Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
BARANGKALI aku memang lelaki yang lemah hati.
Untuk yang ke—aku tak ingat lagi—aku menghubungi nomor telepon mertua. Tapi dari waktu ke waktu, semakin aku mencoba, nada sambung menjadi semakin panjang, seolah si pemilik telepon sedang menimbang antara mau menjawab atau tidak. Ibu mertuaku akhirnya menyahut pada nada sambung ke enam. “Ma, tolong, saya mau bicara dengan dia,” kataku, sudah hampir memelas. Jawaban mertuaku masih sama, “Dia tidak ada di rumah, Hans!” Tapi saat itu, hampir bersamaan, terdengar salak anjing dari latar belakang di tempat mertuaku berada, suara yang kukenali seperti aku mengenal suara tetanggaku sendiri. “Tapi itu anj—Brando, ada di sana! Itu Brando, kan?”
Tidak ada jawaban. “Ma?”
“Sebentar,” kata ibu mertuaku, suaranya muncul di ujung hening, “ada anjing tetangga masuk ke halaman.”
“Tapi, Ma, bukannya itu Brand...”
Tut tut. Sialan. Aku meletakkan gagang telepon setengah membantingnya. Namun tiga atau lima detik kemudian, aku kembali mengangkatnya, menekan redial, karena dari tadi tak ada nomor lain yang kuhubungi. Kali ini, di luar dugaan, mertuaku menjawab pada nada sambung ke dua. “Ma,” kataku, kali ini sudah benar-benar memelas, “tolong, bilang padanya aku mau bicara sebentar. Aku tahu dia ada di sana...”
Mertuaku berdehem, menyebut namaku dengan tegas, lalu menghardik, “Kamu mau tahu yang sebenarnya? Yang sebenarnya, dia tidak mau bicara sama kamu!”
Di suatu tempat di latarbelakang ada guk-guk! yang sama seperti tadi. Aku meremas gagang telepon.
“Cukup menelepon,” kata mertuaku, terdengar letih. “Rosalin mau tenang dulu. Kamu sudah makan?”
Pertanyaan macam apa itu? Aku bisa membuat nasi goreng. Aku bisa membuat telur dadar. Bahkan sebelum menikah, aku biasa melihat ibuku menumis sayur dan jadi bisa sendiri melakukannya. Aku jenis suami yang tak akan kelaparan hanya karena istriku tidak ada di rumah. Kenyataannya, Rosalinlah yang paling sering mengeluh tidak ada makanan. Ada hari ketika aku masih sedang mengajar, sms darinya masuk, bunyinya lebih kurang begini: Yang, sisa nugget yang semalam masih ada gak?! Yang, pulang dulu sebentar, microwavenya meledak! Sayang, kalau pulang nanti belikan Sate Padang ya! Dan bila aku menjawab akan pulang kesorean, dia membalas, kalau begitu kirimin nomor telepon pizza-hut sekarang, udah lupa. Aduh sayang, suatu hari aku membalas, memangnya kamu gak bisa masak sendiri saja? Balasnya, maaf, Yang, ada tiga artikel hari ini—tapi kamu sudah makan di luar, kan? Kadang-kadang aku curiga dia tidak bisa memasak sama sekali ketika kami menikah. Toh bukan itu masalah yang membuat dia meninggalkan rumah sekarang.
Setelah meletakkan telepon, aku merasakan dorongan untuk menjambak rambutku karena frustrasi. Alih-alih aku menghela napas dalam-dalam lalu pergi ke dapur untuk menyeduh teh. Dari halaman belakang aku memetik beberapa helai daun mint, mencucinya di bawah keran, mencampurnya ke dalam tehku. Ritual kecil yang ampuh meredakan kemarahan.
Di ruang tengah, aku menyalakan TV dan menyesap teh tadi. Alih-alih menonton tayangan infotainment tentang presenter muda yang dibekuk di rumahnya karena narkoba, pandanganku terpaku pada foto pernikahan kami yang tergantung pada dinding utama di atas TV platsma itu. Di sana, pada foto dalam pigura emas yang diambil dua tahun lalu, pipiku masih agak gembil. Kami berdiri di tengah studio dan aku melingkarkan kedua tangan di pinggang Rosalin—fotografer amatir dari bridal kami yang mengatur posisi ini. Aku dan Ros tersenyum seperti pasangan dalam dongeng yang hidup bahagia selamanya (setidaknya sebuah foto bisa mengabadikan kebahagiaan kami). Tetapi mengingat apa yang terjadi hari ini, aku merasa senyuman kami terlihat palsu. Senyuman- senyuman palsu.
