Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Istidraj
0
Suka
178
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Assalamualaikum warahmatulloh ….”

Baru salam pertama yang diucapkan imam salat jumat, anak-anak sudah lari berhamburan menuju taman masjid, mereka terburu-buru dan berebut antrean, ada sebagian dari mereka yang menjinjing sandalnya menuju barisan yang berpusat pada ibu-ibu yang sudah memegang kotak berisikan makanan berat. Ada juga ibu-ibu yang keliling membagikan snack makanan ringan.

“Harusnya anak-anak cukup dikasih snack aja, Bu, makanan beratnya buat kita-kita yang emang butuh makan siang gratis. Ini malah terbalik.” Sergah seorang driver ojek online kepada seorang ibu yang memberinya sebungkus snack berisikan kue kering dan risoles tanpa cabai ijo. Ibu itu tidak terlalu menanggapi dan fokus kembali membagikan snack-snack kepada jemaah lainnya.

“Pak, Ical mau ikutan antre ya.” Ucap Ical sambil melepaskan pegangan dari Yadi, bapaknya. Posisi mereka yang berada di shaf pertama membuat Yadi sulit untuk menahan Ical yang sangat lincah layaknya anak SD kelas 2 pada umumnya. Akhirnya Yadi membolehkan Ical antre untuk pertama kalinya, toh ia juga harus segera pergi bekerja.

Satu demi satu anak menerima bungkusan kotak berwarna merah cerah bertuliskan : ALABA FRIED CHICKEN khas dengan icon kartun kepala ayam jago. Antrean yang menjalar panjang, mulai sedikit memendek dalam hitungan menit. Namun, dua anak dibarisan depan Ical tidak kebagian kotak karena habis, begitu pun Ical dan dua anak lain di belakangnya.

Fried chicken-nya habis, diganti snack ya,” ucap seorang perempuan berusia 50-an sambil tersenyum.

Raut wajah kecewa tidak bisa mereka sembunyikan, termasuk Ical.

“Ical mana, Pak?” tanya Ningsih yang menyambut kedatangan suaminya di depan pintu.

“Lagi antre kotak nasi.”

“Ya ampun, Pak, kenapa gak dilarang?”

“Mau dilarang gimana orang anaknya langsung lari.”

“Nanti kalau dia kebagian, masakan ibu sisa banyak lho.”

“Buat nanti malem kan bisa, Sayang.”

“Ya, tapi kan kita juga gak miskin-miskin amat, Pak, malu kalau anak kita ikut antre rebutan gitu,” ucap Ningsih sambil menyiapkan makan siang di atas meja makan.

“Bu, bapak itu ngerti, Ical itu cuma ikut-ikutan teman-temannya aja, seru-seruan, paling kalau gak kebagian, dia kapok.”

Assalamualaikum,” teriak Ical sambil membuka pintu dengan semangat. “Jumat depan Ical mau antre lagi ya, Pak, soalnya gak kebagian chicken.” Tambahnya sambil mengacungkan snack yang ia genggam. Ningsih mengedikkan kepala lalu mengembuskan napas pelan, matanya menatap Yadi kesal. Yadi hanya bisa membalasnya dengan memalingkan wajah.

Di atas meja makan terlihat ada beberapa piring berisikan 3 telur ceplok polos tanpa bawang merah maupun daun bawang, ikan asin kering, dan sayur asam. Ningsih, Yadi dan Ical sudah duduk rapi siap menyantap hidangan siang itu.

“Habis makan bapak mau lanjut ke proyek ya, Bu.” Ucap Yadi sambil mengunyah pelan.

“Tumben, berangkat cepat?”

“Diamanahin jadi mandor oleh mandor.”

“Hah, gimana?”

“Gantiin mandor Usep, bapak jadi mandor sementara.”

“Oh, pakai motor?” tanya Ningsih datar.

“Nggak, proyeknya deket, di ruko depan.”

“Yaudah motor ibu pakai ke pabrik ya.”

Tanpa sepatah kata, Ical langsung pergi setelah selesai menghabiskan suapan terakhirnya.

“Mau ke mana, Cal?” tanya Ningsih.

“Mau lihat temen-temen yang lagi makan bareng di taman.”

Ningsih hanya sedikit geleng kepala melihat tingkah anaknya yang tidak biasa.

