Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
JERITAN Ibu membangunkanku. Ketika mataku membuka sepenuhnya, teriakan histeris Ibu semakin jelas. Besar niatku untuk bergegas bangkit dan menghampirinya, tetapi kesadaranku belum sepenuhnya pulih. Tubuhku tak bisa langsung bergerak sesuai perintah. Terdengar beberapa orang laki-laki menuntut masuk ke dalam rumah untuk mencari kamarku, seolah ruang pribadiku adalah hak publik yang boleh diakses siapa saja. Tatapanku beralih ke arah jam dinding, masih pukul setengah enam pagi.
Siapa yang mengusikku pagi-pagi buta begini?
“Kau yang bernama Shabit?” seorang laki-laki bertanya ketika membuka pintu kamarku.
Mataku mengerjap. Anggukan yang kuajukan terasa seperti gerakan boneka yang ditarik talinya. Di balik bahu kerumunan lelaki yang kini mulai memenuhi kamarku, kulihat wajah Ibu. Rautnya menyiratkan rasa panik yang luar biasa. Jadi sebisa mungkin aku menahan diri untuk tidak melakukan gerakan gegabah yang mungkin akan membuat Ibu celaka.
Seharusnya, Sabtu menjadi hari tanpa rutinitas yang penuh ketenangan dan memberi hak penuh untuk bermalas-malasan bagi pekerja kantoran biasa sepertiku. Namun hak itu dirampas wajah-wajah asing ini, dengan mata yang memindai ruangan seolah sedang menginspeksi tempat kejadian perkara. Pandanganku menyusuri wajah mereka satu per satu. Aku tidak tahu siapa dan mengapa sekelompok orang tak dikenal ini berada di dalam kamarku.
Dua puluh lima tahun hidupku berlangsung. Sebuah perjalanan teratur, lurus, tanpa pernah menyinggung hak atau privasi siapa pun. Aku mencari-cari cacat dalam kurva hidupku satu minggu—ah, tidak, satu bulan belakangan, tetapi tak kutemukan keanehan. Jangankan melanggar hukum, aku adalah tipikal pekerja yang saking patuhnya, seringkali melakukan lembur tanpa bayaran. Dan hal itu kulakukan dengan senang hati.
Keanehan pagi ini justru adalah keanehan itu sendiri.
“Ikut kami ke kantor sekarang,” kembali ia berkata dengan nada dingin dan datar, seolah mengajakku ke kantin untuk makan siang.
Tatapanku beralih pada nakas. Ponselku di sana, berkedip, puluhan notifikasi pesan baru bersahutan meminta atensi. Sebelum tanganku sempat meraihnya, laki-laki itu mendahului. Ponselku disita, dimasukkan ke dalam plastik segel bening. Jembatanku menuju dunia luar terputus.
Pemuda di belakangnya menyerahkan sehelai kertas, dan seketika raut wajah Ibu mendadak luruh. Tidak lagi panik, tapi tampak cukup terpukul dalam keheningan yang mematikan. Seolah hal itu menjadi menjadi konfirmasi resmi atas statusku yang tiba-tiba saja berubah, sebuah sarana agar mereka dapat membawaku menjauh darinya. Ibu memang tidak berkata apa-apa, tapi derai air matanya adalah terjemahan paling jujur dari seluruh ketakutan dan rasa kehilangan yang tidak sanggup ia ucapkan.
“Shabit baik-baik aja, Bu.” Aku memaksakan seulas senyum, sebuah pertahanan terakhir untuk meyakinkannya dan, ironisnya, untuk meyakinkan diriku sendiri. “Mungkin ada salah paham di kantor. Nanti Shabit langsung pulang kalau semuanya udah beres.”
Aku menjanjikan kepulangan yang belum tentu bisa kutepati.
Ibu mengangguk, ia hanya memberiku sebuah anggukan.
Mereka menggiringku keluar. Kabut tipis masih menyelimuti area perumahan yang tenang ini. Sisa hujan semalam menempel pada daun-daun taman depan rumah, seperti air mata yang tak sempat tumpah ke tanah. Aku menghela udara dingin yang terasa begitu menyegarkan, kontras sekali dengan dada dan kepalaku yang sesak dipenuhi pertanyaan.
Apakah mereka polisi?
Mengapa tidak memakai seragam seperti petugas lainnya?
Setelah pandanganku terbiasa, kutahu penjemputku berjumlah enam orang. Mereka lantas memasukkanku ke dalam mobil. Dua di depan, tiga di tengah, dan satu orang lagi duduk bersamaku di belakang. Sebelum mobil bergerak, laki-laki di sebelah menutupi kepalaku dengan selembar kain putih hingga penglihatanku tak dapat dapat digunakan.
Apakah mereka pantas disebut petugas?
Perjalanan pagiku menuju ke tempat—entah ke mana, terasa begitu sunyi. Tak seorang pun yang berbicara, bahkan pemutar musik dibiarkan tidak menyala. Suasana kabin mobil yang begitu hening membuat pikiranku kembali melayang. Tapi aku tidak memikirkan rangkaian adegan penyiksaan seperti dalam film aksi yang sering kutonton.
Aku memikirkan pekerjaan.
Apa yang harus kukatakan pada bos jika ternyata hal ini akan banyak memakan waktu dan mengganggu jam kerjaku? Alasan apa yang harus kuberikan kepada rekan kerja satu ruanganku jika ternyata aku tak pernah kembali?
Aku masih berutang segelas kopi padanya. Kopi yang kujanjikan setelah ia bersedia menjadi pendengar kisah patah hati terbesarku dengan Wilda—mantanku yang terakhir. Mungkin setelah semua kekacauan ini selesai, aku akan meminta maaf dan mentraktirnya sekantong croissant tambahan. Sebagai ungkapan terima kasih sudah menemaniku melewati fase paling tolol dalam sebuah hubungan percintaan: patah hati.
***
MOBIL yang membawaku berhenti, dan penutup mataku akhirnya dibuka. Cahaya matahari yang menembus malu-malu memberitahuku bahwa hari sudah beranjak siang. Meski buta arah, kulitku masih mengenali suhu dingin tempat ini dengan cukup baik. Udara yang menggigit sopan, namun sejuk yang memeluk sekaligus menusuk—sepertinya aku dibawa ke daerah Bandung Selatan.
Sebuah bangunan tinggi di tengah perkebunan berdiri di hadapanku. Salah seorang dari mereka menuntunku menuruni anak tangga menuju ruang bawah tanah. Sebuah pintu merah berukuran besar menunggu di ujung lorong, seolah menjadi gerbang pemisah antara dunia kewarasan dan apa pun yang menanti di baliknya. Ia memintaku masuk setelah membukakan pintunya.