Tetapi adakah kebahagiaan yang palsu? Sebab aku tahu hari itu kami benar- benar bahagia. Beberapa hal baik menghampiri hidup kami tak lama setelah kami menikah. Aku diterima menjadi pengajar tetap di kampus almamaterku. Tak lama kemudian aku memperoleh pinjaman dari bank untuk membayar uang muka cicilan rumah di kompleks perumahan yang asri atau yang kini kami tempati. Aku dan Rosalin memboyong buku-buku kami ke rumah baru, menentukan ruang kerja masing-masing. Rosalin mendapatkan ruangan di dekat balkon lantai dua, sementara aku menyulap kamar pembantu—berhubung kami belum punya pembantu—di dekat dapur menjadi semacam perpustakaan pribadi. Masa itu aku sedang mengerjakan revisi tesisku yang rencananya akan diajukan ke penerbit dan Rosalin masih bekerja sebagai reporter untuk majalah gaya hidup. Semula kami berbagi satu ruang kerja bersama. Namun ada saat-saat—dan ini terlalu sering terjadi—dia atau aku akan menghampiri meja masing-masing dan kami berakhir dalam permainan cinta yang panas di atas meja atau di samping rak, mengancam keberadaan buku-buku, laptop dan cangkir kopi yang mendentingkan keliaran kami. Sejak itu, dalam usaha menjadi lebih profesional, aku dan Rosalin akhirnya berpisah ruang kerja. Pada akhir pekan sesekali kami mengundang teman ke rumah. Sekali waktu seorang teman dari rekan mengajar menggoda kami seperti ini, “Kapan nih punya momongan?”
Menjelang tidur malam itu, Rosalin menggengam tanganku dan berkata, “Sebenarnya aku juga sudah memikirkan mau punya anak.” Pernyataannya ini agak mengejutkan, mengingat dia sangat jarang memasak—lho apa hubungannya?—dan hampir tidak mau repot-repot mengurus tanaman.
“Sayang serius?” kataku. Dia tampak serius. Suatu pagi, sekitar satu bulan setelah malam itu, Rosalin berlari ke kamar mandi dan memuntahkan sesuatu. Tak lama kemudian dia merasa ada yang berbeda dari tubuhnya dan bulan itu dia tidak datang bulan. “Sayang, akhirnya!”
Dia memanggil aku Daddy dengan bangga dan girang, dan untuk pertama kali aku melihat sisi lain dari pernikahan yang bagi sebagian orang sebenarnya adalah tujuan utama: kami akan menjadi orangtua! Tetapi hanya beberapa minggu kemudian, ponselku berbunyi pada jam makan siang di kampus dan ibu mertua memintaku pulang sebentar, “Ros sakit.” Ketika aku tiba di rumah, Ros-ku sedang berbaring sambil menangis di tempat tidur. Dia hampir tidak sudi melihatku. Apa salahku? Ibu mertua memberitahu bahwa Rosalin mengalami keguguran.
Istriku muram selama berhari-hari. Sampai saat itu aku tidak tahu dia ternyata begitu ingin menjadi seorang ibu. Tak lama kemudian dia berhenti bekerja penuh waktu dan tinggal mengambil pekerjaan freelance. Kehidupan terus berlanjut. Satu tahun setelah kejadian itu, kami belum berani berharap akan dianugerahi anak. Diam-diam aku senang Ros belum pernah lagi menyinggung soal anak. Sebab seandainya kami mencoba mengusahakannya lagi dan terjadi sesuatu yang tidak dia inginkan, akulah yang paling sedih bila melihatnya sedih dan sakit. Aku sendiri tidak terlalu peduli soal anak; yang terpenting istriku sehat dan rumah tangga kami baik-baik saja.
Di masa itulah sesekali rencana untuk mengadopsi seekor anjing tercetus dari mulut istriku.
Suatu hari, belum lama berselang, Rosalin menunjukan sebuah foto dari ponselnya padaku. “Astaga, apa itu, babe?” Apa itu karena sesaat aku memang tidak tahu apa yang tampak di ponselnya. Makhluk itu kurus bagai jerangkong dan hampir tidak memiliki bulu. Bahkan dari foto aku hampir bisa melihat tungkai- tungkainya gemetar. Ia mirip zombi. Ternyata itu seekor anjing. Anjing zombi.
“Dia disiksa lalu ditelantarkan majikannya,” kata Rosalin. Dia menitikan air mata lalu mulai terisak. “Manusia tidak beradab,” isaknya, bibirnya menekuk mirip gadis kecil. “Aku mau mengadopsi anjing ini.”
Waktu itu aku tidak menganggapnya serius.
“Aku ingin memelihara anjing,” katanya, memutuskan.
Aku mengambil alih ponselnya, memandang foto makhluk itu sekali lagi. Aku bisa memahami kesedihan Ros. Tetapi kadang-kadang objek rasa simpati istriku memang di luar dugaan. Aku buka tipe orang yang mudah bersimpati untuk seekor anjing. “Apa tidak bahaya memelihara anjing penyakitan begini?”
“Kalau semua orang berpikir begitu, mana ada yang mau mengurus anjing- anjing seperti ini.”
