Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Mencintai adalah hak setiap manusia. Rasa cinta hadir begitu saja tanpa bisa kita atur kapan datang dan kapan cinta itu harus pergi. Hati tidak bisa dipilih atau memilih. Mengapa harus memilih jika aku mencintai keduanya.
Keduanya? Yakin? Kenapa aku terlambat mengenalmu? Seandainya saja kita dipertemukan jauh sebelum aku terjerat pada pernikahan ini. Terjerat? Pantaskah aku mengatakan pernikahan ini sebuah jeratan?
Bukankah cinta dan perasaan adalah anugerah yang Tuhan beri kepada setiap makhluk? Lantas, kenapa sekarang aku harus memilih kepada siapa aku harus memberikan cinta dan hatiku? Apa Tuhan menciptakan hati hanya untuk dipilih dan memilih? Ah, kurasa Tuhan tak sebercanda itu.
Ya! Tuhan memang sedang tak bercanda. Sekarang, aku merasakan jeratan yang sesungguhnya. Tuhan mendatangkan seseorang dalam hidupmu tidak selalu untuk menetap, tapi bisa juga hanya untuk singgah. Begitu juga dengan semesta. Kupikir semesta akan mempersatukan kita tapi nyatanya hanya sekadar mempertemukan.
Cinta dan luka, mengapa harus menjadi satu paket? Boleh, kalau kupesan tanpa harus mendapatkan keduanya.
Pagi di kota Bandung, tak ada yang istimewa bagi sebagian besar masyarakatnya terkecuali Sinta. Sejak mengenal Sakha, pagi adalah waktu yang paling dia tunggu daripada malam. Bertemu dengan Sakha. Ya, waktu yang paling dia nantikan. Bukan pertemuan pertama tapi setiap kali Sinta bertemu dengan Sakha, rasanya akan tetap sama seperti pertemuan pertama. Gemuruh hebat yang terasa seperti ledakan, masih Sinta rasakan meskipun sering kali mereka saling jumpa.
Sinta menarik paksa napasnya yang terasa sesak, menahannya sebentar di dadanya sebelum kemudian mengembuskannya begitu saja. Lalu jemarinya dengan cepat mengusap air mata yang bergulir di pipi merahnya.
“Salah kalau aku mencintaimu?” tanya Sinta dengan suara tercekat. Hatinya seperti tercelus. Mencintai Sakha adalah kesulitan yang dia ciptakan sendiri.
Sakha terdiam. Tak membenarkan juga tak menyalahkan. Wajahnya dibuat datar mencoba menutupi rasa gamangnya karena mencintai Sinta adalah suatu kesalahan.
“Jawab!” Sinta merengek seperti anak kecil.
Sakha membuang pandangannya sejenak sebelum kemudian memeluk tubuh perempuan cantik yang berdiri di depannya.
“Kamu selalu bisa membuatku semakin jatuh cinta kepadamu Ka,” gumam Sinta dengan suara manja. Meski Sakha tak berkata apa-apa tapi pelukannya terasa menarung sampai ke dinding hati Sinta.
“Yaudah aku lepasin,” seru Sakha tanpa sedikitpun merenggangkan tubuhnya.
Sinta semakin merekatkan pelukannya.“Jangan!”
“Aku menemukan kedamaian saat berada dalam pelukanmu,” cetus Sinta dengan mata terpejam kuat.
“Kamu nggak sayang aku?” Sinta bertanya lanjut setelah melepaskan pelukannya dan memandangi wajah Sakha dengan kedua bola mata yang membulat.
Sakha terdiam beberapa saat. Mengerutkan keningnya lalu mengangguk mantap. “Aku juga sayang kamu.”
“Bohong!” sambar Sinta dengan cepat kemudian membalikan badannya menghadap cermin seraya memasang wajah masam. Kedua tangannya melipat ke dada.
“Kamu tanya, aku jawab. Sekarang kamu bilang aku bohong.”
“Serius kamu sayang aku?” Sinta memicingkan mata kirinya.
“Iya. Aku sayang kamu.”
“Tapi aku nggak percaya!” sambar Sinta terburu-buru.
“Kalau aku nggak sayang kamu, untuk apa aku buang-buang waktuku bertemu kamu di sini? Waktuku sangat berharga!”
Sinta melotot. Hatinya mendongkol. Napasnya seperti tertahan. Menahan sesuatu yang siap untuk meledak. “Jadi maksudmu, aku hanya buang-buang waktumu? Aku nggak berharga?” ujar Sinta dengan geram.
“Ya bukan seperti itu juga. Kamu tahu jalanan macet. Perjalanan dari kantor sampai ke hotel ini saja butuh banyak waktu. Aku sibuk. Jadi, kalau aku nggak sayang kamu, buat apa aku buang-buang waktuku,” Sakha terlihat sentimen.
“Terus mau kamu, aku jawab apa?” Sakha kembali merengkuh pinggang Sinta.
“Aku sayang kamu Sin,” lanjut Sakha, kepalanya di sandarkan pada bahu Sinta.
Sinta tercenung beberapa saat memandangi Sakha dari cermin yang berada di depannya lalu menoleh dan tersenyum. “Aku bingung. Aku merasa bersalah.”
Sakha memutar tubuh Sinta. Kini perempuan cantik itu kembali berhadapan dengan Sakha. Sakha lekas melekatkan jari telunjuknya pada bibir Sinta.
“Ststst! Jangan berkata seperti itu. Tidak ada yang tahu kenapa kita seperti ini kan?”
Lagi-lagi Sinta menarik napasnya dengan kuat lalu embuskan. “Kamu nggak akan tahu bagaimana rasanya jadi aku. Aku...”
“Stst! Aku sayang kamu!” Sakha membungkam mulut Sinta dengan ciuman yang tepat mendarat di bibir merahnya beberapa detik, lalu Sinta mencoba merenggangkan pelukannya. Tapi Sakha mendekapnya semakin erat seraya menarik tubuh perempuan cantik itu dan membaringkannya di kasur. Sinta tak berkutik. Kali ini Sinta tak bisa mengelak dan membiarkan dirinya merasakan kepakan-kepakan kecil di hatinya yang makin lama semakin membuatnya melayang. ***
Malam yang masih tetap sama dari malam-malam sebelumnya sejak Sinta bertemu dengan Sakha satu bulan yang lalu. Setiap malam, Sinta selalu mengenangkan pikirannya pada sosok lelaki yang kini berhasil membuatnya terhujam panah asmara lalu semakin lama semakin membuat perempuan cantik itu seperti terbalut oleh kehangatan yang Sakha tawarkan.
Perkenalan sekaligus pertemuan yang tak pernah disangka bahkan kalau dipikir seperti mimpi karena hari itu waktu seperti berjalan sangat cepat. Sakha dan Sinta sebelumnya memang sudah saling mengenal meski hanya sebatas urusan kerjaan. Tapi entah mengapa tiba-tiba saja hari itu mereka menjadi sangat dekat. Ya sangat dekat. Seperti seolah-olah mereka sudah lama saling mengenal.
“Mas Sakha, ini sudah selesai. Bisakah diperiksa sekarang?” ucap Sinta setelah menghampiri laki-laki yang sedang memusatkan pandangannya pada layar laptop yang berada di depannya setelah Sinta mengetuk pintu dan Sakha mempersilahkannya masuk.
Sakha menoleh, lalu menyenyumi Sinta dengan senyuman khasnya. “Harus sekarang?” tuturnya dengan sangat ramah.
Sinta balik tersenyum. “Kalau bisa,” ucap Sinta merasa dirinya terdesak.
“Ini proyek pertamaku. Bisa jadi, ini hari terakhirku,” gumam Sinta dengan nada suara seperti memelas.
