Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Jaenudin
1
Suka
5
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Regina

Nasib!

Begini, nih, kalau sudah wisuda setahun yang lalu, tapi masih betah jadi pengacara alias pengangguran banyak acara. Gara-gara itu, para tetanggaku jadi melihat potensi terpendam seorang Gigi. Selalu saja ada yang membutuhkan jasaku. He-he.

Kemarin Buk Rat, istri Pak RT, minta tolong padaku untuk merias anak bontotnya karena TK si bontot ikut memeriahkan pawai tujuh belasan. Ceritanya Chika jadi none Belanda. Dari hair do, makeup, sampai baju Bu Rat serahkan padaku. Lumayan. Hasil bangun pagi mendandani Chika bisa membeli tiga buku—novel incaranku sejak enam bulan yang lalu!

Sore ini tetanggaku, Jamilah—si kecil ceriwis lima tahun minta ditemani ke taman bermain kepunyaan kompleks. Jamilah pada dasarnya sudah hafal 'bauku' sejak usia satu tahun. Dulu, bundanya Jamilah sering ke rumah untuk belajar memasak kue dengan Mama. Nah, selama memasak di dapur, Jamilah bermain denganku. Dia jadi lengket banget seakan-akan aku ibu keduanya, sampai sekarang. Tidak masalah karena aku suka anak kecil.

“Milaaa, hati-hati.” Itu anak kok aktif banget, sih? Naik tangga kayak lari di aspal kompleks. Kuenceng!

Dia tidak mendengarkan aku. Ya Tuhan.

“Mila, tunggu Rayhan meluncur dulu baru kamu yang turun di perosotan.” Aku mesti tergopoh-gopoh menahan Mila supaya dia tidak menyeruduk bocal lelaki itu. 

“Rayhan lemot banget, Kak Gigi. Mila gemes.”

Ampun deeeh. Adek siapa, sih, ini?

“Sabar. Mila harus antre.”

“Antre?” tanyanya tidak mengerti.

“Antre itu menunggu sampai giliran kita datang. Enggak boleh serobot teman kamu yang di depan.”

“Iya deh, iya.” Jamilah cemberut dan giginya gemeretak tak sabaran.

Setelah mengamati beberapa saat, akhirnya dua anak itu tertib dan aku duduk memperhatikan dari jauh. Enggak jauh-jauh amat, sih. Hanya dua meter dari perosotan.

“Makasih, ya, udah temenin Mila.”

“Astaga naga! Bang Jay!” Debar jantungku meliar. Suara ngebas dan dalamnya benar-benar bikin arwahku geger pengin berontak keluar dari badan. Aku benar-benar kaget. “Kasih kode kalau datang.”

“Maaf.” Dia duduk di kursi kayu di sisi kananku sambil menggaruk tengkuknya yang jangan-jangan ada klan fungi gatal.

“Maaf diterima."

"Makasih, ya."

"Sama-sama." Sopan seperti biasa. "Baru pulang, Bang?”

“Iya.”

“Tumben cepet.” Aku lirik arloji di tangan kirinya. “Baru pukul 04.30. Biasanya azan magrib baru nyampe rumah.”

“Abang keinget Mila sama kamu. Biasanya jam segini sedang di taman.”

"Inget aja, Bang? Enggak dibawain martabak sama es krim sekalian?"

Tiba-tiba Bang Jay berdiri seperti hendak mau pergi. Segera aku tahan kepergiannya yang entah untuk apa pun niatnya tadi.

"Abang mau ke mana?"

"Ke depan kompleks."

"Ngapain?"

"Beliin kamu martabak sama es krim."

Istigi Bing Jinidin. Bercanda akunya. Mungkin kalau aku minta kerak telor ke Kota Tua bakal dibelikan sekarang juga.

"Udah, di sini aja, Bang. Jangan ke mana-mana."

Secara mengejutkan, dia menurut dan kembali duduk di sisiku.

"Kalau mau sesuatu, telepon Abang, Regina. Abang akan belikan apa pun yang kamu mau," ucapnya sungguh-sungguh.

Regina lagi.

Seriusan, deh. Daripada urusan beli membelikan ini kepanjangan, maka aku pungkas dengan jawaban ini, "Iya, nanti aku akan bilang kalau mau dibeliin mi Yamin di Jatiwaringin."

“Siap, Bu Regina."

Bu Regina. Rasanya bola mataku berputar minimalis.

"Kamu tahu tiap hari Abang pulang saat magrib?”

Aku mengangguk. “Bunyi mobil Abang masuk garasi kedengeran dari dalam rumah.”

Bang Jay mengangguk pelan.

“Regina,” panggil suaranya yang berat itu.

“Gigi, Abang Jaenudin,” ralatku. 

Dia tidak pernah mendengarkan aku. Seribu kali kuperingatkan dia perihal panggilan ini, seribu kali pula Bang Jay keukeuh dengan pendiriannya untuk tetap memanggilku Regina. Dulu dia memanggilku Gigi, tapi semenjak tahun akhirku di kampus, Bang Jay mulai memanggilku Regina hingga beberapa detik yang lalu.

“Abang kan pernah bilang, Regina terdengar manis. Kalau Gigi, Abang keinget gigi beneran.”

Aku tertawa ngakak. Kalau kata orang, anak gadis mesti jaim, tapi aku tidak bisa. Bawaan orok!

Setelah merampungkan tawa, aku baru sadar mata Bang Jay tak berpaling dariku sejak tadi.

"Ehem!" Aku berdehem demi memutus tatapan tadi meskipun tenggorokanku baik-baik saja. Ditatap begitu bikin aku .... Ah, enggak tahu! "Sori Bang. Alasan Abang terlalu absurd.”