“Memangnya ada yang mau selain kamu?” Aku hanya menggodanya. “Banyak. Foto ini saja aku dapat dari twitter penulis yang juga pembela hak anjing-anjing terlantar.”
Duh, aku baru tahu anjing memiliki hak. Tapi demi Rosalin, “Baiklah, terserah Sayang maunya apa,” kataku, tak tahu baru saja membuat kesalahan besar.
GELAS teh yang kosong mengembalikanku dari kenangan. Aku membawa gelas itu ke pantri dan mencuci tangan di bawah keran. Saat mengeringkan tangan di serbet yang tersampir di samping kulkas, pandanganku tertuju ke luar jendela yang menghadap halaman belakang. Rumput jarum tampak seperti menyala di bawah matahari. Memandang ke sana berlama-lama, aku hampir bisa melihat Rosalin di tengah halaman itu kembali, di mana dia menghabiskan waktunya paling sering selama minggu-minggu terakhir sebelum dia meninggalkan aku.
Suatu sore aku baru saja pulang dari kampus dan mendapati rumah dalam keadaan kosong. Aku memanggil-manggil Rosalin dari ruang ke ruang. Dari dapur, aku melihat dia sedang berada di halaman belakang. Dia sedang menunduk pada sesuatu, tertawa dan bahkan berbicara. Aku harus melongok ke ambang jendela untuk bisa melihat sosok makhluk berbulu hitam di dekat tungkainya.
“Katanya mau adopsi anjing terlantar?!” Aku ke luar ke teras dengan cepat sambil bertolak pinggang.
“Memang,” dia menoleh sebentar padaku, “Brando ini memang anjing terlantar.”
“Bran—siapa?”
“Namanya Brando!”
“Apa tidak terlalu besar? Kelihatannya sehat banget, katanya mau adopsi anjing terlantar yang penyakitan?”
“Duh, tadinya dia ini mau dibunuh untuk dimakan, untung ada teman dari komunitas pencinta anjing berhasil menyelamatkannya! Masa rottweiler mau dimakan!”
Aku memandang makhluk berbulu hitam mengilap itu dengan khawatir. Berdiri di dekat Rosalin, punggungnya hampir setinggi pinggang istriku. Dia punya bangun tubuh yang sangat besar, dadanya lebar dan busung, kokoh. Jantan yang tangguh. Di TV sudah biasa kulihat anjing semacam itu. Namun baru sekarang aku melihat langsung ada anjing sebesar serigala. Antara heran dan lucu, aku menyadari betapa ganjil anjing pilihan istriku. Kalau kau mengenal Rosalin sebaik aku dan mendengarnya ingin mengadopsi seekor anjing, kau pasti menduga dia akan memilih seekor pomerian atau shih tzu, jenis yang akan merepotkan majikan dengan bulu mereka. Harus kuakui ada beberapa hal dari diri Rosalin yang hampir tidak kuketahui.
Dapat kudengar bunyi gedebuk daging padat ditepuk ketika istriku menepuk-nepuk punggung dan dada anjing itu untuk memeriksa kondisinya. Betapa padat dan solid. Si anjing—siapa namanya tadi, Brandon?—menyundul- sundulkan kepala pada wajah istriku, bagai sedang mengendusnya.
“Hati-hati, Yang!”
“Tidak apa-apa, dia sudah disuntik antirabies kok.”
Disuntik ataupun tidak, apakah dia mengira aku akan membiarkan anjing raksasa itu mengigit wajahnya? Aku mengusap keringat dan mendongak ke langit. Awan kelabu bergulung-gulung, menjadikan sore semakin muram. “Ayo ke dalam, sebentar lagi mau hujan,” kataku.
“Sebentar, kami baru saja main.” Rosalin menggoda si anjing untuk mengejarnya. Ada perasaan seolah aku melihatnya sedang bermain dengan seekor macan. Ketika si anjing berhasil mengejarnya, dia menyurukan kepala pada perut istriku, sedikit di bawah dadanya. Istriku tergelak riang seperti gadis kecil bermain dengan teman sebaya. Sejak kami menikah, baru sekarang kudengar dia tertawa sekeras itu. Dari teras belakang, aku turut tertawa. Perasaan cemas di hatiku digantikan rasa pengertian seorang ayah melihat anak gadisnya bersenang-senang. Jadi aku meninggalkan mereka di halaman belakang.