Sakha tersenyum kecil lalu menggeleng pelan. “Maaf, aku masih sibuk. Nanti saja ya,” seru Sakha bangun dari duduknya, matanya mendelik pada Sinta yang terlihat kecewa.
Sinta mengangguk pelan. Matanya yang tadi membulat kini seketika seperti menggeriap. “Baik, aku permisi dulu. Maaf sudah mengganggu waktunya. Terima kasih,” ujar Sinta sebelum kemudian berbalik badan dan bergegas pergi.
“Tunggu!” suara Sakha tiba-tiba menghentikan langkah Sinta.
“Sini kubaca,” Sakha menghampiri Sinta dan tangannya meraih berkas dari tangan Sinta kemudian berjalan dan kembali duduk di belakang meja kerjanya.
Seketika Sinta terkejut tapi wajahnya terlihat merona. Baru kali pertama Sinta bertemu dengan Sakha. Sinta merasa apa yang dikatakan temannya benar. Dia laki-laki yang ramah. Sinta lalu memutar badannya searah jarum jam. Kini, Sinta kembali berhadapan dengan laki-laki ramah itu.
Perempuan cantik yang baru magang selama satu bulan ini masih mematung saat Sakha membuka berkas dan mulai membacanya. Sakha menatap sekilas pada Sinta kemudian sesaat dia terdiam, jemarinya memainkan pena. Sebentar-sebentar pena itu dia ketukan ke dahinya seraya berpikir lalu kembali menatap Sinta yang sedari tadi masih berdiri di hadapnya.
“Hei, kamu mau berdiri sampai kapan?”
Mendadak Sinta merasa grogi “Boleh duduk?” jawab Sinta sebisanya. Bibirnya membentuk simpulan untuk menutupi rasa gugupnya.
Laki-laki tampan itu tertawa. “Bolehlah, sini!” Sakha bangkit dari duduknya dan menyeret kursi lalu didekatkan dengannya. Persis bersebelahan dengannya.
Kedua bola mata Sinta membeliak. Ujung sudut bibirnya ditarik. “Di sini?”
Sakha tergelak. “Ya sudah! Kamu boleh duduk di ujung sana,” tangan Sakha menunjuk kursi yang berada di pojokan.
Sinta mengerjap, masih berdiri di hadapan Sakha. “Serius?” tanya Sinta kebingungan.
Sinta tak tahu harus bereaksi seperti apa karena ini adalah kali pertama Sinta bertemu Sakha walau Sinta sudah hampir sebulan magang di perusahan ini tapi Sinta hampir tak mengenali bagaimana sifat dan karakter laki-laki yang dikenal orang-orang sangat ramah ini.
Lagi-lagi Sakha tergelak. “Udah ah, sini duduk!” Sakha meraih tangan Sinta dan memintanya untuk duduk bersebelahan. Dekat. Sangat dekat.
Sinta duduk di samping Sakha. Lengan baju mereka saling menyentuh. Ini membuat Sinta merasa canggung.
Sakha adalah laki-laki berusia 30 tahun. Single. Karena belum menikah, orang-orang memanggilnya Mas Sakha. Dia seorang pekerja keras dan berjiwa pemimpin yang luar biasa. Saking luar biasanya dia selalu marah-marah saat memimpin meeting. Sinta belum pernah meeting bersamanya tapi rekan kerja Sinta yang menceritakannya.
“Ini bagus. Aku suka,” cetus Sakha santai dengan nada bicara sedikit tinggi.
“Oh ya? Serius?” tanya Sinta balik, memastikan kalau Sakha tak membercandai dirinya.
Sakha mengangguk-angguk. “Ya aku serius. Sangat serius. Aku suka dengan idemu.”
Sinta membulatkan bola matanya. “Yes!” Sinta nyaris melompat karena terlalu senang lalu spontan memeluk Sakha diiringi dengan tawa yang terdengar renyah.
“Selamat ya!” Sakha ikut tertawa dan membalas pelukan perempuan cantik itu.
Sesaat Sinta tersadar. Wajahnya memerah. “Sorry.”
Buru-buru Sinta melepaskan pelukannya kemudian tangannya menyibukan diri dengan merapikan beberapa anak rambut yang tak sedikitpun berantakan. Dada Sinta masih bergemuruh hebat meski dia sudah melepaskan pelukannya.
Sakha tersenyum lebar. “Nggak masalah. Aku senang.”
“Senang?” tanya Sinta dengan nada seperti tercengang.
Dasar laki-laki. Senang saja kalau mendapat pelukan gratis!
“Maksudku senang bertemu denganmu Sinta.”
Seketika rasa jengkel Sinta lenyap dan berganti dengan simpul bibir yang menghiasi wajah cantiknya. “Kamu tahu namaku?”
“Ya tahulah. Kamu pikir aku tak pernah membaca setiap CV yang masuk ke mejaku?”
Sinta mengangguk sembari meringis. “Aku lupa kalau kamu bosku,” gumam Sinta dengan pelan nyaris tak terdengar.
Sakha terkekeh “Untung kamu lupa. Kalau kamu ingat, mungkin kamu tak berani memelukku.”
Sinta menyeringai menutupi salah tingkahnya. Sinta pikir Sakha tak mendengar ucapannya. Jantung Sinta mendadak memompa darah lebih cepat. “Maaf. Aku, sudah lancang memelukmu. Aku tak sengaja,” jawab Sinta seperti khawatir.
“Ini proyek pertamaku. Sinta please jangan meluk orang sembarangan!” pikir Sinta dalam hati takut kalau Sakha berubah pikir.
“Sudah, jangan berpikir seperti itu. Aku hanya bercanda.”
“Sekali lagi terima kasih. Aku harus kembali ke meja kerjaku,” ujar Sinta masih dengan wajah antusias karena merasa senang proyek pertamanya diterima. Itu artinya hari ini bukan menjadi hari terakhir Sinta untuk magang di perusahan ini. Menjadi seorang jurnalis adalah passion Sinta selama ini.
“Wait!”
Sinta kembali menghentikan langkahnya.
“Berapa nomormu?” tanya Sakha singkat mengulurkan ponselnya ke Sinta.
“Nomor?” Sinta mengulang pertanyaan Sakha sebelum kemudian meraih ponsel dari tangan laki-laki itu.
“Kurasa suatu saat aku perlu menghubungimu,” Sakha melanjutkan perkataannya. Kedua tangannya dimasukan ke dalam saku celananya. Sakha terlihat gugup.
“Untuk apa?” tanya Sinta dengan wajah dibuat biasa meski hatinya membuncah.
Sakha terdiam lalu tersenyum. Tak ada kata-kata yang berhasil keluar dari mulutnya. Berdekatan dengan Sinta membuat Sakha kehabisan kata-kata dan seperti terhipnotis oleh kecantikan wajah perempuan yang baru saja memeluknya.
“Untuk apa?” ulang Sinta untuk kedua kalinya. Bibirnya kembali ditarik.
“Membicarakan proyek lanjutanmu,” jawab Sakha dengan percaya diri. Pandangannya masih tertuju pada Sinta yang berada di hadapannya.
“Besok siang aku free. Bisa kita bicarakan perihal proyekku sambil ngopi, mungkin?” sambar Sinta dengan cepat seraya tertawa setelah mengetik nomornya di ponsel Sakha.
“Sorry aku hanya bercanda,” lanjut Sinta masih dengan sisa tawa riangnya.
“Idemu bagus. Aku setuju,” jawab Sakha sambil mengangguk pelan setelah Sinta mengembalikan ponsel miliknya.