Demi mendamaikan jantungku yang sedikit bergemuruh, mataku sengaja kabur dari tatapan Bang Jay dan memilih membuntuti Mila yang sedang mengejar Rayhan untuk ketiga kalinya. Kasihan Rayhan, selalu kena tangkap gadis cilik nan lincah itu. Adik siapa, sih, agresif banget? Oh iya, adik bungsunya Bang Jay.

“Regina."

Suaranya mengalun lembut di telingaku. Atau, barusan hanya khayalanku?

"Apa, Bang?" Mataku beralih dari Mila ke abangnya.

"Mau jadi istri Abang?”

Karena aku pikir Bang Jay bercanda, sekali lagi aku tertawa ngakak di hadapannya. Sore itu aku menganggap tawaran menjadi istrinya adalah bercandaan paling lawak yang pernah aku dengar seumur hidupku dari pria serius ini.

Cegukan Sialan

Tak afdol kalau mamanya pintar baking, tapi anaknya tidak bisa. Maka dari itu aku menjiplak kelihaian Mama mencampur tepung dan mentega dengan cara belajar baking sedari dini agar kepintaran Mama menurun pada putri satu-satunya ini. For the record, kue pertama kubuat saat usiaku menginjak 12 tahun. Tidak sempurna, tentu saja, tapi aku tahu memanggang kue akan menjadi passion terpendamku hingga sekarang.

Setidaknya, jika lamaran kerjaku tidak diminati perusahaan-perusahaan itu, aku akan meneruskan usaha kue Mama. Masalahnya, Mama bersikukuh agar aku menjadi karyawan, bukan mengikuti jejak Mama. Asal Mama bahagia, aku akan menuruti keinginannya. Mama satu-satunya yang kupunya di dunia ini. Aku tidak akan mengecewakan Mama.

Aku baru menyelesaikan pesanan pesanan Tante Farah—tetanggaku seberang rumah, yaitu sepuluh loyang bronis plus dua loyang untuk aku dan tetangga spesialku.

“Ma, Gigi ke sebelah dulu, ya. Gigi mau kasih bronis buat si ceriwis.”

“Iya. Sekalian bawa kemeja Hari, Gi.”

Oh iya, bajunya Jamhari. Aku dimintai tolong bundanya Hari menjahit baju anaknya yang robek beberapa hari yang lalu. Tipnya lumayan untuk pengangguran inih. Hi-hi.

“Wokeh, Ma.”

Mobil Bang Jay ternyata nangkring di depan rumahnya siang begini. Pas banget, si empunya mobil lagi duduk di teras.

“Bang Jay,” sapaku.

“Regina.”

Deg.

Kenapa hanya dipanggil Regina efeknya bikin nyes, ya? Apa gara-gara bercandaannya yang mengajakku menikah tempo hari?

“Aku baru selesai bikin bronis buat Tante Farah, terus sengaja bikin lebih untuk Mila, soalnya aku tahu dia sukaaa banget sama bronis. Kita makan bareng, yuk, Bang?"

Bibirnya tersenyum tipis. Walaupun ekspresinya irit, tapi aku yakin banget Bang Jay senang ditawari bronis buatanku, soalnya sudut matanya ikut tersenyum. Aku sudah hapal kelakuan abangnya Mila ini.

Bang Jay menepuk sandaran kursi di sisi kirinya yang kosong untuk menyuruhku duduk. Dengan senang hati, Bang.

"Semalam baru aja Abang kangenin kue buatan kamu yang lezat."

"Kangennya terobati. Selamat menikmati." Aku membuka kotak si bronis yang sudah aku potong kecil-kecil. Bang Jay langsung melahapnya.

"Enak seperti biasa," ungkapnya tulus.

"Makasih." Rasanya pipiku menghangat gara-gara pujian tadi. "Mila ada, kan, Bang?”

Kepalanya mengangguk. “Mila, Kak Regina bawa bronis,” teriak Bang Jay ke dalam rumah.

Mauuu,” teriak si ceriwis dari dalam. Mau tak mau aku dan Bang Jay terkekeh mendengar betapa antusiasnya Jamilah hanya dari suaranya.

“Tumben pulang, Bang. Yang jagain toko siapa?”

Pria 30 tahun ini punya toko penyedia bahan bangunan yang lumayan besar. Pelanggannya dari berbagai kalangan. Dari pelanggan individu, Pemkot Jakarta Timur, hingga kontraktor kelas sarden sampai kelas tuna sirip biru. Dia bos besarnya, jadi enteng saja pulang kapan pun dia mau.

“Karyawan Abang yang jaga. Ayah katanya pusing. Abang suruh ke dokter nggak mau, jadinya standby di rumah. Jaga-jaga kalau mesti ke rumah sakit.”

“Terus sekarang Ayah gimana, Bang?” Ujung ibu jariku menunjuk Ayah Bang Jay yang keberadaannya entah di mana di dalam rumah.

“Ayah masih keliyengan. Masih dipantau Bunda."

“Kalau butuh bantuan, kasih tahu aku ya, Bang. Aku, kan, selalu available di rumah. Maklum, pengangguran berkualitas."

Setelah mengatakannya, aku terkikik sendiri. Aku sudah mengirim beberapa CV, kok, ke beberapa perusahaan, tapi sampai sekarang sepertinya surat lamaranku belum dilirik, deh, oleh para HRD budiman. Sabar, Gi.

Begitulah pesan Mama. Saling tolong-menolong, apalagi ke tetangga yang paling dekat dengan kita. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi lima menit kemudian sedangkan hanya tetangga terdekat yang bisa diandalkan untuk menolong kita. Aku tidak akan pernah melupakan nasihat yang satu ini.

Tidak ada respon dari Bang Jay. Diamnya abang si Jamilah selama beberapa detik bikin aku keder. Ada yang salah dengan pernyataanku tadi? Daripada memikirkan salah atau tidaknya aku, ini yang lebih penting: cara dia menatapku sama dengan tatapannya di fasilitas bermain kompleks tempo hari. Seperti ... tatapan orang bego. Bukan. Bukan bego yang seperti itu, tapi lebih ke ... begonya orang yang sedang jatuh cinta.