Sejak itu setiap kali pulang dari kerja akan kudapati ruangan-ruangan dalam keadaan kosong dan Rosalin sedang bermain dengan anjingnya di halaman belakang. Kadang-kadang mereka tak ada di halaman atau di manapun ketika aku pulang sehingga aku harus menunggu di luar pagar sampai istriku kembali sehabis membawa anjingnya jalan-jalan keliling kompleks. Suatu sore aku tiba di rumah dalam keadaan lapar, dan tidak ada apa-apa di bawah tudung saji. Di lemari tempat biasa kami menyimpan sisa makanan cuma ada kaleng Regal. Dari kulkas aku mengeluarkan jeruk. Duh, cuma dalam keadaan terpaksa aku mau makan jeruk untuk mengganjal perut. Aku punya masalah tungkak lambung. “Yang, tidak beli apa-apa dari luar ya?” kataku dari jendela. Rosalin tidak mendengarnya, sibuk memancing makhluk hitam besar itu untuk mengejarnya. Aku mengulang pertanyaan, berseru lebih keras keluar.
“Apa?!” kata istriku dengan polos, “oh, ya sudah, Yayang masak saja.”
“Kulkasnya sudah kosong. Aduh. Kita kan sudah sepakat kamu yang belanja, aku yang masak.”
Dia malahan tergelak-gelak. Saat itu si anjing baru saja gagal menangkap sesuatu dari tangannya. Setengah frustrasi, aku kembali membuka kulkas, memeriksa ke dalam rak-rak dengan sia-sia. Saat membuka lemari untuk mengeluarkan kaleng biskuit tadi, aku baru menyadari ada sebuah kantong besar belanjaan. Dengan perasaan sedang membuka kotak pandora, aku membuka kantong plastik warna putih itu dan menemukan berkaleng-kaleng daging. Pada kertas pembungkusnya ada gambar seekor golden retrierver sedang mengulurkan lidah. Aku mengumpat. Ada lima belas kaleng! Dan tidak hanya itu. Selain makanan, Rosalin juga membeli sampo, camilan, wadah tempat makan, kalung dan tali untuk anjing. Aku tercengang melihat total harga yang tertera pada struk belanja di dalam kantong. Bukannya aku membatasi uang belanjanya—yang sebagian memang dari tabungan dan honor menulisnya sendiri. Namun setelah menyelami perasaanku sendiri, aku rasa aku tak akan semarah ini seandainya dia juga sempat membeli makanan betulan. Makanan untuk manusia.
Aku menyambar kunci mobil dan pergi membeli makan di restoran Cina langganan. Dua porsi nasi cap cae dan daging babi merah untukku dan Rosalin. Kami biasa makan malam pukul setengah delapan. Saat aku tiba, Rosalin sudah masuk ke rumah bersama anjingnya, wajahnya keringatan. Dia menyusulku ke meja makan dan aku mempersiapkan piring, air minum dan sendok untuk kami berdua. Sementara itu, Rosalin mengeluarkan kantong belanjaan yang tadi dan mulai membaca keterangan pada kaleng makanan anjing.
“Yang, makan dulu sebelum makanannya dingin,” kataku. Dia sedang membuka bufet untuk mencari-cari sesuatu.
“Duh, sambalnya kurang pedas,” kataku, mengunyah terburu-buru. “Yang, ambilin sambel botol di situ dong!”
“Tidak lihat apa aku sedang buka kaleng!”
Akhirnya aku mengambil botol sambal itu sendiri. Di lain hari aku memintanya mengambilkan gelas air minumku tapi dia bilang dia sedang menyiapkan susu untuk Brando. Dia selalu punya alasan berkelit dari tanggung jawabnya terhadapku, tapi selalu punya waktu untuk melayani anjingnya. Dia menjagai anjingnya makan atau minum, seolah memastikan anjing itu melahap setiap potongan daging yang diberikan. Pada satu titik, aku merasa Ros melakukan hal itu untuk menghibur dirinya sendiri. Karena Brando diberi makan di ruangan yang sama dengan kami, bisa dipastikan akan terdengar decak lidah si anjing setiap kali hewan itu mengunyah. Kalau sudah begitu aku akan pindah ke ruang tengah bersama makananku. Tapi dari sana sesekali aku akan melirik ke ruang makan, hanya untuk mendapati Rosalin masih mengawasi Brando makan sambil mengusap-usap tengkuk atau punggung anjingnya, seolah hewan itu tidak mau makan kalau tidak dielus-elus begitu (ckckck). Ketika dia akhirnya bergabung denganku di ruang tengah bersama makan malamnya, aku bertanya, “Kenapa sih anjing makan dielus-elus terus?”
“Memang kenapa? Bulunya lembut tahu!”
“Rambutku juga lembut!” Tapi dia tak pernah mengelusku seperti dia mengelus anjingnya.
Keesokan harinya, Sabtu sore, aku dan Rosalin berencana berbelanja bahan makanan ke supermarket. Sebelum berangkat terjadi adu mulut kecil di garasi. “Sayang, nanti dia berak di dalam mobil!”
“Dia baru saja pupup. Itu pupupnya masih ada di pot belakang.” “Sebesar kuda begini dibawa-bawa belanja, apa tidak merepotkan!” “Ya sudah, aku di rumah saja.”