***

“Dapet snack lagi, Bu,” ucap Ical melas. “Padahal sandalnya udah Ical jinjing.” Tambahnya.

“Udah, Cal. Gak usah ikutan antre lagi!” titah Ningsih. “Ibu ada duit kok buat beliin kamu ayam goreng.”

fried chicken, Bu.”

“Iya, sama aja.”

“Merk-nya ALADA, Bu.”

“Iya, nanti ibu beliin.”

“Tapi, Bu, Rendi aja antre kok, kebagian malah.” Jelas Ical sambil membuka bungkus snacknya.

“Nanti ibu bilang bapak dulu kalau bapak udah pulang ya.” Ningsih risi ketika mendengar nama Rendi. Pasalnya dia adalah anak pemilik kontrakan, Ustadz Tommy, ayah Rendi, yang sekarang Ningsih, Yadi dan Ical tempati secara gratis karena rumah Ustadz Tommy sedang Yadi dan para kulinya renovasi. Tatapan Ningsih beralih mengikuti terbangnya lalat yang hinggap di atas ikan asin goreng.

“Makanan sudah ada di atas meja makan, habiskan! Terus kamu kalau mau main keluar jangan lupa kunci pintu!” Ningsih pamit setelah punggung tangannya menempel pada kening Ical.

“Tapi kan, rumah Cuma bisa dikunci dari dalam, Bu.”

“Gini. Lihat Ibu!” Ningsih meragakan cara kunci pintu rumah yang hanya menggunakan kunci pintu slot geser, ia memasukkan tangan kirinya lewat jendela yang langsung menempel dengan pintu, tangannya meraba-raba pelan mencari gagang slot yang hanya seukuran kelingking Ical, kepalanya mendongkak ke atas dengan tatapan mata serius.

Ceklek …

“Bisa kan, Cal?” Ucap Ningsih setelah membuka kembali slot pintu yang ia kunci. Ical hanya memberi isyarat jempol ke atas.

Suasana kontrakan 3 petak berukuran 4x10 itu mendadak sepi. Dihelaan napasnya, Ical duduk sejenak menatap menu makan siang, tampak tidak jauh berbeda seperti hari-hari biasanya. Mulut mungil itu kini sibuk mengunyah pelan, bukan karena menikmati, tatapan matanya menggambarkan seolah ia membayangkan sesuatu yang ingin ia lahap, fried chicken hasil antrean dirinya sendiri.

“Ayo makan siang dulu! Kerjaannya lanjut lagi nanti setelah makan,” teriak Yadi pada semua bawahannya. 10 tahun ia menjadi kuli, sudah barang tentu ia mengerti bahwa makan adalah sumber kekuatannya. Menjadi mandor adalah pengalaman pertama bagi Yadi, meskipun hanya sementara, ia harus bisa memanfaatkannya sebaik mungkin. Salah satunya memerhatikan jam makan para kuli. Yadi yang sudah makan lebih dulu, lalu pergi ke toko bangunan untuk membeli keperluan-keperluan proyek.

Di sisi lain, Ningsih sedang bergelut dengan target pabrik. Di usaha jahit rumahan sederhana miliknya yang kini ia tinggalkan, Ningsih hanya biasa mengerjakan beberapa pakaian yang hanya dipermak sedikit, kini ia harus fokus menyelesaikan satu bagian, namun banyak. Di hari pertamanya kerja, Ningsih tampak kewalahan. Setidaknya ini bisa jadi tambahan uang buat Ical, pikirnya. Sepintas Ningsih teringat kembali pada Ical yang sebentar lagi akan masuk kelas 3 SD sekolah ajaran baru dan membutuhkan biaya.

“Eh, Pak mandor udah datang,” ucap seorang kuli dengan senyum lepasnya. “Itu keramik-keramiknya tolong dipindah kesana ya!” titah Yadi lembut, mobil pick up yang ia tumpangi hendak pergi setelah semua barang belanjaan sudah dipindahkan. “Eh … eh, tunggu pir!” Yadi blingsatan mengejar mobil yang hampir jauh. “Hampir kelupaan ini,” ia meraih secarik nota di dashboard, “dah sana jalan!” tambahnya sambil menepuk atap mobil pelan.