Aiiih! Jatuh cinta banget, nih, Gi? Sinetron banget pikiranku.

"Bang, masih di bumi, kan?" candaku.

"Y-ya? Ya. Maksud Abang terima kasih, Regina. Kamu selalu begitu dari dulu, perhatian sama orang lain."

Meskipun dia gugup entah karena apa, tapi ucapannya terdengar begitu tulus dan langsung menyentuh hatiku. Rasanya tubuhku meringan dan kakiku mulai tak berpijak di bumi. Pandai benar Bang Jay bermain kata yang bikin aku berbunga-bunga dan mengawang di udara.

"Di-dimakan, Bang, bronisnya,” putusku agar Bang Jay enggak menatapku lagi. Syalan, lidahku jadi kaku sekaku kukis pertamaku yang gagal.

"Baik, Regina."

“Eeeh, jangan dihabisin. Kak Gigi kasih buat Mila.” Mila mendekap si kotak bronis ke dada.

Astaga! Datang-datang langsung ngerusuh. Bocah, bocah.

“Abang baru makan sepotong, Dek. Kapan lagi coba kue buatan Kak Regina?”

Regina lagi, Regina lagi. Suka-suka Abang aja, lah.

“Tapi ini kesukaan Mila, apalagi Kak Gigi yang buat. Nggak boleh dihabisin.” Si ceriwis ngotot.

“Udah, ini semuanya buat Mila.” Aku menengahi demi meredam hujan lokal. Habisnya, sebentar lagi aku yakin Mila bakalan menangis. Matanya mulai berkaca-kaca. “Jangan lupa kasih Bunda, ya, Mila.”

Mila langsung cengengesan, dong. “Iya. Makasih Kak Gigi. Wleeee.” Mila mencibir Abangnya. Sebelum Jamilah lari ke dalam rumah, dia memeluk protektif kotak bronis seakan-akan Bang Jay akan merebut harta karunnya jika dia lengah. Aku cuma bisa menghela napas. Bang Jay geleng-geleng kepala.

“Nanti aku ambilin lagi buat Abang. Masih ada di rumah.”

“Makasih. Kamu tuh deket banget sama Mila. Abang seneng dia punya temen di rumah.”

“Abang ngejek aku pengangguran, ya, karena jadi teman Mila di rumah?” Mataku menyipit tidak terima. Belum bekerja jadi topik sensitif buatku. Harap maklum.

“Bukan begitu maksud Abang, Regina."

"Lalu apa?"

"Meskipun kamu belum mendapatkan pekerjaan, tapi kamu enggak pernah nganggur. Dari dulu kamu memang enggak bisa diam, sih. Kamu selalu menyibukkan diri dengan sesuatu yang bermanfaat. Dan itu sangat bagus. Lagian, belum bekerja bukanlah aib sampai kamu harus merasa malu. Lihat kue ini. Kamu yang buat, Regina, dan kelezatannya diakui ibu-ibu kompleks dan pelanggan online di luar sana. Abang dengar dari Bunda, kamu juga sering dimintai ibu-ibu kompleks untuk dandanin mereka. Satu lagi. Kamu juga bisa meng-handle anak-anak. Kamu itu multitalenta. Cocok banget jadi istri Abang."

Tiba-tiba aku dirundung gelisah. Jantungku cenat-cenut dibuatnya. Tengkukku memanas gara-garanya. Barusan ... barusan dia memujiku habis-habisan! Hei hati, jangan baperan, kamu!

"Lagipula," matanya memerangkapku agar aku tak berpaling ke mana-mana. Bang Jay berhasil, sebab kepalaku kaku untuk sekedar menoleh ke arah lain kecuali ke mata teduhnya. "Abang enggak mempermasalahkan istri Abang nanti bekerja atau tidak.”

Jedeeer lagi!

Aku pikir pernyataannya dua minggu yang lalu cuma main-main. Lha, ini? Kok, berlanjut? Bang Jay kenapa, sih?

“Abang jangan bercanda,” kataku kikuk.

“Abang nggak bercanda. Abang udah nunggu setahun untuk mengutarakan niat ini, by the way. Abang pikir, sudah saatnya kamu tahu. Jadi, kamu mau jadi istri Abang, Regina?”

Setahun?

HIK.

Cegukan sialan yang tak tahu diri!

HIK.

“Bang. Aku lupa kasih ini. Udah aku perbaiki.” Aku menyerahkan plastik berisi kemeja Hari, adik Bang Jaenudin yang masih SMA dan meletakkannya di atas meja teras.

HIK.

“Regina ....”

“Bang. Hm ...," HIK. "aku pulang dulu. Kayaknya aku lupa nutup pintu kulkas, deh.”

HIK.

“Regina, tunggu ....”

Kupingku tidak lagi mendengarkan Bang Jaenudin karena aku sudah kabur ke rumahku sekencang-kencangnya dan menutup pintu dengan bunyi bedebam keras.

Kenapa aku lari?

Dan lupa menutup pintu kulkas? Alasan macam apa, itu? Syalan!

Ilmu Kodok

Setelah dua kali Bang Jay mengungkapkan niatnya, aku jadi kepikiran tentang ini: apa aku mau menikah dengannya? Dia memang makhluk paling baik yang pernah aku temui. Selain itu, dia adalah sosok yang santun, baik hati, sopan, hormat sama orang tua, baik hati, penyayang apalagi sama adik-adiknya, mapan, pekerja keras, baik hati ... oh astaga. Sudah berapa kali aku bilang dia baik hati? Maafkan aku, tapi itulah kenyataannya. Aku tidak mengada-ada. Kekurangan Bang Jay? Irit ekspresi. Itu saja. Intinya, dia punya semua kriteria husband material.

