Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Langit kota mulai berubah warna, dari biru terang ke jingga tembaga yang membakar ujung-ujung awan. Daun-daun mahoni di Taman Sri Lestari berguguran perlahan, seperti menirukan langkah hati seseorang yang sudah lama rapuh.
Laras duduk di bangku kayu nomor tiga, yang menghadap ke danau buatan kecil di tengah taman. Bangku itu sudah sedikit rapuh, kayunya tua dan berderit jika seseorang duduk terlalu cepat. Tapi baginya, tempat itu tidak pernah berubah. Bahkan aroma bangku yang dicampur wangi tanah basah selepas hujan pun masih sama seperti lima tahun lalu.
Di pangkuannya terlipat rapi sebuah jaket merah. Bukan jaket miliknya. Bukan pula jaket baru. Tapi jaket yang penuh kenangan. Laras meremas tepinya pelan, seolah berharap bisa memeras waktu yang sudah lama lewat.
“Aku masih di sini, Ger,” bisiknya lirih. Suaranya lebih mirip angin dibandingkan ucapan. “Tempat ini... masih sama. Hanya kamu yang tidak kembali.”
Seorang anak kecil berlari di jalur taman sambil memanggil ibunya. Gelak tawa dan suara sepatu kecilnya mengganggu keheningan sebentar, lalu lenyap seperti riak air yang mereda.
Laras menghela napas. Ia membuka ritsleting jaket itu, menyentuh bagian dalamnya. Masih ada sobekan kecil di saku kiri—sobekan yang dibuat Geri saat malam terakhir mereka bertemu.
“Jaket ini milik pacar kamu ya, Mbak?” tanya suara tak dikenal dari arah kanan.
Laras menoleh. Seorang pemuda—mungkin mahasiswa—berdiri dengan ransel di punggung dan earphone menggantung di leher.
“Bukan,” jawab Laras, tersenyum kaku. “Milik seseorang... yang belum sempat kembali.”
Pemuda itu hanya mengangguk sopan dan melanjutkan langkah. Laras kembali menunduk. Ada kesepian yang tak bisa dijelaskan, bukan karena tidak ada orang, tapi karena yang diharapkan tak pernah muncul.
“Kenapa sih kamu nggak ambil aja waktu itu?” gumam Laras pada dirinya sendiri. “Atau paling nggak... bilang kenapa kamu pergi.”
Ia masih ingat malam itu. Geri datang dengan jaket itu, membawa senyum hangat seperti biasa, tapi matanya menyimpan sesuatu yang ganjil. Dan setelah malam itu, tak ada lagi kabar. Tidak dari ponsel, media sosial, bahkan keluarganya seolah ikut menghilang.
Laras menyandarkan punggung dan menutup mata. Angin sore menyentuh pipinya, seperti sentuhan tangan yang pernah ia kenal. Tiba-tiba, suara langkah perlahan terdengar mendekat. Ia membuka mata, sekilas melihat sosok seseorang duduk di bangku seberang.
Jantungnya berhenti sejenak.
Jaket merah.
Modelnya sama.
Dan sosok itu... menunduk, sama seperti cara Geri duduk sambil berpikir.
Laras menatap, terpaku. Jarak terlalu jauh untuk memastikan wajahnya. Tapi dadanya langsung bergetar, seperti waktu terlempar mundur tanpa peringatan.
“...Geri?”
Sosok itu duduk diam. Ia tidak menoleh, tidak bergerak, hanya menunduk dengan siku bertumpu pada lutut. Jaket merah yang membalut tubuhnya berkibar pelan karena angin sore. Laras menahan napas. Setiap serat kain itu seolah menyulut gelombang kenangan yang selama ini ia tekan.
Laras berdiri perlahan, merapatkan jaket di pangkuannya. Langkahnya tertahan, seperti ada sesuatu yang menahannya di akar-akar tanah. “Apa itu kamu, Ger?” gumamnya. Kalimat itu tak sampai kepada siapa pun kecuali dirinya sendiri.
Dia ingin menghampiri, tapi sekaligus takut.
“Kalau ternyata bukan dia...?” pikirnya. Tapi jika ya—kalau benar itu Geri—apa yang harus ia katakan?
“Permisi,” sapanya dengan suara setenang mungkin.
Sosok itu menoleh. Bukan Geri.
Laras langsung mundur setengah langkah. Pemuda itu, mungkin seumuran dirinya, memiliki rahang yang berbeda, alis lebih tebal, dan mata yang lebih cekung. Tapi jaket itu...
“Maaf,” kata Laras buru-buru. “Saya kira kamu... seseorang yang saya kenal.”
Pria itu tersenyum ramah, meski matanya bingung. “Bukan yang pertama kali hari ini. Tadi juga ada ibu-ibu yang bilang begitu.”
Laras tersenyum kaku. “Jaketnya... mirip sekali dengan milik teman lama saya. Sudah lima tahun nggak ketemu.”
“Wah. Saya nemu jaket ini di toko barang bekas, Mbak,” jawabnya, menepuk bahu jaket. “Lucu aja sih warnanya. Dan... agak nostalgia, ya?”
Laras hanya mengangguk. Kata “nostalgia” menggantung seperti debu matahari di sore hari—terlihat tapi tak bisa digenggam.
“Kadang benda sederhana bisa menyimpan cerita yang panjang,” lanjut si pria. “Saya sendiri nggak tahu cerita jaket ini. Tapi kayaknya... ada yang ninggalin kenangan di dalamnya.”
Kalimat itu menusuk lebih dari yang ia harapkan. Laras menatap jaket merah...