Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Izinkan Aku Menyayangimu
1
Suka
102
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

"Cinta bukan tentang seberapa besar engkau ingin memilikinya, tetapi cinta perihal pengakuan yang diikrarkan hingga ke langit Arsy-Nya." ~Dewi Fortuna

Pelataran rumah dengan pagar tanaman bunga melati masih seperti dulu. Tak banyak perubahan sejak kutinggalkan lima belas tahun silam. Hanya sebagian halaman diberi paving block, sisanya ditumbuhi rumput. Saat itu, aku hanya bisa menangis di rerumputan. Aku tidak berdaya, tak bisa menyuarakan pendapat yang ada di benak. Mama dan Bu Diani, ibunya Fatia, bagaikan dua musuh yang siap berhadapan.

“Dasar anak nakal! Pergi sana!” usir Bu Diani pada kami.

“Heh, anakku sudah minta maaf. Berobat juga sudah dibayarin. Kurang apa lagi?” sahut Mama cepat. 

“Emangnya semua masalah cukup pake duit? Pikir pake otak! Gimana nasib Fatia nanti? Tak sumpahin jadi gelandangan kalian!”

Perseteruan Mama dan Bu Diani berawal dari kecelakaan Fatia. Seharusnya aku tidak bercanda seperti itu. Entah mengapa, aku menarik kursi saat Fatia akan duduk. Hingga teman kesayanganku terjatuh terduduk di lantai. Dia diam, tak bergerak, tak bersuara. Hanya sorot matanya mendadak terlihat sendu. 

Saat beberapa teman tertawa terbahak-bahak melihat adegan itu, ada sesuatu yang hilang seketika. Aku menyentuh tangannya, kakinya, mengguncang badannya, berharap Fatia tertawa, berteriak, atau minimal tersenyum. Namun, itu semua tak terjadi. Upayaku tidak mengubah keadaan. Fatia justru meneteskan air mata. 

“Diam semua!” teriakku pada beberapa teman yang masih tertawa kecil.

Mereka langsung terdiam dan menampakkan raut wajah serius. Aku makin cemas. Segera kuambil langkah seribu ke ruang guru. Sambil terbata-bata kusampaikan kondisi Fatia yang masih terduduk di lantai pasca kejadian. Bu Rohima yang menyimak laporan langsung berlari ke kelas diikuti oleh para guru lain.

Aku syok. Apa apa gerangan? Mengapa Bu Rohima dan guru lain tampak panik? Seperti ada sesuatu yang membahayakan. Aku menyusul ke kelas. Kepalaku penuh tanya. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa para guru cemas? Fatia juga masih di posisi semula, terduduk di lantai tanpa bicara sepatah kata pun. 

Aku mengamati dari jauh. Beberapa pasang mata teman-teman memandang ke arahku. Alur pembicaraan para guru sama sekali tak kupahami. 

Melihat Fatia berlinang air mata, aku menangis sendiri. Gara-gara aku, Fatia jadi seperti itu. Tangisku histeris ketika mobil ambulans membawa Fatia pergi.

Kondisi Fatia yang lumpuh dan bisu menurut kabar yang kudengar langsung menyebar ke sekitar rumah. Hujatan dari tetangga telak menerpaku. Mereka sering menggunjing perihal kejadian yang menimpa Fatia. Aku dicap sebagai anak nakal. Sematan yang sangat tidak aku sukai sejak sekolah dasar (SD).

Meskipun kesalahan nyata-nyata ada padaku, tak seharusnya mereka melakukan perundungan. Mereka sama sekali tidak mau mendengar alasan bahwa aku tidak sengaja, aku tidak tahu akibat yang akan terjadi bila melakukan candaan seperti itu pada Fatia. 

Mereka juga menyudutkan Mama. Hingga Mama berang kepada tetangga sekitar. Dan, akhirnya aku diajak pindah ke kota lain karena Mama tidak tahan dengan situasi yang dihadapi waktu itu.

Saat hendak pergi ke kota lain, aku mencuri-curi kesempatan ke rumah Fatia. Dia harus tahu bahwa aku sangat menyesal, merasa bersalah, dan ingin meminta maaf atas kejadian yang menimpanya. Namun, Bu Diani memergoki aku. Pada waktu yang sama, Mama juga bertandang dan menemukan aku di rumah Fatia, di dekat jendela kamarnya. 