Akhirnya aku mengalah. Dasar perempuan, jurus ngambek mereka tidak bisa dilawan. Apalagi karena kalau sedang ngambek istriku akan terlihat begitu serupa gadis kecil—bibirnya dimonyongkan dan dagunya tertarik ke atas, mengejat, sementara wajahnya selalu dilarikan dari lawan bicara, tapi bukan main itu pemandangan yang amat aku suka!—sehingga naluri seorang suami dan ayah bercampur aduk dalam hatiku, membuat aku tak sampai hati mengabaikannya. Berdua kami duduk di depan, sementara anjingnya duduk—dia benar-benar duduk lho!—di jok belakang, pandangannya terarah keluar jendela atau sesekali ke depan. Sesaat dia terlihat begitu berwibawa. Sesekali aku meliriknya dari kaca spion. Bukan main pongahnya gaya anjing itu, pikirku, seolah aku supir limosin yang begitu mengagumi majikannya yang duduk di jok belakang. Dari cara dia duduk di atas dua kaki belakangnya, ketenangan pada perangainya, aku menduga dia sudah terbiasa dibawa jalan ke mana-mana pakai mobil. Kenyataan dia duduk di tengah- tengah jok, seolah menegaskan dominasinya. Kurang ajar! Baru sekarang aku berada di suatu tempat bersama seekor anjing dan kehadirannya mendatangkan perasaan semacam ini padaku. Seperti aku, Rosalin juga sesekali melirik anjingnya, namun tidak seperti aku, Rosalin tidak melakukannya melalui spion melainkan menoleh ke belakang. Dia mengajak si anjing berbicara. Ketika aku mengajak dia bicara, dia melarikan wajahnya ke jendela dan tidak menyahut seolah tidak mendengar apa-apa. Tapi ketika akhirnya dia berbicara, dia bicara pada si anjing di jok belakang. Betapa aku merasa seolah akulah yang hewan di sana, sementara anjing setan itu suaminya! Dan kelakuannya tidak cukup sampai di situ.
“Dia harus ditinggal, Yang, tidak bisa dibawa masuk swalayan,” kataku setelah mobil diparkir.
“Kamu tega ninggalin dia sendirian di sini? Bagaimana kalau ada yang menculiknya?”
“Makanya kan aku bilang dia ini tidak usah dibawa-bawa.” “Kalau begitu aku tunggu di mobil saja.”
Untuk pertama kali, aku pergi berbelanja sendiri. Sesekali di rak daging dan sayuran, aku berpapasan dengan sepasang suami istri muda yang berbelanja berdua. Sang suami memegangi troli sementara sang istri memilih-milih ke dalam rak. Mengingat aku merangkap kedua peran itu, aku merasa seperti seorang bujang saja atau bahkan lebih buruk, seorang duda. Ketika aku kembali ke mobil dengan satu kantong belanjaan—setengah bagian daftar sengaja kulewatkan—Rosalin berkata, “Kok cepat?” Aku tidak mengatakan apa-apa. Giliran aku yang mendiamkannya sepanjang perjalanan. Malahan dia senang kami tidak harus saling bicara. Aku benci sekali ketika aku sedang ingin mendiamkan seseorang dan itu malah membuatnya senang. Dan istriku selalu begitu. Kepadanya aku selalu gagal ngambek—adakah ngambek sudah menjadi semacam bakat alami perempuan, seperti gombal menjadi bakat laki-laki? Di rumah, kami bertengkar lagi karena Rosalin tidak menemukan mayones dan segala buah yang ditulisnya dalam daftar. Dia bilang aku suami tidak berguna. Aku bilang siapa suruh dia tidak mau ikut belanja bersamaku. Lalu aku bilang lain kali suruh saja anjingnya berbelanja sendiri. “Dia yang tidak berguna, anjingmu itu. Badan sebesar itu tidak bisa ngapa- ngapain.”
Kami tidak saling bicara seminggu lamanya. Sakit hati karena ucapannya memudahkan aku menjauhi istriku, sedangkan keberadaan si anjing memudahkan Ros menjauhiku. Walau tinggal di bawah satu atap yang sama, kami seolah menjalani kehidupan masing-masing. Namun diam-diam aku mengamati Rosalin semakin dekat dengan anjingnya. Bila ada makhluk yang paling diuntungkan dari pertengkaran kami, itu adalah anjing setan itu. Jadi suatu malam aku menyusup ke bawah selimut di sampingnya, mendekapnya erat-erat seolah untuk pertama kali. Di depan telinganya kubisikan maaf. Rosalin bilang, sana, minta maaf pada Brando. Aku bilang sudah kulakukan. Dia berbalik menghadapku, ada keraguan di wajahnya. Sungguh? Sungguh! Lalu aku mencoba menggelitiknya. Dia tidak terpengaruh. Dia malahan menjauhkan pingggangnya dariku dan tidak bicara dalam waktu lama.