Kedua mata Sinta membelalak seakan tak percaya Sakha menerima ajakannya. Perempuan yang merasa ini adalah hari keberuntungnya itu lalu tersenyum lebar dan mengangguk mantap. Sinta kemudian menguakkan pintu perlahan dan melangkahkan kakinya menjauhi Sakha yang masih memandanginya sampai Sinta tak terlihat dari pandangannya.***
Kota Bandung, selain surga bagi para pelancong, Bandung juga merupakan kota metropolitan terbesar di Jawa Barat. Kota yang mengusung tema digital creativ ini tak pernah sepi. Kota Bandung dan manusia adalah ikon yang tepat untuk menggambarkan bahwa kota Bandung sebagai denyut nadi bagi mereka yang selalu bergerak. Bahkan 24 jam adalah waktu yang sangat singkat bagi mereka yang tenggelam bersama kehiruk pikukan kota ini.
Sejak menikah dengan Doni, Sinta hampir lupa kapan terakhir kali Doni memanggilnya dengan ucapan yang mesra seperti awal pernikahannya lima tahun yang lalu. Pergi pagi dan pulang malam, itu hal biasa bagi Doni. Terlebih Sinta. Tuntutan kerja Doni yang mengharuskan dia lebih banyak menghabiskan waktu di luar daripada di rumah. Inipun yang menjadi salah satu alasan mengapa Sinta memilih kembali bekerja setelah lima tahun Sinta vakum dari pekerjaannya.
Pernah bahkan sering di awal pernikahannya, mereka selalu saling menyangkak hati hanya karena hal-hal yang sepele. Sinta hanyalah perempuan biasa yang sama dengan perempuan-perempuan lainnya. Membutuhkan kehadiran Doni sebagai suaminya untuk bisa membantunya dalam hal tertentu.
“Belum tidur?” tanya Doni singkat tanpa sedikitpun menoleh.
“Belum,” Sinta menjawab dengan singkat.
Perempuan yang baru saja teringat kejadian tadi siang itu benar-benar terkejut saat pintu kamar tiba-tiba terbuka dan membuat lamunannya seketika buyar. Lamunan tentang laki-laki yang baru saja dia temui. Laki-laki yang menurutnya sangat menyenangkan.
“Sudah malam. Istirahatlah,” seru Doni tanpa basa-basi.
Sinta tak menjawab, membiarkan Doni berlalu begitu saja keluar kamar lagi setelah mengambil sesuatu dari dalam laci meja kerjanya. Sinta lalu menyalakan kembali ponselnya yang sempat dia matikan. Menggulir beberapa media sosial adalah kegiatan yang bisa Sinta lakukan sambil menunggu kantuk datang. ***
Siang di kota Bandung. Berlatar langit yang cerah berawan. Seperti biasa, jalanan di sekitar Cihampelas tempat Sinta tinggal selalu ramai dan dipadati dengan kendaraan bermotor. Sinta yang sudah bersiap dengan pakaian kasual berwarna pastel yang dipadukan dengan kaus serta sneaker putih, menengok keluar jendela sembari membalas pesan yang baru saja masuk ke ponselnya.
Bip.
10.10 Pesan masuk.
Kamu di mana Sin?
10.11 Pesan keluar.
Kamu sudah sampai? Sebentar lagi, aku berangkat. Sorry.
Bip.
10.12 Pesan masuk.
Tak masalah. Aku tunggu. Hati-hati ya!
Sinta, perempuan periang, cantik, dan berkulit sawo matang berusia 35 tahun. Magang di perusahaan yang bergerak dalam bidang jurnalistik sebagai content writer. Dia sudah menikah dengan Doni selama lima tahun tapi belum dikaruniai seorang anak. Menurut dokter, keduanya sehat. Mungkin Tuhan belum mempercayakan mereka memiliki seorang anak bahkan lebih. Rumah tangganya dikatakan baik-baik saja meski di awal pernikahannya, selalu berselisih paham dan itu hal yang biasa.
“Sudah lama?” sapa Sinta menghampiri Sakha yang melambaikan tangannya.
“Hei. Baru saja,” Sakha berdiri, mempersilakan Sinta untuk duduk setelah menyalaminya.
Sinta lekas duduk di kursi yang berada di seberang Sakha. Mereka saling berhadapan. Beradu pandang sejenak dengan Sinta, lagi-lagi membuat Sakha seperti kembali terhipnotis. Begitupun juga dengan Sinta. Beberapa detik sesaat mereka masih diam. Saling menunggu untuk siapa dulu yang akan memulai obrolan.
“Terima kasih ya!” Sinta mencoba mengawali.
“Untuk apa?”
“Karena kamu, kemarin bukan menjadi hari terakhirku di perusahaanmu,” Sinta tertawa.
“Itu bukan perusahaanku. Akupun sama denganmu. Hanya bekerja,” jawab Sakha sambil tertawa kecil.
“Mau pesan apa? Kopi? Kamu suka?” lanjut Sakha setelah memanggil pramusaji.
“Lambungku bermasalah. Lemon tea saja.”
“Bukankah kamu kemarin mengajakku ngopi?” Sakha meledek.
Sinta meringis. Kedua alisnya terangkat.
“Kamu suka makanan apa?” Sakha kembali bertanya.
“Aku ikut denganmu.”
Sakha menurunkan tangannya dari buku menu. Kepalanya sedikit terangkat. “Ikut aku?” tanya Sakha dengan senyum tipis tergambar di wajahnya.
Wajah Sinta seperti malu. “Maksudku, apapun yang kamu pesan Ka.”
“Croffle. Kamu suka?”
Sinta mengangguk pelan.
“Kamu suka manis?” tanya Sinta mengisi obrolan.
“Ya, aku sangat suka!” jawab Sakha setelah menyerahkan menu dan pesanannya kepada pramusaji yang berdiri di sampingnya.
“Kayak kamu,” tambah Sakha dengan perasaan seperti tertumbuk. Makin lama makin terasa kuat. Perasaan yang dia rasakan mengalir begitu saja. Tanpa dia minta.
Bibir Sinta tertarik, mengukir simpulan manis di bibirnya yang berhasil memikat laki-laki berkulit sawo matang itu seperti merasa jatuh cinta.
“Kamu sudah menikah?” tanya Sakha tiba-tiba.
Sinta tersenyum tanpa berkata apapun. Sinta tak bisa menjawab. Demi apapun gelenyar di dada Sinta semakin kuat. Berhadapan dengan Sakha, Sinta seperti kembali ke masa beberapa tahun silam saat dirinya kasmaran.
“Kamu?” tanya Sinta dengan suara pelan.
“Aku belum menikah dan tak punya pasangan,” ujar Sakha.
Sinta menganggut, bibirnya kembali ditarik. “Aku sudah menikah,” ujar Sinta tak lama setelah pramusaji datang membawakan pesanan mereka.
Sakha menoleh dengan tatapan seperti terperangah. “Oh,” jawab Sakha singkat.
Tak ada percakapan lagi setelah Sinta memberitahu kalau dirinya sudah menikah. Sinta menundukan kepalanya, mengisap minumannya dan sesekali memandangi jam tangan yang melingkar di tangan kanannya. Sinta merasa waktu berjalan sangat lambat.
”Seharusnya aku tak memberitahu Sakha,” sesal Sinta dalam hati setelah mengedarkan pandangannya pada Sakha yang masih terdiam dengan wajah yang terlihat tak biasa.
“Aku suka kamu!” cetus Sakha tiba-tiba setelah menyesap kopinya.
Sinta tersentak mengangkat kepalanya dengan cepat seraya tersedak.
“Hei! Kamu nggak apa-apa?” tanya Sakha cemas.
“I’m okey,” jawab Sinta setelah terbatuk-batuk.
“Boleh aku menyukaimu Sinta?” lagi-lagi Sakha berkata di luar kendali otaknya.
