapannya.

Namira tidak menangis. Ia hanya duduk. Meletakkan jaket merah itu di pangkuannya. Mengusap bagian lengannya perlahan.

Masih ada bau hujan di sana, entah nyata atau hanya ingatan yang menipu.

> “Akhirnya… aku kembali. Tapi bukan untuk meminjam, melainkan mengembalikan.”

Ia menatap langit yang abu.

Tidak ada kilat. Tapi hatinya bergemuruh seperti ada petir yang tak jadi dilepaskan.

Delapan tahun.

Sudah delapan tahun sejak Rayhan pergi.

Tanpa perpisahan.

Tanpa sempat tahu bahwa Namira menyimpan sesuatu yang tidak pernah bisa ia ucapkan.

Waktu itu, ia hanya menerima kabar lewat telepon. Kecelakaan. Jalan tol. Subuh.

Rayhan tak pernah kembali dari kota tempatnya pindah.

Jaket itu…masih ada bersamanya. Masih belum sempat ia kembalikan.

Dan sejak hari itu, Namira tak pernah bisa mengenakan jaket itu tanpa merasakan dua hal sekaligus: kehangatan dan kehilangan.

> “Rayhan… kamu ingat nggak, waktu hujan pertama kita?”

“Yang aku lupa bawa payung, dan kamu malah lari-lari ke gerbang sekolah cuma buat kasih jaket ini?”

Ia tersenyum kecil, pahit.

Tangannya menggenggam erat kain tebal berwarna merah tua itu.

“Waktu itu aku nggak bilang terima kasih. Aku cuma bilang jaketmu bau kopi.”

“Tapi hari itu, Ray... aku jatuh cinta. Dan aku nggak pernah pulih dari hari itu.”

Namira menghela napas panjang.

Ia menoleh ke sekeliling. Makam-makam lain sunyi, hanya suara hujan yang samar menyentuh rumput.

Tak ada satu pun yang tahu bahwa seorang perempuan sedang duduk di depan nisan sahabat lamanya membawa cinta yang sudah terlalu lama dibungkam.

Jaket itu basah di bagian ujungnya.

Tapi ia tidak mengelapnya.

Karena ia tahu, jaket itu pernah basah juga dulu saat ia pakai di bawah hujan terakhir yang mereka lalui bersama.

“Setelah kamu pindah, aku nunggu kabar setiap hari. Tapi kamu jarang hubungi aku lagi. Dan aku kira… ya, mungkin emang cuma aku yang nyimpen sesuatu dari pertemanan kita.”

“Ternyata… aku bener.”

Ia mendongak ke langit yang tetap abu-abu.

Tapi tidak ada air mata.

Yang turun hanyalah sesuatu yang jauh lebih perih: penyesalan yang tak bisa dibalas.

Delapan tahun.

Tak ada yang tahu ia masih menyimpan jaket itu.

Tak ada yang tahu, ia masih menulis surat-surat untuk Rayhan, diselipkan di saku jaket itu meski ia tahu tak akan pernah ada yang membacanya.

“Aku tahu, kamu nggak pernah janji. Kamu nggak pernah kasih harapan. Tapi aku juga nggak pernah punya cukup keberanian buat bilang sesuatu.”

“Jadi hari ini... aku mau bilang, meskipun kamu nggak bisa dengar, meskipun mungkin sudah tidak penting lagi...”

Ia berhenti sebentar. Lalu memejamkan mata.

“Aku sayang kamu, Ray.”

Tak ada angin besar.

Tak ada gemuruh.

Tapi dada Namira tiba-tiba lega.

Bukan karena luka sembuh, tapi karena luka itu akhirnya punya nama.

Ia membuka jaket merah itu, meletakkannya di atas pusara, perlahan.

“Aku belum tahu… apakah aku akan pergi hari ini tanpa membawanya pulang.”

“Tapi yang pasti, jaket ini sudah terlalu lama jadi pengganti kejujuran yang tak pernah aku miliki.”

Langit tetap abu-abu.

Hujan belum reda.

Tapi Namira tak beranjak. Ia membiarkan jaket merah itu tergeletak di atas batu nisan, setengah basah oleh hujan, setengah basah oleh kenangan.

Tangan kanannya menyentuh ujung kerahnya pelan-pelan seolah di sana masih tertinggal hangat tubuh seseorang yang kini hanya tinggal nama.

Delapan tahun bukan waktu yang pendek, tapi luka yang tak pernah diakui tak mengenal kalender.

Dan pagi itu, kenangan yang telah ia jaga seperti bara dalam sekam, mulai membakar lagi…perlahan, pelan, tapi tak bisa dimatikan.

Dulu.

SMA kelas 2.

Hari Jumat yang basah.

Langit tumpah sejak pagi. Pulang sekolah, payungnya hilang entah ke mana.

Namira berdiri di gerbang, kemejanya lembap, rambutnya menempel di pelipis.

Dan dari kejauhan, muncul seorang anak laki-laki berlari memegang jaket merah di atas kepala seperti payung darurat.

Rayhan.

“Namira! Nih, pakai ini! Gila, kamu mau jadi tanaman air ya?”

Suara itu cerah. Matanya menyipit karena hujan.

Jaket itu dilemparkan ke arah Namira tanpa sempat menunggu jawaban.

“Enggak, makasih,” kata Namira saat itu, dingin. Tapi ia memakainya juga. Jaket itu hangat. Bau kopi dan sedikit bensin motor.

Hari itu, mereka menunggu hujan reda bersama.

Di bawah atap parkiran sekolah.

Rayhan duduk sambil menyeka sepatunya yang becek.

Namira duduk diam, menggenggam lengan jaket itu.

Dan untuk pertama kalinya,

ia sadar:

ia menyukai caranya hadir.

Tidak berlebihan. Tidak mengganggu.

Tapi selalu muncul saat langit sedang berat.

Seperti sekarang.

“Kalau kamu sering lupa bawa payung, nanti aku bawain dua,” kata Rayhan sambil tertawa.

Namira hanya menoleh sesaat. “Kalau kamu enggak datang, aku bisa sakit.”

“Ya udah. Sakit aja, nanti aku bawa teh panas ke rumah sakit.”

Mereka tertawa. Ringan. Tapi di hati Namira, ada sesuatu yang tumbuh bukan karena kata-kata Rayhan, tapi karena perhatiannya yang disampaikan lewat cara paling sunyi: sebuah jaket.

Kini, di depan pusara itu, Namira meremas kain merah yang sama.

“Hari itu aku nggak bilang apa-apa, Ray. Aku bahkan ngomel karena kamu ‘sok pahlawan’. Tapi sejak saat itu, aku nungguin kamu terus tiap hujan turun.”

Hujan menari di atas nisan.

Bau tanah dan rumput basah berpadu dengan aroma jaket yang menyerap kelembapan.

Namira menunduk.

Air hujan jatuh di bulu matanya, mengaburkan pandangan. Tapi ia tidak menyekanya.

“Aku gak tahu cinta bisa tumbuh dari hal sekecil itu. Dari sepotong kain merah yang kamu lempar tanpa banyak mikir.”

“Tapi aku tumbuh, Ray. Pelan-pelan. Dalam diam. Dalam takut. Dan aku enggak pernah berani bilang.”

Rayhan tak pernah tahu.

Ia terus menjadi sahabat yang ringan, yang hadir tanpa beban.

Dan Namira terus menunggu satu hal yang tak pernah datang: kode. tanda. petunjuk. Bahwa mungkin… ia tidak sendiri dalam perasaannya.

Tapi tak pernah ada.

Dan waktu berjalan.

Dan jaket merah itu yang awalnya hanya pinjaman hujan menjadi tempat berlindung bagi rasa yang tak pernah ia keluarkan.

“Aku jadi penulis. Kamu tahu gak, Ray? Tapi satu-satunya cerita yang paling berat aku tulis adalah cerita kita. Karena di dalamnya, kamu hidup. Tapi aku gak pernah jadi tokoh utama.”

Langit mulai meredup.

Hujan belum berhenti. Tapi turun makin halus. Seperti rintik yang tak ingin mengganggu terlalu banyak lagi.

Namira berdiri perlahan.

Mengambil jaket itu dari pusara.

Memeluknya.

“Besok... mungkin aku akan kembalikan ini. Atau mungkin tidak. Tapi hari ini, aku cuma ingin kamu tahu: aku mencintaimu. Dengan sangat, sangat diam.”

