Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pernahkah berpikir? Pernahkah kamu memperhatikan orang-orang? Di jalan, di dalam mobil-mobil, di kampus, dan berpikir bagaimana kira-kira kehidupannya? Berapa anaknya? Sudah berkeluarga? Bahagia? Sedih? Banyakkah masalah yang dihadapinya? Puaskah dengan apa yang dicapainya? Saya sering berbuat begitu, memperhatikan orang-orang, mengira-ngira cerita yang ada di balik wajah-wajah itu. Seperti sebuah musik, berirama. Musik memang indah, inspirasi. Bersyukur atas terciptanya musik. Coba kalau tidak ada musik...Waduh!! Kacau!! Ini tak akan tertulis. Orang-orang itu, wajah-wajah itu, pergerakan mereka, tidak akan berirama, dan saya tidak akan bisa bercerita. Parah.
Hari ini dengan musik di telinga saya, berjalan dengan santai di kampus. Papasan dengan orang yang menarik perhatian saya. Matanya yang coklat, kulitnya yang cerah, rambutnya hitam pendek, dengan t-shirt, jaket jins, dan tas selempang. Laki-laki itu sangat menarik perhatian saya. Tum, tum, tum... Musik yang saya dengar seirama dengan langkah kakinya. Hingga kami hampir dekat, saya menatap matanya. Mata coklat itu seperti ingin menyampaikan sesuatu. Betapa saya ingin menyapanya.
Saya tentu tidak kenal dia. Tetapi segala sesuatu tentang dia membuat saya terinspirasi, mengira-ngira cerita hidupnya. Orang semenarik dia pasti supel dan bahagia, dan pasti banyak yang menyayangi dia. Tentu saja saya tidak punya keberanian untuk menegurnya.
Dia melewati saya begitu saja.
Ternyata esoknya saya melihat dia lagi, papasan lagi. Yap, dia tetap paling menarik bagi saya. Dia kuliah di jurusan apa? Tingkat berapa? Punya pacar? Mungkin sudah... Bagaimana cerita hidupnya? Ini yang terpenting.
Siapa namanya? Ini yang lebih penting.
Dia melewati saya.
Besoknya pun terulang kejadian yang sama.
Dia melewati saya.
Dia beraroma citrus, ah sungguh segar. Wajahnya bersih bersinar, sepertinya dia sedang bahagia hari ini. Kenapa ya? Apa dia baru saja menang taruhan? Apa dia baru saja makan lumpia basah terenak dalam hidupnya? Apa seseorang baru saja menerima cintanya? Apa dia hanya senang saja papasan dengan saya? Ah! Sungguh Ge-Er saya dibuatnya. Senyum tipis di bibirnya membuat saya pun tersenyum kecil. Oh, apakah dia sadar?
Esoknya, esoknya lagi… Hampir tiap hari. Dengan musik yang berubah. Dia melewati saya.
Inspirasi yang hanya lewat saja.
Hari ini dia terlihat muram. Wahai Rendi, kamu kenapa? Jangan tanya kenapa, tapi mukanya tampak pas dengan nama Rendi. Itu pikir saya. Tapi hey, kamu kenapa hari ini? Apa ada yang mengganggumu? Siapa? APA? Biar saya hilangkan apa pun itu yang memuramkan ceriamu. Memadamkan semangatmu. Ah inspirasiku. Saya mengira-ngira apa yang terjadi. Mungkin dia baru putus dari pacarnya! Ah! Yes! Kenapa saya senang? Apa dia melihat senyum kecil saya? Shit. Apa pun itu yang membuatmu muram, saya tidak suka. Kamu tahu saya ingin kamu selalu bahagia. Ah, tentu kamu tak tahu.
Dia melewati saya terburu-buru. Mungkin hanya muram karena telat janji. Pernah seperti itu? Mengira-ngira? Terus seperti itu?
Hingga suatu malam saya memutuskan untuk menyapanya. Saya harus bisa! Saya harus kenal dia! Saya sudah bosan mengira-ngira.
Pernah punya perasaan seperti itu? Harus kenal dengan seseorang?
“Hey, maaf, boleh saya berkenalan denganmu?” Terdengar murahan..
“Apa kabar? Saya sering melihat kamu, kamu ambil jurusan apa?” Ah! Jeleeek...
“Aduh! Sambil menjatuhkan sesuatu di dekatnya. "Maaf... maaf, terima kasih telah membantu saya. Boleh tau namanya?” Kenapa seperti sinetron banget!
Semalaman saya tak bisa tidur, hingga saya menemukan kalimat yang tepat.