***

Deru knalpot motor terdengar semakin jelas dan menghilang tepat di depan kontrakan. Perempuan berbaju hijau berkerah itu terlihat lesu saat turun dari motornya. “Ibu udah makan?” tembak Ical dengan sebuah pertanyaan yang menurutnya penting. Tak mau hanya berdiam diri di pintu, Ical berlari kecil menghampiri Ningsih, membantunya membawakan apapun yang bisa ia bawa. “Harusnya Ibu yang nanya Ical, Ical udah makan?” Ical menjawabnya dengan anggukan.

“Beli?”

“Bapak masak.”

“Baru tau lho Ibu, kalau Bapak bisa masak.”

Hampir selama Ningsih di rumah, menu makanan selalu ia yang menyiapkan.

“Yaelah, Bu, telur dadar doang Ical juga bisa kali,” ucap Ical sambil memperagakan helm yang ia pegang seperti telur.

Assalamualaikum,” Ningsih menghampiri Yadi yang sedang makan dan meraih tangan kanannya kagok.

Waalaikumsalam, makan dulu, Bu.” Yadi menyodorkan sepiring telur dadar.

 “Ibu udah kenyang, Pak, tadi makan dulu sebelum pulang sama temen-temen pabrik, sambil ngobrol-ngobrol tentang kerjaan. Ibu kan baru, jadi—”

“Orang sibuk,” saut Yadi dingin.

Suasana mendadak canggung dan hening, Ical sesekali memerhatikan Ningsih dan Yadi yang saling kikuk.

“Duh, ngantuk nih belum belajar baca.” Ucap Ical mencoba memecah keheningan, ia berniat pergi dari meja makan agar tak perlu melihat kecanggungan orang tuanya. Namun rumah yang hanya sepetak membuat Ical hanya berjalan-jalan memutari meja makan.

“Bapak hitung udah tiga kali putaran ya, Cal,” ucap Yadi kaku, “mending kamu tunggu di luar!” tambah Yadi.

Bak terhipnotis omongan pesulap, Ical pun lalu menuruti kalimat terakhir Yadi.

Entah apa yang dibicarakan Ningsih dan Yadi, yang jelas Ical benar-benar fokus pada buku yang menemaninya di luar.

**

Ramai para tetangga berdatangan menuju rumah Ustadz Tommy dan istrinya, Ustadzah Zaenab, untuk menyambut mereka yang baru saja pulang dari haji tadi subuh. Ningsih dan Yadi tentu mengetahui berita tersebut karena kontrakan dan rumah Ustadz Tommy hanya terhalang masjid. Kontrakan berada di sebelah timur masjid dan rumah Ustadz Tommy berada di sebelah barat masjid. Namun, Yadi yang harus ke proyek dan Ningsih yang berganti shift harus segera pergi bekerja pagi itu.

“Ical, masih ingat kan cara kunci pintu rumah?” pertanyaan itu menjadi kalimat terakhir sebelum Ningsih pergi ke pabrik, sedangkan Yadi sudah pergi lebih dulu.

Tidak berselang lama setelah suara motor Ningsih hilang dari pendengarannya, Ical yang merasa bosan dengan kesendiriannya di rumah tentu memilih pergi bermain bersama teman-temannya. Ia pun pergi ke rumah Rendi berharap teman-temannya juga ada di sana.

Benar saja, Yusuf dan Malik sedang bersama Rendi. Mereka terlihat asyik duduk mendengarkan Rendi bercerita.

"Lagi cerita apa, Ren?" tanya Ical dengan langkah yang baru terhenti.

"Ini lho, Cal, mainan tentara-tentaraan Rendi yang bisa tiarap dan nembak, katanya masih ada di bandara." Sela Yusuf dengan antusias, terlihat dari matanya yang berbinar.

"Bukan bisa nembak, tapi ada suara tembakannya." Ralat Rendi.

"Kenapa gak diambil aja ke bandara?" tanya Ical lugu. Tubuhnya masih saja berdiri kaku dihadapan teman-temannya.

"Gak bisa. Kalo kata Abi sih nanti juga datang sendiri." Jelas Rendi.

"Wuih .... Tentaranya bisa tiarap sendiri dari bandara ke rumah kamu? Hebat." Mata Ical melotot heran.

"Bukan, nanti siang dianterin ke rumah, soalnya oleh-oleh Abi sama Umi juga ada di sana." Jelas Rendi lagi.

Ical menggaruk rambut kepala belakang pelan, tatapannya liar seolah berusaha keras mencerna apa yang telah ia ucapkan dan mencocokkan dengan jawaban yang Rendi berikan.