Bab 2 – Jaket yang Belum Dikembalikan

Waktu kembali ke masa putih abu-abu di sebuah ruang kelas dengan cat dinding setengah hijau, setengah putih, dan kursi kayu yang lebih banyak menyimpan coretan cinta tak sampai daripada rumus matematika.

Di sudut dekat jendela, Namira duduk di bangku yang sama setiap hari.

Ia bukan murid paling cemerlang, bukan juga paling tengil. Ia hanya senang diam, mencatat, lalu pulang.

Hingga suatu hari, seorang siswa pindahan duduk di bangku sebelahnya.

Rayhan Ardiansyah.

“Namanya kayak cowok di film remaja,” gumam salah satu teman.

Tapi bagi Namira,

nama itu bukan yang membuatnya mencuri perhatian melainkan caranya hadir tanpa mengganggu.

Rayhan tidak banyak bertanya.

Tapi ia tahu kapan harus tertawa.

Ia tidak terlalu pintar, tapi ia selalu mendengarkan penjelasan guru seperti orang yang benar-benar ingin paham dunia.

Dan pelan-pelan, tanpa aba-aba, mereka jadi dekat.

Rayhan sering membawa bekal ke sekolah. Kadang nasi goreng. Kadang roti tawar dan susu kotak.

“Kalau kamu nggak sempat sarapan, ambil punyaku aja,” katanya suatu pagi, sambil menyodorkan kotak makan dengan tangan santai.

Namira menolak dengan sopan. Tapi besoknya, ia diam-diam mencicipi.

Dan sejak itu, mereka berbagi banyak hal kecil: pulpen, penghapus, camilan, dan cerita-cerita pendek di sela jam istirahat.

Tapi bukan kebersamaan itu yang membuat Namira jatuh pelan-pelan, melainkan kebiasaan Rayhan untuk hadir tanpa diminta.

Ketika ia pilek, Rayhan menyodorkan minyak kayu putih tanpa banyak tanya.

Ketika nilai ulangannya jelek, Rayhan menepuk pundaknya dan berkata,

“Kamu cuma lupa istirahat. Bukan lupa cara belajar.”

Dan ketika hujan turun,

Rayhan tak pernah absen membawa jaket merah itu, jaket yang bagi Namira sudah seperti wujud paling nyata dari kehadiran tanpa pamrih.

Suatu sore di kantin, Namira melihat Rayhan tertawa dengan teman-teman lain.

Matahari menyinari rambutnya yang berantakan, dan dalam sorot mata itu, Namira sadar: ia tidak sedang jatuh cinta.

Ia sedang tinggal di dalamnya.

Karena jatuh berarti kehilangan kendali. Tapi Namira tidak kehilangan ia justru merasa… pulang.

“Ray…”

“Kamu pernah nyimpen sesuatu diam-diam, tapi takut banget kalau itu berubah jadi rahasia?”

Rayhan menatapnya sebentar. Lalu menjawab, “Sering. Tapi menurutku, selama itu bukan rahasia buat dirimu sendiri, kamu nggak akan tersesat.”

Jawaban itu tak ia pahami sepenuhnya saat itu. Tapi setelah Rayhan tiada, kata-kata itu menjadi satu-satunya petunjuk arah dalam kabut kenangan.

Jakun Rayhan bergerak saat tertawa. Ia punya kebiasaan memutar-mutar pulpen saat berpikir. Dan suka menyisipkan gulungan kertas kecil ke sela buku orang lain,

hanya berisi kalimat-kalimat aneh seperti:

“Kita semua adalah semangka. Di luar hijau, di dalam merah.”

“Jangan lupa, bulan purnama tetap sendirian.”

Konyol. Tapi menenangkan.

Dan pelan-pelan, Namira menyimpan Rayhan bukan hanya dalam jadwal sekolahnya, tapi dalam denyut nadi yang ia sembunyikan di balik tenang wajahnya.

Ia tahu, cinta remaja sering dikira ringan. Tapi ada rasa yang tumbuh tanpa kita sadari akar dan dalamnya. Dan bagi Namira, rasa itu dimulai dari kursi di sebelah jendela, dan tawa yang tidak pernah menuntut.

“Rayhan…”

“Aku belum tahu apa ini cinta. Tapi kalau iya, aku nggak minta kamu tahu dulu. Aku cuma minta kamu tetap di sebelahku.”

Tapi ia tak pernah mengucapkannya.

Karena terkadang, kita terlalu takut kehilangan sesuatu yang belum sepenuhnya kita miliki.

Hujan tak pernah punya suara yang sama. Kadang seperti bisikan. Kadang seperti isak. Tapi bagi Namira, suara hujan sore itu terdengar seperti ucapan selamat tinggal yang belum terucap.

SMA tahun terakhir. Langit abu.

Waktu pulang sekolah, gerimis perlahan menjadi deras. Siswa lain berlarian. Suara sepatu beradu dengan tanah becek. Dan di bawah atap gerbang sekolah, Namira berdiri lagi basah dari pundak sampai ujung sepatu.

Seperti dulu.

Dan seperti waktu itu… Rayhan datang lagi.

Ia muncul dari arah kantin. Membawa dua teh hangat dalam plastik bening. Rambutnya lepek. Seragamnya sedikit lembap. Tapi senyumnya utuh.

"Hujan nggak nunggu kita, tapi aku bisa nunggu kamu," katanya ringan sambil menyerahkan salah satu teh.

Namira menerima tanpa bicara.

Tangannya dingin. Hatinya hangat.

Rayhan meletakkan tasnya. Lalu tanpa berkata apa-apa, ia membuka ritsleting jaket merah itu dan memakaikannya ke bahu Namira.

Seperti dulu.

Tapi kali ini lebih pelan, lebih sadar, lebih penuh arti.

"Kenapa sih kamu selalu bawa jaket ini?”

“Kamu tahu aku bisa kena flu?” tanya Namira pelan, separuh protes, separuh doa agar dia tetap melakukannya.

Rayhan tertawa kecil. “Karena kamu selalu lupa. Dan... karena aku suka baunya.”

Namira menunduk.

Dalam hatinya: kalimat itu bukan hanya soal kain. Tapi soal kehadiran.

Karena sejak dulu, Rayhan tidak pernah menjadi suara yang paling keras di keramaian. Tapi ia selalu menjadi suara yang didengar Namira bahkan dalam diam.

Hujan tak reda.

Mereka duduk di lantai trotoar gerbang sekolah. Minum teh. Diam. Lalu Rayhan mulai bersenandung pelan.

“Kalau hujan begini, kayaknya dunia pengen kita pelan-pelan, ya.”

“Mungkin karena dunia tahu kita jarang bicara pelan,” sahut Namira.

Rayhan menoleh. “Kamu selalu punya jawaban untuk semua hal, Nam.”

“Tapi enggak buat satu hal.”

“Hal apa?”

“Hal yang cuma bisa aku simpan.”

Rayhan menatapnya. Tapi tak bertanya lebih lanjut. Dan itulah yang membuat Namira makin tenggelam dalam perasaannya: Rayhan tak pernah memaksa. Tapi selalu hadir.

Sore itu, hujan membawa mereka pada keheningan yang tidak ingin mereka sudahi.

Tapi waktu tidak bisa dihentikan.

Dan sebelum mereka pulang, Rayhan berkata pelan:

“Kalau kamu masih pegang jaket ini besok, jangan lupa… itu cuma dipinjem, ya.”

“Nanti kalau aku pergi, kamu harus balikin.”

Namira pura-pura tertawa.

Padahal hatinya menolak kalimat itu masuk terlalu dalam.

“Kalau aku gak balikin, kamu bakal cari aku, kan?”

Rayhan tidak menjawab.

Ia hanya tersenyum. Lalu pergi dengan langkah pelan di bawah hujan.

Itulah terakhir kali jaket itu berpindah tangan. Dan sejak hari itu, tak pernah ada lagi Rayhan di sekolah.

Keesokan harinya, ia mendengar kabar: Rayhan pindah ke luar kota. Mendadak. Tanpa pamit.

Keluarganya mengikuti pekerjaan ayahnya.

Nomor ponselnya tak aktif. Alamat barunya kabur dalam penjelasan teman yang juga tidak tahu banyak.

Dan Namira…tinggal sendiri dengan teh sisa, dan jaket merah yang masih menggantung di gagang pintu kamarnya.

Ia tak tahu mengapa Rayhan tidak sempat berpamitan.