“Pergi! Jangan liatin muka kalian lagi!” 

Bu Diani mengusir aku dan Mama. Sedangkan aku, meronta dan memohon ingin menemui Fatia untuk yang terakhir kali sebelum pindah ke luar kota.

Keinginanku tidak terwujud. Mama menarik tanganku menjauhi rumah Fatia. Hingga lulus kuliah dan mendapat pekerjaan sebagai dokter di salah satu rumah sakit swasta, aku baru berkesempatan mengunjungi dia lagi.

Rumah tua yang penuh kenangan. Dulu, aku dan Fatia sangat dekat. Kami sering bermain bersama. Di bawah pohon mangga itu, dia jadi pengantin kecilku. Entah, perasaan apa yang bertumbuh untuknya dahulu? Yang terasa saat ini, aku sangat merindukan Fatia.

“Mas, mau nyari siapa?” tegur seseorang saat aku tertegun di depan rumah Fatia. 

Aku menoleh ke arahnya.

“Loh, Mas ini, kok, wajahnya mirip … ah, siapa, ya, namanya? Bibi lupa!”

“Ini, Bi Asih, ‘kan?” 

Perempuan yang kukenal saat kecil sudah beruban. Waktu telah mengubah warna rambutnya. Sifat alami manusia. Bi Asih masih mengenali aku setelah menyebut nama. Beliau lantas bertutur bahwa Fatia dan keluarganya sudah pindah ke kota lain. Bi Asih tidak tahu di mana alamat lengkapnya. Dia hanya memberi patokan lokasi di daerah samping pasar. Menurut Bi Asih, Fatia berjualan di pasar itu.

Aku sangat bersyukur sudah mendapat informasi penting tentang Fatia. Kota tempat Fatia tinggal sama dengan kota tempatku bekerja. Aku pasti akan mencarinya sampai ketemu. 

Sebelum pulang aku mampir ke warung makan di pinggir jalan sekalian bernostalgia. Dulu, aku sering jajan kerupuk warna-warni jika ada sisa uang saku. Tak banyak perubahan di warung itu. Hanya ada sedikit penambahan produk yang dijual. Tabung gas, galon air  mineral, dan minuman kemasan gelas kini tertata rapi di sisi warung.

“Mau pesan apa, Mas?” tanya penjual. Dia adalah Mbak Dewi. Namun, dia sama sekali tidak mengenali wajahku. 

“Nasi pecel sama teh tawar, Mbak,” jawabku setelah duduk di bangku sisi kanan etalase makanan di bagian tengah.

“Mas, maaf, nih. Kepo, saya. Apa Mas keluarganya Bu Diani? Maaf, ya, Mas, kalau saya lancang. Tadi saya liat Mas ada di halaman rumah Bu Diani.” 

“Hm, kenapa, Mbak?”

“Alhamdulillah, em … gini, Mas. Maaf, ya, aduh. Jadi buka aib,” ucap Mbak Dewi setengah berbisik.

“Ada apa, Mbak? Cerita aja,” bujukku.

“Baiklah. Jadi, gini ….” 

Mbak Dewi mulai menjelaskan pelan-pelan. Aku menyimak dengan cermat. Dulu, Bu Diani meminjam uang padanya. Waktu itu, alasannya mau dipakai berobat Fatia. Mbak Dewi menegaskan, Bu Diani akan mengembalikan uang setelah rumahnya terjual. Namun, sampai tiga tahun ditunggu, rumah yang akan dijual belum ada yang menawar.

“Jadi, uang saya belum dibalikin, Mas,”  ucap Mbak Dewi menutup ceritanya.

“Oh, sakit apa, Fatia, Mbak?”

“Aduh, panjang ceritanya, Mas! Pokoknya, keluarga Bu Diani itu butuh uang banyak buat sembuhin Fatia yang lumpuh itu. Saya gak tau, sih, sebab pastinya. Tau-tau aja, tuh, lumpuh mendadak, gitu.”

Aku belum mulai makan karena cerita Mbak Dewi masih berlanjut. Itu semua akibat ulahku. Kasihan Fatia dan keluarganya. Mengapa Bu Diani kekurangan uang buat berobati? Bukannya Mama sudah membiayai semua pengobatan Fatia? 