"Ini upah kalian selama kerja di rumah Pak Ustadz." Ucap Yadi sambil membagikan beberapa amplop pada teman-teman kulinya yang sedang makan siang. Perhari kemarin renovasi rumah Ustadz Tommy sudah rampung Yadi selesaikan, sesuai target permintaan Ustadz Tommy yang ingin selesai sebelum beliau dan istrinya pulang.

Siang itu Yadi dan Ningsih pulang lebih cepat, Yadi yang sedikit tidak enak badan memilih pulang lebih dulu dan mempercayakan pekerjaan proyek pada bawahannya. Sedangkan Ningsih yang pulang lebih cepat karena ....

"Lho, kamu udah pulang?" Yadi yang sedang berbaring santai di dekat pintu di atas kasur palembang warna maroon dengan motif bunga dibagian tengahnya terheran mendapati istrinya yang tiba-tiba membuka pintu tanpa salam, "kenapa pulang cepat?" tambahnya.

"Dipecat." Jawab Ningsih singkat.

Yadi terduduk, spontan menarik napas dan menggaruk kepala seolah sudah mengerti apa yang ia duga.

"Bukan salahku." Ucap Ningsih saat tahu Yadi hendak bicara kembali.

"Terus salah siapa? Orang lain? Terus aja begitu setiap kamu bekerja. Gak pernah bertahan lama."

Ningsih duduk dan bersandar pada pintu yang masih terbuka, ia hanya tertunduk dengan tatapan kosong, sesekali jemarinya meremas jari-jari kaki yang masih terbalut kaus kaki.

"Siang, Bu Ningsih, numpang lewat." Sapa 3 orang ibu yang lewat di depan kontrakan dengan senyum merekah, masing-masing mereka menjinjing 2 sampai 3 bingkisan bertuliskan oleh-oleh haji dan umroh.

"Siang, Ibu-ibu." Balas Ningsih dengan senyum meski sedikit kaget dibuatnya.

Tatapan Ningsih tentu tak lepas dari bingkisan yang mereka bawa, ia merasa ada yang aneh, kenapa mereka dapat oleh-oleh sedangkan dirinya tidak.

"Kamu dapat oleh-oleh dari Ustadz Tommy?" tanya Ningsih.

"Nggak ada."

"Ibu-ibu tadi mana gak ada yang belok ke sini lagi, pasti mereka bawa banyak itu titipan untuk tetangganya kan?"

"Gak usah dipikirkan, Sayang. Mungkin mereka lupa."

"Gak mungkin lupa orang kamu yang renovasi rumah mereka, harusnya ingat dong." Tegas Ningsih sambil membuka tudung saji di atas meja makan. "Bisa-bisanya Si Ical belum makan dari pagi! Ke mana lagi itu anak?"

Mendengar Ningsih yang sedang naik pitam, Yadi memilih kembali merebahkan badannya sambil memejamkan mata.

"Istri lagi pusing, kamu malah pilih tidur?"

Yadi masih dengan posisinya.

"YADI!" sentak Ningsih, tudung saji terlempar tepat mengenai kepala Yadi. Yadi terperanjat lalu menghampiri Ningsih dengan mata melotot.

"KAMU PULANG KE RUMAH LIHAT AKU PULANG CEPAT DAN LAGI TERBARING DI ATAS KASUR, GAK MAU BERTANYA AKU KENAPA?"

Ningsih tertegun dalam duduknya.

"KAMU PULANG KE RUMAH DENGAN MEMBAWA MASALAH MALAH JADI TAMBAH MASALAH! TAHU GAK?"

Ningsih masih tidak berani menatap Yadi.

"SUDAHKU BILANG KAMU TIDAK PERLU IKUT BEKERJA, TAPI KAMU TIDAK PERNAH MENURUTI APA YANG AKU SARANKAN. LIHAT HASILNYA APA? KAMU DIPECAT LEBIH CEPAT, ICAL TERABAIKAN, DAN AKU KEHILANGAN PERHATIANMU." Yadi menutup kalimat terakhirnya dengan gebrakan kecil pada meja makan. Terdengar isak tangis Ningsih menyambut keheningan.

"Assalamualaikum ...." Teriakkan Ical seketika menghentikan air mata Ningsih yang hampir menetes. Ical berlenggak-lenggok menghampiri Ningsih dan Yadi yang masih berdekatan.