Tapi diam-diam, ia berharap: Rayhan sengaja tak berpamitan… karena ingin ada alasan untuk kembali.

Tapi hari-hari lewat.

Minggu berganti.

Dan jaket itu tetap tak dikembalikan. Karena Rayhan tak pernah kembali.

“Sejak hari itu, jaket ini jadi pintu yang gak pernah bisa kututup. Setiap hujan turun, aku seperti dipanggil lagi ke sore itu ke suara teh panas, tawa pelan, dan senyum yang hilang sebelum sempat kusebut namanya sebagai rumah.”

Bab 3 – Warna yang Tak Pernah Pudar

Jaket merah itu tergantung di belakang pintu kamar Namira.

Bukan di dalam lemari. Bukan dilipat rapi. Melainkan dibiarkan seperti seseorang yang akan datang menjemputnya kapan saja.

Delapan tahun sudah berlalu, tapi warnanya belum pudar. Atau mungkin, bukan warnanya yang bertahan, melainkan rasa yang tak pernah benar-benar ingin dihapus.

Sejak Rayhan pergi, Namira menjadi pendiam.

Bukan karena tidak punya kata. Tapi karena terlalu banyak kalimat yang tertahan di tenggorokan.

Dan ketika semua itu terlalu berat, ia mulai menulis.

Bukan buku. Bukan puisi. Tapi surat-surat yang tak pernah dikirim.

Sore pertama tanpa kabar dari Rayhan, Namira duduk di lantai kamarnya, menggenggam jaket itu erat-erat. Ia mengambil kertas kecil dari meja, menulis hanya satu kalimat:

“Hari ini hujan lagi. Aku pakai jaketmu.”

Lalu ia lipat kertas itu, dan menyelipkannya di dalam saku dalam jaket.

Keesokan harinya, ia menulis lagi:

“Kamu tahu, aku mulai percaya bahwa kehilangan itu tidak selalu menyakitkan karena perginya seseorang…tapi karena kita tidak tahu harus bicara apa saat mereka masih di sini.”

Ia simpan di tempat yang sama.

Dan begitulah seterusnya.

Beberapa surat hanya dua baris.

Beberapa satu halaman.

Isinya bukan hanya kerinduan, tapi juga kemarahan kecil, tawa yang tak sempat dibagi, dan rasa yang tumbuh dalam diam.

“Aku lihat kamu dalam mimpiku semalam. Tapi kamu cuma diam, dan aku tidak berani menyapamu.”

“Kadang aku berharap kamu kembali hanya untuk menagih jaket ini. Agar aku punya alasan untuk melihat wajahmu lagi.”

“Kalau nanti kamu datang dan baca ini semua…aku gak akan malu. Karena ini satu-satunya cara aku tetap bicara padamu tanpa takut kehilangan.”

Tiap kali ia merasa dunia terlalu bising, ia membuka saku jaket itu. Mengambil satu surat secara acak. Membacanya. Lalu menangis dalam diam.Karena cinta yang diam itu seperti air: semakin ditahan, semakin ia mencari jalan untuk keluar.

Namira tidak tahu sejak kapan ia menjadikan jaket itu sebagai ruang aman. Bukan sekadar benda pinjaman, tapi perpanjangan dari kehadiran Rayhan.

Ketika ia mulai kuliah, jaket itu tetap bersamanya.

Kadang ia simpan di koper.

Kadang dilipat dan dijadikan bantal.

Tapi tak pernah benar-benar ditinggalkan.

“Aku belum bisa kembalikan ini, Ray,” tulisnya suatu malam.

“Karena kamu juga belum benar-benar pergi dari aku.”

Dan setiap kali hujan turun, ia pakai jaket itu, menutup kepala dengan kerahnya, dan membiarkan air mengalir dari ujung lengan seperti air mata yang tak pernah bisa ditampung sepenuhnya.

“Orang bilang waktu menyembuhkan. Tapi bagaimana kalau yang kita butuhkan bukan sembuh melainkan ditemani saat rasa itu tetap tinggal?”

Jaket merah itu mungkin mulai lapuk di beberapa bagian.

Benangnya mulai lepas.

Kancingnya mulai kendur.

Tapi justru dari kerusakan-kerusakan kecil itu, Namira tahu: ia masih bertahan. Sebagaimana rasa yang ia simpan, yang sudah melewati usia remaja, dewasa, dan kini mendekati tua tanpa pernah benar-benar berubah bentuk.

“Rayhan… kamu tahu gak, cinta yang kupunya untukmu ini…sudah lewat masa kadaluarsa. Tapi entah kenapa, rasanya tetap utuh. Seperti jaket ini. Masih merah. Masih hangat. Masih menunggu pemiliknya pulang.”

Langit hari itu cerah, kontras dengan kabar yang datang.

Namira sedang menjemur jaket merah di jendela saat notifikasi di ponselnya muncul: sebuah pesan dari teman lama di SMA.

“Nam, kamu udah denger kabar tentang Rayhan?”

Ia belum.

Tapi jantungnya tahu lebih dulu.

Dan sebelum ia bisa menjawab, pesan berikutnya datang seperti hantaman dari tempat yang tak terlihat.

“Rayhan meninggal. Kecelakaan tol. Tadi subuh.”

Waktu mendadak bisu. Bunyi kipas di kamarnya seperti menghilang. Cahaya matahari yang menyentuh jaket itu berubah jadi perih di mata.

Rayhan.

Meninggal.

Namira membacanya berulang,

seperti huruf-huruf itu bisa berubah makna kalau ia cukup lama menatapnya.

Tapi tak berubah.

Tak ada pembatalan.

Tak ada penjelasan panjang.

Hanya satu kebenaran yang datang terlalu telat:

Tak ada lagi alamat untuk semua rindu yang ia simpan.

Ia menatap jaket itu, yang kini kering, bergantung tenang seperti tak terjadi apa-apa.

Padahal di saku dalamnya, ada puluhan surat yang menunggu dibaca. Ada kata-kata yang berharap bisa sampai. Ada cinta yang belum sempat berkata bahwa ia ada.

Namira menjatuhkan diri ke lantai. Tangannya menggenggam erat jaket itu. Ia membuka sakunya satu per satu, membaca kembali surat-surat yang ia tulis sendiri.

“Hari ini aku bermimpi tentang kita jalan kaki ke danau.”

“Aku tahu kamu nggak cinta aku. Tapi bolehkah aku tetap cinta kamu, diam-diam?”

“Jaket ini mulai kucel, tapi masih wangi kamu.”

“Aku takut suatu hari surat-surat ini gak akan punya tempat untuk dikirim.”

Dan kini, ketakutan itu jadi nyata.

Tidak ada lagi Rayhan di dunia ini.

Tidak ada lagi senyum yang dilempar dengan teh panas.

Tidak ada lagi “jaket ini cuma pinjaman ya” di bawah hujan.

Yang tersisa hanya: Namira, surat-suratnya, dan jaket merah yang kini menjadi pusara berjalan.

Ia pergi ke pemakaman tiga hari setelah kabar itu datang.

Sendirian.

Ia tidak mengenal keluarganya dengan baik, dan tak tahu siapa yang akan ada di sana. Tapi yang ia tahu pasti: ia membawa puluhan surat yang tidak akan pernah sampai.

Pusara Rayhan masih baru.

Tanahnya lembap.

Nisannya belum ada ukiran permanen. Tapi nama itu tertulis di kayu kecil: Rayhan Ardiansyah.

Namira berdiri di sana, membawa tas berisi jaket.

Ia tak tahu harus berkata apa.

Ia hanya membuka satu surat dari saku jaket, lalu membacanya pelan, tanpa suara.

Hanya bibir yang bergerak.

Surat itu berisi satu kalimat:

“Kamu tetap rumah bagiku, bahkan setelah semua pintu ditutup.”

Ia menangis untuk pertama kalinya bukan karena kepergian Rayhan, tapi karena semua kata dalam dirinya telah kehilangan pendengarnya.

“Semua surat ini, Ray… aku tulis untuk kamu. Tapi sekarang, aku cuma bisa menyimpannya lagi. Karena kamu tak lagi di sini untuk membalas, atau bahkan membaca.”

Ia tidak meninggalkan surat-surat itu di makam. Ia membawanya pulang. Karena cinta yang telah kehilangan alamat, tidak berarti harus dibuang. Ia hanya akan tinggal lebih lama di dalam dada.