Seketika, pupil mataku langsung bekerja keras untuk beradaptasi dengan kegelapan yang tidak biasa. Sebuah ruangan remang, hanya diterangi satu sumber cahaya di bagian tengahnya. Di dalam, kulihat wajah-wajah lain sudah lebih dulu menunggu. Raut mereka tampak kusut, bingung, dan menyimpan rasa ingin tahu yang sama besarnya denganku.
Satu hal yang kusadari, tak satu pun di antara mereka memiliki aura kriminal. Mereka tampak seperti warga negara teladan lainnya. Berpakaian rapi, bersih, layaknya orang-orang taat hukum. Aku sendiri cukup populer di kantor. Mereka bilang, aku memiliki postur dan wajah seperti oppa Korea. Namun, nasib rupanya tidak menilai dari paras dan apa yang ia kenakan.
Sejak pertama kali menginjakkan kaki di dalam ruangan ini, tatapanku tertuju pada seorang gadis berkaus merah muda dengan motif polkadot. Ia duduk mematung di sudut, dekat jendela nako yang terkunci rapat. Usianya mungkin hanya terpaut beberapa tahun di bawahku.
Sepertinya aku pernah mengenali wajah gadis itu di suatu tempat.
“Silakan duduk di tempat yang sudah disediakan,” suara bariton menyambut dari ambang pintu. “Sementara semua dokumen diproses, harap menunggu di kursi yang sudah disediakan.”
Pria itu kemudian lenyap di balik pintu merah, meninggalkanku terjebak di antara seorang lelaki paruh baya berambut klimis dan seorang kakek dengan janggut perak yang merimbun di wajahnya. Aroma tembakau menguar tajam, berkelindan dengan bau apek ruangan bawah tanah.
Aku mengedarkan pandangan. Ini bukan kantor. Ini lebih mirip ruang tunggu purgatori. Dinding abu-abu pucat, meja administrasi yang terlalu besar, dan sebuah papan tulis dengan foto-foto di bawah sorot lampu kecil. Judul di atas papan itu membuat darahku berdesir: Daftar Orang Hilang.
“Kenapa kau di bawa ke sini?” Suara serak si kakek memecah senyap.
Aku mengedikkan bahu. “Nggak tahu.”
“Saya bukan tipe orang yang hidup penuh dengan gebrakan,” lelaki paruh baya di sisiku menimpali. Suaranya berat, berwibawa, namun menyimpan letih. Tubuhnya tampak kekar hasil tempaan mesin pusat kebugaran. “Tapi, sekali-kalinya saya dalam seumur hidup menyelamatkan seorang anak kecil dari bahaya, saya langsung ditangkap keesokan harinya.”
“Loh? Kok gitu?” alisku bertaut.
Lelaki itu mendengus, menggeleng pelan. Pertanda kalau dia menyimpan rasa bingung yang sama denganku. Aroma tembakau itu ternyata berasal dari pori-porinya, seolah dia telah merokok seumur hidupnya.
“Wah, senasib!” si kakek menyambar antusias. “Saya cuma melepaskan hewan-hewan yang terperangkap. Sorenya, setelah Ashar, mereka datang menjemput saya.”
Otakku berputar, mencoba merajut benang merah dari potongan-potongan absurd ini.
Apa dosaku? Apa hubunganku dengan penyelamat anak dan pembebas hewan ini?
Mataku kembali mencuri pandang ke gadis berkaus merah muda polkadot. Tatapannya kosong, terpaku pada brankas besi di depannya, seolah brankas itu menyimpan jawaban atas kemalangannya. Kakinya gemetar, jarinya mencengkeram bangku dengan begitu erat. Ia tampak sedang menunggu vonis mati di tempat ini.
“Hei,” sapaku pelan, mencoba memecah ketegangan. “Kamu... yang pakai baju polkadot.”
Tidak ada ada salahnya membuka obrolan dalam situasi yang sedang kami alami, bukan?
Gadis itu tersentak. Wajahnya menoleh, menyiratkan keterkejutan yang rapuh. Ia menyeka sudut matanya dengan cepat.
Apakah aku salah?
“Kita pernah ketemu?” tanyaku ragu. “Wajah kamu kayak nggak asing.”
Belum sempat perempuan itu menjawab, pintu merah terbuka kasar. Seorang pria gemuk masuk dengan langkah berat yang menghantam lantai. Ia menghempaskan tumpukan berkas ke meja. Dentumannya membuat kami serempak terkejut. Tanpa seragam resmi—hanya satu set kemeja dan celana bahan berwarna abu-abu kadet tanpa nama, namun arogansinya memenuhi seisi ruangan.
Lelaki gemuk itu menarik kursi. Ia duduk, menyulut rokok putih, dan menghembuskan asapnya ke arah lampu gantung—satu-satunya penerangan kami yang malang. Kulitnya tampak sepucat kapur di bawah naungan cahaya. Ia menyugar rambut ke belakang, sedangkan tangan satunya lagi meraih berkas yang mungkin menjadi penyebab kami berakhir dalam ruangan ini.
“Murhadi!” serunya. Suaranya memantul di dinding-dinding dingin. Pandangannya beralih menatap kami secara bergantian seperti sedang mencari orang yang dia maksud.
“Saya,” kakek di sebelahku menyahut lirih.
“Tahu kenapa Bapak di sini?”
Murhadi menggeleng pelan.
Si Gemuk kembali menghisap rokoknya, nikmat sekali. Seolah sedang menghisap sisa harapan kami. “Kenapa Bapak melepaskan hewan di dalam kurungan?”
“Kasihan,” jawab Murhadi polos. “Mereka punya hak untuk hidup bebas.”
“Bapak tahu kalau hewan-hewan itu dipelihara oleh orang yang melaporkan perbuatan bapak?”
Aku terhenyak. Simpatiku pada si kakek mendadak surut.
Jadi dia pencuri?
Lalu, aku?
Apa aku pernah mencuri tanpa sadar?
Murhadi menunduk, menatap lantai keramik yang dingin. Di bawah cahaya temaram, aku melihat pertahanannya runtuh. Air mata mengalir di sela keriput pipinya.
“Kenapa bapak melepaskan hewan-hewan itu?” desak Si Gemuk.
“Hewan-hewan dikurung itu ….” suara Murhadi terdengar bergetar, “mengingatkan saya dengan putri semata wayang saya,”
Suasana mendadak hening, hanya asap rokoknya yang tampak menari-nari riang.