"Tumben Bapak dan Ibu sudah pulang. Padahal tadinya Ical mau makan ALADA ini sendirian." Ical menaruh 3 kotak berwarna merah bertuliskan ALABA Fried Chicken.

"Dari siapa ini, Cal?" tanya Yadi heran.

"Ical baru tahu ternyata Fried Chicken yang sering dibagikan sehabis salat jumat itu dari ayahnya Rendi, Pak. Pantesan aja Rendi sering kebagian." Jelas Ical, "nah, ini juga dari ayahnya Rendi, Bu" Ical memberikan 2 buah bingkisan kepada Ningsih yang masih memalingkan wajahnya.

***

Assalamualaikum warahmatulloh ….”

Baru salam pertama yang diucapkan imam salat jumat, anak-anak sudah lari berhamburan menuju taman masjid, mereka terburu-buru dan berebut antrean, ada sebagian dari mereka yang menjinjing sandalnya menuju barisan yang berpusat pada ibu-ibu yang sudah memegang kotak berisikan makanan berat. Ada juga ibu-ibu yang keliling membagikan bungkusan berisi makanan ringan.

“Pak, Ibu kira-kira masak apa ya di rumah?” tanya Ical sambil melepaskan pegangan dari Yadi, "yang duluan sampai rumah dia menang!" tambah Ical tiba-tiba sambil beranjak dari duduk manisnya. Yadi yang kembali salat jumat, kembali pula pada posisi shaf pertamanya, lagi-lagi itu membuat Yadi sulit untuk menahan Ical yang sangat lincah layaknya anak SD kelas 3 pada umumnya. Yadi legowo untuk membiarkan Ical memenangkan perlombaan yang dibuatnya sendiri.

Ical dengan napasnya yang terengah-engah, sesekali melirik ke belakang dari balik pundaknya. Ia tersenyum lebar mengetahui dirinyalah yang sampai rumah duluan. Rumah yang sekarang sedang ia tatap seperti ada sesuatu yang beberapa menit yang lalu sepertinya tidak ada, terlihat sebuah tulisan tangan pada secarik kertas menempel pada jendela samping pintu. Ical mengernyit mencoba fokus untuk membaca dan mengejanya perlahan.

"Ru-mah-ja-hit-i-bu-i-cal."

SELESAI

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Istidraj
Muhammad Adli Zulkifli
Novel
Bronze
Route
Hendika A. Cantona
Flash
Payung Merah Jambu
NO-NAME
Cerpen
Bronze
Kenapa Susah Cari Jodoh?
Laras SR
Novel
Bronze
Filosofi Keluarga
Niken Ayu Winarsih
Novel
Goodbye Autumn
Jicelyn
Novel
Slices of Thought
Ekkrisline
Novel
Gold
Sohib Never Dies
Mizan Publishing
Novel
Bronze
Mahar Untuk Deevika
Khairul Azzam El Maliky
Flash
Bronze
Julia Mencari Popi
Afri Meldam
Novel
Bronze
Friends
Arinaa
Novel
Bronze
MR. KRAB
Faiz el Faza
Novel
Gold
PBC Best Teacher Ever
Mizan Publishing
Novel
Gold
Snow White Merebut Kembali Kerajaan Kaspar
Bentang Pustaka
Skrip Film
Merayan Dibalik Jemari
Diah Pitaloka
Rekomendasi
Cerpen
Istidraj
Muhammad Adli Zulkifli
Novel
Pilihan Ganda
Muhammad Adli Zulkifli
Cerpen
Seperti Seekor Kupu-kupu yang Hinggap Sebentar di Setangkai Bunga Kemboja Lalu Pergi dan Tak Pernah Kembali
Muhammad Adli Zulkifli
Cerpen
Bronze
Melamar
Muhammad Adli Zulkifli
Novel
Bronze
BAKA
Muhammad Adli Zulkifli
Cerpen
Bronze
Awas Kepala Buntung
Muhammad Adli Zulkifli
Cerpen
Bronze
Malam Pertama
Muhammad Adli Zulkifli
Cerpen
Bronze
Puasa
Muhammad Adli Zulkifli
Flash
Jok
Muhammad Adli Zulkifli
Skrip Film
Birthday
Muhammad Adli Zulkifli
Skrip Film
JARUM BESI
Muhammad Adli Zulkifli