Hei, ini bukan hari ulang tahunku kenapa kamu memberiku banyak kejutan!
Pertanyaan Sakha seperti sebuah ledakan bagi Sinta. Hatinya semakin tak karuan. Sinta membetulkan posisi duduknya, sedikit lebih tegak lalu menarik napasnya yang terasa mengap-mengap. Jantungnya seperti terhenti sesaat.
“Boleh aku mencintaimu?” sekali lagi Sakha bertanya.
Sinta masih terdiam seolah tak mendengar. Perempuan yang terpaut lima tahun usianya dari Sakha itu lebih memilih melonggarkan tenggorokannya dengan mengisap kembali minumannya daripada merespon pertanyaan Sakha yang membuatnya seperti ingin mati mendadak.
“Menurutmu, apakah salah kalau kita mencintai perempuan yang sudah menikah?” lanjut Sakha dengan tatapan yang menukik tajam.
Lagi-lagi Sinta hampir tersedak untuk kedua kalinya. Sinta menggeser gelas minumannya. Lalu tangannya diletakan di atas meja. Menatap balik wajah Sakha yang sejak tadi masih memandangnya.
“Aku,” Sinta mulai berbicara.
Sinta kembali menarik napasnya lalu tak lama menggeleng. “Perasaan itu datangnya nggak bisa kita atur. Kapan dan kepada siapa.”
“Jadi, aku boleh mencintaimu?” seru Sakha dengan suara yang membentur hati Sinta dan berhasil membuatnya kembali bergemuruh.
“Kenapa harus aku?” jawab Sinta sekenanya.
“Tadi kamu bilang sendiri. Kita nggak bisa ngatur kapan cinta itu datang dan kepada siapa?”
“Kamu izinkan aku mencintaimu?” pertanyaan Sakha mendadak membuat Sinta ngilu.
Sinta tercenung beberapa saat. Perempuan cantik itu tak bisa menjawab. Sinta tahu jawaban apapun yang akan Sinta beri semuanya mengandung risiko. Sinta menyadari kalau dirinya tertarik dan merasa nyaman saat bersama Sakha. Tapi di sisi lain, Sinta sudah menikah dengan Doni.
Sakha menyeringai. “Hei, boleh aku mencintai isteri orang?” Sakha benar-benar tak memberikan jeda pertanyaan pada Sinta.
Sinta tertawa seraya mencubit lengan Sakha. “Apaan sih,” jawab Sinta berusaha menganggap pertanyaan Sakha hanyalah sebuah lelucon
“Jadi, aku boleh mencintai isteri orang?” lagi-lagi Sakha melontarkan pertayaan konyol ini ke Sinta.
Sinta kembali menatap Sakha seraya menggigit bibirnya.
“Aku sudah terikat,” ujar Sinta dengan pelan.
“Kamu hanya perlu jawab boleh atau nggak.”
Sinta semakin kebingungan. Tak pernah sebelumnya Sinta merasa tertumbuk akal seperti saat ini.
Pertanyaan macam apa ini Sakha!
“Kenapa kamu menyetujui proyekku?” Sinta mencoba mengalihkan percakapan.
“Jawab dulu pertanyaanku. Boleh aku mencintaimu Sinta?” Sakha bersikeras dengan pertanyaannya.
Sinta mengangkat bahunya seraya menghela napas panjang kemudian mengangguk pelan. “Ya,” jawab Sinta ragu-ragu dengan senyum simpul menghiasi wajah cantiknya.
Sakha terkesiap, nyaris terperanjat dari kursinya. Binar kebahagiaan seketika memenuhi wajah Sakha. Bibirnya mengukir senyuman. Begitupun juga dengan Sinta. Tak terasa waktu bergulir, mereka berbincang banyak hal termasuk proyek pertama Sinta di Pulau Maluku.
“Kamu serius mau meliput acara adat Cuci Negeri Soya?” tanya Sakha setelah memasukan potongan Croffle ke dalam mulutnya.
“Ya, memang kenapa?”
“Memang suami kamu mengizinkan?”
Sinta menggeleng. “Aku belum menceritakannya.”
“Lantas kenapa kamu sudah mengusulkan proyekmu?” Sakha seperti tak mengerti.
“Aku bisa mencari alasan untuk itu.”
“Aku temani kamu,” seru Sakha dengan senyum simpulnya.
“Nggak perlu. Ini tugasku. Nanti apa kata yang lain melihat kamu pergi bersamaku.”
“Kamu tahu seperti apa kegiatannya?”
Sinta menggeleng. “Yang kutahu acara adat ini warisan budaya yang selalu dijaga kelestariannya. Inti dari acara ini tentang pembersihan lingkungan negeri. Semua masyarakat diajak untuk membersihkan hati dengan mencuci tangan, kaki dan muka di air Wai Werhalouw. Itu yang kubaca dari google,” seru Sinta seraya tersenyum kecil.
Sakha menghela napasnya. “Lain kali kalau kamu mengusulkan proyek, pelajari lebih dalam dulu,” protes Sakha seraya menggelengkan kepalanya.
“Salah satu tahapan acara cuci negeri ini naik ke puncak Gunung Sirimau. Kamu tahu?”
“Nggak!” jawab Sinta polos.
“Astaga Sinta!” Sakha kembali tergeleng-geleng. Wajahnya terlihat seperti gregetan.
“Ini dilakukan saat hampir tengah malam. Kamu tahu?” Sakha mulai terlihat geram.
Lagi-lagi Sinta menjawab. “Nggak!”
Sakha menghela napasnya seraya kesal dengan Sinta. “Para pemuda lelaki yang berasal dari Soa Pera berkumpul di Teung Tuniso. Mereka dengan memakai kaus dan celana dominan hitam, bergerak menuju puncak gunung Sirimau dengan tetabuhan tifa dan gong. Dan mereka baru akan turun gunung keesokan harinya. Aku nggak bisa melepasmu begitu saja,” ucap Sakha menjelaskan.
“Tapi ini proyek pertamaku. Dan kamu sendiri yang menyetujuinya kan?” gerutu Sinta sambil menyandarkan tubuhnya.
“Kamu bisa menggantinya Sinta,” Sakha mengingatkan.
Sinta memutar kedua bola matanya. “Sama saja aku nggak bertanggung jawab.”
“Bukan masalah tanggung jawabnya, tapi aku khawatir melepaskanmu sendiri meliput acara cuci negeri itu.”
“Terus?”
“Kalau kamu tetap dengan proyekmu. Aku terpaksa temani.”
Kedua ujung bibir Sinta ditarik. Sinta menyondongkan badannya. Wajahnya di dekatkan dengan wajah Sakha. “Terpaksa temani?” Sinta mengulang ucapan Sakha seraya mencebik.
“Dengan senang hati aku akan menemanimu,” Sakha balik mendekatkan wajahnya pada Sinta dan menatap wajah cantik Sinta beberapa saat.
Sinta mengangkat kedua tangannya. “Ok! Dan tolong hentikan tatapanmu Ka!” Sinta kembali menyandarkan bahunya pada kursi.
“Kenapa?” tanya Sakha masih menatap Sinta.
Tiba-tiba ponsel Sinta berbunyi. Ada pesan masuk dari Doni.
Bip. 13.10 Pesan masuk.
Kamu di mana?
Bip. 13.11 Pesan keluar.
Kenapa?
Bip. 13.12 Pesan masuk.
Mau kujemput?
Bip. 13.13 Pesan keluar.
Nggak usah. Ini aku sudah di jalan.
“Sorry. Aku harus pulang sekarang,” seru Sinta setelah memasukan ponselnya ke dalam tas.
“Mau kuantar?” Sakha menawarkan.
Sinta terdiam. Berpikir sejenak. “Kurasa nggak perlu. Aku bisa naik taksi.”