“Lanjutkan,” kata Si Gemuk, datar.
Murhadi menarik napas panjang, sebuah tarikan napas yang sarat penyesalan. “Seharusnya dia memilih jalan hidupnya sendiri. Seharusnya dia bahagia menjalani rumah tangga dengan pasangan pilihannya. Tapi kemiskinan membuat saya menjadi ayah yang egois. Saya memaksanya menikahi laki-laki yang tidak dia cintai. Bertahun-tahun saya merasa tersiksa melihat hidupnya tidak bahagia, dan itu akibat dari keputusan egois saya demi melunasi hutang keluarga. Pernikahan itu… adalah penjaranya. Dia terputus dari dunia luar, persis seperti hewan dalam sangkar itu.”
Tubuhku merinding, aku hampir lupa bernapas dibuatnya. Kisah itu terasa dingin, lebih dingin dari udara Bandung yang pernah kurasakan di luar sana. Aku tak bisa membayangkan menjadi kekasih yang ditinggalkan wanita itu. Hubungan tulus yang dipatahkan paksa oleh nasib dan orang ketiga, berakhir konyol hanya karena mementingkan diri sendiri. Seperti hubunganku dan Wilda.
Ah, mengapa aku malah memikirkan hal bodoh?
Wilda adalah luka yang kupikir sudah kering.
Pintu terbuka lagi. Seorang wanita muda masuk membawa secangkir kopi hitam. Asapnya mengepul, membawa aroma pahit yang pekat. Ia meletakkannya di meja, mengganti asbak penuh dengan yang kosong, lalu pergi tanpa suara.
Si Gemuk menyesap kopinya. “Saya tidak peduli alasan sentimentil Bapak,” katanya dingin setelah wanita itu pergi. “Yang Bapak lakukan tetap salah. Pemilik hewan rugi. Bapak dihukum.”
Murhadi tersenyum getir. “Anggap saja harga kecil untuk menebus rasa bersalah saya pada kebebasan putri saya.”
Si Gemuk mengangguk sambil menuliskan sesuatu.
Aku termenung, masih tidak tahu mengapa aku harus berada di sini. Dibandingkan drama hidup Kakek Murhadi, hidupku yang seperempat abad ini terasa dangkal. Mungkin kami merasakan penyesalan yang sama karena pernah salah mengambil keputusan. Aku pernah merasa hancur karena Wilda, mengira dialah pelabuhan terakhirku. Tapi rasa sakit Kakek Murhadi adalah jenis yang berbeda—rasa sakit yang menahun.
“Albert!” Si Gemuk itu kembali berseru.
Lelaki paruh baya di sebelahku menegakkan punggung. Tubuhnya tampak sedikit lebih besar dari yang sebelumnya. “Jangan bilang saya di sini karena menyelamatkan anak kecil itu?”
Si Gemuk tertawa, guncangan tubuhnya membuat kursi berderit. “Syukurlah masih ada orang yang menyadari kesalahannya!”
“Tapi kenapa?” Albert menyela, nada suaranya meninggi. Urat lehernya menegang, wajah dan tubuh kekarnya tampak mengeras seperti batu karang. “Anak kecil itu berhak mendapatkan hidup yang lebih baik!”
“Pelankan suaramu,” potong Si Gemuk santai. “Di sini, logikamu tidak berlaku. Kau membawa anak itu saat orang tuanya lengah. Kau merawatnya bertahun-tahun seolah dia anakmu. Itu penculikan, Pak Albert.”
Bertahun-tahun? Aku menelan ludah.
“Lelaki itu biadab!” bentak Albert. Pertahanannya seketika jebol. “Istrinya dipukuli, dihantam ke dinding! Kalau saya nggak bawa anak itu, dia bakal mati di tangan bapak kandungnya sendiri!”
Si Gemuk memukul meja sambil berseru, “Pelankan suaramu!”
Gadis berkaus merah muda polkadot di ujung sana terlonjak, kemudian kembali terisak pelan. Pembicaraan masalah rumah tangga barusan tampak membuatnya tidak nyaman. Aku mulai menerka-nerka masalah apa yang menimpanya.
“Maaf,” Albert kembali berkata. “Saya nggak tega kalau anak itu harus jadi korban kekerasan lelaki binatang itu. Binatang aja kayaknya nggak begitu ….”
“Di berkas ini tertulis,” Si Gemuk menunjuk kertas dengan ujung rokoknya yang menyala, “Pak Albert dan istri orang itu adalah sepasang kekasih di masa lalu. Benar?”
Tubuh Albert hampir tersentak, namun ia berhasil mengendalikan diri. Wajah Albert yang tadinya berapi-api mendadak padam. Seperti bongkahan es yang mencair perlahan. “Itu dulu, udah lama.”
“Tapi masih cinta?” Si Gemuk menyeringai. Senyum yang ingin sekali kurusak.
Lagi-lagi Albert hampir terlihat terkejut, tapi ia memilih untuk memalingkan muka. “Nggak ada hubungannya.”
“Saya sempat kira itu anak haram Bapak. Tapi tes DNA bilang itu anak sah pasangan tersebut.”
“Saya nggak peduli DNA!” Albert mendesis. “Kalau saya gagal menyelamatkan ibunya dari perjodohan terkutuk orang tuanya, setidaknya... setidaknya saya bisa menyelamatkan anaknya dari neraka yang sama.”
Ruangan hening seketika. Hening yang mencekik.
Pikiranku kembali melayang, membayangkan apakah aku masih bisa mencintai seseorang meski dia sudah menikah dengan laki-laki lain.
Ah, mengapa lagi-lagi pikiran tolol seperti itu terlintas di kepalaku?
Aku mengalihkan perhatian dengan memaksa otakku bekerja cepat, menyusun kepingan-kepingan fakta yang berserakan di meja interogasi ini.
Perjodohan.
Paksaan orang tua.
Mantan kekasih yang mencoba menyelamatkan anak dari wanita yang dicintainya.
Si Gemuk mengambil selembar foto dari berkas. Foto seorang bocah laki-laki. Ia mengangkatnya ke udara, tepat di bawah satu-satunya lampu penerangan di ruangan ini.
“Ini anak yang Bapak bawa waktu itu?”
Aku mengenali foto itu. Itu salah satu wajah di papan Daftar Orang Hilang.
“Loh? Bubu?” Murhadi ternganga. Matanya membulat menatap foto itu, lalu beralih ke Albert, dan kembali ke Si Gemuk.
“Bubu?” Si Gemuk memastikan.