Jaket merah itu ia peluk di bus saat pulang. Dan untuk pertama kalinya, ia sadar: warna merahnya tak pernah pudar, bukan karena kainnya kuat, tapi karena rasa di dalamnya tak pernah ditanggalkan.

Bab 4 – Ketika Hujan Jadi Pertemuan Terakhir

Hujan turun begitu lambat sore itu.

Bukan deras, bukan gerimis.

Hanya jatuh satu-satu, seperti air mata yang terlalu malu untuk dilihat.

Namira duduk sendiri di bangku belakang perpustakaan sekolah.

Hari itu sepi.

Tak banyak siswa yang datang karena hujan membuat semua enggan bergerak.

Kecuali satu orang.

Rayhan.

Ia muncul sambil membawa dua bungkus teh panas dan dua potong bolu gulung. Tersenyum, seolah tahu betul bahwa sore seperti ini terlalu sunyi untuk dibiarkan sendirian.

"Sendirian, Nona Jaket Merah?”

Rayhan menarik bangku di depannya dan duduk tanpa menunggu jawaban.

Namira hanya menatapnya sebentar. “Hari ini dingin.”

Rayhan mengangkat salah satu bungkus teh. “Makanya aku bawa pelukannya.”

Lalu ia menyodorkannya pelan.

Namira menerimanya. Tak ada terima kasih. Tapi tangan yang menyentuh plastik hangat itu menggigil pelan.

Mereka tak banyak bicara.

Sesekali tertawa kecil.

Rayhan membuka buku sejarah dan mulai membaca setengah serius.

Namira membuka catatannya dan menyalin puisi dari halaman belakang novel tua.

Waktu seperti lupa berjalan.

Langit di luar gelap perlahan.

Dan hujan tetap turun, tanpa suara.

Lalu, tiba-tiba, Rayhan meletakkan buku dan berkata:

“Aku mau pindah, Nam.”

Namira berhenti menulis.

Tangannya diam.

Jantungnya berdetak seperti pintu yang diketuk tiba-tiba dari ruang tak dikenal.

“Besok.”

Hanya satu kata.

Tapi cukup untuk membuat seluruh ruang dalam dada Namira kosong.

Ia menatap Rayhan, mencari tawa, candaan, sesuatu yang membuatnya percaya itu hanya lelucon.

Tapi Rayhan tidak tertawa.

Ia menatap hujan.

“Ayah dimutasi. Aku enggak tahu bakal balik kapan.”

Tidak ada reaksi besar dari Namira.

Tidak menangis. Tidak bertanya.

Ia hanya mengangguk.

Pelan.

Seolah sudah menduga, tapi tetap tidak siap.

Lalu, dalam diam yang berat, Rayhan menyodorkan sesuatu.

Jaket merah itu.

“Kalau aku nggak sempat balikin ini, kamu jagain dulu, ya?”

“Jangan biarin dia basah kehujanan.”

Namira menggenggam jaket itu.

Tangannya bergetar sedikit.

Kainnya masih lembap. Hangat.

Tapi matanya dingin.

“Kamu nggak pamit ke yang lain?”

Rayhan menggeleng. “Nggak. Kamu aja.”

Langit makin gelap.

Perpustakaan mulai sepi.

Rayhan berdiri, menggulung lengan bajunya.

“Kalau aku enggak balik…”

Namira menoleh cepat.

“Jangan bilang gitu.”

Rayhan tersenyum. Tapi tak membantah.

“Kalau aku enggak balik, kamu harus terus tulis cerita. Yang kamu suka. Yang kamu takut tunjukkan.”

“Dan jangan terlalu lama pakai jaket itu. Nanti kamu lupa rasanya peluk orang beneran.”

Kalimat itu menusuk.

Tapi Namira hanya tertawa hambar.

“Kamu sok bijak sekarang.”

Rayhan mengangguk. “Sok-sokan dulu baru bisa jadi beneran.”

Ia pergi tak lama setelah itu.

Langkahnya ringan.

Tapi meninggalkan jejak berat.

Dan di tangan Namira, jaket merah itu seperti tubuh Rayhan yang tak sempat ia peluk.

Sore itu berakhir tanpa pelukan.

Tanpa “selamat tinggal.”

Tanpa janji akan bertemu lagi.

Tapi Namira tahu: itulah perpisahan yang paling menyakitkan.

Yang terjadi tanpa aba-aba.

Yang datang seperti hujan kecil di sore mendung dan tak pernah benar-benar reda di dalam hati.

Langit seolah mengerti duka yang diam-diam mengendap. Sejak Rayhan pergi, hujan tak pernah jatuh sama.

Tak lagi terasa dingin yang bisa dihangatkan oleh teh plastik, tak lagi terdengar suara tawa dari balik jaket merah.

Yang tinggal hanya diam.

Dan sepasang mata yang terus menatap jendela mencari seseorang yang tak akan muncul di balik gerimis.

Hari-hari setelah kepindahan Rayhan berjalan seperti biasa, tapi bukan berarti biasa itu berarti baik. Namira datang ke sekolah seperti biasa, duduk di bangku yang sama, menatap kursi kosong di sebelahnya.

Guru masih mengajar.

Siswa lain masih bercanda.

Tapi bagi Namira, ada suara yang hilang, dan hening itu terlalu nyaring.

Ia tidak menangis.

Karena tidak semua kehilangan butuh air mata.

Kadang, kehilangan hanya butuh waktu…untuk menyadari bahwa ada ruang yang tak akan pernah diisi lagi.

Setiap kali hujan turun, Namira mengenakan jaket merah itu.

Meskipun di dalam kelas.

Meskipun semua orang bertanya.

Ia hanya menjawab:

“Aku kedinginan.”

Padahal yang kedinginan adalah hatinya. Dan kerah jaket itu, yang dulu diangkat Rayhan untuk melindungi rambutnya dari hujan, kini menjadi penahan air mata yang nyaris jatuh.

Di rumah, ia membuka surat-surat lama yang ia tulis.

Beberapa ditulis sebelum Rayhan pergi. Beberapa setelahnya. Tapi tak ada satu pun yang ia buang.

Ia menambah satu lagi:

“Hari ini hujan, Ray. Sama seperti hari kamu pamit. Tapi hujannya gak berhenti, Ray. Karena kamu gak pernah benar-benar pergi dari sini.”

Ia menyelipkan kertas itu di bawah tumpukan yang lain, di saku yang mulai usang, seperti hatinya yang terus menyimpan sesuatu yang tak diberi tempat untuk tumbuh.

Suatu hari, hujan turun saat upacara pagi.

Semua siswa berlarian.

Namira tidak.

Ia berdiri di bawah langit yang tumpah, diam seperti batu nisan, membiarkan air merembes masuk ke dalam jaket, membasahi leher, dada, hingga ke dasar jiwanya.

Dan saat itulah ia sadar: ia tidak tahu bagaimana cara melepaskan seseorang yang tidak pernah sempat ia miliki.

“Aku mencoba menanammu di puisi. Tapi kamu tumbuh di hatiku. Dan tak ada bait yang bisa mencabutmu dari sana.”

Namira menulis lebih sering.

Tapi tak ada satu pun yang ia publikasikan. Karena semuanya untuk satu pembaca: yang kini hanya hidup dalam imajinasi dan suara hujan.

Jaket itu, yang dulu hanya kain, kini menjadi lembar hidup, yang setiap jahitannya menyimpan satu kisah yang tak pernah benar-benar selesai.

Di hari ulang tahun Rayhan yang ke-18 seharusnya Namira menulis surat sepanjang tiga halaman. Ia menyelipkannya dalam saku jaket dengan tangan gemetar.

“Kamu tahu, jaket ini udah mulai robek di sisi kanan. Aku bisa jahit. Tapi rasanya biarkan saja. Karena luka-luka itu yang membuatnya nyata. Seperti rasa ini.”

Hujan masih turun.

Dari langit. Dari matanya. Dari ingatannya.

“Ray… kamu ingat gak? Kamu bilang jangan kelamaan pakai jaket ini, karena aku bisa lupa rasanya peluk orang beneran…”

“…tapi yang aku lupa justru:

rasanya gak lagi bisa peluk kamu.”

Bab 5 – Surat yang Tak Pernah Dikirim

Malam itu, kamar Namira sunyi.

Tidak ada suara selain detak jam dinding dan gesekan bolpoin di atas kertas.

Ia duduk di depan meja kayu kecil, jaket merah terlipat rapi di pangkuannya seperti seorang pendengar yang setia, tak menyela, tak menuntut apa-apa. Di hadapannya, lembaran surat terbuka. Sudah halaman keempat, dan tangannya belum berhenti menulis.