“Maaf, Mas ini sebagai apanya Bu Diani, ya?”

“Hm … anu. Aku saudaranya, iya. Saudara,” jawabku berbohong. Semoga Mbak Dewi tetap tidak mengenali aku.

“Oya, Mbak, kenapa rumahnya sampai dijual? Apa biaya pengobatan Fatia sangat besar?”

“Gak tau, Mas. Cuma, saya pernah liat, ada rentenir datang beberapa kali ke rumah Bu Diani. Kayanya mau nagih utang, gitu.”

“Utang?”

“Iya, Mas. Eh, maaf, ya. Kenapa saya jadi buka aib orang lagi? Aduh!” 

“Utang Bu Diani berapa ke Mbak?”

“Gak banyak, sih, Mas. Tapi uang segitu ngumpulinnya lama kalau buat saya. Apa Mas mau lunasin utang Bu Diani?”

“Boleh, Mbak.”

Mbak Dewi pun mengambil buku kecil. Dia menunjukkan nominal utang ibunya Fatia beserta tanda tangannya. Mbak Dewi bilang, dia sudah lama menanti pembayaran utang itu. Dia tidak enak mau menagih saat rentenir berulang kali mendatangi rumah Bu Diani. Hingga akhirnya, rumah satu-satunya milik Bu Diani ditawarkan akan dijual. 

Aku segera menghabiskan makanan di warung Mbak Dewi usai membayar utang Bu Diani yang cukup besar untuk ukuran penjual nasi rames. Tak apa aku membantu melunasi utang itu. Sebab keadaan Fatia, akulah penyebabnya.

Sepulang ke rumah, aku menyempatkan keliling pasar mencari keberadaan Fatia. 

Tepatnya, di hari Minggu, saat aku libur kerja. Waktu luang tersebut aku gunakan untuk menyusuri seluk-beluk pasar tempat Fatia berjualan. Aku lupa menanyakan pada Bi Asih, Fatia berjualan apa? Akhirnya seluruh kios pasar kuteliti satu per satu. 

Seharian aku belum menemukan keberadaan Fatia. Di hari Minggu berikutnya, aku juga belum menemukan kios Fatia. Sampai empat kali dalam sebulan hasilnya masih nihil. Apakah mungkin, kiosnya tutup? 

Di sela-sela hari kerja, saat istirahat, akhirnya aku memutuskan ke pasar. Tekadku sudah bulat. Aku harus menemukan dia. Apa pun keadaannya. 

Jangan sampai rasa bersalah yang selama ini menyesakkan dadaku terus menjadi beban seumur hidup. Jika perlu, aku akan menebus kesalahan dengan segala cara. 

Siang itu, aku kembali menyusuri pasar. Kios demi kios kuamati. Setiap ada penjual perempuan aku perhatikan. Deretan paling depan sudah selesai. Lalu deretan kedua sampai tengah pasar. Hasilnya sama, belum ada tanda-tanda keberadaan Fatia. Hingga kios paling belakang, Fatia tidak terlihat.

Rasanya aku hampir putus asa. Sebulan lebih aku mengulik di pasar itu demi menemukan Fatia. Namun, Dewi Fortuna sepertinya masih jauh dari memihak kepadaku. 

Aku melihat jam di tangan. Waktu istirahat hampir selesai. Kuputuskan mampir ke warung makan di pojok pasar. Dari sekian warung, tampaknya warung soto tauto khas Pekalongan ini yang paling terjaga kebersihannya. Sesekali menikmati makan siang di pasar sambil mencari tahu ke pemilik warung, barangkali mengenal Fatia. 

Saat aku memesan soto dan teh tawar, seseorang berbicara kepada pemilik warung. 

“Biasa, elah. Teh Fatia enggak suka cabe. Jangan pedes atuh, sotonya!” 

Apa? Fatia enggak suka cabai? Itu benar Fatia. Segera kubayar soto dan teh yang sudah kupesan. Aku bermaksud membungkusnya saja, batal makan di warung. 

Ketika soto dan teh pesananku sudah dibungkus, aku mengikuti wanita yang membawa soto pesanan Fatia. Masa bodoh dengan jam istirahat yang sudah habis. Aku mempercepat langkah agar tidak tertinggal. 