“Itu cucu saya ….” suara Murhadi tercekat. “Itu satu-satunya foto Bubu yang saya punya sebelum anak perempuan saya dilarang berhubungan dengan saya.”
Dunia seakan berhenti berputar.
Albert menoleh perlahan ke arah Murhadi. Tatapan itu. Tatapan yang memuat jutaan pertanyaan, amarah yang tertahan, dan penyesalan yang terlambat. Di hadapannya duduk ayah dari wanita yang pernah dicintainya—orang tua yang memaksakan perjodohan itu, orang tua yang secara tidak langsung menciptakan neraka bagi mereka semua.
“Wah... Wah...” Si Gemuk tertawa, tepuk tangannya yang lambat terdengar seperti ejekan bagi takdir. “Kejutan yang manis sekali dari tim penyidik.”
Tidak ada yang bicara. Keheningan di ruangan ini begitu padat, rasanya membuat dadaku begitu sesak. Takdir sedang memainkan lelucon tergelapnya di ruang bawah tanah ini. Benang merah yang kusut kini terurai perlahan dengan cara yang paling menyakitkan.
“Ya sudah,” Si Gemuk berdiri, mendorong kursinya kasar. “Kalian selesaikan dulu nostalgia reuni keluarga yang mengharukan ini. Saya mau kencing.”
Ia keluar, membanting pintu. Meninggalkan kami; tiga orang asing yang ternyata saling terikat oleh dosa masa lalu, dan aku... penonton yang tersesat dalam panggung tragedi mereka.
***
INI adalah saat yang tepat untuk mendekati perempuan berkaus merah muda polkadot. Aku memutuskan untuk memangkas jarak. Pindah ke sebelah perempuan berkaus merah muda polkadot itu terasa seperti sebuah keputusan insting untuk mencari tempat berlindung.
Atau tempat pelarian.
Dan benar saja. Hal pertama yang menyergap indra penciumanku adalah perubahan atmosfer yang drastis. Jika sebelumnya udara disesaki aroma tembakau yang maskulin dan sepet, radius di sekitar perempuan ini menawarkan oase: aroma stroberi segar yang membaur dengan bedak bayi. Wangi kepolosan yang terasa ganjil di ruangan penuh dosa ini.
Sambil melangkah, kusugar rambut ikalku ke samping—sebuah refleks purba laki-laki untuk terlihat rapi, meski sadar diri belum mandi pagi. Tapi kutebak, pagi yang dia lalui pun tak kalah berantakannya. Jadi, persetan dengan impresi pertama.
“Hai,” sapaku, berusaha terdengar seperti manusia normal di tengah situasi abnormal. “Boleh aku duduk di sini?”
Untuk pertama kalinya, mata kami terkunci. Di balik poni lurus yang membingkai wajahnya, aku menemukan sepasang mata yang teduh, dinaungi bulu mata lentik. Hidungnya runcing, bibirnya tipis melengkung di atas dagu yang terbelah indah. Namun, wajah cantik itu menyimpan mendung; sisa isak tangis yang belum tuntas.
Tatapannya seolah-olah menyimpan tanda tanya besar, sebuah siapa-kau-dan-mengapa-di-sini yang tak mampu ia ucapkan.
“Aku mau memberi mereka ruang,” jelasku pelan, memberi isyarat dagu ke arah dua lelaki paruh baya yang sedang bergulat dengan masa lalu. “Kamu tahu sendiri alasannya ….”
Perempuan itu mengangguk samar.
Aku menghempaskan tubuh di kursi sebelahnya. “Terima kasih. Namaku Shabit.”
Ia tidak menyambut tanganku. Matanya hanya menatap telapak tanganku yang menggantung di udara, seolah itu adalah benda asing yang mengancam. Tatapannya kosong, jenis kekosongan yang membuatmu merasa sedih hanya dengan melihatnya.
Buru-buru kutarik tanganku kembali karena takut membuatnya merasa tidak nyaman.
Apa aku baru saja melakukan tindakan konyol?
“Livi.” Suara itu muncul tiba-tiba dari sebelahku, halus seperti retakan kaca.
Aku menoleh cepat untuk memastikan asal suara itu berasal darinya.
“Namaku Livi.” perempuan itu kembali berkata.
“Kamu datang lebih dulu,” kataku, mencoba membangun jembatan percakapan. “Bisa kasih pencerahan apa yang sebenarnya terjadi di sini?”
Alis Livi naik sebelah, pertanda tidak mengerti maksud pertanyaanku.
“Mereka dibawa ke sini karena berbuat sesuatu. Sedangkan kita?” Sengaja kuberi penekanan pada kata “kita” yang baru saja kuucapkan.
“Giliran kita belum.” Ucapnya datar, seperti gema.
“Kamu berbuat kesalahan?” Aku sangat berhati-hati dalam memilih kata-kataku sekarang.
Livi menatap mataku tanpa jawaban. Tapi sorot matanya menembus hingga ke belakang kepalaku. Hening sejenak, sebelum dia membalas, “Kamu sendiri, gimana?”
Dia menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan. Menarik.
“Seingatku, nggak ada.”
“Wah, kamu malaikat, kah?” Untuk pertama kalinya setelah mengucapkan hal itu, sudut bibirnya berkedut nyaris tersenyum.
Aku membalas senyum tipis itu. “Kamu belum jawab.”
“Kamu benar-benar nggak tahu aku siapa?” Livi lagi-lagi bertanya. Ah, tidak. Lebih tepatnya, dia menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan untuk kedua kalinya.
Ternyata dia boleh juga.
Aku, yang masih membalut luka hati pasca-putus dari Wilda, entah kenapa jadi merasa tertantang. Mungkin ini cara semesta memberiku distraksi untuk berbicara dengan perempuan yang baru.
Bismillah.
Bismillah?
Aku mengedikkan bahu. “Memangnya kita pernah ketemu di mana?”
Livi menggeleng pelan, lalu mengalihkan pandangannya ke depan. “Benar-benar, deh. Tadi kamu bilang kalau kita pernah ketemu. Tapi kamu juga yang lupa kita ketemu di mana. Kamu ini lagi modus atau amnesia?”
Sialan! Boleh juga jurusnya.
“Kasih petunjuk apa, kek,” desakku, nyaris salah tingkah.
Dia kembali menatapku tajam. “Jadi kamu mau tau yang mana?”
Tampaknya dia cukup lihai dalam memilih topik untuk menggoda lawan bicarannya.
Kendali percakapan ini harus kurebut kembali. Alih-alih menjawab pertanyaannya, aku justru bertanya, “Pilihannya apa aja?”