“Untuk kamu yang tak bisa lagi kujumpai,

dan tak pernah benar-benar kutinggalkan…”

Setiap huruf adalah luka yang dibuka pelan-pelan, agar tak mengucurkan darah, tapi cukup membuat hati menganga.

Ia menulis seperti orang yang menulis untuk terakhir kalinya. Seakan-akan surat itu bukan hanya pengakuan, tapi tangga menuju keberanian yang tak pernah ia pijak semasa hidup Rayhan.

“Kamu tahu, Ray…

aku menulis ini bukan karena aku ingin kamu membalasnya. Tapi karena aku lelah menyimpannya sendirian.”

“Selama ini, aku bicara padamu lewat saku jaket ini.Aku berbagi mimpi, marah, tawa, sampai rindu yang makin hari makin berat.”

“Tapi malam ini, aku ingin jujur.”

Ia berhenti menulis sejenak.

Menatap jendela yang dipenuhi embun.

Lalu melanjutkan:

“Aku mencintaimu, Ray. Sejak hari pertama kamu melemparkan jaket ini ke arahku dengan senyum bodohmu.”

“Sejak kamu bilang aku bisa pakai jaketmu, tapi jangan lupa mengembalikannya.”

“Dan aku tahu...sampai hari ini, aku masih belum mengembalikannya. Bukan karena aku lupa. Tapi karena aku terlalu takut kehilangan yang tersisa darimu.”

Tangannya mulai gemetar.

Tinta mulai melebar di kertas, tapi ia tidak peduli. Ia menulis terus, karena ia tahu: ini bukan hanya surat. Ini adalah pernyataan dari luka yang sudah terlalu lama diam.

“Setiap kali hujan turun, aku berharap kamu muncul, menggenggam teh panas, dan bilang aku terlihat payah dalam jaketmu.”

“Tapi kamu gak pernah datang. Dan aku harus hidup dalam versi dunia di mana kamu hanya bisa hadir di mimpi.”

Namira menarik napas panjang.

Hatinya berat.

Tapi ada kelegaan dalam setiap kalimat yang berhasil keluar. Seperti ruang dadanya akhirnya diberi izin untuk berbicara.

“Ray, kalau kamu membaca ini…aku cuma ingin kamu tahu bahwa aku pernah mencintaimu dalam diam.”

“Dan aku mencintaimu bukan karena kamu sempurna. Tapi karena kamu hadir di saat dunia terlalu ramai, dan kamu memilih untuk tidak berisik.”

Lembar surat itu selesai.

Tujuh halaman tulisan tangan.

Berisi semua hal yang selama ini ia pendam, semua kalimat yang tertahan di tenggorokan setiap kali ia memakai jaket itu. Ia melipatnya perlahan, menyisipkannya ke dalam saku dalam.

Tidak untuk dikirim.

Tidak untuk dibaca siapa pun.

Tapi agar tetap dekat dengan sesuatu yang pernah membuatnya percaya bahwa diam juga bisa menjadi bentuk dari cinta.

Keesokan harinya, ia berdiri di depan kotak pos.

Surat itu di tangannya.

Tangannya sudah terangkat.

Sudah setengah jalan untuk memasukkan amplop itu.

Tapi…

ia menariknya kembali.

“Kamu gak perlu tahu, Ray.”

“Cukup aku tahu. Cukup aku simpan. Karena mungkin, cinta sejati memang tidak selalu harus sampai. Kadang… cukup tinggal.”

Malam itu,

Namira menyimpan surat itu di bawah bantal. Ia tidur sambil memeluk jaket merah, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, tidak menangis.

Pagi setelah surat itu ditulis,

Namira bangun lebih lambat dari biasanya.

Kepalanya ringan, meski matanya bengkak.

Ada ruang kosong di dalam dadanya tapi bukan ruang yang menyakitkan, melainkan ruang yang akhirnya dibersihkan dari debu rasa yang lama terperam.

Ia duduk di sisi tempat tidur, mengambil jaket merah yang semalam dipeluknya erat. Tangan kanannya menyentuh saku dalam tempat surat itu disimpan, lalu menekannya pelan, seolah mengucapkan:

“Aku tahu kamu masih di situ.”

Hari itu hujan turun lagi.

Tidak deras. Tidak malas.

Cukup untuk membuat jendela berkabut dan udara menjadi dingin seperti kenangan.

Namira berdiri lama di depan jendela. Melihat bulir-bulir air yang mengalir, dan bertanya dalam hati:

“Kalau aku kirim surat itu, apa yang akan berubah?”

Tapi hatinya menjawab sebelum logika sempat ikut campur:

“Tidak semua surat ditulis untuk diantar. Beberapa surat hanya perlu dituliskan… agar hati punya ruang untuk pulang.”

Namira tidak membuka surat itu lagi. Ia tidak membaca ulang, tidak membakar, tidak menyobeknya. Ia hanya menyimpannya. Dan dari situ, ia belajar: melepaskan tidak selalu berarti menghapus. Kadang cukup dengan tidak memeluknya sekeras dulu.

Ia kembali menjalani hari-hari.

Dengan langkah pelan, tapi lebih ringan.

Jaket merah itu masih tergantung di kamar. Masih ada. Masih utuh. Tapi kini ia bukan lagi pelarian, melainkan saksi bisu dari sesuatu yang tak perlu diteriakkan.

“Ray… aku masih cinta kamu. Tapi hari ini, aku mencintaimu tanpa lagi ingin memiliki.”

“Hari ini aku bisa memakai jaket ini tanpa menangis.”

Di kampus, ia mulai berani membacakan tulisannya.

Puisi, catatan pendek, bahkan prosa tentang kehilangan.

Orang-orang mulai mendengar.

Tapi tak ada yang tahu,

bahwa semua itu berasal dari satu nama, yang tertulis rapi di dalam surat tak terkirim.

“Rayhan Ardiansyah, seseorang yang mengajarkanku cara mencintai, bahkan saat kepergian adalah satu-satunya yang ia tinggalkan.”

Suatu malam, ia membaca ulang surat terakhir itu dalam pikirannya.

Tanpa membuka kertas, tanpa membacanya secara fisik.

Karena ia sudah hafal isinya.

Karena surat itu bukan lagi sekadar tulisan, melainkan doa yang diam-diam tumbuh menjadi keberanian.

“Ray… kamu benar. Jaket ini hanya pinjaman. Dan cinta, kadang juga cuma singgah. Tapi bukan berarti singgahannya tak berarti.”

Beberapa cinta, seperti surat, tak butuh balasan. Ia hanya perlu ditulis, agar dunia tahu: perasaan bisa hidup meski tidak pernah mendapat tempat.

Dan bagi Namira, cinta yang ia simpan dalam jaket merah itu adalah cinta yang tak selesai, tapi tak lagi membuatnya kehilangan arah.

Karena kini, ia tahu caranya berjalan sambil tetap memeluk masa lalu bukan untuk mundur,.melainkan untuk mengenang siapa yang pernah mengajarkannya berjalan.

Bab 6 – Di Bawah Langit yang Sama

Waktu tidak pernah menawarkan maaf. Ia hanya terus berjalan. Menghapus jejak kaki di pasir, mengeringkan air mata di pipi, namun menyisakan bekas yang tak terlihat, tapi tetap terasa.

Namira tumbuh.

Lulus SMA, masuk universitas, pindah kota..Dunia berubah cepat, tapi ada satu hal yang tetap:.sebuah jaket merah yang selalu ikut kemanapun ia pergi.

Jaket itu sudah bukan lagi benda. Ia menjadi bagian dari Namira seperti nafas, seperti luka lama yang tak pernah benar-benar sembuh.

Kadang disimpan di koper,

kadang tergantung di kursi belajar.

Kadang dilipat rapi di atas bantal.

Tapi tak pernah jauh.

Hujan datang dan pergi.

Teman datang dan pergi.

Namun Rayhan tetap diam di tempatnya di hati Namira, dan di dalam saku jaket yang menyimpan surat-surat yang tak pernah dikirim.

Ada masa ketika Namira mencoba menata ulang hidupnya.

Ia ikut organisasi.

Bertemu orang-orang baru.

Tersenyum lebih sering, tertawa lebih keras. Tapi di antara semua itu,.ada ruang kosong yang tak tersentuh..Ruang bernama "Rayhan", yang tidak pernah ia beri kunci pada siapa pun.

