Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Mimpi itu mendatangimu lagi. Kelebatan fragmen dalam tonal monokrom, sesekali tampak buram, berpasir, dan tersendat, hasil usaha penghabisan dari memorimu yang selalu gagal menghapusnya dari tiap sel otak, hingga mengakar jauh ke alam bawah sadarmu.
Adegan yang selalu sama. Dihadirkan dari sudut pandang orang pertama, seperti menonton footage video shaky, engkau mengetuki setiap pintu depo pengisian oksigen yang kau tahu di kota ini, hanya demi mendapati gelengan kepala atau gerakan tangan tanda tiada.
Deru mesin motor dan kelontang tabung gas yang kau ikat sekenanya di jok belakang tak mampu mengalahkan bunyi degup jantungmu sendiri. Bertalu tanpa henti seiring kekuatiran dan ketakutan yang makin membuncah di dada, kalau-kalau malam ini Bapak akan segera menyusul Ibumu yang belum genap sebulan lalu tumpas dikalahkan Corona.
Engkau tahu ini waktumu untuk bangun. Tapi tubuhmu menolak tunduk. Otak sadarmu tak lagi berkuasa. Kau justru melesak lebih dalam ke kasur busamu, dilingkupi ketidakberdayaan, cuma mampu pasrah ketika bunga bangkai tidur ini menggiringmu ke adegan klimaksnya yang tak pernah gagal menghadirkan kengerian paripurna.
Kau sendirian dalam ruang serba putih. Masker oksigen terpasang menutupi hidung dan mulutmu, menyemburkan aliran udara dingin yang terdorong memasuki rongga dada. Sesosok perawat berpakaian terusan serba putih masuk dan memeriksa keadaanmu. Kau tak tahu bagaimana kejadiannya saat itu, tapi bagiku cukup dengan satu jentikan jari, punggung tangan yang seharusnya tertutup rapat itu bersentuhan dengan dahimu.
Seketika kau mengalami hal paling mengerikan dalam hidupmu. Deretan ratusan wajah tanpa nama terpampang jelas di ruang pandangmu. Kau tak bisa menghapusnya meski setengah mati memejamkan mata. Serangkaian ekspresi mengerikan ketika mereka meregang nyawa hingga bertemu ajalnya bergantian muncul. Aura kematian yang begitu pekat mencekikmu seperti menghirup knalpot truk diesel yang tak lolos uji emisi.
Belum selesai dengan itu semua, segelombang perasaan menyeruak masuk memenuhi setiap jengkal bagian tubuhmu. Aku tahu betul bagaimana rasanya saat perasaan ringkih, putus asa, merasa gagal, merasa lemah, lelah, duka, penyesalan dan semua rasa yang berjuta kali lebih pahit dari bratawali tiba-tiba dijejalkan masuk ke kerongkonganmu, dalam satu waktu, tanpa engkau sanggup melawan sama sekali.
Kemudian gelap. Kau terbangun di kamarmu yang pengap dengan bulir-bulir keringat membasahi wajahmu, dan sekelumit sisa rasa getir di pangkal lidahmu. Malam itu sekali lagi kau bersumpah, tak akan membiarkan siapapun menyentuhmu barang sedetikpun.
***
Sarwono hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala sambil memandang keluar melalui pintu ruang kerjanya yang setengah terbuka. Tampak Jagad—salah satu anak buahnya— tengah susah payah berusaha melilitkan perban ke kepala dengan satu tangan, sementara tangan lainnya menekan kapas berlumur cairan desinfektan diatas rambut yang bernoda darah.
Seketika pandangannya terhalang ketika anak buahnya yang lain menerobos masuk ke ruangannya. “Lapor Komandan, penertiban pasar kaget di area Taman Kota sudah berhasil dilaksanakan dengan baik. Kita ber….“
“Itu….” Sarwono memotong kalimat anak buahnya sambil menunjuk ke arah Jagad yang akhirnya berhasil melilitkan perban ke kepalanya meski centang perenang, “Kenapa? “
“Siap Ndan, tadi ada salah satu pedagang pakaian yang panik dan bereaksi berlebihan, kepala Jagad kena pukul gantungan baju pas di bagian pengaitnya, makanya bocor. Sudah saya panggilkan medis tapi dia ngotot mau merban sendiri aja katanya. “
Si anak buah kembali melanjutkan laporan hasil penertiban sambil membacakan data pada beberapa lembar kertas yang dilapisi map berwarna biru. Kacamata bacanya tampak melorot terlalu jauh di batang hidungnya. Namun, Sarwono tak lagi memperhatikannya, pikirannya menerawang ke beberapa tahun lalu.