“Yakin?” tanya Sakha kembali memastikan Sinta aman.
Sinta mengangguk. “Yakin,” jawab Sinta tak lama sebelum kemudian pergi.***
“Sudah kubilang aku nggak suka main-main dengan cinta!” teriak Sinta dengan suara memekik.
“Aku nggak main-main Sinta!” balas Sakha juga dengan suara yang tak kalah kencangnya dengan Sinta.
“Lantas?” Sinta melotot seperti ingin memuntahkan semua penyesalannya.
“Aku nggak pernah bisa ngatur perasaanku! Begitu juga dengan kamu Sinta. Perasaanku ke kamu hilang begitu saja! PAHAM!”
Sinta menggeleng seraya mengingkari. Air matanya runtuh. Bibir Sinta bergetar. Tak ada sepatah kata pun yang berhasil keluar dari mulut Sinta. Suara Sakha berhasil meluluhlantakan kembali pecahan dinding hati yang sempat Sinta rangkai beberapa saat lalu.
Malam yang tak lebih baik dari dua malam sebelumnya. Sejak kepulangan Sinta bersama Sakha dari Pulau Maluku. Lagi-lagi Sinta tak sedikitpun bisa memejamkan matanya meski hanya sebentar. Sinta merasa kepalanya seperti tertekan kuat. Sakit.
Sakha, laki-laki yang baru dikenalnya satu bulan membuat Sinta meradang. Beberapa hari tak ada kabar apapun yang Sinta terima dari dia. Ini tidak seperti biasanya. Menahan rindu juga menahan pikirannya untuk tidak berlari-lari pada firasat yang Sinta miliki adalah sesuatu yang teramat menyiksa.
“Aku merasa Sakha sudah tak mencintaiku lagi?’ pikir Sinta dalam hati.
Sakha benar-benar tak mengacuhkan Sinta. Pesan singkatnya tak dibalas. Begitu juga dengan teleponnya. Setiap kali Sinta menelepon, Sakha selalu menolaknya dengan alasan tertentu. Tak disadari, bulir air mata Sinta jatuh begitu saja. Makin lama makin membasahi sebagian wajah Sinta. Sinta seperti tak kuasa menahan kesedihan yang begitu mendalam.
“Apa salahku? Apa perempuan-perempuan yang lainpun kamu buat seperti ini?” suara Sinta seperti tertahan.
“Pertanyaan konyol apa ini!” Sakha semakin naik pitam.
“Kamu lupa dengan ucapanmu dulu Sinta. Perasaan nggak bisa diatur!”
“Maksudmu, kamu gagal mempertahankan perasaanmu hanya karena kamu nggak mendapatkan apa yang kamu inginkan?” ucap Sinta dengan napas tersengal-sengal, tak kuat menahan ledakan perasaannya yang begitu besar.
“Kamu tahu aku laki-laki dewasa Sinta!”
“Jadi, cintamu hanya sebatas itu?”
Sinta tak sedikitpun melepaskan tatapannya dari laki-laki berusia 30 tahun itu. Sakha terdiam. Masih mematung berdiri dihadapan Sinta. Wajahnya terlihat seperti memikirkan sesuatu.
“Jawab Sakha!” Sinta maju beberapa langkah, tangannya memegang lengan Sakha.
“Aku laki-laki dewasa dan aku benar-benar sayang kamu Sinta!”
“Sayang tidak melulu ditunjukan dengan itu!” suara Sinta melemah. Tangisannya hampir pecah.
“Aku laki-laki dewasa Sinta. Sama seperti suamimu. Dan wajar kalau aku sayang kamu terus aku tertarik untuk itu! Kamu paham kan?” seru Sakha dengan bola mata nyaris keluar.
“Tapi kamu bukan suamiku Ka!” teriak Sinta semakin menjadi.
Sakha masih diam. Tak mengeluarkan sepatah katapun. Sinta memeluk erat tubuh laki-laki yang sekarang terasa asing baginya. Sinta memeluk Sakha hanya beberapa detik sebelum kemudian Sakha melepaskan kedua tangan Sinta yang mendekap erat ditubuhnya lalu pergi begitu saja. Meninggalkan Sinta sendiri dalam kecarut marutan hati yang membuat Sinta seperti ingin menghentikan waktu yang berputar. Sinta merasa kakinya lemas. Perempuan cantik yang sensitif dengan kopi itu bertekuk lutut dengan hujan air mata yang semakin lama semakin deras. Sinta menyesalkan semuanya. ***
Malam yang hampir sama dengan beberapa malam sebelumnya. Semenjak pertengkarannya dengan Sakha, malam-malam Sinta dilalui dengan teramat panjang. Sinta yang memutuskan untuk menenggelamkan tubuhnya ke kasur lebih awal dan berharap dapat melewati malam tanpa terbangun, nyatanya tetap saja sama.
Sinta kembali tersentak. Terbangun tiba-tiba di tengah malam dengan jantung yang berdetak sangat cepat dan kepala yang begitu penat. Rindu. Sebuah perasaan rumit yang Sinta rasakan saat pertama kali Sinta membuka matanya perlahan.
“Aku kangen kamu Sakha!” gumam Sinta setelah menarik paksa napasnya yang terasa seperti tercekik. Tak terasa air mata Sinta menitik begitu saja tanpa Sinta sadari ketika Sinta menatap layar ponselnya.
Sinta termenung beberapan saat. Memandangi layar ponselnya tanpa ada yang bisa Sinta lakukan. Guratan kebahagiaan yang biasanya menghiasi wajah perempuan cantik ini selama satu bulan yang lalu, kini perlahan memudar. Tak ada lagi kehangatan yang dapat Sinta rasakan dari laki-laki yang pernah membuatnya kasmaran.
Sinta menyingkapkan selimutnya lalu beringsut dan keluar kamar mencari Doni. Matanya menjeling dari balik pintu yang sedikit terbuka. Sinta kemudian kembali ke kamarnya. Mengambil selimut lalu berjalan mengendap-endap setelah membuka pintu kamar dengan perlahan.
Sinta masih berdiri di samping Doni setelah Sinta merentangkan selimutnya pada tubuh laki-laki yang sudah lima tahun hidup bersamanya. Memandangi wajah Doni dengan tatapan sedih.
“Maafkan aku Don,” seru Sinta dengan suara seperti terajam. Dadanya terasa tersengah-sengah. Sinta menarik kembali napasnya yang terasa meregap sebelum kemudian menyeretkan kaki kembali ke kamarnya.
Perempuan cantik yang terpaut usianya lima tahun dari Sakha ini duduk di tepian kasur. Tangannya kembali mengambil ponsel yang dia selipkan di bawah bantalnya. Memeriksa kembali ponselnya, berharap Sakha mengiriminya pesan. Lagi-lagi Sinta menarik napasnya yang terasa tersengal saat tak mendapati pesan satupun dari laki-laki berkulit sawo matang itu. Sinta kemudian menyimpan kembali ponselnya seraya membenamkan tubuhnya yang mulai gemetar. Beberapa saat, Sinta mencoba kembali merapatkan matanya namun gagal.
Tak lama Sinta kembali mengambil ponselnya. Lagi-lagi tak ada pesan yang masuk dari Sakha. Hati Sinta semakin gamang. Entah berapa lama Sinta berusaha tak terjaga setelah Sinta melemparkan ponselnya ke kasur lalu memeluk gulingnya dan memejamkan matanya kuat-kuat. ***
Berselingkuh adalah hal yang baru bagi Sinta. Selama dia menikah dengan Doni, tak pernah sekalipun Sinta berniat atau terpikir untuk memiliki teman lelaki. Sinta selalu memblokir nomor asing yang masuk ke ponselnya. Tapi tidak dengan laki-laki berkulit sawo matang ini. Sakha, laki-laki ini berhasil membuat Sinta kelimpungan saat Sinta tak mendapati kabar tentangnya.