Menikah bukan tujuan hidupku sekarang, tapi sebagai manusia, tak bisa kupungkiri bahwa kelak aku ingin menikah dan melaksanakan ibadah seumur hidup itu dengan seseorang yang aku cintai. Mama pun pernah menyinggung soal ini. Beliau sudah menasihatiku jauh-jauh hari bahwa bila aku telah menemukan si calon menantu, aku harus siap mental menjadi istri dan harus mau selalu belajar menjadi istri, ibu, dan bagian dari keluarga besar si suami. Tiga peran itu selalu punya cara untuk berevolusi dan memengaruhi hubungan suami istri, baik secara positif, maupun negatif. Untuk itu Mama menyuruhku untuk terus meng-upgrade ilmu kehidupan itu sejak lama.

Angan-angan untuk menikah itu sudah ada. Buku-buku pernikahan pun sudah pernah kubaca. Hanya saja, tanda-tanda mendapatkan pekerjaan belum nampak hilalnya. Maka dari itu aku belum berani memikirkan pernikahan.

Lagipula, kalau aku menikah, Mama bagaimana? Setelah Papa pergi untuk selamanya, hanya tinggal kami berdua tempat saling bergantung satu sama lain. Kalau aku pergi .... Ah, aku tak sanggup membayangkannya.

Jangan dibayangkan hal yang belum terjadi, Gigi! Lebih baik kamu fokus membuat arisan ibu-ibu kompleks hari ini terlaksana dengan baik.

Hari ini aku jadi seksi sibuk membantu bundanya Mila di rumahnya karena giliran arisan kompleks bulan ini jatuh di rumah Bunda. Maklum, anggota keluarga Bunda yang bisa diandalkan ... nol besar. Lelaki semua. Kecuali Jamilah. Mila mah, tim rusuh. Maka Mama mengajakku membantu Bunda karena aku adalah satu-satunya anak gadis yang masih menganggur di kompleks ini. Padahal aku takut setengah mati kalau ketemu si dia gara-gara ajakan nikahnya. Eh tapi, Bang Jaenudin, kan, ke toko setiap hari. Oke. Hari ini aman.

“Aku ikut bantu ya, Regina.”

Serrr.

Berdesir darahku. Ternyata tidak aman!

Suara ngebas itu, kehadirannya, dan kilatan percakapan kami minggu lalu membuat jantungku berdebar dan jiwaku gemetar. Gila. Tanganku ikutan tremor membawa setumpuk piring.

“Biar Abang bawa.” Secepat kilat piring tadi berpindah dari tanganku ke tangannya yang ternyata sangat ... fit. Jarak sedekat ini memaksa mataku mengamati lengan Bang Jay yang memakai kaus polo lengan pendek. Gila, berotot dan urat tangannya bertonjolan. Astaga pikiranku. “Mau ditaruh di mana?

“D-di meja, Bang.” Sial. Kenapa mesti gagap, Gi?

“Terus apa lagi yang mesti dilakukan?”

“I-isi piringnya sama sa-sayuran gado-gado.” Gagap lagi!

Tanpa banyak kata, Bang Jay sigap mengisi piring dengan berbagai macam sayuran, tahu, kentang, dan telur.

“Kuahnya berapa centong?”

“Satu se-setengah a-aja." Beberapa detik kemudian aku baru menyadari tugasku diambil alih olehnya. Dan, semakin sering Bang Jaenudin bicara, kegagapanku semakin parah. Ini tidak bisa dibiarkan. "Biar aku aja yang tuangin.” Aku ambil alih centong sayur itu demi meningkahi kegugupanku di depan Bang Jay.

Namun, kenapa rasanya tatapan Bang Jay nggak beralih dariku, ya? Intip dikit, ah.

“Astaga!” Bener kaaan? Bang Jay ngeliatin aku dari tadi. “Bang, jangan bikin aku grogi dong!”

“Kamu grogi aku perhatikan?”

“Iya!”

“Bagus, dong. Itu artinya kehadiranku punya efek yang buat kamu kepikiran, Regina.”

Syalan, tebakannya benar. Aku memang kepikiran Abang, tahu!

Tanganku tetap menari menuang kuah kacang demi mengusir si grogi.

“Abang tuh kayak pake ilmu kodok, begitu ingat langsung lompat."

"Maksudmu?"

"Maksudku tiba-tiba ngajak nikah ini.” Rasanya bola mataku berputar secara dramatis. Kura-kura dalam perahu! "Enggak ngajak pacaran, enggak ada pendekatan, tiba-tiba mau nikahin aku. Kan, aneh."

“Maaf kalau niat Abang terlihat aneh di mata kamu. Namun, Abang sudah memikirkannya matang-matang. Tentang menikahi kamu maksud Abang,” katanya tegas dan tenang. Aku yang nggak bisa tenang! "Sebentar, sebentar."

Dia memutar tubuhnya padaku seutuhnya, seakan merayuku untuk menuruti kehendaknya. Dan nyatanya dia memang berhasil membuatku menirunya seratus persen. Kami kini berdiri berhadap-hadapan. Aku terpaksa mendongak karena kepalaku hanya seleher pria ini.

"Apanya yang sebentar?" tanyaku curiga.

"Kamu mau kita pendekatan dulu? Untuk saling mengenal, kan? Ya, walaupun menurut Abang lebih baik kita pacaran setelah menikah karena, lebih bebas dan lebih aman, tapi kalau kamu mau kita pendekatan dulu, oke, let's do it. Sekalian menyamakan visi misi sebelum menikah, tapi jangan lama-lama. Tiga atau ... empat bulan, bagaimana?"