“Nam, kamu masih pakai jaket SMA?”.tanya salah satu teman kuliahnya suatu sore.

Namira hanya mengangguk.

“Kenang-kenangan.”

“Dari pacar?”

Namira tersenyum.

“Dari seseorang yang pernah jadi rumah.”

Dan memang begitulah Rayhan bagi Namira..Rumah yang tak berbentuk bangunan..Hanya rasa..Tapi cukup untuk membuatnya selalu ingin kembali.

Setiap malam, sebelum tidur,

Namira kadang menatap langit-langit kamar sambil berbisik dalam hati:

“Ray… kamu tahu gak? Hari ini aku ketawa. Tapi pas sendiri, aku tetap ingat kamu.”

“Kamu tetap tinggal, walau dunia makin luas, walau aku makin menjauh.”

Ada saat ia mencoba menyukai orang lain.

Ada pria yang memberinya puisi.

Ada yang menawarkan teh dan mendengarkan musik yang sama.

Tapi tak ada yang punya tawa seperti Rayhan.

Tak ada yang meminjamkan jaket tanpa diminta.

Tak ada yang tahu caranya hadir tanpa membuat gaduh.

“Mereka baik, Ray. Tapi mereka bukan kamu.”

Dan kalimat itu cukup untuk membuatnya terus memilih sendiri, bukan karena ia tidak dicintai,.tapi karena hatinya belum selesai mencintai seseorang yang tak lagi ada.

Langit kota berbeda.

Tidak ada gerbang sekolah, tidak ada perpustakaan tempat mereka biasa duduk berdua.

Tapi setiap kali hujan turun, Namira tahu:.langit yang meneteskan hujan padanya adalah langit yang sama yang menetes di atas pusara Rayhan.

Dan itu cukup. Untuk membuatnya merasa dekat, meski dunia memisahkan mereka.

“Di bawah langit yang sama, Ray…

aku hidup.

Aku tumbuh.

Tapi aku belum lupa.”

Tahun-tahun bergerak tanpa suara.

Langkah demi langkah Namira menua bersama waktu, bukan sebagai kenangan yang ditinggalkan,.melainkan sebagai perempuan yang belajar menerima bahwa kehilangan bukan akhir dari segalanya.

Hari itu hujan turun lagi.

Tapi kali ini, Namira tak menggigil.

Ia berdiri di balkon kamar kos, mengenakan jaket merah yang kini mulai pudar warnanya,.memandangi langit sambil tersenyum tipis.

Sudah lama ia tidak menangis saat hujan.Bukan karena ia tidak lagi sedih, melainkan karena ia sudah selesai menggali lubang untuk menenggelamkan air matanya.

Sekarang, ia membiarkan rintik itu jatuh, tanpa mencoba mengartikan ulang setiap tetesnya.

Ia menyeduh teh panas.

Duduk di tepi ranjang.

Dan membuka laci kecil di samping tempat tidurnya.

Di sana, tersimpan sebuah kotak kayu

yang ia buat sendiri dari sisa-sisa papan tugas kuliah, berisi semua surat untuk Rayhan,.dan satu lembar foto lama:.Rayhan dengan jaket merah di bahunya, berdiri di depan gerbang sekolah,.menahan tawa, seperti biasa.

“Aku masih simpan semuanya, Ray.”

“Bukan karena aku belum bisa melepaskan…tapi karena aku ingin saat aku benar-benar melepaskan, aku tahu: aku tidak lagi membawa beban, tapi warisan.”

Namira mulai menulis ulang surat-surat itu ke dalam jurnal.

Bukan untuk dipublikasikan. Hanya sebagai bentuk pengarsipan rasa..Karena ia percaya:.yang pernah hidup di hati tak layak dibuang, hanya karena tak berbalas.

Dan dalam setiap kata,

ia menulis bukan sebagai perempuan yang ditinggalkan, melainkan sebagai perempuan yang tumbuh dari cinta yang tak sempat selesai.

“Kamu pernah jadi angin di pagi hari, yang lewat pelan tapi meninggalkan dingin yang tak bisa ditolak.”

“Tapi sekarang… aku sudah jadi daun yang belajar menari meski angin itu tak datang lagi.”

Namira sudah tak lagi merasa bersalah saat tertawa.

Tak lagi menahan senyum saat melihat pria lain yang bersikap baik..Tapi di antara semua itu, ia tetap membawa Rayhan seperti orang membawa doa:.tak terlihat, tapi menjadi pelindung di punggung hari-harinya.

Jaket merah itu kini lebih sering dilipat rapi. Tak lagi dipakai setiap hujan..Namun tetap diletakkan di kursi kerja.di samping pena, kertas, dan teh hangat.

Sebagai penanda.

Bahwa dulu, pernah ada cinta yang hadir dalam bentuk perhatian kecil dan kepergian yang sunyi.

“Ray… aku belum jatuh cinta lagi.”

“Tapi sekarang aku tahu, itu bukan karena aku menunggu kamu kembali. Melainkan karena aku belum selesai mencintai diriku yang pernah patah karena kehilanganmu.”

Namira berjalan pelan di bawah rintik. Tak membawa payung. Tak mengenakan jaket. Tapi tak merasa kedinginan. Karena kini ia tahu: hujan tak lagi menyakitkan, kalau kita sudah tidak memaksanya menghapus luka.

Bab 7 – Tahun-Tahun Tanpa Suara

Tahun-tahun berjalan pelan, bukan karena waktu lambat, melainkan karena hati Namira tak pernah benar-benar ingin jauh dari tempat ia pernah mencintai diam-diam.

Di luar, dunia berubah namun di dalam dirinya, ada satu ruang yang tetap tak tersentuh:.ruang bernama Rayhan.

Namira lulus kuliah.

Ia bekerja sebagai editor lepas.

Menjadi perempuan yang tenang, penuh pertimbangan, dan tak pernah terburu-buru.

Ia jarang bicara banyak soal masa lalu. Bahkan pada teman terdekat, Rayhan hanya muncul dalam senyum tipis yang cepat hilang.

“Nam, kamu pernah pacaran?” tanya seorang rekan kerja saat makan siang.

Namira menjawab dengan mengaduk sendoknya dalam sup, lalu mengangguk samar.

“Pernah sayang, tapi gak sempat pacaran.”

Jawaban itu dianggap lelucon.

Semua tertawa.

Tapi hanya Namira yang tahu, itu adalah pengakuan paling jujur yang pernah ia ucapkan tentang Rayhan.

Ia tidak hidup dalam kenangan.

Tidak juga menolak masa depan.

Tapi dalam setiap keputusan,Namira selalu meninggalkan ruang kecil untuk hal-hal yang tidak bisa dijelaskan logika.

Seperti saat ia menolak pria yang tulus mengajaknya menikah. Atau saat ia menghindari tempat-tempat yang ramai. Atau ketika ia menolak membeli jaket baru meski jaket lamanya mulai koyak di bagian dalam.

“Jaket ini bukan untuk dikenakan setiap hari,” katanya saat itu.

“Tapi cukup untuk mengingat hari yang mengubah caraku mencintai.”

Namira bukan perempuan yang mudah menangis. Tapi ia juga bukan perempuan yang keras. Ia hanya belajar menyimpan luka dalam bentuk cerita bukan untuk ditunjukkan, melainkan untuk membuatnya lebih memahami siapa dirinya sendiri.

“Ray, tahukah kamu? Aku tumbuh jadi perempuan yang kamu harapkan. Kuat, mandiri, banyak membaca, dan menulis.”

“Tapi aku belum bisa jadi perempuan yang berhenti mencintaimu.”

Suatu malam, ia duduk di kamar dengan jaket merah di pangkuannya.

Tidak memeluk. Tidak mengenang.

Hanya memandang.

Lalu ia berkata,

pelan, tanpa suara, tapi dengan hati yang bulat:

“Aku gak butuh kamu kembali.

Aku cuma ingin kamu tahu… bahwa aku pernah mencintaimu dengan cara yang tak mungkin diulang kepada siapa pun.”

Tahun-tahun tanpa suara Rayhan membuat Namira menyadari, bahwa kehilangan tak selamanya mengosongkan, kadang justru mengisi ruang yang tidak pernah bisa dipenuhi oleh kehadiran siapa pun.

Ia menulis catatan itu dalam jurnal hariannya:

“Beberapa orang tidak hadir untuk bertahan. Mereka hadir untuk meninggalkan jejak. Dan dari jejak itulah, kita tahu bahwa cinta tak harus memiliki untuk bisa mengubah kita selamanya.”