Livi menghela napas. “Kesalahanku, atau di mana kita pernah bertemu.”
“Cuma satu jawaban?”
“Cuma satu jawaban.”
Wah, wah. Pemain lama.
Jika ada yang bilang perempuan sulit dimengerti, aku bisa paham. Tapi jika ada yang bilang perempuan sulit mengutarakan pikiran, aku tidak setuju. Buktinya, aku baru saja menemukan perempuan dengan pola komunikasi semenarik ini. Aku menahan senyum. Di balik situasi mencekam ini, ada sedikit hiburan dari percakapan teka-teki ini.
“Kesalahan apa yang kamu perbuat?”
Livi tampak terkejut aku memilih opsi itu. Mungkin dia mengira aku akan memilih pertanyaan yang satunya lagi.
Tapi aku tidak akan mengikuti permainanmu lebih jauh lagi, perempuan.
“Sejujurnya, aku juga nggak tahu.” jawabnya singkat.
“Nggak tahu apa?”
“Aku nggak tahu apa yang kulakukan itu salah atau benar. Mungkin kamu juga pernah merasa berada di area abu-abu itu.”
“Aku tahu bedanya hitam dan putih.”
Livi membenarkan posisi duduknya, kemudian berkata, “Coba kamu pikir baik-baik. Kamu pernah menyakiti perasaan orang lain?”
Aku tertawa getir. “Justru aku yang disakiti. Aku korban diselingkuhi dan baru putus beberapa bulan lalu.”
“Kamu… putus dengan Wilda?”
Kali ini giliran jantungku yang berhenti berdetak sesaat. Darahku berdesir.
Mengapa dia tahu tentang Wilda?
Belum sempat aku menuntut jawaban, pintu kembali terbuka. Si Gemuk masuk kembali, membawa aura otoriter yang memuakkan. Dan di tangannya—benda pipih yang sangat kukenali—ponselku.
“Sudah selesai nostalgianya?” suaranya menggema. “Bisa kita lanjutkan?”
Keheningan kembali menyekap ruangan. Livi mematung, tubuhnya menegang hebat. Ada ketakutan yang terpancar dari tubuhnya yang membatu.
Apa yang terjadi padanya?
Apa aku salah bicara?
Si Gemuk duduk, meletakkan ponselku di meja, menyesap kopi, dan kembali membakar rokok putih sebelum memanggil namaku. Rutinitas yang mulai kubenci.
“Aku nggak tahu kenapa dibawa ke sini,” kujawab tegas. Maksudku, aku benar-benar tidak tahu alasan mengapa aku duduk bersama mereka sekarang.
“Shabit, kau benar-benar tidak tahu apa-apa, ya?” tanyanya, diiringi tawa meremehkan.
Aku sedikit menyipitkan mata ketika menatapnya, mengisyaratkan kalau aku memang tidak tahu apa-apa.
“Ini punyamu?” Si Gemuk bertanya sambil mengangkat ponselku setinggi kepalanya.
“Iya. Terus kenapa?”
“Kau sudah baca pesan-pesan yang masuk pagi ini?”
Aku menggeleng. Ponsel itu sudah disita sejak aku diculik dari tempat tidurku pagi ini. Memangnya ada apa? Paling hanya grup kantor yang berisik membahas deadline.
“Bukalah,” perintahnya, seraya memberi gestur supaya aku berjalan mendekat. “Dua menit.”
Aku mengikuti arahannya, kemudian beranjak untuk meraih ponsel itu. Layar menyala. Ibu jariku menggeser kunci, dan rentetan notifikasi menyerbu masuk. Mataku menyapu baris demi baris teks di layar. Awalnya, kata-kata itu tampak tidak masuk akal. Seperti deretan huruf acak yang tidak membentuk makna.
Turut berduka cita...
Wilda...
Pemakaman jenazah...
Maafkan kami baru memberi kabar...
Pandanganku memburam.
Lantai yang kupijak serasa melenyap.
Gravitasi di sekitarku kehilangan fungsinya.
Ini lelucon, kan?
Sebuah pesan dari ibu Wilda: “Shabit, Wilda udah nggak ada. Mohon dimaafkan kalau Wilda punya salah, ya.”
Duniaku runtuh. Napasku memburu, paru-paruku lupa caranya bekerja. Wajahku panas, mataku perih—entah oleh asap rokok atau air mata yang mendesak keluar. Kucoba menahan diri untuk tidak melakukan tindakan bodoh, tapi ternyata aku tidak sekuat Murhadi atau sesabar Albert. Aku ingin berteriak dan menjerit sekeras-kerasnya sekarang, tetapi aku tidak tahu untuk apa.
Aku dan Wilda sudah berpisah.
Tapi mengapa aku merasa sakit hati jika akhirnya malah jadi seperti ini?
Aku menatap Si Gemuk. Wajah bulatnya yang tenang terlihat memuakkan. Aku bener-benar ingin memukul rahang bagian bawahnya sekarang.
“Lelucon apa ini, bangsat!?” Teriakan itu keluar begitu kencang seolah merobek tenggorokanku. Akal sehatku seperti baru saja dicabut dari tempatnya.
“Jaga cara bicaramu, bocah!”
“Ini nggak lucu, bangsat! Turut berduka cita atas kematian Wilda apanya, hah!? Dia nggak mungkin udah nggak ada, bajingan!”
Aku hendak melompati meja, menerjangnya, menghancurkan wajah tenangnya. Namun, tiga petugas yang membawaku tadi pagi bergerak lebih cepat masuk ke dalam ruangan, kemudian menerjang dan tubuhku dihantam keras ke lantai. Mereka menindihku dan membuat perlawananku sia-sia. Aku meronta, namun jumlah mereka lebih banyak dan salah satu dari mereka menekankan lututnya ke bagian tulang selangkaku.
Aku benar-benar tak berdaya.
Napasku semakin sesak. Aku meraung. Bukan menangis, tapi menjerit. Menumpahkan segala ketidakpahaman, rasa bersalah, dan kehilangan yang datang sekaligus. Di belakangku, suara tangis Livi pecah, menyatu dengan teriakanku. Albert dan Murhadi hanya bisa memandangi kondisiku sekarang tanpa bisa berbuat apa-apa.
Si Gemuk bangkit, mengambil kembali ponselku, lalu meletakkan sebotol air mineral di dekat kepalaku. “Kendalikan dirimu, Shabit. Kami hanya menjalankan tugas, jangan jadikan ini masalah personal.”