“Whoa, whoa! Pelan-pelan, Pak Supir." Kedua tanganku terangkat demi menangkis serangan rencana masa depan tadi. Aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat demi menahan berbagai emosi yang muncul dalam dadaku. "Bang, enggak begini juga konsepnya. Abang kayak dikejar setan.”

“Kamu maunya gimana? Abang datang ke rumah dan bertemu Mamamu?”

“Uhuk! Uhuk!” Aku tersedak ludahku sendiri. Semua gara-gara Abang!

Bang Jay bergerak cepat mengambil gelas dan memberiku air dari kulkas.

“Minum ini.”

Aku manut. “Makasih,” kataku pelan. Setelah dua teguk air, baru aku bicara. “Abang jangan main-main,” mohonku. Minuman dingin tetap tak bisa mendinginkan hati dan menyembunyikan kepanikanku.

“Abang nggak pernah main-main soal pernikahan. Abang serius ingin kamu jadi istri Abang, Regina.”

"Kenapa aku?"

“Eh, si Abang. Tumben ada di rumah. Toko gimana?” Bunda masuk ke dapur dan aku bersyukur tidak lagi di bawah tatapan anaknya yang ... menenggelamkanku ke dalam pesonanya. Ah elaaah, dangdut bener perumpamaanku. Namun, aku kehilangan momen mengapa dia memilih si pengangguran ini.

“Toko di-handle Rudi, Bun. Abang mau bantu Bunda dan Regina.”

“Alhamdulillah. Bunda kasihan sama Gigi. Dari tadi mondar-mandir sendiri. Bantu, ya, Bang,”

“Iya, Bunda.”

Kepergian Bunda membuat Bang Jay memerangkapku dengan mata teduhnya lagi. Oh Tuhan, tolong aku ....

“Bang ....” Aku mendesah lelah. “Apa yang Abang lihat sih, dari aku? Jelek begini. Nganggur, item pula.” Nggak medok kali itemnya. Macam Tara Basro gitu. Eheeem. Eksotis. "Jadi, kenapa aku?" tanyaku sekali lagi.

“Pertama. Kamu ... wanita paling manis yang pernah Abang temui,” ucapnya malu-malu.

Tuhaaan. Aku tuh nggak bisa diginiin. Kakiku jadi jeli, nih. Lemah gemulai gara-gara pujian tadi.

“Apa kata orang, pria setampan dan sesukses Abang suka padaku? Abang tuh udah dijodohin tauk sama anaknya Buk Hannah yang S2 di Jerman sama ibu-ibu kompleks. Kak Uti pinter dan cantik. Enggak aku aja, anak-anak kompleks juga mengakuinya."

“Hannah bukan tipe Abang.”

Aku menggaruk frustasi kepalaku yang tidak gatal. Tapi garukanku berhenti karena teringat kalimat Bang Jay. Jadi aku tipe Bang Jay banget, nih? Aiiih. Kembang kempis lubang hidungku.

Tapi, ini begitu tiba-tiba. Aku belum bisa menerimanya begitu saja.

"Yang kedua."

"Yang kedua. Kamu enggak pernah ragu membantu keluarga Abang saat kami butuh bantuan, apalagi saat Bunda sakit. Kamu mau mengorbankan waktu berhargamu untuk menemani Bunda saat Abang dan anggota keluarga lain sedang benar-benar tidak bisa meninggalkan urusan kami. Abang sangat bersyukur dengan kehadiran kamu, Regina. Dan Mila." Bang Jaenudin tersenyum sebelum melanjutkan isi pikirannya yang membuat jantungku jedag-jedug bak speaker konser. "Si bungsu sangat mengidolakan kamu. Dia sayang kamu. Mungkin karena di rumah enggak ada kakak perempuan kali, ya, jadinya Mila sangat senang setiap kali kamu ke rumah atau mengajaknya main di fasum kompleks. Selain itu, jarak usia Mila dan abang-abangnya lumayan jauh. Kamu bikin Mila nyaman sama kamu, Regina. Itu hanya menunjukkan kalau kamu memiliki pribadi yang baik dan tulus. Wanita seperti kamu yang Abang cari untuk mendampingi ... Abang, Regina."

“Bang Jay ....” Ya Tuhan .... Meleleh aku dibuatnya. Apa aku pertimbangkan saja tawaran Bang Jay?

Buru-buru aku gelengkan kepala mengusir gagasan tadi. Mama ... masih membutuhkanku.

“Gigi, tolong dibawa ke depan ya gado-gadonya.” Bunda muncul di ambang pintu dapur di saat yang tepat. Aku bisa bernapas lega sementara.

“Baik, Bunda.” 

Dan sepanjang hari itu, aku tidak memberi jawaban apa pun pada Bang Jay.

Kecewa

“Mama!”

Aku berlari secepat yang aku bisa setelah mendengar teriakan Mama dan suara bedebam mencurigakan yang mengikuti setelahnya. Ya Tuhan. Pemandangan Mama tergeletak di lantai kamar membuat jantungku serasa mau lepas. Apalagi Mama tidak bergerak sama sekali. Mama adalah satu-satunya keluarga yang aku punya. Aku tidak mau kehilangan Mama setelah Papa pergi untuk selamanya lima tahun yang lalu.

“Ma! Jangan tinggalin Gigi.” Aku menangis kencang. Memeluk tubuh Mama di lantai.

“Gi.”

“Maaa ....” Jantungku mencelos sekaligus lega. Mama tidak meninggalkanku. Aku masih akan terus bersama Mama.

“Mama pusing aja, tadi, tapi pinggang Mama sakit banget.”

“Kita ke dokter, Ma.”

Satu-satunya orang yang ada dalam pikiranku yang kalut adalah Bang Jay. Tanpa pikir panjang, Bang Jay menjemput Mama setelah aku meneleponnya siang bolong. 

Dan di sinilah aku bersama Bang Jay di rumah sakit menunggu Mama dirontgen.