Sakha adalah laki-laki cuek dengan segala sikap yang menjengkelkan bagi Sinta. Laki-laki yang dulu Sinta anggap menyenangkan kini berubah menjadi laki-laki yang sangat menyebalkan. Kehidupan Sakha yang terlalu padat, hampir tidak pernah Sinta mengerti. Sejak kepulangannya dari Maluku, Sinta merasa ada yang berbeda dari Sakha. Sinta merasa Sakha bersikap dingin padanya.
“Kamu bisa kan kabari aku?” ucap Sinta dari balik ponselnya setelah berpuluh-puluh kali Sinta mencoba menghubunginya.
“Nggak bisa. Aku sibuk.”
“Aku nggak minta banyak waktumu. Aku hanya minta kamu kabari aku,” Sinta bersikeras.
“Aku nggak bisa. Aku sibuk!” Sakha membela diri.
“Satu menitpun kamu nggak bisa?”
“Kalau aku ada waktu, aku pasti menghubungimu.”
“Kenapa kamu berubah?”
“Aku nggak berubah Sin. Aku hanya sibuk.”
“Kamu seperti sengaja perlahan mundur dan menjauh dariku?” tanya Sinta gugup takut firasatnya selama ini benar.
“Aku kangen kamu Sakha!” Sinta mencoba merajuk.
“Kangen boleh. Tapi jangan sampai mengganggu pekerjaan,” suara Sakha terdengar ketus.
“Pekerjaan itu masa depanku!” lanjut Sakha dengan nada tinggi dari balik ponselnya.
Sinta menarik napasnya lalu embuskan dengan kuat. Kata-kata yang Sakha lontarkan sulit untuk Sinta abaikan. Hati perempuan yang terbebat pada laki-laki keras kepala ini seperti rangup.
“Jadi, aku bukan bagian dari masa depanmu?” seru Sinta mencoba tetap tenang meski hatinya berkecamuk.
Sakha terdiam beberapa saat tak menimpali ucapan Sinta sedikitpun. Begitupun juga dengan Sinta. Tak ada yang perlu Sinta ucapkan lagi pada Sakha.
“Aku harus segera menyelesaikan proyekku,” ucap Sakha tiba-tiba dari balik ponselnya.
Sinta mengangguk tanpa berkata dan membiarkan Sakha menutup sambungan teleponnya begitu saja. Ucapan Sakha masih bisa Sinta rasakan sakitnya meski Sakha sudah menutup teleponnya beberapa menit yang lalu.
Sinta kembali menarik napasnya yang terasa seperti habis. Sifat Sakha yang bingas benar-benar menguras tenaga Sinta. Berdebat dengan Sakha memang selalu kalah atau memang Sinta harus mengalah.***
Suasana pagi di kantor Trabas Sainskerta Mediatama (TSM), tempat Sinta bekerja, belum begitu ramai. Sinta sengaja datang lebih awal dari hari biasanya karena harus menyelesaikan beberapa tulisan yang sengaja dia biarkan begitu saja. Sejak pertengkarannya dengan Sakha, Sinta memang menganggap enteng deadline-nya. Suasana hati yang semrawut membuat Sinta enggan untuk berpikir apalagi selama sepekan Sakha tidak terlihat di kantor. Hari yang tak mudah bagi Sinta.
Sinta duduk di belakang meja kerjanya. Tangan kanannya menopang sebelah wajahnya. Sesekali matanya melirik ruangan yang berada di depannya. Persis di depan meja kerja Sinta.
Hatinya kembali mencelus. Ruangan Sakha yang sepi seakan seirama dengan hatinya saat ini. Kosong. Sinta mencoba memperbaiki duduknya sedikit lebih tegak lalu menarik panjang napasnya setelah meneguk habis minuman dingin yang ada di mejanya. Perempuan cantik itu lalu mencoba mengayunkan jemarinya. Mencoba menulis sesuatu namun gagal.
Sinta lalu berdiam diri. Melambungkan pikirannya pada sosok Sakha yang dulu.
“Aku sayang kamu Sin,” ucap Sakha keluar begitu saja dari mulutnya.
Sinta tersenyum. “Aku juga Ka.”
Entah kenapa setiap kali Sakha mengatakan sesuatu padanya, dada Sinta selalu berdegup hebat. Getarannya bisa Sinta rasakan sampai ke dalam ulu hatinya.
“Hei!” sapa yang terdengar dari belakang punggung Sinta, seketika membuyarkan lamunan perempuan cantik yang merasa hari-harinya menjadi lebih berat setelah mengenal Sakha.
Sinta kaget. Seperti mengenal suara itu. Sinta tak berani menoleh sebelum kemudian suara itu terdengar lagi.
“Kamu sudah sarapan?” tanya Sakha sambil berlalu melewati Sinta.
Sinta tercengang. Dadanya seketika berdesir kencang. Kedua ujung bibirnya ditarik. Sinta lekas mengambil apapun yang ada di depannya untuk bisa menutupi sebagian wajahnya. Sinta tak kuasa menarik bibirnya meskipun perempuan cantik itu sudah menahannya untuk tidak tersenyum.
Sakha dan Sinta, mereka memang sepakat menyembunyikan hubungannya bukan karena Sinta sudah bersuami tapi karena Sakha yang tak mau hubungannya dengan Sinta diketahui orang.
“Kenapa sih aku harus merahasiakan ini semua?” tanya Sinta sesaat setelah mereka sampai di penginapan di daerah Maluku.
“Kamu nggak sayang aku?” tanya Sinta lanjut dengan kening berkerut.
“Sayang,” jawab Sakha singkat.
“Terus?”
“Nggak ada terusannya sayang,” jawab Sakha dengan senyuman khasnya.
Seketika senyuman Sakha mengalihkan pandangan Sinta. Sinta mematung beberapa saat. Memandangi wajah tampan laki-laki yang dikenal ramah ini.
“Kamu bisa jaga rahasia kan?” sambung Sakha, mencium kening Sinta seraya membangunkannya dari lamunan.
Sinta gelagapan. “Eh,teman dekat sekalipun?” tanya Sinta lanjut.
“Ya, karena aku tak percaya dengan siapapun sayang.”
“Meskipun mereka bisa menjaga rahasia?”
Sakha menggeleng. “Aku tak percaya!”
“Memang kenapa kalau mereka tahu?” cecar Sinta dengan nada mendebat.
“Aku nggak suka show up!” jawab Sakha terpancing emosi.
“Iya, kenapa?” tanya Sinta terus memaksa.
“Itu kehidupan pribadiku sayang. Menurutku, orang-orang nggak perlu tahu tentang itu!” Sakha semakin bersikeras.
“Ya apa salahnya?” Sinta mengegas.
“Kamu nggak bisa paksa aku Sinta! Dari dulu aku nggak suka SHOW UP! Kalau kamu maksa, AKU PERGI!” ancam Sakha dengan nada marah.
Sinta terdiam. Begitu juga dengan Sakha. Sikap Sakha yang bingas lagi-lagi membuat hati Sinta ciut. Sinta menolehkan pandangannya pada gorden putih yang bergerak karena angin menggelitiknya dari jendela kamar yang sedikit terbuka. Tak lama lalu Sinta kembali bertemu tatap dengan laki-laki itu.
Sinta mengangguk dengan mulut yang tertutup seraya mengiyakan kalau Sinta akan merahasiakan hubungannya. Sinta lalu melangkah dan duduk di tepian ranjang. Lagi-lagi Sinta menarik paksa napasnya. Menundukan kepalanya dan membiarkan bulir air matanya jatuh bersama rasa pengap yang memenuhi dadanya.