“Ada apa Sayang? Lagi mikirkan apa sih?”
“Brando pasti kedinginan tidur di dapur.”
“Tidaklah, bulunya kan tebal.”
“Ih memangnya kamu pernah jadi anjing? Kita saja pakai jaket kadang masih kedinginan.”
“Jaket berbeda sayang. Anjing ini makhluk ajaib, tidak merasa kedinginan. Ayo tidur.” Aku menciumnya di dahi. Aku sudah bersiap menciumnya di seluruh tempat yang akan berujung pada permainan cinta yang nakal ketika tiba-tiba dia menghambur turun dari tempat tidur.
“Aku mau memindahkan dia ke ruang tengah,” katanya.
Aku menghela nafas, “Terserah.”
Sebelum Ros kembali, aku sudah melepas kaos dan mematikan AC. Setelah dia kembali, aku tidak melepaskan dia dari pelukaanku. Berbaring menangkup di atas tubuhnya, aku mengulurkan tangan mematikan lampu meja di nakas. Lalu aku membenamkan wajah pada dadanya dan dia mulai mencengkeram rambutku gemas. Tiba-tiba sesuatu melompat ke atas ranjang pegas kami dan menyundul bokongku. Anjing raksasa itu melompat ke sisi Rosalin. Istriku menjerit lalu tergelak-gelak. Sementara itu aku tersungkur ke tepi ranjang.
“Yayang tidak tutup pintunya ya?” gerutuku. Rosalin masih tertawa seolah kejadian tadi lucu. Dia bahkan tidak meminta maaf. “Ayo, anjing nakal, keluar!” kataku.
Tetapi Rosalin melingkarkan tangannya pada tengkuk si anjing. “Biar saja, Yang, dia mau tidur bersama kita malam ini.”
Aku berkompromi. Sudah bisa dipastikan anjing itu mengambil tempatku di sisi Rosalin. Tetapi barangkali situasinya tak perlu menjadi semakin buruk seandainya ia juga tidak perlu terus mendesakku semakin ke tepi ranjang hingga aku melorot jatuh saban kali hendak tertidur. Ketika aku mempermasalahkan hal ini pada Rosalin, dia berkata itu salahku karena tidak merapat ke tubuh Brando.
“Yang benar saja, memangnya seperti kamu, mau tidur sama anjing?” “Brando ini anjing bersih, memangnya kamu tidak cium bulunya? Bau sampo, lagi! Dia aku mandikan tiga kali seminggu!”
Malam itu pertengkaran tidak terhindarkan. Itu menjadi pertengkaran besar pertama kami sejak menikah. “Kalau kamu tidak menyuruh dia keluar, aku yang keluar,” kataku dengan nada tegas yang amat jarng kuperdengarkan.
Di luar dugaanku Ros menurut. Dia menuntun Brando keluar. Tapi sepanjang malam itu dia terus memunggungiku lalu menangis ketika tengah malam. Akhirnya aku menyalakan lampu, mengambil bantal, dan membuka pintu. Anjing sialan itu sudah ada di depan pintu kamr kami, seolah sudah mengantisipasi keadaan. Aku keluar dan si anjing masuk. Aku tidur di sofa ruang tengah dan terus terjaga. Tengah malam, seperti mendapat firasat buruk, sesuatu mendorongku mengendap ke kamar kami. Rosalin sudah tertidur pulas sedangkan anjingnya belum. Anjing itu sedang meringkuk di sisi istriku, kepala gelapnya tampak bergerak-gerak disertai bunyi decak. Butuh beberapa saat bagiku untuk menyadari anjing itu sedang menjilat-jilati lengan dan bahu istriku! Kurang ajar. Aku masuk dan mengancamnya dengan guling. Si anjing melompat berdiri dan gerakannya mengguncang tempat tidur. Rosalin terbangun. Dengan mata mengantuknya, dia melihat aku sedang mengarahkan sebuah guling ke arah anjingnya. Sesaat dia menatapku jeri, kemudian muak. “Brando, ke sini Sayang.”
Si anjing menanggapi uluran tangan istriku.
“Kamu manusia jahat. Kamu manusia yang buruk,” katanya padaku. “Yang benar sajalah, kamu lebih pilih anjing daripada suamimu?!” “Dia tidak punya salah padamu.” Dia mengelus-elus si anjing di dahi.
“Salahnya besar. Dia membuat kamu lebih mengutamakan dia daripada suamimu sendiri.”
“Huh baru kelihatan egomu sekarang!”
“Memangnya kamu mau seandainya aku menduakanmu dengan, misalnya, seekor kucing?”
“Aku tidak keberatan. Yang penting kucing! Aku juga suka kucing.” “Bagaimana perasaanmu ketika suamimu lapar dan kamu malah memberi makan seekor anjing?!”