Namira sering ditanya kenapa belum jatuh cinta lagi.

Kenapa belum menjalin hubungan baru.

Kenapa selalu terlihat tenang, tapi tak pernah benar-benar membuka pintu hatinya untuk siapa pun.

Ia hanya tersenyum.

Tak ada jawaban yang bisa menjelaskan bahwa sebagian dirinya masih tinggal di sebuah sore hujan bertahun lalu, di bawah langit abu-abu, bersama seorang laki-laki yang tak sempat ia ucapkan “aku cinta padamu.”

“Aku tidak menutup diri,” katanya suatu malam dalam catatan harian.

“Aku hanya belum menemukan rasa yang cukup layak disebut ‘baru’.”

Beberapa pria datang dan pergi.

Ada yang lembut, lucu, perhatian.

Ada yang serius, mapan, bahkan sangat menghargainya.

Tapi di mata Namira, semua hubungan terasa seperti menyentuh kaca jendela saat hujan: dingin, bening, tapi tak pernah benar-benar masuk ke dalam.

Bukan karena mereka buruk. Justru karena ia tak ingin melukai siapa pun dengan luka yang belum ia urai sendiri.

Sore itu, seorang pria bernama Arya, yang sudah lama mengaguminya, berkata,

“Namira, kamu tahu kamu spesial, kan? Kamu bisa milih siapa pun. Tapi kenapa gak pernah benar-benar memilih?”

Namira tersenyum.

Lama. Lalu berkata,

“Aku pernah memilih. Tapi orangnya gak sempat tahu kalau dia dipilih.”

Arya terdiam.

Ia ingin bertanya lebih jauh, tapi urung.

Karena dalam mata Namira, ada kisah yang terlalu dalam untuk bisa dijelaskan tanpa membuat yang mendengar ikut larut.

Namira bukan menggantungkan hidup pada masa lalu.

Ia mandiri. Berkarya. Berkembang.

Tapi di balik semua itu, ada satu hal yang ia jaga seperti bunga kering dalam buku tua: perasaan yang pernah mekar, lalu mengering karena waktu, namun tak pernah kehilangan bentuknya.

“Ray… bukan aku yang tak mau jatuh cinta lagi. Aku hanya belum bisa menyebut nama baru, tanpa merasa seperti mengkhianati seseorang yang tak pernah kumiliki.”

Ia mencoba. Berkali-kali.

Tapi selalu ada momen ketika ia membandingkan hal-hal kecil:

cara mereka tertawa,

cara mereka diam,

cara mereka menyentuh lengan baju saat gugup

semuanya kembali ke satu nama.

Bukan karena Rayhan lebih baik..Tapi karena Rayhan adalah yang pertama membuatnya percaya, bahwa cinta bisa hadir dalam bentuk paling sunyi namun paling nyata.

“Aku tidak butuh seseorang seperti kamu, Ray,” tulisnya dalam jurnal.

“Aku butuh seseorang yang membuat aku bisa melepaskan kamu perlahan, tanpa merasa kehilangan diriku sendiri.”

Dan hingga kini, ia belum menemukannya.

Tapi ia tidak putus asa.

Karena Namira tahu: cinta bukan soal seberapa cepat ia datang kembali, tapi seberapa siap hati menerima bentuknya yang baru tanpa membandingkan, tanpa menyesali.

Malam itu, jaket merah kembali dipeluk. Bukan karena ia lelah. Tapi karena ia ingin diingatkan: bahwa dulu, ia pernah mencintai dengan cara yang sangat manusiawi, dan itu cukup membuatnya tahu: ia masih bisa mencintai lagi, suatu hari nanti.

Bab 8 – Kenangan yang Terlipat di Lengan Jaket

Kamar Namira hari itu sunyi.

Tidak ada hujan. Tidak ada musik.

Hanya suara detak jam dan lembar-lembar pakaian yang disusun pelan ke dalam lemari.

Sudah lama ia tidak benar-benar membereskan kamarnya.

Dan hari ini, ia memutuskan:.saatnya melipat jaket merah itu dan menyimpannya lebih dalam.

Bukan untuk melupakan.

Tapi untuk memberi ruang.

Bagi dirinya. Bagi hatinya.

Bagi cinta-cinta yang mungkin datang nanti.

Namira duduk bersila di lantai.

Jaket merah itu terhampar di pangkuannya,.dengan warna yang mulai kusam tapi tak kehilangan kehangatannya.

Tangannya bergerak hati-hati, seperti menyentuh tubuh seseorang yang sedang tertidur.

Ia mulai melipat lengan jaket itu.

Satu demi satu.

Dan saat jari-jarinya menyentuh bagian dalam lengan kanan, ia terdiam.

Di sana, ada bekas sobekan kecil

jahitan yang ia buat sendiri dengan benang hitam dan tangan gemetar, bertahun-tahun lalu.

“Ray… ini sobek waktu aku jatuh dari motor, inget gak?”

“Waktu itu kamu marah bukan karena aku jatuh, tapi karena jaketmu kena lumpur.”

Namira tersenyum sendiri.

Tangannya menelusuri lipatan kain itu pelan. Lalu berpindah ke bagian dada. Tempat ia sering menyandarkan kepala saat memeluk jaket itu dalam tidur-tidur panjang tanpa mimpi.

Di kantong sebelah kiri, ia menemukan secarik kertas yang hampir lupa ia tulis.

“Hari ini aku pakai jaket ini di tengah angin. Dan rasanya seperti kamu masih di sini, membungkusku dengan tawa yang tak sempat kusebut ‘rumah.’”

Ia tak menangis.

Tidak lagi.

Tangannya hanya menahan kertas itu erat. Lalu menyelipkannya kembali.

“Kenangan itu ternyata bukan hal yang ingin kita simpan,.tapi hal yang tidak bisa kita buang.”

Ia kembali melipat jaket itu. Melipat bagian kerahnya bagian yang dulu Rayhan angkat pelan agar rambutnya tidak kehujanan.

Ia ingat sekali sentuhan itu.

Bukan karena romantis.

Tapi karena sederhana.

Dan sering kali, yang sederhana justru tak bisa dilupakan.

Saat jaket itu terlipat sempurna, Namira meletakkannya di atas lemari, di dalam kotak kecil,.bersama dengan dua puluh tiga surat yang tak pernah dikirim, dan foto kecil Rayhan yang dicetak dari kenangan.

“Ray… aku masih belum tahu apakah aku sudah sembuh. Tapi hari ini, aku bisa menyimpan kamu tanpa merasa berdosa.”

“Dan itu cukup.

Untuk sekarang.”

Malam itu, ia tidur tanpa memeluk jaket merah.

Tanpa menyentuh surat.

Tapi dalam mimpinya, ia duduk di bawah hujan bersama Rayhan, meminum teh yang tak pernah basi, dan tertawa pelan di antara rintik yang tak lagi menyakitkan.

Sudah dua minggu sejak jaket merah itu disimpan di atas lemari. Tidak lagi tergantung di kursi, tidak lagi dilipat di atas bantal. Tidak lagi disentuh tiap malam, seperti obat luka yang tak ingin habis.

Namun setiap kali Namira menoleh ke sudut atas kamarnya ke arah kotak tempat jaket itu dibaringkan ia merasa ada yang masih hidup di sana. Bukan kenangan, tapi kehadiran.

Di dalam kotak itu,

bukan hanya tersimpan kain dan surat,tetapi suara-suara yang tak pernah benar-benar pergi.

“Nam, kamu kelihatan murung hari ini. Nih, roti keju setengah, aku sisain.”

“Nam, kamu percaya nggak kalau dunia ini sebenarnya milik mereka yang diam?”

“Nam, jaket ini cuma pinjaman ya…”

Namira masih bisa mendengarnya.

Bukan sebagai bisikan, tapi sebagai gema yang memantul dari bagian dirinya yang belum selesai pulih.

Dan malam-malam tertentu, saat hujan datang tanpa aba-aba, Namira tetap duduk di tepi tempat tidur sambil menatap langit-langit.

“Ray…”

“Kamu tahu gak, hal yang paling sulit dari semua ini adalah…bukan hidup tanpamu, tapi menyadari bahwa semua tempat yang dulu jadi milikmu, sekarang kosong dan aku harus pura-pura baik-baik saja.”