Setelah aku dibuat berjanji tidak berbuat macam-macam, cengkeraman mereka melonggar. Aku duduk terengah-engah, menyiram wajah dengan air mineral, membiarkannya bercampur dengan air mata dan keringat dingin. Aku tidak boleh terlihat lemah di depan Livi.
Tidak di depan bajingan-bajingan ini.
“Kalau kau tenang, kami anggap kejadian barusan tidak pernah ada,” kata Si Gemuk, kembali duduk santai.
Aku menghela napas panjang, lalu mengangguk pelan.
“Bagus. Kita akan ulang dari awal, duduklah.”
Aku terus menatapnya tanpa memberikan tanggapan sambil kembali duduk ke tempatku. Di sebelahku, isak tangis Livi semakin menjadi.
“Tahu kenapa kau di sini?”
Aku menggeleng lemah. Tenagaku habis.
“Perempuan bernama Wilda adalah mantan kekasihmu?”
Aku bergeming atas pertanyaan retorisnya. Bisa kupastikan ia mengetahui lebih banyak hal daripada hal itu. Aku justru menjawab, “Langsung ke intinya aja.”
Si Gemuk tertawa. “Saya suka sifat blak-blakanmu!”
Sementara ia kembali membuka berkas, tatapanku beralih ke arah Albert dan Murhadi. Mereka tampak jauh lebih tenang. Atau itu hanyalah rasa takut yang tersembunyi di balik wajah pasrah karena tidak bisa berbuat apa-apa terhadap masa lalunya.
Entahlah, aku tidak peduli dengan urusan mereka.
Aku punya masalahku sendiri.
“Beberapa bulan setelah kalian berpisah, Wilda mengalami depresi berat,” Si Gemuk memberitahu. “Orang-orang terdekatnya memberi pengertian, tapi Wilda kehilangan akal sehat dan mengakhiri hidupnya tadi malam. Kami tidak akan bahas cara dia melakukannya. Yang kami mau tahu adalah, apa yang membuat kau tega sampai dia senekat itu.”
Dia bilang apa?
Si Gemuk itu menuduhku tega hingga Wilda berbuat nekat?
Jangan bercanda!
“Tim penyidik yang kau punya nggak becus!” desisku, rahangku mengeras menahan amarah yang kembali memantik.
Si Gemuk tersenyum tipis. “Oh ya? Bantu saya memahaminya, biar nanti orang-orang yang kau bilang tidak becus itu saya singkirkan.”
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menata kepingan cerita di kepalaku. Di sebelahku, Livi mati-matian menahan tangisnya, ia tampak begitu ketakutan karena gilirannya semakin dekat.
“Aku dan Wilda belum setahun pacaran,” aku memulai. “Tapi aku merasa nyaman. Dia bisa mengimbangiku dalam banyak hal walau umurnya beberapa tahun lebih muda. Kami punya pekerjaan masing-masing dan selalu menyempatkan berkencan setelah pulang kerja. Terkadang, pertemuan itu berlangsung sampai larut malam dan Wilda memintaku menginap di tempatnya.”
“Apakah tempat itu rumah? Atau apa?” Si Gemuk menyela.
“Kos-kosan.”
“Dia tinggal sendiri?”
Aku mengangguk. “Beberapa rekan kerjanya ada di sana, tapi kamar mereka terpisah.”
Setelah menuliskan sesuatu di atas berkas, ia berkata, “Oke, lanjutkan.”
“Suatu waktu, setelah Wilda berangkat kerja, aku terbangun dalam kondisi kamar berantakan. Aku masih punya cukup waktu untuk membereskannya sebelum ke kantor, dan saat itu aku menemukan sekotak kondom yang segel plastiknya sudah terbuka.”
Tangis Livi memecah. Aku sempat mengerling ke arahnya, namun ia segera menangkup wajahnya dengan kedua tangan
“Kau temukan di mana?”
“Dalam laci lemari pakaiannya.”
“Lalu kau marah dan memutuskannya?” Si Gemuk mencecar sambil mengembuskan asap rokok.
Aku menggeleng. “Isinya masih utuh, tiga kemasan. Aku bahkan memastikan ke minimarket, beli merek baru yang sama untuk menghitung isinya. Jumlahnya sesuai. Jadi, aku diam dan mengembalikan kotak kondom itu ke tempat semula. Aku tidak mau menuduh tanpa bukti. Aku tidak mau memicu pertengkaran yang belum ada masalahnya.”
“Kau memilih pura-pura bodoh?”
“Itu salah satu cara bertahan.”
Si Gemuk mencatat. “Lalu?”
“Berbulan-bulan aku pendam, dan selama itu juga aku terus berharap jika Wilda tidak seperti apa yang pikiran terburukku bisa bayangkan. Sampai akhirnya aku mendapat tugas dari kantor untuk ke Jogja selama empat hari ….”
Aku bisa merasakan tatapan Livi sejak penjelasanku dimulai. Seharusnya, aku akan menatap balik ke arahnya dalam situasi normal. Tetapi aku sedang membicarakan Wilda—dan secara spesifik; mengenai kejadian yang membuatku membencinya, emosiku terasa meluap-luap hingga aku mengacuhkan apa pun di sekitarku.
“Saat aku kembali ke Bandung, kami menjalani hubungan seperti biasa. Kami tetap berkencan setelah pulang kerja hingga larut malam dan Wilda kembali memintaku menginap di tempatnya. Aku masih di depan laptop ketika dia tertidur pulas. Saat itu, entah apa yang berbisik sehingga membuatku tergerak untuk melihat kembali ke dalam laci lemarinya. Aku mengikuti bisikan itu, mencari kotak kondom secara diam-diam. Dan malam itu, aku menemukan isi dalam kemasannya berkurang satu.”
Aku berhenti sejenak. Mengucapkan itu dengan lantang ternyata melegakan sekaligus menyakitkan. Si Gemuk mengangguk kecil, sedangkan Livi kembali menangis di sampingku. Meskipun reaksi mereka berbeda, tapi aku sedikit merasa lega setelah menceritakannya. Setidaknya, mereka telah mendengar semua kebenarannya.
“Jadi, aku nggak tahu kenapa aku di sini…” sambungku. “Kalau mau nyari orang yang bersalah, seharusnya Wilda yang dibawa ke sini. Bukan aku.”
Si Gemuk tersenyum penuh arti. “Mungkin perempuan di sebelahmu bisa menjelaskan sisanya.”
Livi meledak dalam tangis histeris. “Maaf! Ini semua salahku!”
Aku menoleh, mencoba mencerna apa yang baru saja Livi ucapkan keras-keras di tengah situasi yang semakin membuatku bingung.