“Kamu kan bisa ambil makan sendiri. Memangnya Brando bisa ambil makannya sendiri?” Tiba-tiba, “Astaga,” gumamnya, seberkas sinar kesadaran terbit di pelupuk matanya. “Aku baru tangkap masalahnya sekarang.” Dia melempariku dengan bantal. Dia bilang ternyata aku tidak ada bedanya dengan kebanyakan laki-laki yang dia kenal, termasuk seperti ayahnya sendiri, yang mau selalu dilayani oleh ibunya. Aku bilang bukan itu masalahnya. Masalahnya sederhana, aku tidak suka ada anjing di tempat tidurku. Rosalin mendengus. Belum pernah kulihat dia semarah itu. Tanpa menunggu pagi, dia sudah mengemas semua pakaian ke dalam koper dan menelepon supir keluarga untuk datang menjemputnya.
AKU beranjak dari jendela yang menghadap halaman belakang, masuk ke kamar. Derap langkahku seolah bergaung di ruang-ruang yang telah menjadi sunyi dan dingin sejak istriku dan anjingnya pergi. Di kamar mandi, aku membasuh muka sebentar. Lalu aku mengganti bajuku yang sudah berkeringat, menyambar kunci, pergi ke garasi.
Tukang kebun di rumah mertua membukakan pintu pagar ketika aku membunyikan klakson. Aku berbelok memasuki jalan masuk, memarkir mobil di halaman. Aku merasa seseorang sedang mengintip dari balik tirai saat aku melangkah turun dari mobil. Ketika aku menekan bel, pintu dibukakan oleh ibunya Rosalin. Ibu mertuaku menatapku dengan tegas. “Kalau dia tidak mau bicara denganmu, berarti dia juga belum bisa ketemu.”
“Aku bukan mau ketemu Rosalin, tapi Brando.” Mertuaku menghela napas.
“Rosalin pernah bilang, aku harusnya minta maaf pada anjingnya. Baiklah, kulakukan sekarang.”
Ibu mertua mengajakku ke dalam. Aku mencari tanda-tanda keberadaan Rosalin dan anjingnya di dalam rumah. Aku lihat anjing itu melongok di ujung tangga, dan ya ampun, dia langsung berlari mendatangiku. Dia mengendus-endus aku, dan aku merasakan bahasa tubuh penyambutan, seolah kami berteman selama ini, seolah dia merindukan aku. Aku mengulurkan tangan menyentuh dahinya. Ketika aku mendongak, tak sengaja kulihat Rosalin sedang mengintip kami dari ujung tangga, dari mana anjingnya turun tadi. Tahu dia sedang melihat, aku terus mengusap tengkuk anjingnya. Aku bahkan berkata, “Apa kabar Brandon?”
Hari itu, aku berhasil membawa istriku dan ajingnya pulang. Dalam perjalanan kembali ke rumah, kami tidak bicara namun diam-diam aku merasakan ada hati yang mulai melunak. Di rumah, kami masih tak segera saling bicara, namun dari bahasa tubuh istriku aku tahu semuanya baik-baik saja. Dia menghabiskan waktu bersama anjingnya di halaman belakang dan aku memandang mereka dari teras, sesekali melambaikan tangan seperti yang mungkin dia inginkan.
Malam hari, setelah dia menyelinap ke bawah selimut dan aku menyusulnya, dengan penuh pengertian aku bertanya apakah dia mau aku membawa Brando masuk (dan aku yang keluar?). Tapi dia tidak mengatakan apa- apa—syukurlah. Malam itu kami tidur saling memunggungi dan aku bisa merasakan pertahanan dan jarak yang masih berusaha dijaga istriku. Sementara itu, aku berusaha menahan diri untuk tidak berputar dan merangkulnya. Mustahil bagiku untuk dapat tertidur. Tengah malam ketika aku menyerah pada pertahananku, Ros sudah tertidur pulas—aku tahu dari dengkuran halus yang menghuni keheningan. Akhirnya aku menyelinap keluar.
Brando sedang tengkurap di sofa dan ia mendongak saat aku datang. Aku mengusirnya turun. Seolah terjangkit kegilaan Rosalin, aku berbicara padanya, “Kamu pikir siapa kamu, hah?” Aku memelototinya. “Bisa paham perkataanku atau tidak? Kalau bisa, aku ingatkan kamu, jauh-jauhlah dari istriku, anjing keparat.”
HARI pertama di rumah, Rosalin pergi berbelanja sendirian. Sebelum pergi, dia menemuiku di ruang kerja untuk memberitahu ke mana dia akan pergi. Aku merasa dia sedang ingin menebus kesalahan—walaupun jangan harap dia mau mengakuinya. Kami bicara singkat saja dan tidak membuat kontak fisik. Aku merasa canggung. Ketika dia hendak meninggalkan ruangan, tiba-tiba dia berpaling sebelum mencapai pintu dan berlari menghampiri mejaku kembali. Seperti siraman hujan di musim kemarau, dia membungkuk dan mengecupku di pipi. Setelah itu, hampir tanpa menatap mataku ataupun mengatakan sesuatu, dia langsung berbalik pergi dengan berlari secepat datangnya tadi. Ketika dia tak lagi terlihat, aku menyadari air mataku telah menitik. Ya Tuhan, batinku dalam kegusaran bercampur senang, betapa aku mencintai perempuan yang sangat mencintai anjingnya itu!