Jagad adalah putra tunggal dari sepasang suami istri, sahabat lamanya, Banyu dan Agni. Agni menjadi korban keganasan pandemi terlebih dahulu, disusul suaminya tak lama kemudian. Koneksinya sebagai pejabat tinggi di Satuan Polisi Pamong Praja kota tak mampu memberinya slot bangsal rumah sakit untuk sahabat-sahabatnya. Ketika akhirnya ada pintu kamar isolasi yang terbuka, Banyu sudah telanjur dalam kondisi kritis, dan Jagad pun tak kalah buruk kondisinya. Setelah pontang panting mengurus kedua orang tua, akhirnya imunnya kalah juga.
Beruntung Jagad lolos dari maut dan segera pulih dalam waktu singkat. Dengan ragu Sarwono menawarinya pekerjaan. Upaya penebusan terakhir setelah gagal menyelamatkan nyawa kedua orang tuanya. Lagipula hidup harus terus berjalan.
Jabatan sebagai Kepala Bidang Trantib memudahkannya menyisipkan satu nama dalam perekrutan selanjutnya. Masalahnya, Satpol PP adalah perangkat daerah paling banyak disalahpahami dan dimusuhi. Rasanya pekerjaan ini tak cocok bagi Jagad yang dikenalnya sebagai pemuda supel dan ceria sebelum semua tragedi ini terjadi. Makanya ia kaget saat Jagad segera menyambut tawarannya.
Sarwono tak tahu persis apa yang terjadi. Awalnya ia menduga semua hanyalah mekanisme pertahanan diri Jagad menghadapi duka mendalam karena kehilangan. Apa yang ia kira hanya sementara ternyata bertahan sekian lama. Jagad tetap tak bisa disentuh siapapun. Tak pernah terpikir dalam khayalan paling liarnya sekalipun bahwa sentuhan terbuka pada Jagad, meski hanya sedetik, akan mentransfer pikiran, perasaan, rasa sakit dan ingatan Sang Penyentuh dalam satu waktu sekaligus.
Jagad sama sekali tidak menikmatinya. Baginya ini kutukan paling buruk yang ingin dia singkirkan, tetapi tak pernah bisa. Maka ia memilih hidup sendiri, membentengi dirinya dengan seragam yang banyak dibenci dan membuat jarak dari semua orang dengan pentungan di tangan, meski tak pernah sekalipun ia pakai untuk menyakiti.
***
Siang itu Jagad dan rekan-rekannya mendapat penugasan mengawal penyegelan dan pengukuran sebuah gedung bioskop lama, yang tak sanggup lagi membiayai operasionalnya dan akhirnya berpindah kepemilikan ke pemerintah kota. Gedung ini rencananya akan segera dirobohkan dan dibangun ulang sebagai kantong parkir baru.
Seharusnya tak ada yang istimewa dari tugas ini, selain terik matahari yang entah kenapa lebih sengit dari hari lainnya. Jagad berdiri dalam barisan yang membentuk pagar hidup menutupi area depan gedung yang terbuka.
Ia memeriksa ulang semua yg dikenakannya. Topi mut-nya dilesakkan lebih dalam, buff membungkus leher hingga menutupi mulut dan sebagian besar hidungnya. Manset di lengannya terpasang tinggi sampai dekat ketiak, bertumpukan dengan lengan baju yang membungkus otot bisepnya sampai ke siku. Kedua tangannya terbungkus sarung tangan. Sebuah pentungan tergantung di pinggang kanan dengan pengait khusus. Bagian bawah celananya dilesakkan dalam-dalam ke booth setinggi betis. Ia memastikan tak ada bagian kulitnya yang terbuka kecuali dekat mata yang tampak menyorot tajam dalam ekspresi siaga.
