Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Bagi mereka yang selamat, Halloween di Itaewon tak akan pernah lagi sama."
Moon langsung merasakan hawa aneh saat masuk ke tengah kerumunan di Distrik Itaewon malam itu. Ia tidak membayangkan bahwa beberapa saat lagi tragedi besar akan terjadi. Tubuhnya menggigil, bukan karena hawa dingin, tapi ada sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri.
Mungkin itu firasat. Apalagi ketika ia berjalan menyusuri gang-gang sempit yang dipadati manusia.
“Aku berpikir untuk segera keluar dari kerumunan. Badanku mulai terasa gerah,” ujarnya.
“Aku pikir orang-orang juga merasakan hal yang sama, apalagi ketika kami berjalan semakin jauh ke dalam dan ke bawah di tempat pesta Halloween itu,” lanjutnya.
“Tapi, bisa jadi mereka tak bisa lagi keluar, karena memang tak ada jalan untuk mundur atau maju. Menurutku begitu.”
Moon melihat ribuan orang sudah menyemut sejak dari pinggiran Itaewon hingga pusat distriknya. Hatinya sempat bergairah setelah sekian lama terkurung di rumah, tak tahu harus melakukan apa.
“Dengan begitu banyak orang, setidaknya pesta itu sepuluh kali lipat lebih ramai dibanding pesta yang pernah aku lihat,” ujarnya, mencoba memprediksi.
Namun, suasana berubah mencekam. Orang-orang di dalam gang sempit dan menurun itu tampak terjebak. Mereka seperti membeku, tak bisa bergerak.
“Bahkan ketika petugas darurat dan polisi berusaha membantu orang-orang yang mulai kesulitan bernapas karena terhimpit, mereka pun tak bisa berkutik. Situasinya benar-benar mengerikan. Aku sampai menangis melihatnya,” kata Moon.
Meskipun begitu, ia tetap tak menyangka pesta itu akan berubah menjadi tragedi memilukan. Wajah-wajah ketakutan tampak di titik-titik paling padat, terutama di jalanan yang menurun.
Dalam kebingungan, orang-orang saling mendorong ke arah berlawanan untuk mencari jalan keluar. Tapi justru yang terjadi adalah benturan, dan kerumunan macet total—stuck.
“Pemandangannya benar-benar gila,” ucap Moon lirih.
“Aku membayangkan semua itu seperti semburan air dalam saluran sempit yang tak punya lubang keluar. Air itu hanya terdiam, tak bisa bergerak. Kecuali sumbatan di bagian luar ditarik, barulah seluruh air bisa mengalir. Tapi ini bukan air, ini manusia. Dan di ujung jalan sana tak ada jalan keluar yang terbuka,” ujarnya lagi, suaranya tercekat, matanya basah mengenang detik-detik itu.
“Aku tak bisa berbuat banyak untuk membantu,” bisiknya nyaris terisak.
Sung, saksi lain yang selamat karena sebuah keajaiban, mengingat suasana kacau itu.
“Orang-orang di tengah kerumunan tak bisa bernapas. Mereka terjebak. Tak bisa mundur, tak bisa maju. Semua hanya bisa berteriak minta tolong,” kata Sung.
Ia melihat gadis-gadis muda terhimpit, beberapa saling bertumpukan. Petugas keamanan juga terlihat kebingungan di tengah lautan manusia yang tak terkendali.
Kontur jalan Itaewon yang menurun rupanya jadi pemicu. Orang-orang terus berduyun-duyun masuk ke gang sempit dari segala arah. Ketika orang di bagian atas jalan jatuh karena desakan, mereka menimpa yang di bawah, membuat semuanya tergulung seperti domino.
“Aku berada di sana, melihat semua kengerian itu tanpa bisa berbuat banyak,” ujar Jamil, tentara asal Amerika Serikat yang malam itu juga ada di Itaewon.
“Kami berusaha mengarahkan orang-orang ke pinggir, masuk ke toko-toko, sambil berteriak, ‘Beri ruang! Pecahkan kerumunan!’ Tapi mereka sudah tak mendengar karena panik dan lemas,” kata Jamil.
“Kami juga sedang berjuang keluar dari kerumunan ketika malapetaka itu mulai terasa. Semua orang di jalanan miring itu mulai terjatuh satu per satu,” timpal rekannya, Dane.
Di barisan tengah, gadis-gadis muda tampak sudah tak bergerak, pingsan diombang-ambing kerumunan.
“Mundur! Mundur! Kami tak bisa bergerak!” teriak seorang gadis parau sebelum akhirnya jatuh ke dalam tumpukan manusia.
“Tolong! Aku tak bisa bernapas!” jerit seorang gadis lain yang terhimpit di jalan menurun. Beberapa yang lain sudah terinjak, tak berdaya melawan desakan dari segala arah.
Seorang laki-laki muda tampak mati-matian melepas kostumnya yang menyulitkan gerak. Ia berusaha berdiri agar tak terjatuh ke dalam “jebakan” kerumunan.
Di sisi lain, petugas darurat berjuang keras menarik orang-orang yang ada di pinggir untuk diselamatkan.
“Tarik yang di pinggir! Cepat!” teriak Jamil sambil membantu beberapa korban keluar dari tekanan. Mereka diletakkan di lantai klub terdekat yang dibuka untuk menampung para korban.