“Berdoa sama Tuhan supaya Mama baik-baik aja, ya, Regina.”

“Iya. Makasih, Bang. Maaf, Abang mesti ninggalin toko demi anterin Mamaku ke sini.”

“Abang nggak keberatan. Beneran. Mamamu adalah mama Abang juga, Regina.”

Kegundahanku sedikit terobati karenanya.

"Bang."

"Ya, Regina?"

“Maaf, aku belum punya jawaban untuk niat Abang waktu itu.”

Bang Jay justru tersenyum. Mata teduhnya membuat perasaan bersalahku menguap.

“Nggak apa-apa, Regina. Aku nggak bisa maksa kamu, kan?”

Suaranya mengalun tenang. Namun, setelah aku putar lagi suaranya di dalam kepala dan mengamati wajahnya sekali lagi, matanya ... bergetar kecewa.

Belum siap

Alhamdulillah. Tidak ada satu tulang pun yang retak. Meski demikian, dokter menyuruh Mama untuk tidak bekerja terlalu berat dan memakai semacam korset untuk menyangga pinggang dan panggul Mama selama seminggu. Maklum, Mama sudah berumur. Ah, bagaimana bisa aku meninggalkan Mama dengan kondisinya yang seperti ini? Aku makin nggak sanggup.

"Ma, yuk, pulang. Cukup jalan-jalannya." Tanganku tak pernah lepas mengalung ke lengan Mama sepanjang jalan kompleks. Kami berjalan bak kura-kura malas. Pelan, dan yang penting aman.

"Mama udah gumoh nggak ngapa-ngapain di rumah sejak jatuh itu, Gi. Jalan sore bikin pikiran Mama fresh. Yuk, sekalian ke tukang bakso di depan. Mama lagi pengen bakso telur."

Oh, Tuhan. Lihat-lihat. Mamaku itu tipe keras kepala. Kalau aku menikah dan disuruh ikut suami, terus mama sakit dan keras kepalanya konsisten seperti sore ini, siapa yang bakal jaga Mama?

"Mama harus mau dengerin Gigi. Disuruh istirahat ya istirahat. Disuruh nggak banyak gerak yang diikuti. Kalau Gigi keterima kerja di luar kota, penempatan seluruh Indonesia, atau paling pahit menikah dan ikut suami, mana bisa Gigi tenang ninggalin Mama sendiri?"

Pelan-pelan, aku membimbing tubuh Mama ke arah rumah kembali agar kami tidak kejauhan. Syukurlah Mama tidak memberontak.

Tiba-tiba Mama berhenti mendadak di depan taman bermain anak-anak, tempat Mila dan anak-anak seusianya saling bercengkerama, berkeringat, dan tertawa. Aku membeoi Mama.

"Kamu udah nentuin tanggal?"

"Tanggal apa?"

"Tanggal nikah sama Jay."

Pernyataan itu bikin bulu kudukku merinding.

"Apa?! Mana ada kami mau nikah, Sayangnya Gigi? Pacaran aja enggak. Mama ngaco, nih."

"Terus kenapa nyinggung mau nikah?"

"Kalau, Mamaku. Seandainya, jika, misal, umpama Gigi menikah." Gi, enggak perlu hiperbolis begini! Aku kembali menarik Mama agar kembali berjalan.

"Mama pikir kamu sama si Abang sudah serius. Mama dan Mbak Intan sampai bahas pesta kalian nanti mau pakai adat Jawa atau Bugis."

"Astaga. Bagaimana mungkin aku dan Bang ... Ma, Mama dan Bunda udah kejauhan. Aku belum mikirin apa-apa soal itu."

"Maksudmu, kamu belum mikirin kapan nikah sama Jay?"

Aku salah memakai diksi! "Maksud Gigi, kami berdua enggak ada hubungan apa-apa sampai aku harus memikirkan pernikahan."

Aku berusaha terdengar tegas dan lembut di saat yang sama. Yang aku dapati, Mamaku yang biasanya selalu semangat meski sedang sakit pinggang, kini wajahnya dihias gurat kecewa hanya karena membahas pernikahanku yang tidak pernah aku rencanakan. Mama ... bahkan tidak berusaha menutupinya dariku. Aku tidak mengerti. Sungguh.

Setelahnya, sepanjang jalan hingga kami sampai di depan pagar rumah, aku dan Mama diam sejuta bahasa.

Hatiku perih serasa dihujam sembilu dengan diamnya Mama. Aku pasti sudah membuat Mama bersedih meski aku tak tahu penyebabnya. Aku tidak tahan dengan kesunyian seperti ini.

"Mama kenapa tiba-tiba diam?" bisikku. "Apa Gigi buat salah sama Mama?"

Kepalaku jadi sasaran kasih sayang Mama. Beliau membelai rambutku lembut beberapa usapan dan mengakhirinya dengan memegang kedua bahuku.

"Gigi nggak salah. Mungkin, Mama hanya terlalu berharap."

"Berharap ... Gigi menikah sama Bang Jay?"

Mama ... mengangguk. Darahku tersirap, membuat dadaku berdebar tidak nyaman karenanya.

"Kenapa, Ma?"

"Mama sudah tua, Nak. Jika Mama tidak ada lagi di dunia ini, siapa yang akan jaga Gigi? Kita hanya berdua, Sayang."

"Mama, kok, ngomongnya gitu?" Suaraku bergetar dalam sekejap mata. Aku tidak pernah berharap topik seperti ini akan hadir di tengah kami.

"Jatuhnya Mama di kamar bikin Mama berpikir, 'Anakku hanya satu. Kalau terjadi apa-apa denganku, aku harus memastikan anakku sudah memiliki seseorang yang menjaganya saat aku tiada'. Dan kehadiran Jaenudin melambungkan harapan Mama, Nak. Dia pria sempurna untuk menjaga putri Mama ini."