Tiba-tiba dari arah berlawanan serombongan orang yang memegang berbagai senjata mulai dari kayu balok, celurit, hingga rantai dan gear motor berlarian mencoba merangsek masuk ke dalam area gedung. Barisan berseragam merapatkan banjar-nya dan bersiap menyambut serangan mendadak ini. Bentrokan pun tak terhindarkan. Kalah jumlah, pasukan Satpol PP mulai terdesak mundur.
Jagad terpaksa mengangkat pentungannya untuk membela diri. Bertahan dari pukulan, tendangan, dan amukan bermacam senjata. Sambil berusaha mundur ke titik kumpul pasukan yang telah disepakati ketika briefing tadi pagi.
Di tengah riuh suara, kepul debu, dan bunyi derap langkah yang memekakkan, ekor matanya menangkap sesosok orang yang tampak terduduk di salah satu sudut, seolah tak peduli meski dirinya terjebak di tengah kekacauan yang membahayakan ini. Tanpa pikir panjang Jagad menarik kerah orang ini dan menyeretnya ke tempat yang menurutnya aman.
“Bapak gak apa-apa? “ Jagad bertanya sambil memeriksa sekujur badan orang ini kalau-kalau ada bekas luka atau lebam. Setelah memastikan semua aman, Jagad kembali meyakinkannya untuk diam di tempat aman ini sampai bantuan datang. Tak ada respon yang berarti kecuali pandangan kosong dan anggukan samar.
Jagad mengenali orang ini sebagai “Pak To”, gelandangan dengan gangguan jiwa yang sering ia lihat ketika melakukan patroli rutin di sekitar bioskop tua ini. Berapa kalipun dinas sosial mengangkut dan memindahkannya ke tempat yang lebih layak, ia akan selalu kembali ke tempat yang sama lalu duduk di sudut bangunan yang dulunya adalah lobby bioskop ini.
Setelah memastikan semua aman, Jagad bermaksud pergi untuk bergabung kembali dengan pasukannya. Tiba-tiba ia merasakan bajunya ditarik dari belakang. Pak To lantas memegang manset di lengan kirinya yang ternyata sudah koyak memperlihatkan robekan kulit bernoda merah,
“Darah…,“ gumamnya lirih masih dengan tatapan yang kosong.
Maka terjadilah apa yang selama ini menjadi klimaks adegan mengerikan dari mimpi-mimpi Jagad.
Pandangannya mendadak seolah tertutup kabut tebal, kilasan-kilasan peristiwa muncul dalam urutan dan kecepatan tak beraturan. Fragmennya tak pernah sempurna seperti sisa-sisa ingatan yang acak dan muncul sekenanya, Tapi diantara semua itu ada satu wajah yang selalu muncul, sosok gadis yang tampak ayu dalam gerakannya yang gemulai.
Hatinya mendadak dipenuhi kerinduan yang mendalam, rasa sakit karena kehilangan, kesepian yang menyesakkan, rasa bersalah yang memuakkan bahkan rasa ingin mati karena luka jiwa yang teramat dalam. Fragmen ditutup dengan imaji gadis itu tergeletak bersimbah darah di samping sebuah sepeda motor yang remuk.
Sesaat sebelum semua menjadi gelap, Jagad mendengar sebentuk suara samar dari kegelapan sudut memori Pak To dan segera mengerti alasan sosok renta ini tak pernah mau beranjak dari tempat itu.
***
Tiga hari berlalu sejak bentrokan itu. Belakangan Jagad tahu bahwa preman setempat tak terima saat lahan parkir liar yang selama ini jadi periuk nasi mereka akan segera tergusur. Karena itulah mereka menyerang dan berusaha menggagalkan penyegelan. Beruntung pasukan Brimob cepat diturunkan dan mengamankan para perusuh.
Jagad ditemukan jatuh pingsan dekat bekas gardu listrik di belakang gedung, dengan posisi Pak To si gelandangan memegangi lengan kirinya. Atas instruksi Sarwono, pihak medis tak diperbolehkan menyentuhnya. Hanya memastikan lukanya tak parah, lalu membiarkannya saja disitu, menjagainya hingga ia siuman sendiri. Penyegelannya sendiri akhirnya ditunda untuk sementara waktu sampai suasana lebih kondusif.