“Livi tinggal satu kos dengan Wilda,” jelas Si Gemuk.
Kepingan puzzle itu mulai terpasang. Pantas wajahnya tak asing. Jika kuingat-ingat lagi, aku memang beberapa kali melihat Livi selintas di kosan Wilda. Ingatanku samar karena kami tak pernah bicara. Wilda juga tidak membahas Livi denganku. Tapi, mengetahui hal itu saja belum cukup menjelaskan situasiku sekarang. Dan aku masih tidak mengerti hubungan Livi dengan semua persoalan ini.
“Biar dia yang bicara,” potongku. “Aku yakin Bapak tahu semua dan menikmati permainan ini. Tapi aku mau dengar langsung dari mulutnya.”
Si Gemuk tersenyum. Keheningan kembali menguasai seisi ruangan setelah ia kembali menyulut sebatang rokok, seolah-olah ingin memberi Livi kesempatan menguasai dirinya kembali dan mempersiapkan diri untuk menghadapi rentetan pertanyaan yang menantinya.
Khususnya pertanyaan dariku.
“Aku nggak tahu harus mulai dari mana ….” Livi memulai, suaranya terdengar sedikit bergetar. Ia mengangkat wajahnya yang basah. Matanya bengkak. Setelah tatapan kami bertemu, ia melanjutkan, “Dulu, jauh sebelum kalian berdua bertemu, aku dan Wilda ngekos satu kamar.”
Mataku tak berkedip ketika menatap mata Livi
Loh? Aku baru tahu hal itu.
“Saat itu penghasilanku nggak seberapa, dan menyewa satu kamar berdua lumayan bisa menghemat pengeluaran bulanan. Hubunganku dengan Wilda cukup dekat. Kami memiliki kesibukan masing-masing di pagi hari, dan kami membicarakan banyak hal pada malam hari menjelang tidur. Tapi semuanya berubah setelah aku pindah tempat kerja dan bertemu klien baru yang baik ….”
“Baik?” aku menyela, sengaja memberi tekanan pada kata “baik” barusan.
Livi menghela napas panjang. “Dari awal ketemu, klien baruku itu bercerita kalau dia nggak bahagia dengan hubungan perjodohannya. Aku menanggapi dengan wajar, tapi dia malah senang ngobrol denganku. Lama-lama dia tertarik padaku. Karena setiap kali datang ke tempat kerja, dia selalu minta aku yang mengurusnya. Sesekali dia mengajakku ke luar kota untuk menemaninya dinas, dan uang tip yang kudapat dari situ lumayan banyak karena dia cukup royal. Setelah beberapa bulan menjalani rutinitas seperti itu, dia mengajak pacaran. Dan entah kenapa aku nggak bisa nolak walau tahu statusnya sudah menikah dan memiliki anak.”
Sayup-sayup terdengar gumaman lirih dari belakangku, “Dasar perempuan tolol.” Entah Albert atau Murhadi, tapi aku mengamini hal itu di dalam hati.
“Kamu kerja apa?” tanyaku sinis, barangkali sekalian mewakili pengumpatku di sana.
“Terapis pernikahan dan keluarga.”
Dari ceritanya, aku sempat mengira kalau dia seorang tukang pijit.
Ironi macam apa ini? Terapis yang merusak rumah tangga orang?
“Lalu, kamu oke dengan hubungan seperti itu?”
“Aku pernah beberapa kali jalan dengan laki-laki lain dan ketahuan, dia langsung marah besar sampai mendorong dan menekanku ke dinding.”
Ternyata masih ada orang yang lebih tolol dari Livi.
Mengapa dia marah? Bukankah dia yang sudah punya pasangan sah?
“Karena bingung dengan situasi saat itu, aku ceritakan semuanya ke Wilda.” Livi melanjutkan di sela isaknya. “Wilda jelas memarahiku, dan dia bilang sebenarnya itu hal mudah asal aku mau memutus hubungan dengannya.”
Itu memang terdengar seperti Wilda yang kukenal.
“Tetapi kamu tidak mau?” Si Gemuk menimpali.
“Aku udah pernah coba, tapi laki-laki itu selalu punya cara untuk memaksaku melanjutkan hubungan. Malah kami semakin intens dan semakin berani bertemu di tempat ramai setelah jam kerja. Puncaknya, Wilda marah besar dan memberi ultimatum nggak mau berurusan denganku lagi setelah tahu kalau laki-laki itu sering kubawa ke kosan diam-diam ….”
Meski pengakuan Livi membuatku jijik, aku masih belum mengerti mengapa ia harus bertanggung jawab atas semua kejadian ini. Aku bahkan merasa kasihan atas jalan hidup yang dipilihnya. Karena selama beberapa menit ke depan, Livi hanya menceritakan mengenai hal-hal tolol lain yang ia lakukan.
Ia bahkan lebih memilih pisah kamar dengan Wilda hanya karena lelaki itu semakin sering datang ke kosan. Lelaki itu membiayai kamar Livi yang baru supaya mereka lebih bebas bertemu, sementara hubungannya dengan Wilda justru semakin renggang dan sudah tak lagi seperti yang dulu.
Selanjutnya, Livi terus meracau tentang betapa bodohnya dia menjadi seorang perempuan simpanan, berbohong sana-sini demi mencuri waktu berduaan bersama suami orang. Kesemuanya itu hanyalah cerita klise pelakor yang membosankan. Hingga satu kalimatnya meluncur membekukan darahku dan menarik perhatianku secara penuh:
“Kotak kondom itu punyaku ….”
Hening seketika mengambil alih seisi ruangan.
Hah? Apa aku tidak salah mendengar?
“Kamu bercanda, kan?” Aku memastikan.
Livi menggeleng.
“Kenapa ada di laci lemari Wilda?” aku bertanya lagi. Maksudku, sejauh ini Livi memang terdengar seperti perempuan tolol rendahan yang tak punya martabat. Tapi, orang tolol macam apa yang menyimpan barang pribadi miliknya—terlebih lagi itu kondom—di tempat privasi orang lain?
“Belum sempat kupakai, kami terlanjur pisah kamar dan aku lupa mengambilnya.”
Aku menatapnya tak berkedip saat berkata, “Kalau kamu berusaha melindungi Wilda, lebih baik hentikan. Dia udah nggak ada ….”
“Bener kok, aku ….”
“Siapa yang percaya omong kosong itu!” bentakku. Aku bangkit, pindah kursi menjauh darinya. Rasa jijik terasa merambat naik memenuhi kerongkonganku. Aku muak mendengar Livi berbicara. Aku muak mendengar suaranya.