Sampailah wanita tadi di deretan kios paling depan. Aku menghentikan langkah. Kuperhatikan dari jauh. Apakah Fatia yang dibicarakan wanita dan pemilik warung soto adalah Fatia yang pernah kukenal dulu?

Dadaku berdebar-debar menunggu adegan berikutnya.

Ternyata, dia benar-benar Fatia yang dulu kukenal. Dia memakai kursi roda. Rambutnya panjang terurai. Dari kejauhan, senyumnya terulas ketika wanita tadi memberikan soto pesanannya. 

Melihatnya dalam keadaan seperti itu, mataku berkaca-kaca. Ingatan pun kembali ke masa lalu. Seandainya saja insiden itu tidak terjadi. Ah, mengapa harus aku yang menjadi penghantar takdir Fatia yang seperti itu? Ini sungguh tidak adil. Secara aku sangat sayang padanya. Belasan tahun terpisah dengannya, tak mengubah rasa yang ada. Rasa itu tetap utuh, tak berkurang sedikit pun. 

Aku melangkah mundur saat Fatia menoleh ke arahku. Apa feeling-nya merasa, dia sedang diperhatikan oleh seseorang? Aku balik badan sambil mengusap air mata yang menetes pelan.

Ya, Tuhan. Aku manusia jahat! Pantaskah aku bersanding dengan Fatia? Apakah rasa yang masih tersimpan di dada kini justru berubah menjadi kasihan? Bukan cinta lagi, bukan sayang lagi. Arrgh! Mendadak aku pusing.

“Dok, baru datang? Tadi dicari Dokter Haris,” ucap Dokter Mela saat aku tiba di rumah sakit. Aku hanya mengangguk dan segera menemui rekan sejawatku.

“Jangan jadi pecundang,” ujar Haris usai diskusi pengangkatan tumor salah satu pasien.

“Cari lagi rasamu yang dulu. Aku yakin masih ada meski sedikit,” ucap Haris lagi, menepuk pundakku, lalu keluar ruangan. 

Malam itu, aku dilema. Aku tidak ingin menjadikan Fatia sebagai istri hanya karena kasihan atau sekadar penebus kesalahan. Aku harus menikahinya karena cinta, karena sayang, yang Allah ciptakan di hati. Bukan hanya simpati dan empati, melainkan cinta tulus hingga akhir hayat nanti.

Sebulan kemudian, aku mendatangi Fatia di kiosnya. Mental kupersiapkan dengan baik. Apa pun respons Fatia, akan kuterima dengan lapang dada. 

Bisa saja dia juga berpikir hal yang sama. Ada unsur belas kasihan. Namun, aku harus berhasil meyakinkan dia bahwa cintaku tulus karena Allah Subhanahu Wata’ala. 

“Apa kamu yakin?” tanya Fatia setelah kuutarakan maksud kedatanganku.

Pertanyaan Fatia meskipun singkat terasa seperti menusuk tepat ke jantung. Menyayat secara perlahan hingga jantungku terbelah jadi dua. Pedih, tetapi tak ada daya secuil pun untuk menahannya. 

Jika diibaratkan, saat itu kubiarkan perih menjalar ke seluruh saraf. Kubiarkan darah membasahi semua bagian tubuh. Mungkin, dengan cara seperti ini luka yang terpendam—entah di hati Fatia atau di hatiku—akan memudar dan menghilang.

“Aku serius! Menikahlah denganku!” 

Fatia menatap mataku. Dia sepertinya hendak mencari sesuatu. Bila ucapan bisa disalahartikan, rayuan dapat dimanipulasi,  dan gestur tubuh bisa disiasati, tetapi tidak dengan tatapan mata. Apa pun yang ada di hati terlukis di sana. Tak ada tabir yang dapat digunakan untuk menutup-nutupi.

Fatia belum menjawab permintaanku. Dia menutup matanya menggunakan tangan. Sedetik kemudian isak tangisnya terdengar. Suaranya bagaikan meremas belahan jantungku yang telah terbelah. Kini, hatiku rasanya berkeping-keping, berhamburan ke mana-mana seiring tangisan Fatia yang tak kunjung reda. 

Tuhan, kuatkan aku! Apakah aku memang pecundang? Harusnya aku kuat. Bagaimana aku akan menjadi sandaran wanitaku jika hati tercerai-berai saat mendengar tangisannya? 