Tiga hari itu Jagad mencari. Menemui beberapa orang, pergi ke berbagai tempat, bertanya kesana kesini, menghubungkan titik-titik petunjuk dan menyelidiki seolah mencoba menemukan sesuatu yang sangat berharga. Sampai akhirnya ia menemukannya.
Jagad memarkirkan motornya di dekat lobby gedung bioskop lama yang kini ditutup pagar kawat berduri dan garis polisi. Sesuai dugaannya, Pak To tengah terduduk di tempatnya yang biasa. Jagad duduk bersila menghadap Pak To lalu mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah pelantang suara bluetooth yang sudah terhubung ke handphone-nya, lalu memasangkannya ke telinga Pak To.
Seketika senyum terbit di wajah Pak To yang keriput. Matanya terpejam seolah mendengar nyanyian putri duyung yang melenakan. Duduknya menegak dan bahunya melebar seperti ia kembali ke masa-masanya ketika masih sehat dahulu. Ia tampak seperti bunga layu yang mendadak mekar setelah tersiram air dan menyerap hara yang telah lama dirindukan.
“Kenes... Kenes…, “ lirih ia memanggil sebuah nama.
Demi melihat pemandangan ajaib di depannya, Jagad memberanikan diri menyentuh tangan Pak To. Maka terjadilah sensasi yang biasanya tak pernah dinikmatinya itu.
Citra wajah seorang gadis manis dengan gerak geriknya yang lemah lembut segera mewujud di ruang pandangnya. Tidak lagi berkabut dan terputus-putus. Kini semua tampak jernih. Kilasan-kilasan momen bahagia mereka mewujud dalam imaji penuh warna.
Pada satu momen tampak Kenes, Jagad menduga itulah nama gadis itu, sedang berdiri menghadap microphone condenser dalam sebuah studio rekaman mungil. Selembar kertas naskah dipegangnya dengan mantab di tangan kiri.
Jagad melepaskan genggaman tangannya dari Pak To. Lamat-lamat terdengar suara Pak To menirukan apa yang dibaca Kenes pada kertas naskah itu,
“Pintu teater nomor dua sudah dibuka….“
***
Engkau menghadapi kematian sekali lagi. Alih-alih bercengkerama dengan Pak To sepulang dinas seperti kemarin, kau berdiri menghadapi tubuhnya yang terbujur kaku diatas rak pendingin yang terjulur. Tadi pagi pemilik warteg di sebelah gedung bioskop tua yang biasa memberinya makanan, menemukannya sudah tak bernyawa.
Kau mengepalkan tanganmu dalam kemarahan. Wajar kau marah, aku sudah berhasil memperdayaimu habis-habisan. Obsesimu untuk membantu dan mengubah kutukanmu jadi berkat ternyata dijungkirbalikkan kenyataan. Kau lupa bahwa rindu dan penantian juga adalah bahan bakar untuk hidup. Bagi Pak To, bertahun duduk di tempat yang sama, menunggu suara kekasihnya terdengar dari pengeras suara sember itu sekali lagi adalah satu-satunya alasan untuk bertahan. Semalam, ia tak punya alasan lagi untuk menolak saat aku datang mengetuk.
Kau menggenggam tangan dingin itu. Berharap melihat secercah fragmen, sisa-sisa ingatan, bara hati yang menghangat oleh memori indah atau apapun. Namun hanya hampa disana. Kau mengeraskan genggamanmu. Aku dapat mendengar hati kecilmu memohon untuk bisa menilik sedikit pemandangan di alam baka sana. Tapi aku tidak sebaik itu. Telah kubentangkan tirai kuasaku yang hitam pekat itu. Kau tidak akan berdaya menembusnya.
Tepat sebelum kau melepaskan genggamanmu, kuselinapkan suaraku di relung pikirmu. Barangkali kau mendengarnya sebagai derak samar atau desau angin saja. Tapi aku tahu kau akan langsung mengenalinya. Bukankah kita pernah bertemu? Ya ini aku, sang maut, sedang menertawakanmu dan belenggu yang kupasangkan padamu.
Ditunggu karya selanjutnya ya