“Kamu nggak perlu ancam aku!” ucap Sinta seraya terisak.
Sakha menghampiri dan berdiri di dekat Sinta. Memandangi dengan rasa bersalah perempuan yang menangis karenanya. Sakha mengembuskan napasnya dengan perlahan sebelum kemudian Sakha duduk di samping Sinta. Tangannya lalu mengelus kepala Sinta dan membiarkan Sinta bersandar di pundaknya beberapa saat sampai Sinta merasa tenang.
Tak lama Sinta kemudian bangun, mengambil air mineral di meja lalu duduk dikursi dan meneguk minumannya. Sakha ikut bangkit, berdiri menghadap Sinta. Laki-laki yang berhasil membuat Sinta kelimpungan ini lalu memejamkan matanya perlahan seraya mencium ubun-ubun perempuan cantik yang ada di hadapnya. Tak ada kata maaf yang keluar dari mulut Sakha. Tapi sikapnya sudah cukup bagi Sinta untuk membuktikan kalau Sakha benar-benar menyayangi Sinta.
Tak ada keinginan Sakha untuk menyakiti Sinta. Sakha hanya tak ingin orang-orang mencampuri urusan pribadinya. Sinta lalu mengangkat kepalanya. Menatap wajah Sakha dengan penuh cinta. Perlahan Sinta berdiri dan memeluk tubuh Sakha dengan sangat erat. Begitu juga dengan Sakha. Sakha benar-benar merekatkan tangannya sangat kencang pada tubuh Sinta.
Tak lama mereka saling merenggangkan pelukannya. Berpandangan beberapa detik sebelum kemudian Sakha berhasil mendaratkan ciumannya pada bibir perempuan cantik itu. Seperti tersirap, jantungnya Sinta berdegub tak berirama. Lagi-lagi Sinta tak berkutik. Sakha kembali berhasil membuat Sinta seperti melambung.
Ciuman Sakha tak berhenti sampai di situ. Sinta yang dibuat melayang, tak kuasa menahan gejolak di dadanya. Perempuan cantik itu, merasa seluruh tubuhnya lemas. Sinta merasakan kecupan-kecupan kecil mulai menjalari tubuhnya. Sinta semakin mendekap erat tubuh Sakha.
Tak lama, Sinta kemudian tersadar. Dengan kasar Sinta mendorong tubuh Sakha begitu saja. Sakha terkejut. Benar-benar terkejut. Seketika lenyap sudah segala rasa candu yang Sakha rasakan. Sakha terlihat marah.
Sinta buru-buru merapikan pakaiannya yang sedikit terbuka. Berjalan cepat, masuk ke kamar mandi dan lekas menutup pintu dengan begitu kasar. Sinta menangis sejadi-jadinya. Wajahnya basah penuh dengan air mata.
Ingatan Sinta tentang kejadian pekan lalu terhenti mendadak karena tak lama setelah Sakha masuk ke ruangannya, ponsel Sinta berbunyi. Buru-buru Sinta mengambil ponselnya.
Bip. 09.00 Pesan masuk.
“Hei sayang, aku kangen kamu”
Seketika rona wajah Sinta memerah. Sinta hampir terperenyak begitu saja karena saking bahagianya. Segala kekesalan Sinta pada Sakha lenyap begitu saja. Seperti tersihir. Sinta kembali merasakan gemuruh jantung yang berdentum kuat. Sangat kuat.Tak disangka Sakha akan kembali mengiriminya pesan. Setelah pertengkaran hebat itu Sinta ragu kalau Sakha masih berminat untuk menghubunginya.
“Aku juga kangen kamu,” balas Sinta cepat dengan bibir yang masih melengkung.
“Kamu masih marah?” tanya Sinta memberanikan diri.
“Kalau aku marah, nggak mungkin aku chat kamu,” balas Sakha dengan emoticon tersenyum.
Sinta tersenyum merasa lega.
Bip. 09.10 Pesan masuk.
Aku sayang kamu.
Bip. 09.12 Pesan keluar.
Aku juga sayang kamu Ka.
Bip. Pesan masuk 09.13
Aku pingin miliki kamu.
Bip. Pesan masuk 09.30
Sepulang kerja, kita bertemu ya di tempat biasa.
Lagi-lagi Sinta hampir melompat dari kursinya. Jantungnya seperti terhenti sesaat. Selama bekerja, entah sudah berapa kali Sinta menatap jam tangannya. Sinta benar-benar tak sabar menunggu waktu itu tiba. Rasa rindunya yang begitu besar seakan menumpuk di kedua bahunya.
Berat, ingin segera memelukmu Sakha.***
Menjalin hubungan denganmu, bagiku rumit. Mungkin bagimu juga Sakha.Meski aku tak yakin. Hubungan ini memang salah. Dan kita salah.
Memahami. Satu kata yang butuh effort untuk berhasil meraihnya. Sinta berhasil melawan egonya sendiri untuk bisa memamahi Sakha dengan segala kesibukan dan sifatnya yang membuat Sinta seperti mendapat serangan jantung. Begitupun dengan Sakha. Menghempaskan hasratnya sebagai laki-laki dewasa saat bersama Sinta tidaklah mudah.
Malam, di sebuah hotel. Tempat biasa Sinta bertemu dengan Sakha. Tak ada tempat teraman bagi Sinta dan Sakha untuk bertemu selain tempat ini. Sakha menyadari mencintai Sinta adalah hal yang berisiko. Begitupun juga dengan Sinta. Kekhawatirannya tentang Doni membuat Sinta merasa semakin seperti ingin menghentikan waktu dan mengulang mundur masanya kembali di tahun saat Sinta belum menikah dengan Doni .
Sinta menarik napasnya yang benar-benar terasa seperti tercekik kuat. Sinta merasa semakin hari semakin dalam rasa cintanya pada Sakha. Tapi tidak dengan Sakha. Ini perkara yang sulit.
“Aku takut Doni akan mengetahui semua ini?” keluh Sinta pada Sakha.
“Cukup kita berdua saja yang tahu tentang hubungan ini,” ujar Sakha sambil mengedarkan pandangannya pada cahaya lampu di luar jendela.
Sinta menoleh. “Sampai kapan?” tanya Sinta dengan tatapan bimbang.
Sakha ikut menoleh. Bertemu pandang beberapa saat, memerhatikan wajah Sinta yang cantik dengan rambut hitam yang dibiarkan terurai sehingga angin membuatnya bergerak. Sakha memainkan jemarinya. Menyelipkan beberapa anak rambut yang menutupi sebagian wajah cantik Sinta ke belakang telinga lalu menggeleng.
“Aku nggak tahu. Kenapa aku bisa menyanyangi kamu Sin. Meskipun aku tahu kamu sudah menikah. Aku sendiri bingung. Kita jalani saja dulu.”
Lagi-lagi Sinta hanya bisa menarik napasnya yang semakin terasa pampat. Sinta mengangguk seperti pasrah. “Tapi aku takut,” ujar Sinta masih memusatkan pandangannya pada lelaki yang dicintainya.
“Takut apa?” tanya Sakha mengangkat kedua bahunya.
“Kalau Doni tahu, terus...” Sinta tak berani melanjutkan kata-katanya.
“Kalau hal terburuk terjadi padamu dan Doni masih bisa memaafkanmu, kembalilah pada Doni,” seru Sakha dengan kedua tangan menggenggam tangan Sinta lalu mengecupnya dengan lembut.
Dada Sinta menderam kuat. Sinta menggigit bibirnya. Terlihat wajahnya penuh kecemasan.
“Serius?” tanya Sinta dengan hati yang berdentum.
Sakha memejamkan matanya sebentar lalu menggangguk mantap.