Ia tak membuka kotak itu malam itu. Ia hanya menyentuh sisi luarnya,

perlahan, seperti seseorang yang menyapa dari balik pintu, tanpa niat masuk, hanya ingin memastikan: masih ada jejak di dalam.

“Kamu tahu apa yang aneh, Ray?”

“Jaket itu masih hangat di pikiranku. Tapi aku mulai lupa suaramu saat memanggil namaku.”

> “Dan itu membuatku takut. Karena mungkin, melupakan bukan selalu pilihan, kadang ia datang sebagai bentuk perlindungan.”

Dalam diamnya, Namira menyadari: bukan jaket itu yang sulit dilepaskan, bukan surat-surat itu, bukan senyum Rayhan yang ia simpan dalam foto kabur.

Tapi… bagian dari dirinya sendiri.

Bagian yang tumbuh, dan hidup, dan dewasa bersama cinta yang tak pernah sempat dilafalkan.

Bagian yang percaya,

bahwa meskipun Rayhan tak ada, namanya tetap disebut di setiap halaman hidup Namira yang tak bisa ia tunjukkan pada siapa pun.

“Ray… kamu tidak tahu,

tapi tempat terakhir yang masih menyebut namamu dengan utuh adalah…aku."

Jaket itu tetap dalam kotak.

Surat-surat itu tetap terlipat.

Namira tidak membakarnya, tidak membuangnya.

Karena ia tahu, beberapa rasa bukan untuk dilenyapkan melainkan untuk diingat…sebagai bentuk rasa syukur bahwa ia pernah punya cinta seperti itu.

Dan untuk pertama kalinya, ia tidur malam itu tanpa menyentuh apa pun dari masa lalu, namun tetap merasa ditemani.

Bukan karena Rayhan datang dalam mimpi, tapi karena Namira akhirnya mengerti:

“Yang tidak bisa dilupakan bukan berarti harus terus digenggam. Kadang, cukup disimpan. Di tempat yang hening, dan tak meminta apa-apa lagi.”

Bab 9 – Saat Segalanya Bisa Dilepaskan

Langit abu-abu menyelimuti pagi itu, seperti tahun-tahun lalu ketika Namira pertama kali berdiri di hadapan pusara Rayhan. Bedanya, kali ini… tidak ada yang menggigil dalam dirinya. Tidak ada tangan yang gemetar, tidak ada dada yang sesak.

Di tangannya, jaket merah itu tergenggam rapi, dilipat tiga lapis, seperti kenangan yang sudah diberi ruang, diberi waktu, dan kini siap dilepaskan.

Ia datang sendiri. Tak membawa payung. Hujan tipis turun, seolah langit pun tahu bahwa pelepasan ini tak butuh gemuruh cukup rintik yang hening.

Langkahnya pelan.

Tapi pasti.

Ia melewati deretan makam dengan tenang, lalu berhenti di satu titik yang nyaris hafal oleh hatinya:

Rayhan Ardiansyah

1993 – 2015

Nisan itu tak berubah.

Tapi Namira tahu, yang berubah adalah dirinya sendiri.

Ia duduk.

Menatap batu itu.

Menghela napas panjang.

Kemudian berkata pelan:

“Ray… aku datang lagi. Tapi kali ini bukan untuk menangis. Bukan juga untuk menagih kehadiran yang sudah tidak mungkin kembali.”

“Aku datang untuk mengucapkan terima kasih.”

Ia meletakkan jaket itu di atas pusara. Mengusapnya perlahan, seperti mengembalikan sesuatu yang seharusnya memang tidak dimiliki selamanya.

“Ini milikmu. Selalu milikmu. Tapi sekarang aku tahu, aku tidak harus memilikinya untuk tetap mengingatmu.”

Jaket itu basah oleh gerimis.

Tapi tak ada rasa bersalah.

Justru ada rasa lega yang mengalir seperti udara segar masuk ke ruang yang selama ini tertutup.

Namira tidak menyesal.

Ia pernah menyimpan cinta itu dengan penuh.

Ia pernah melindunginya, menjaganya, dan bahkan hidup bersamanya selama bertahun-tahun.

Tapi sekarang, ia tahu: cinta juga butuh ruang untuk pergi.

“Aku akan tetap menulis.

Tetap meminum teh hangat.

Tetap tertawa kecil saat hujan turun.

Tapi kali ini…bukan karena kamu, melainkan karena aku sudah bisa bahagia tanpamu.”

Ia menunduk.

Membiarkan jaket itu meresap basah. Dan dalam diam, ia tahu: bukan jaket yang ia tinggalkan, tapi beban yang selama ini ia pikul dengan hati yang terlalu setia.

“Selamat tinggal, Ray.

Tapi tidak pada kenangan.

Karena aku akan selalu menyebut namamu bukan sebagai luka, melainkan sebagai seseorang yang pernah membuatku percaya pada keindahan yang sunyi.”

Langkah Namira menjauh dari pusara itu tanpa jeda.

Tanpa menoleh.

Bukan karena ingin melupakan,melainkan karena ia telah berkata cukup banyak kepada nisan, kepada hujan, dan kepada dirinya sendiri.

Jalan setapak di pemakaman basah oleh gerimis..Sepatunya becek. Ujung bajunya basah. Tapi dadanya ringan. Seperti beban bertahun-tahun akhirnya menemukan tanahnya sendiri.

Sesampainya di rumah, Namira masuk ke kamar, dan menyadari sesuatu: Tak ada lagi jaket merah itu di gantungan.

Tak ada di atas kursi.

Tak ada lipatannya di atas bantal.

Tak ada kertas yang jatuh dari saku saat ia bergerak tergesa.

Dan untuk pertama kalinya…ia tidak merasa kehilangan.

Ia duduk di tepi tempat tidur,.menghadap ke jendela yang masih menetes perlahan.

Tangannya kosong.

Tapi hatinya tidak.

“Ray… aku pernah menggenggam kamu terlalu erat.

Sampai-sampai aku lupa, cinta bukan tentang menggenggam.

Tapi tentang merawat,.dan tahu kapan waktunya melepaskan.”

Namira membuka jurnal kecilnya.

Di halaman terakhir, ia menulis kalimat pendek:

“Aku telah mencintai,

dan aku telah selesai mencintai.

Tanpa dendam. Tanpa marah.

Hanya sisa kehangatan yang akan tinggal….cukup untuk membuatku berjalan lagi.”

Ia tidak tahu ke mana hidup akan membawanya setelah ini.

Ia tidak tahu apakah ia akan bertemu cinta lain.

Tapi hari itu,

ia tahu satu hal pasti: Ia telah memberi cinta itu tempat terbaik dan telah membebaskannya, tanpa kehilangan dirinya sendiri.

“Tak semua cinta harus terus dipegang..Karena ada cinta yang tumbuh hanya untuk mengajar..Dan setelah itu, ia harus pulang bukan ke orang lain, tapi ke keheningan yang pernah ia ciptakan di hati kita.”

Namira memejamkan mata.

Hujan di luar makin pelan.

Malam tiba.

Dan dalam sunyi itu,

ia tersenyum.

Bukan karena telah melupakan,

tapi karena telah mengikhlaskan tanpa menghapus.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
TARUK
Ratna Arifian
Cerpen
Jaket Merah yang Tak Pernah Dikembalikan
Muhamad Irfan
Novel
Kopi , senja ,mules?
BlackTruffleGvrl
Novel
Bronze
Si Cantik
Hermawan
Novel
Bronze
Ayat Ayat Benci
Sarjana Goblok
Novel
TIARA
Iera Suhada
Flash
Temanimu Melepas Nada Masa Lalu
catzlinktristan
Novel
Sampiran Durian
Azul
Novel
Bronze
Izinkan aku memelukmu lebih lama lagi
eko susanto
Skrip Film
Her Podcast Case
Irvinia Margaretha Nauli
Novel
PENGHARAPAN
Estiana
Novel
Morning Coffee
Ang.Rose
Flash
Petikan Kala Senja
Mimi
Novel
SYEMA WEGARI
Elisabeth Purba
Skrip Film
Renjana Untuk Rabbania
Elis Yulianti N
Rekomendasi
Cerpen
Jaket Merah yang Tak Pernah Dikembalikan
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Bukan Lagi Kita
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Bayangan yang Tidak Pernah Pulang
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Bayangan di Meja Sebelah
Muhamad Irfan
Cerpen
Bronze
Sepotong Roti Hangat di Ujung Hujan
Muhamad Irfan