Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Bab 1 – Hujan Pertama Tanpamu
Hujan turun dengan lambat pagi itu. Tidak deras, tidak juga gerimis. Seperti langit tahu, ada seseorang yang datang membawa hati yang belum selesai. Di antara batu-batu nisan yang dingin dan basah, seorang perempuan berdiri diam.
Namanya Namira.
Tangannya menggenggam erat sebuah jaket merah yang sudah lusuh di lipatan, tapi masih utuh di ingatan.
Langkahnya lambat, pelan, seolah tanah pun ikut mengingat. Ia berhenti di depan sebuah batu nisan sederhana hanya bertuliskan satu nama:
Rayhan Ardiansyah
1993 – 2015
Tak ada kalimat puitis. Tak ada “yang tercinta” atau “kekasih yang dirindukan.”
Hanya nama, tahun lahir dan mati. Tapi di kepala Namira, puluhan kalimat ingin ia tancapkan ke batu itu.
Kalimat yang tak pernah keluar dari mulutnya.
Kalimat yang ia kubur lebih dulu dari jasad di hadapannya.
Namira tidak menangis. Ia hanya duduk. Meletakkan jaket merah itu di pangkuannya. Mengusap bagian lengannya perlahan.
Masih ada bau hujan di sana, entah nyata atau hanya ingatan yang menipu.
> “Akhirnya… aku kembali. Tapi bukan untuk meminjam, melainkan mengembalikan.”
Ia menatap langit yang abu.
Tidak ada kilat. Tapi hatinya bergemuruh seperti ada petir yang tak jadi dilepaskan.
Delapan tahun.
Sudah delapan tahun sejak Rayhan pergi.
Tanpa perpisahan.
Tanpa sempat tahu bahwa Namira menyimpan sesuatu yang tidak pernah bisa ia ucapkan.
Waktu itu, ia hanya menerima kabar lewat telepon. Kecelakaan. Jalan tol. Subuh.
Rayhan tak pernah kembali dari kota tempatnya pindah.
Jaket itu…masih ada bersamanya. Masih belum sempat ia kembalikan.
Dan sejak hari itu, Namira tak pernah bisa mengenakan jaket itu tanpa merasakan dua hal sekaligus: kehangatan dan kehilangan.
> “Rayhan… kamu ingat nggak, waktu hujan pertama kita?”
“Yang aku lupa bawa payung, dan kamu malah lari-lari ke gerbang sekolah cuma buat kasih jaket ini?”
Ia tersenyum kecil, pahit.
Tangannya menggenggam erat kain tebal berwarna merah tua itu.
“Waktu itu aku nggak bilang terima kasih. Aku cuma bilang jaketmu bau kopi.”
“Tapi hari itu, Ray... aku jatuh cinta. Dan aku nggak pernah pulih dari hari itu.”
Namira menghela napas panjang.
Ia menoleh ke sekeliling. Makam-makam lain sunyi, hanya suara hujan yang samar menyentuh rumput.
Tak ada satu pun yang tahu bahwa seorang perempuan sedang duduk di depan nisan sahabat lamanya membawa cinta yang sudah terlalu lama dibungkam.
Jaket itu basah di bagian ujungnya.
Tapi ia tidak mengelapnya.
Karena ia tahu, jaket itu pernah basah juga dulu saat ia pakai di bawah hujan terakhir yang mereka lalui bersama.
“Setelah kamu pindah, aku nunggu kabar setiap hari. Tapi kamu jarang hubungi aku lagi. Dan aku kira… ya, mungkin emang cuma aku yang nyimpen sesuatu dari pertemanan kita.”
“Ternyata… aku bener.”
Ia mendongak ke langit yang tetap abu-abu.
Tapi tidak ada air mata.
Yang turun hanyalah sesuatu yang jauh lebih perih: penyesalan yang tak bisa dibalas.
Delapan tahun.
Tak ada yang tahu ia masih menyimpan jaket itu.
Tak ada yang tahu, ia masih menulis surat-surat untuk Rayhan, diselipkan di saku jaket itu meski ia tahu tak akan pernah ada yang membacanya.
“Aku tahu, kamu nggak pernah janji. Kamu nggak pernah kasih harapan. Tapi aku juga nggak pernah punya cukup keberanian buat bilang sesuatu.”
“Jadi hari ini... aku mau bilang, meskipun kamu nggak bisa dengar, meskipun mungkin sudah tidak penting lagi...”
Ia berhenti sebentar. Lalu memejamkan mata.
“Aku sayang kamu, Ray.”
Tak ada angin besar.
Tak ada gemuruh.
Tapi dada Namira tiba-tiba lega.
Bukan karena luka sembuh, tapi karena luka itu akhirnya pu...