Aku dijodohkan banget, nih?

Harapan Mama membuat lidahku bergelung ke pangkal mulut. Kata-kata yang telah terkumpul untuk mengonfrontasi harapan Mama menguap entah ke mana. Aku tahu Mama hanya ingin kebaikan untukku, tapi bagaimana dengan kebaikan untuk Mama saat aku ... pergi?

Meski tidak nyaman, aku memaksakan diri untuk mengeluarkan isi pikiranku.

"Bang Jay ... pria yang baik. Dia sangat family oriented." Dan dia ingin menikahi Gigi, Ma. "Masalahnya, Gigi nggak pernah membayangkan Bang Jay sebagai suami Gigi di masa depan. "

"Belum." Mama meralat pernyataanku. "Mungkin karena belum kepikiran aja, Sayangnya Mama. Lagian Mama nggak minta kalian untuk menikah besok."

"Mama ...," Aku menyugar rambutku frustasi. "siapa juga yang mau menikah? Gigi nggak mau tinggalin Mama sendiri."

"Itu intinya, Nak. Suatu saat kamu pasti akan 'meninggalkan' Mama. Dan Mama mau kamu 'pergi' dengan pria yang tepat. Kamu bisa mulai dengan membuka hati untuk menerima kehadiran sulungnya Mbak Intan."

"Ma ...." desahku lelah.

"Jay, baru pulang, Nak?"

Namanya bikin jantungku berdesir pelan. Ada apa denganku, sih? Perasaan, baru beberapa detik yang lalu hatiku menolak dijodohkan. Hati, kamu baperan, deh!

"Iya, Tante," sahut Bang Jay dari dalam SUV hitamnya.

"Ha-hai, Bang."

"Regina," balasnya dengan senyum super mengembang. Kakiku kayaknya berubah jadi jeli. Ini semua pasti gara-gara pembicaraan kami tadi.

"Gi, beliin Mama bakso telur." Tiba-tiba suara Mama naik beroktaf-oktaf, padahal jarak kami hanya sejauh satu hasta.

Dan setelah mengucapkan permintaannya, Mama masuk meninggalkanku kikuk di depan mobil Bang Jay yang masih menyala.

“Abang temenin. Tunggu di situ,” perintahnya.

Baiklah. Aku bisa apa selain menunggu. Bang Jay memasukkan mobil ke garasi dan mengeluarkan motornya.

“Ayo,” ajaknya.

Aku hanya bisa mendesah kecil. Let’s go.

Setelah menjauhi gerobak Kang Bakso, tiba-tiba aku bingung sendiri dengan uang kembaliannya.

“Eh, bener, kan, kembaliannya tujuh belas ribu?” Aku hitung lagi dalam kepala. Enam belas ditambah tujuh belas ribu ....

“Benar,” timpal Bang Jay.

“Eh?”

“Uang kamu 50 ribu. Belanjanya 33 ribu,” jelas Bang Jay.

Lalu aku hitung sekali lagi pakai kalkulator HP. “Eh iya. Bener. Aduh. Lemot ini otak.” Aku terkikik sendiri.

Bang Jaenudin mengulum senyum. Malu kali, yah, punya tetangga yang sudah dewasa ini melakukan operasi matematika sederhana saja masih suka ragu.

“Regina, kamu beneran nggak mau jadi istriku?”

Yah ini lagi.

“Abang nggak lihat tadi? Ngitung duit aja masih belepotan, bagaimana mau jadi istri?”

Tapi ... restu Mama sudah turun, sih, ....

“Aku nggak melihat itu sebagai kekurangan, Regina,” katanya sabar. “Kita udah kenal hampir seumur hidup. Kurang apa lagi?”

“Tapi aku belum siap,” jawabku pelan.

“Belum siap?”

Aku mengangguk pelan. “Aku belum siap ... tinggalin Mama,” jawabku spontan. Suaraku berubah serak. Mungkin ide perjodohan dengan Bang Jay tidaklah buruk, tapi mengingat Mama, aku tidak bisa mengiyakan usulan Mama. Kepalaku menunduk dalam. Saat itu aku merasakan usapan lembut mendarat di pucuk kepalaku, membelai rambut sebahuku beberapa kali.

“Ya udah. Abang nggak akan maksa kamu lagi.”

Dan beberapa minggu setelahnya, Bang Jaenudin tidak pernah lagi merongrongku dengan pertanyaan yang menggetarkan hati. Kami pun secara ajaib tidak pernah bertemu ataupun bercengkerama untuk sekadar membahas hal-hal kecil. Yang menghubungkan aku dengan Bang Jay hanyalah suara mesin mobilnya yang baru pulang dari toko.

Tiba-tiba hatiku merasa ada yang kosong. Aku ini kenapa, Tuhan?

Jawaban

Aku sedang menyapu halaman ketika suara pekikan Bunda membuatku merinding. Kakiku langsung kupacu berlari ke rumah sebelah.

“Kenapa, Bun?!”

“Abang kecelakaan, Gi. Sekarang di rumah sakit." Abang ... kecelakaan? "Hari sama Ayahnya nggak bisa dihubungi. Duh, gimana ini?” Bunda panik maksimal.

“Gigi antar Bunda pakai motor. Mila sama Mama aja dulu.”

“Iya. Ayo, Gi. Kita musti cepat.”

Butuh waktu setengah jam membelah jalanan Jakarta sore hari membersamai macet menuju rumah sakit. Aku terpaksa menahan histerisku saat menemukan Bang Jay tergolek lemas di salah satu brankar IGD.

Oh Bang Jay .... Wajahnya penuh lecet. Tangan kanannya dililit perban. Ingin menangis rasanya menyaksikan abang Mila yang biasanya tegap dan sehat, sekarang tak berdaya gara-gara kecelakaan.