“Buka kostumnya! Biar mereka bisa bernapas!” terdengar teriakan lain. Pendingin ruangan tak cukup membantu. Keringat membanjiri tubuh semua orang karena sesak dan kepanikan.
Beberapa korban diberi nafas buatan, tapi banyak juga yang sudah terlalu lemah untuk diselamatkan.
Tumpukan manusia yang panik, kontur jalan yang miring, dan tak adanya jalur keluar menjadikan tragedi Itaewon malam itu begitu mengerikan—malam di mana pesta berubah menjadi maut.
***
Distrik Itaewon memang terkenal sebagai pusat kehidupan malam di Negeri Ginseng. Pesta Halloween di sana selalu jadi magnet bagi anak muda dua puluhan hingga dewasa muda. Malam itu, lautan manusia memadati gang-gang sempit, awalnya penuh tawa dan sorak sorai. Namun, siapa sangka euforia itu berubah menjadi malam mencekam yang membuat banyak orang terjebak dan tak bisa bergerak.
“Ini pertama kalinya kami bisa bebas lagi!” teriak seseorang di tengah jalanan yang sesak, wajahnya berseri-seri menahan luapan rasa gembira.
“Saatnya pesta!” timpal temannya yang lain sambil mengangkat kedua tangan.
“Tahun terbaik, momen terbaik, Halloween terindah!” seru yang lain, nyaris menangis karena bahagia.
Setelah bertahun-tahun terkurung pandemi, ini adalah pesta Halloween pertama di Seoul tanpa pembatasan. Tak ada masker. Tak ada jarak. Semua larangan sudah dicabut, membuat kegembiraan meledak di setiap sudut Itaewon.
Orang-orang yang lama dikungkung rasa takut kini seperti merayakan kebebasan. Namun, siapa sangka setelah bertahan dari virus mematikan, justru ada bahaya lain yang menunggu—bahaya yang tak terlihat namun mematikan: kerumunan itu sendiri.
“Lihatlah, ada lautan manusia malam ini! Itaewon kembali hidup!” ujar seorang pemilik toko dengan senyum lebar saat melihat keramaian yang sudah lama ia rindukan.
“Aku bisa melihat wajah-wajah bahagia, senyum-senyum yang rasanya belum pernah kulihat seumur hidupku. Ini pesta sebenarnya!” seru Moon, seorang gadis muda yang baru saja tiba.
Moon bercerita, sejak keluar dari stasiun kereta, kerumunan sudah mengular panjang. Orang-orang berdatangan seperti ombak yang tak henti-hentinya. Deretan toko dan kafe tampak meriah, seolah menyambut setiap langkah mereka yang ingin menebus waktu yang hilang.
“Jangan bayangkan kamu bisa berjalan santai di sini, apalagi melenggang sambil bergandengan tangan dengan pacarmu. Sekadar bergerak saja sulit. Mau tidak mau harus didesak dan mendesak. Tapi jujur, semua ini terasa seru dan menyenangkan,” ujar Moon, matanya berbinar-binar.
Apalagi, hampir semua pengunjung memakai topeng dan kostum Halloween. Kostum-kostum eksentrik itu membuat suasana makin terasa seperti mimpi—mimpi yang kemudian berubah jadi mimpi buruk.
“Topeng dan kostum mereka membuat semua tampak berbeda. Ini pesta sesungguhnya setelah sekian lama!” katanya tak bisa menyembunyikan kegembiraannya.
“Halloween sudah identik dengan Itaewon. Aku bisa bilang kalau Itaewon itu ya pesta Halloween dengan semua kostum gila dan partynya yang luar biasa. Ini keren banget!” ujar Angel dengan semangat.
Namun, seiring malam bertambah larut, situasi mulai berubah. Kerumunan yang semula penuh tawa berubah jadi desakan tak terkendali. Nafas mulai terasa berat. Tubuh-tubuh saling berhimpitan tanpa ruang gerak.
“Bayangkan kau berada di tengah kerumunan ribuan orang. Bernapas saja sulit, apalagi saat memakai kostum dan topeng. Kalau kau gadis muda sepertiku, rasanya seperti terjebak di dalam kotak sempit yang terus mengecil,” ujar seorang gadis yang berhasil diselamatkan oleh seseorang yang menariknya masuk ke sebuah toko di pinggir gang.
Mereka yang ada di dalam tidak lagi bisa maju atau mundur. Semua terjebak seperti air yang memenuhi botol tanpa celah keluar. Topeng-topeng yang tadinya lucu sekarang terasa seperti perangkap yang membuat udara semakin sulit masuk ke paru-paru.
“Jangan dorong! Tolong! Aku tak bisa bernapas!” teriak seseorang dengan suara parau di tengah desakan.
Beberapa orang terlihat berusaha melepas topeng dan kostum mereka agar lebih mudah bergerak, namun tak banyak membantu. Kerumunan sudah terlalu padat.
Di tengah kepanikan, Moon hanya bisa menangis.
“Aku pikir ini akan jadi malam paling bahagia dalam hidupku… tapi ternyata tidak,” bisiknya lirih.
Malam itu, Itaewon yang biasanya penuh warna berubah menjadi gelap. Sorak-sorai pesta tergantikan oleh teriakan panik dan isak tangis.
Bagi mereka yang selamat, Halloween di Itaewon tak akan pernah lagi sama.
Distrik Itaewon, Sabtu 29 Oktober 2022