Seketika wajah Sinta terlihat muram. Lagi-lagi Sinta mengigit bibirnya seakan cemas. Sinta lalu memeluk tubuh laki-laki di depannya. Erat. Sangat erat selama beberapa saat sebelum kemudian Sinta melepaskan pelukannya setelah Sinta merasa tenang.
“Kenapa kamu nggak menikahiku?” akhirnya pertanyaan itu terlontar dari mulut Sinta.
Sakha menarik napasnya dalam-dalam lalu tersenyum kecil.
“Doni mencintaimu Sin. Jauh sebelum aku mengenalmu,” Sakha memberi penjelasan.
“Aku cinta kamu Sakha. Semakin hari sayangku semakin dalam,” ucap Sinta dengan nada seperti ingin memiliki.
“Kamu nggak mau miliki aku?” tanya Sinta penasaran.
Sakha terdiam beberapa saat. Membiarkan Sinta menunggu dengan kecemasan yang memenuhi hati dan wajahnya.
“Kamu mau makan apa? Nanti kupesankan,” Sakha mengalihkan obrolan.
“Jawab dulu, apa kamu nggak ada keinginan buat miliki aku?” sekali lagi Sinta bertanya dengan pertanyaan yang sama.
“Kamu sudah menikah. Nggak mungkin ada keinginan aku seperti itu,” jawab Sakha.
Sinta memejamkan matanya. Perempuan cantik itu merasa ada yang menekan kuat dadanya. Air matanya kembali runtuh. Sakha mendekap erat Sinta. Sakha tahu menjadi Sinta tidaklah mudah.
“Kalau hanya untuk main-main, kenapa kamu pilih aku?” seru Sinta setelah Sakha melepaskan pelukannya.
“Aku ingin miliki kamu Sakha!” Sinta melanjutkan.
“Nggak mungkin Sinta. Aku nggak bisa sejauh itu. Kamu sudah menikah,” Sakha tetap bersikeras.
“Kalau kamu benar-benar sayang aku, seharusnya kamu perjuangin aku!” Sinta seperti memohon.
Sakha menggeleng. “Nggak bisa Sinta. Aku nggak bisa sejauh itu. Kamu sudah menikah,” lagi-lagi Sakha menjawab hal yang sama.
“Terus buat apa hubungan ini?” Sinta memekik.
“Aku sayang kamu. Sebatas itu Sinta. Aku nggak pernah bilang aku ingin memilikimu kan?”
Seketika air mata Sinta keluar begitu saja. Sinta menatap hampa wajah Sakha. Sinta merasa selama ini firasatnya benar. Sakha tak benar-benar mencintainya.
“Kita jalani saja seperti ini,” Sakha berbisik seraya tangannya menyentuh pipi Sinta yang basah.
Hati perempuan cantik itu kembali runtuh. Gelenyar di hatinya seperti membuat Sinta tak mampu membuka mulutnya. Sinta masih mematung, saat Sakha berdiri di depannya.
“Cinta tak harus memiliki Sinta,” ujar Sakha setelah mengendikkan bahunya. Pernyataan yang terdengar bodoh bagi Sinta karena itu hanya alasan Sakha saja.
“Aku terlanjur mencintaimu Sakha,” ucap Sinta dengan mata terpejam lalu air matanya kembali tumpah.
Sakha memalingkan wajahnya dari Sinta.
“Mungkin lebih baik, hubungan ini selesai Sin.”
Kedua mata Sinta membelalak seraya menggeleng tak percaya. Sinta menatap nanar pada sosok yang berdiri membelakanginya.
“Selesai? Setelah kamu buat aku jatuh cinta?” Sinta menarik tubuh Sakha, mengguncang bahunya kuat dan menatapnya dengan sorot mata yang begitu pedih.
Sakha terdiam. Mulutnya seperti sengaja dikunci.
“Jawab Sakha!” Jawaaab!” pekik Sinta dengan dada yang berdegup kencang seperti tak terkendali. Sinta merasa harapannya hancur seketika.
“Kehilangan adalah hal yang paling aku benci!” suara Sinta memecah keheningan.
“Untuk apa kamu datang lalu pergi setelah aku benar-benar mencintaimu Sakha!” Sinta tak kuasa untuk tidak memuntahkan emosinya.
“Dari awal aku sudah katakan. Kita jalani saja Sinta. Itu artinya bukan untuk memiliki. Apalagi menikahimu kan?” lagi-lagi Sakha mengulangnya tanpa merasa bersalah sedikitpun.
Sinta memejamkan lagi matanya. “Kamu jahat Sakha!” umpat Sinta menundukan wajahnya yang memucat.
“Aku nggak jahat Sin. Itu demi kebaikanmu.”
Sinta diam sejenak, lalu mengangkat wajahnya. “Dari mana kamu tahu kalau bersama Doni itu yang terbaik buatku Sakha?” suara Sinta seperti tertahan.
“Kamu sudah menikah Sinta!”
Perempuan yang merasa dirinya terjerat dalam permainan Sakha ini menangis getir. “Kalau kamu benar-benar mencintaiku, kamu perjuangkan aku Sakha meski aku sudah menikah!” teriak Sinta histeris.
Sakha menggeleng. Tetap pada pendiriannya.”Nggak bisa. Aku nggak bisa sejauh itu.”
Sinta mengangguk lalu menghapus air matanya. “Terus, aku harus bagaimana?” Sinta menahan agar air matanya tak kembali tumpah.
“Kalau kamu mau, jalani saja seperti ini.”
Sinta mengangguk tak berkata-kata. Badannya mendadak lemas. Dadanya menyesak, seperti ada yang menekannya begitu kuat. Sinta melangkah pelan dengan kepala seperti melayang menjauhi Sakha yang masih berdiri dengan tatapan seperti tak bersalah. Sinta lalu duduk. Menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Bagi Sinta ini seperti mimpi. Tapi sayangnya ini benar-benar terjadi pada kehidupan Sinta.
Sinta masih menutupi wajahnya saat Sakha menghampirinya. Perempuan cantik itu lalu mengusap wajahnya yang basah kemudian menundukan kepalanya sejenak seraya berpikir.
Tentang cinta, tidak ada yang salah. Sinta dan Sakha, tak pernah menginginkan ini terjadi. Mencintai isteri orang, mungkin rasanya akan sama tersiksanya dengan mencintai laki-laki lain saat sudah terikat pernikahan.
Sinta bukanlah anak kecil yang dengan mudah merengek lalu mendapatkan apa yang diminta. Kalau saja Sinta bisa seperti itu, mungkin saat ini juga Sinta akan merengek pada Tuhan untuk menyatukan dia dengan Sakha. Meski Sinta tahu, Sakha tak menginginkan hal itu.
“Aku memilih bertahan!” lirih Sinta pada Sakha setelah menghapus air matanya. Perempuan cantik itu pada akhirnya memilih bertahan daripada pergi. Meski sulit.
Sinta, perempuan cantik yang berhasil dibuat kepayang oleh Sakha, rela membuang jauh-jauh nilai moral yang selama ini dia pegang hanya karena cinta. Sakha benar-benar sudah membuat Sinta jatuh cinta dan terlihat bodoh. “Maafkan aku Don,” seru Sinta pada diri sendiri seraya memeluk tubuh Sakha dengan begitu erat.***
Jatuh cinta membuatku seperti terlihat bodoh! Sejak kapan orang jatuh cinta terlihat pintar? Qais saja jadi Majnun karena berpisah dengan Layla. Romeo dan Juliet rela mati karena cinta. Jadi, sejak kapan orang yang sedang jatuh cinta masih bisa berpikir logis? Bukankah hal yang tak logis hanya bisa dilakukan di saat kita jatuh cinta?