Terdengar derum mobil di garasi lalu kendaraan menjauh pergi. Aku kembali bertekur pada pekerjaan ketika tiba-tiba terpikir olehku apakah Rosalin pergi bersama Brando ataukah sendirian. Tidak mungkin dia membawa anjing itu dengan risiko akan meninggalkannya di mobil sendiri. Saat itulah sebuah rencana jahil terlintas di kepalaku. Kalau aku menunjukan sedikit dominasiku pada anjing itu, dia mungkin tak akan lagi berani berada di sekitar Rosalin saat aku juga ada di ruangan yang sama. Jadi aku pergi mengambil tongkat kasti dari gudang, menyembunyikan benda itu di punggung sementara aku mulai mencari anjing istriku dari ruang ke ruang. Aneh, dia tak ada di mana-mana, bahkan tak juga di halaman belakang. Ketika aku mulai berpikir Rosalin mungkin telah mengajak serta Brando, langkahku tiba-tiba berhenti di depan jendela.
Di luar tampak olehku sebuah datsun sedang diparkir di depan rumah kami. Seorang pria berpakaian hitam berdiri di antara mobil itu dan pagar. Lalu dari dalam mobil muncul pria lain, memegangi sebuah karung goni. Pria itu berjalan perlahan-lahan, diikuti temannya yang tadi. Hampir bersamaan kulihat kepala gelap anjing raksasa itu menyundul-sundul ke arah pagar. Oh, ternyata binatang itu ada di sana. Pria yang memegang karung bergerak ke arah pagar di mana Brando berada.
Memahami apa yang terjadi, aku merasakan sekujur tubuhku membeku dan selama beberapa saat waktu terasa berhenti. Aku tahu bila aku ingin menyingkirkan Brando dari hidup kami, saat itulah waktunya. Namun saat yang sama bayangan-bayangan lain melintas. Di sana, kulihat Rosalin bermain dengan anjingnya di halaman belakang, tawa merekah di wajahnya dan keriangan terpancar dari suaranya, seperti seorang gadis. Tetapi keriangannya menjauh dan gelak tawanya menjadi sayup-sayup seiring mendekatnya kedua pria asing itu ke arah anjingnya. Tiba-tiba aku begitu ketakutan menyadari bila kedua pria itu berhasil menciduk si anjing maka aku tak akan pernah lagi punya kesempatan melihat istriku bahagia.
Jadi aku menghambur keluar dan menghardik kedua pria asing itu sambil mengacungkan tongkat kasti di tangan. Hampir bersamaan, Brando begitu kaget sehingga dia mulai menyalak dengan garang ke arah dua pria. Saat dia menyalak, tubuhnya terlihat semakin besar dan suaranya… kau tak akan ingin mendengar suaranya. Aku bersyukur dia punya tubuh yang begitu besar. Sebelum aku tiba di pagar, kedua pria tadi sudah bergegas ke dalam mobil dan melesat pergi.
“SAYANG, kenapa tongkat kasti ini ada di sini?” kata Rosalin, membawa masuk sebatang tongkat kasti dari teras. Dia baru saja kembali dari berbelanja.
“Apa sih? Oh, tadi ada anak tetangga yang mau pinjam.”
Kelak Rosalin mendengarnya sendiri dari para tetangga. Dia mendengar bahwa anjingnya hampir diculik dan berhasil menyelamatkan dirinya sendiri dengan gagah berani. Dua orang pria asing dibuat pucat pasi dan gemetar oleh salakan nyalang dan sepasang taring tajam. Sejak itu Rosalin semakin sayang pada Brando. Tidak ada yang menyebut-sebut soal tongkat bola kasti yang ada di tanganku hari itu. Sesaat sebelum tetangga berkumpul di jalan, aku memang sudah melemparkan benda itu ke teras.
Malam setelah kejadian itu, Rosalin terjaga lama di sampingku, bertanya, “Sayang ada di mana waktu kejadian itu?”
Jawabanku, aku masih di ruang kerja.
“Memangnya tidak dengar ada mobil berhenti di luar?”
“Aduh, gak tuh, ketiduran.” Istriku tak akan percaya kalau kubilang kedua penculik itu berhasil kutaklukan dengan tongkat kasti. Jadi aku berbohong. Lagipula, seharusnya ini tetap menjadi kisah tentang istriku dan anjingnya yang berhasil menyelamatkan dirinya sendiri, bukan tentang pria lemah hati yang menyelamatkan anjing istrinya.