Kubiarkan Fatia menangis sepuasnya. Entah, apa arti tangisannya? Apakah dia bahagia, atau justru bersedih? Apa pun yang bergejolak di hatinya, aku hanya ingin Fatia menerima lamaranku. 

Aku akan merawatnya sepanjang hidup. Mengupayakan kesembuhannya semaksimal mungkin. Akan kubuktikan cintaku padanya. Bukan sekadar bualan dan rayuan, bukan hanya angan-angan, dan bukan pula mimpi yang tak pernah menepati janji.

“Pergilah, Zi, sebelum ibuku datang. Aku gak layak buatmu. Aku cuma wanita lumpuh!” 

Jawaban Fatia bagaikan gelegar petir tanpa hujan. Begitu dahsyat memekakkan telinga. Begitu dalam menusuk hingga relung kalbu. Aku lemas seketika. Selain rasa bersalah kian menggunung, aku tak sanggup menatap matanya. 

Berurai air mataku tanpa sadar. Tangis penyesalan pun pecah. Tangis yang tak dapat membalikkan keadaan. Tangis pecundang, yang begitu iba pada diri sendiri. Takut dosa, azab, dan karma lantaran perbuatan di masa lalu. 

Fatia berlalu. Dia memutar pasti roda di kursi yang didudukinya, meninggalkan aku di ruang tamu. Pengusiran halus yang harus kuterima. Pasti dia sangat terluka. Apalagi statusku dokter rumah sakit, sangat jauh dengan Fatia, gadis lumpuh pedagang plastik di kios pasar. 

Kuedarkan pandangan ke sekeliling. Tumpukan plastik di sekitarku seolah-olah melambai-lambai. Bukan lambaian selamat datang, melainkan selamat jalan. Haruskah aku hidup dalam penyesalan selamanya? Meskipun tak ada niat sedikit pun mencelakai Fatia. Tak ada niat menjadikannya cacat secara permanen. Itu semua murni ketidaksengajaan. 

Pupus harapan, entah rasa apa yang kupunya saat itu? Sikap Fatia terasa tamparan yang sangat keras. Apakah Fatia dan ibunya punya dendam padaku? Apakah mereka belum memaafkan aku? Berjuta tanya melintas di pikiran. Dan semua tanya berakhir dalam penyesalan. 

Selama satu minggu aku terkurung dilema. Surat cuti pun terpaksa kulayangkan karena fokusku ambyar. Haruskah menyerah kalah? Menerima keputusan sepihak Fatia. Apakah ini takdir terbaik yang diberikan Tuhan? Bagaimana kasih-sayang yang masih bersemayam di hati? Haruskah membunuh rasa itu hingga mati? 

Bismillah. Aku yakin kau bisa,” ucap Haris menguatkan saat aku memutuskan akan menemui Fatia lagi. 

Tuhan, aku pasti akan menerima takdir. Namun, izinkan aku berjuang sekali lagi. Luluhkan hati makhluk terindah ciptaan-Mu. Hanya Engkau yang bisa membolak-balikkan hati manusia. Jadikan Fatia belahan jiwa, dan jangan biarkan dia berpaling dariku.

 

Siang  itu aku kembali mengetuk pintu, mengetuk hati wanita satu-satunya yang tak pernah bisa kulupakan dari ingatan. Tak apa jika dia menolak lagi. Toh, hatiku telah remuk dan tercerai-berai. Bukan lantaran penolakannya, melainkan rasa bersalah yang terlalu besar. Tak apa jika kali ini Fatia atau ibunya akan mencaci maki karena sudah diusir malah datang lagi. 

Bukan tak mau menerima takdir, aku hanya ingin meyakinkan diri bahwa keputusan Fatia tidak mungkin berubah lagi. Biarkan rasa sayang ini kubawa sampai mati. Selama Fatia masih lekat di memori, tak akan ada wanita lain dalam hidupku. 

Setelah dua kali aku mengetuk pintu, perempuan beruban membukakan pintu. Dia memandang tajam, seolah-olah sedang memikirkan sesuatu. Apakah dia ingat padaku seperti aku mengingatnya? Sapa salam kuhaturkan penuh takzim pada Bu Diani sembari menjabat dan mencium punggung tangannya selayak ibu sendiri.