Dengan riang saya berjalan menuju tempat biasa saya berpapasan dengannya. Waktu yang sama, musik yang riang, langkah yang yakin. Bahagia… Saya akan kenal dengan laki-laki itu, kami akan berteman, berbagi cerita hidup, mungkin menjadi kekasih (siapa tahu?). Membayangkan segala kemungkinan yang akan terjadi. Saya jadi tersenyum sendiri. Irama musik yang riang, irama hati yang ceria.
Namun, ternyata ia tidak ada. Ya sudah, mungkin besok saya akan bertemu lagi dengannya. Besok saya harus sudah kenal dengannya.
Esoknya pun dia tidak ada. Begitu juga esok-esoknya lagi. Saya tidak pernah bertemu lagi dengan laki-laki itu. Tak terbayangkan rasa sesal yang ada di hati saya, rasa sedih, kecewa, ingin rasanya saya menangis. Dasar wanita! Tapi pernahkah kamu merasa seperti itu?
Berjalan dengan musik di telinga saya ke tempat kerjaan. Yap, si gadis muda dengan beribu penyesalan yang masih ada di hatinya ini, telah bekerja di salah satu kantor pusat desain di ibukota. Tetap optimis! Irama musik kembali ceria. Berdoa agar diberi kesempatan untuk sekedar bertemu dengan apa yang telah membuatnya menyesal.
Berjalan melewati lobi dengan berkas-berkas untuk presentasi dipeluk erat.
Ruangan ber-AC yang besar dan banyak wajah-wajah yang saya yakin penuh kreativitas dan jiwa-jiwa muda yang penuh inovasi. Saya senang kerja di sini. Presentasi pertama saya tak boleh gagal! Tum, tum, tum, irama musik, irama orang-orang itu, tetap menjadi inspirasi bagi saya.
Tum, tum, tum… Ah indahnya... Pernah merasa seperti itu?
Saya tidak pernah menduga.
BAM! Seseorang menabrak saya, saya terjatuh, kertas-kertas presentasi saya beterbangan, semuanya kacau, tapi tetap berirama (dasar...). Saya sempat panik, serampangan saya mengumpulkan kertas yang berserakan, tiga menit lagi presentasi, SAYA TIDAK BOLEH TELAT! Tidak boleh menyesal lagi! Laki-laki itu pun membantu membereskan kertas-kertas saya, berulang kali dia mengucap maaf. Saya tak peduli ingin saya membentaknya, ”Kalau jalan lihat-lihat, dong!” Saya hanya ingin cepat-cepat ke lantai 15 dan hadir tepat waktu di presentasi ini.
Hingga saya tak sengaja menatap mata laki-laki itu, matanya coklat, rambutnya telah sedikit panjang, jaket jins, sepatu keds, aroma segar citrus, saya yakin dialah laki-laki itu! Laki-laki yang harus saya berkenalan dengannya.
Terima kasih Tuhan!
Tak terbayangkan bahagianya hati saya bertemu lagi dengannya. Tiga tahun saya menyesal tidak pernah menyapanya. ”Kamu gak luka?” dia bertanya. Mengusik kebahagiaan saya, mengusik musik yang tiba-tiba menjadi sangat indah. Senyum saya merekah, tanpa pikir panjang, tanpa peduli saya telah telat presentasi, saya langsung berkata, ”Sama sekali tidak, kamu tidak tahu betapa senangnya saya bertemu kamu lagi. Kamu boleh anggap saya gila atau apa, tapi saya harus kenal sama kamu. Saya tidak mau menyesal untuk yang kedua kalinya. Saya tidak mau terus menamakan kamu Rendi, padahal namamu bukan itu.” Kamu terpana. Saya menyengir menatap mata coklat mu dan kamu pasti tahu betapa lebih bahagianya saya ketika kamu bilang (sambil terkekeh kecil), ”Saya ingat kamu! Kamu sangat menarik perhatian saya, dulu hampir tiap hari kita papasan di koridor kampus. Saya Ian, bukan Rendi,” kamu mengulurkan tangan.
Sungguh kejadian yang mirip sekali dengan ribuan adegan di ratusan judul sinetron. Tak disangka dan tak dinyana, ironislah realita bak sinetron di depan mata.
Saya memang telat lima belas menit untuk presentasi yang paling penting dalam hidup saya. Namun, saya sama sekali tidak menyesal. Penyesalan tiga tahun telah terhapus, itu yang terpenting.
Musik semakin indah, iramanya mengiringi kita, hingga saya selesai menulis semua ini. Kamu selalu menjadi inspirasi saya. Saya cinta kamu, Ian.
Kalau kamu bertanya bagaimana presentasi saya waktu itu, saya memang sempat dimarahi, tapi semua orang menyukai presentasi saya, buktinya saya masih bekerja di kantor ini. Dua lantai di bawah kantormu.
-2002