“Ya Allah, Bang. Kenapa bisa begini?” Bunda benar-benar cemas dan membelai kepala anaknya dengan lembut.

Mataku mulai berkaca-kaca. Cepat aku seka dengan lengan baju sebelum Bang Jay melihatnya.

“Abang diserempet motor waktu mau nyeberang, Bun. Tenang, Bunda. Abang baik-baik aja.”

“Abang, Abang. Untung ada Gigi. Dia langsung anterin Bunda ke sini tanpa pikir panjang. Sepanjang jalan Bunda khawatirin Abang, Gigi yang tenangin Bunda. Padahal dia bawa motor juga.”

“Abang nggak salah pilih, kan, Bun? Dia memang orang yang tepat.”

“Iya.” Bunda lirik-lirikan misterius ke arahku. “Usaha terus ya, Nak.”

Mereka lagi ngomongin apa, sih?

Bang Jay tersenyum sebelum menjawab. “Pasti, Bunda.”

“Nah, ini Hari nelepon. Sebentar Bunda terima dulu. Halo. Hari, Bunda di rumah sakit. Abangmu ....”

Bunda pergi. Aku beringsut berdiri di dekat kepala si pasien korban serempetan motor.

“Sakit, ya, Bang?”

Ah, pertanyaanku pasti terdengar begitu tolol, tapi hanya itu yang memenuhi kepalaku sejak menyaksikan Bang Jay di brankar IGD.

“Yang namanya luka sakit, Regina.”

“Nggak ada yang patah, kan?” tanyaku lagi. Suaraku kok jadi serak begini?

“Alhamdulillah nggak ada. Cuma, wajah Abang jadi jelek.” Dia terkekeh untuk hal yang tidak lucu!

Aku malah melarikan ujung telunjuk mengelus lembut kening Bang Jay yang bebas luka. “Abang tetep cakep, kok. Lecet segini mah bakal hilang,” kataku meyakinkan setengah tergugu.

"Regina, kamu ... nangis?"

Air mataku malah meluncur bebas tanpa hambatan.

“Aku nggak tega Abang luka begini. Hatiku perih. Kenapa, ya?” Aku beneran nggak rela Bang Jay kenapa-kenapa.

Tangannya yang bebas perban menjangkau tanganku dan meremasnya pelan. Rasanya ada ribuan volt tegangan listrik yang menyetrum kulitku. Getarannya sampai ke hati. Jantungku dibuat berdetak tak karuan. Tapi anehnya, rasanya ... menyenangkan.

“Makasih udah khawatirin Abang, Regina. Sungguh. Tapi nangisnya kamu malah bikin Abang baper." Pria yang sedang kesakitan ini tergelak sendiri.

"Baper kenapa?" Aku yakin tampangku sangat bodoh sekarang.

“Aku pikir kamu punya perasaan untuk Abang.”

Be-benarkah aku punya perasaan padanya?

"Jauhin kamu ternyata nggak enak, Regina. Nggak bicara sama kamu bikin Abang nggak semangat menjalani hari." Dia ternyata memang sengaja menjauhiku. "Namun, saat tahu kamu menangis untuk Abang, ah, rasa Abang rela sakit begini demi diperhatiin sama kamu."

Tanganku yang mendapat remasan lembut, hatiku yang terenyuh.

"A-abang, mungkin kecelakaan bi-bikin kepala Abang geger otak. Ngomongnya nge-ngelantur."

Astaga! Mengapa gagapku muncul lagi?

Bang Ben tersenyum. “Kalau alasan kamu nggak mau nikah karena takut berjauhan sama Mama, Abang sudah menyiapkan rumah masa depan kita satu blok dari rumah kita sekarang. Kamu nggak akan berjauhan dari Mama. Jadi ...."

"Jadi ...."

"Kamu ... mau jadi istri Abang, Regina Wulandari?”

Setelah melihat keadaan Bang Jaenudin hari ini, hatiku ternyata sudah membuat kesimpulannya sendiri tanpa melibatkan otakku. Ia tidak mau pria ini kenapa-kenapa. Ia ikut sedih saat luka membaret di sekujur tubuhnya. Ia ... menyayangi pria ini.

Aku tak mampu menyembunyikan senyum karena Bang Jay juga ikutan tersenyum, juga mata teduhnya. Aku pikir, Bang Jay kini mendapatkan jawaban yang diinginkannya.

Bismillah.[]

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
Jaenudin
Steffi Adelin
Novel
Gold
Cinta Dalam Ikhlas
Bentang Pustaka
Novel
Bronze
RATU UNTUKMU RAJA
Yoga ade
Novel
Bronze
DELAYED
Yuji
Novel
Gold
Macaroon Love
Mizan Publishing
Novel
Sabina's Dream
Jennifer Halim
Novel
Bronze
Rapor Reta & Dirlan
PinkGreen_0718
Novel
The reason why i hate you
Edi Sunandar
Novel
Gold
Pal in Love
Bentang Pustaka
Novel
SETITIK PUTIH
PinkGreen_0718
Novel
HURT ME
Anastasya putri
Novel
Gold
Extended Goodbye
Bentang Pustaka
Novel
Bronze
Breakeven (Titik Impas)
yiyin andriana
Cerpen
Bronze
Dialog Dibawah Senja
Brilijae(⁠。⁠•̀⁠ᴗ⁠-⁠)⁠✧
Novel
Gold
Milan
Bentang Pustaka
Rekomendasi
Cerpen
Jaenudin
Steffi Adelin
Novel
Ben & Cori
Steffi Adelin
Cerpen
Benang (yang Hampir) Putus
Steffi Adelin
Novel
Bayangan Matahari
Steffi Adelin
Cerpen
Ebony & Ivory
Steffi Adelin
Flash
Setan Jahanam
Steffi Adelin
Cerpen
Jangan Takut
Steffi Adelin