Perempuan itu mempersilakan masuk usai kusampaikan maksud dan tujuan kedatangan ke rumahnya. Fatia muncul beberapa menit kemudian. Aku bersyukur, dia mau menemuiku lagi. Tak menunggu lama, aku melamar Fatia di depan Bu Diani dengan sepenuh hati, segenap jiwa, dan seluruh daya. 

Atas kuasa pemilik hatinya, aku berpasrah. Jika kehadiranku tak akan membuatnya bahagia, aku rela pergi untuk selama-lamanya dari hidup Fatia. 

Jika kedatanganku dapat menjadi sandaran hidupnya, aku telah berjanji akan memberikan seluruh hidupku padanya. 

“Ya, Zi. Aku mau,” ucap Fatia setelah menoleh ke arah ibunya. 

Jawaban Fatia yang kudengar seakan-akan merekatkan kembali seluruh kepingan jantungku yang berserakan. Rasa belas kasihan yang sempat mengusik akhirnya menjelma menjadi kasih dan sayang tak terhingga padanya. Kasih dan sayang yang hanya bersumber dari Sang Maha Pencipta Cinta. 

Dua minggu kemudian, janur kuning melengkung berdiri di dekat gedung pertemuan yang kusewa untuk resepsi. Nama Fatia dan Zidan tertera di undangan, souvenir, di background photobooth, dan di angkasa yang berwarna biru. 

Birunya langit tanpa awan kelabu siang itu, seolah-olah turut menyambut dan berbahagia atas pernikahan kami. Langit  Arsy-Nya yang menjadi saksi ikatan cinta antara aku dan Fatia.

Cinta memang tidak bisa memilih akan jatuh pada siapa. Namun, cinta yang jatuh pada pasangan sah, itulah anugerah terindah dari Allah Subhanahu Wata’ala.

Jakarta, 25  Juni 2025

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Izinkan Aku Menyayangimu
Dewi Fortuna
Cerpen
Bronze
Mawar Putih dan Pria Tanpa Kata
Saifoel Hakim
Cerpen
Dunia Cermin
Chiavieth Annisa06
Cerpen
Bronze
Tipu-Tipu Media Sosial
Amalia Puspita Utami
Cerpen
Teror Guna-guna Tetangga Belakang Rumah
Indahhikma
Cerpen
Selembar Dunia
Rafael Yanuar
Cerpen
Bronze
Tangisan Ibu Terhenti
Sepasang Renjana
Cerpen
Bronze
Dua Gadis Harukis & Lelaki Wibu
Juli Prasetya
Cerpen
Bronze
MENYAMBUNG SENAR GITAR
angin lembah
Cerpen
Bronze
Magdhalena dan Topengnya
ANINZIAH
Cerpen
Musim Hujan di Bulan Ramadhan
Saskia Azzahra
Cerpen
Beranak Dalam Kaos Kaki
muhammad rio al fauzan
Cerpen
Beruntungnya
Noer Eka
Cerpen
TIRED
Nanar
Cerpen
Bronze
Donat
Titin Widyawati
Rekomendasi
Cerpen
Izinkan Aku Menyayangimu
Dewi Fortuna
Cerpen
Bronze
Minuman Menyegarkan
Dewi Fortuna
Cerpen
Bronze
Saling Merindu
Dewi Fortuna
Flash
Bronze
Berhati Emas
Dewi Fortuna
Cerpen
Bronze
Kamulah Orangnya
Dewi Fortuna
Cerpen
Bronze
Setangkup Rindu
Dewi Fortuna
Cerpen
Bronze
Surat Cinta
Dewi Fortuna
Cerpen
Bronze
Blaming The Victim
Dewi Fortuna
Cerpen
Bronze
Tak Sekemilau Emas
Dewi Fortuna
Cerpen
Bronze
Pak Candra
Dewi Fortuna
Cerpen
Bronze
Cinta yang Pudar
Dewi Fortuna
Flash
Bronze
Balikan, Yuk!
Dewi Fortuna
Cerpen
Bronze
Masih Adakah Kesucian?
Dewi Fortuna
Cerpen
Bronze
Jangan Beri Aku Cintamu
Dewi Fortuna
Cerpen
Bronze
Anakku, Anak Siapa?
Dewi Fortuna