Aku butuh berpikir.
Aku butuh waktu untuk sendiri.
Ini semua tidak masuk akal.
Kalau Livi berkata jujur, aku benar-benar menyesali perbuatanku. Maksudku, aku memutuskan Wilda atas dasar asumsi yang keliru. Dan keputusan itu, rantai kejadian itu, berujung pada kematiannya secara mendadak. Yang terburuk, hal itu terjadi atas kesalahan yang tidak ia lakukan.
Itu sama saja dengan aku yang membunuhnya.
Tidak.
Tidak mungkin.
Livi pasti berbohong untuk menutupi jejak perselingkuhan Wilda. Pasti begitu.
Aku meyakini apa yang aku lihat dengan mata dan kepalaku. Tapi, apakah semuanya akan jadi berbeda jika saat itu aku langsung mengkonfrontasi dan membahas kondom itu dengan Wilda?
Berengsek! Bagaimana aku bisa percaya omong kosong perempuan murahan seperti Livi?
“Klien barumu...” suara Si Gemuk membelah kekalutan pikiranku. “Suami orang yang berselingkuh denganmu itu bernama Denis?”
Livi mengangguk pelan sambil menyeka air matanya.
“Denis Pahlevi?” Albert—yang sejak tadi diam—tiba-tiba bersuara. “Denis Pahlevi pemilik hotel di jalan BKR?”
Livi menatap Albert dari kejauhan, lalu mengangguk lagi.
“Ooh...” Suara Albert terdengar panjang, mengerikan. “Jadi kau pelacur yang selama ini menghancurkan hidup Devina?”
Devina?
Dari kejauhan, kedua tangan keriput Murhadi tampak mati-matian menahan tubuh Albert yang hendak menerjang Livi.
Tapi, mengapa Murhadi menangis?
“Gara-gara kau!” teriak Albert. “Gara-gara tahu suaminya punya selingkuhan, Devina disiksa! Dipukuli! Dasar perempuan sampah!”
Devina? Kekasih Albert di masa Lalu bernama Devina?
Berarti anak perempuan Murhadi bernama….
“Devina pernah cerita soal perselingkuhan suaminya,” suara Murhadi gemetar, rapuh sekali. “Setelah itu dia dipaksa putus kontak dengan saya....”
Setelah mengatakan hal itu, cengkraman renta Murhadi terlepas. Seketika tubuh Albert melesat cepat ke arah Livi. Tatapannya terlihat bengis. Aku saja ketakutan, wajar jika Livi menjerit histeris sekarang. Namun, seperti yang terjadi padaku sebelumnya, tiga—ah, tidak, kali ini enam orang penjemputku bergegas masuk ke dalam ruangan dan lebih dulu menjatuhkan Albert ke lantai.
Bahkan tubuh kekar Albert tampak tidak berdaya menghadapi kekuatan enam orang dengan gerakan terlatih, langsung menyerang titik-titik vital hingga membuatnya tersungkur lemas bagai boneka jerami.
Si Gemuk tertawa lepas di hadapanku, suaranya terdengar jauh lebih sinis dari kegembiraan—tawa kepuasan yang dingin. Ia menatap kami bergantian, satu per satu, seolah kami adalah spesimen di bawah mikroskop, terperangkap dalam jaring nasib yang ia bentangkan.
“Kau benar-benar menikmati permainan ini, hah?” suaraku parau, nyaris tak terdengar. “Apa kehancuran hidup kami sebuah lelucon?”
“Kalian dikumpulkan di sini bukan tanpa alasan,” ucapnya, suaranya kini tenang, namun memuat bobot yang lebih berat dari raungan apa pun. Ia melipat tangannya, sikapnya seperti seorang filsuf yang baru saja membuktikan sebuah tesis. “Kami sudah memantau kekacauan benang kusut yang kalian buat selama bertahun-tahun. Perselingkuhan, tekanan batin, kekerasan dalam rumah tangga... biasanya kami membiarkan hal itu membusuk karena ulah mereka sendiri.”
Aku memberanikan diri, menatap mata tajamnya yang berkilat. “Tapi kenapa baru sekarang? Kenapa tidak saat Murhadi melakukannya? Kenapa tidak saat Albert melakukannya? Kenapa tidak saat Livi membawa laki-laki itu ke kosannya?”
Hening menyergap. Si Gemuk tidak menjawab dengan segera. Ia membiarkan pertanyaan itu menggantung, menenggelamkan kami dalam realitas baru yang dipenuhi bayangan. Ia mematikan puntung rokoknya di asbak dengan gerakan memutar yang lambat, seolah menikmati momen kemenangan. Seketika, raut wajahnya berubah menjadi dingin dan datar.
“Karena kali ini,” katanya, nadanya terdengar begitu tajam, “Ada korban jiwa.”
Oksigen di sekitarku seakan menghilang, aku kesulitan bernapas.
Korban jiwa.
Wilda.
“Wilda,” lanjut Si Gemuk, menyebut nama itu dengan penekanan yang menyakitkan. “Dia tidak ada hubungannya dengan utang keluarga Murhadi. Dia tidak ada hubungannya dengan obsesi cinta masa lalu Albert. Dia bahkan tidak bersalah dalam asumsi kotormu, Shabit.”
Si Gemuk berdiri, bayangannya memanjang menutupi tubuhku yang gemetar.
“Wilda adalah korban tidak langsung dari rantai keputusan egois yang kalian buat. Dia mati karena Livi menyimpan 'bom waktu' di dalam lacinya. Dia mati karena kau, Shabit, terlalu pengecut untuk bertanya dan lebih memilih menjadi hakim jalanan. Rantai egoisme kalian telah memakan tumbal seorang wanita yang tidak berdosa.”
Kata-kata itu menggantung di udara, berat dan tak terelakkan. Aku ingin membantah, tetapi Si Gemuk berkata benar. Ruangan mendadak terasa sunyi, meski teriakan-teriakan emosi masih beriak di udara seperti gelombang yang tak ingin surut. Tubuhku terasa memuai, seperti ditarik paksa dari inti realitas.
Wilda tidak mengkhianatiku. Wilda adalah korban dari asumsi yang kuciptakan, dari ketakutanku sendiri terhadap kesempurnaan. Dan benang takdir rapuh itu hanya berbentuk sekotak kondom yang ternyata milik orang lain.
Milik Livi.
Saat Livi merangkai nama Denis dalam isak tangisnya, dan Albert terperanjat menyebut nama itu sebagai suami dari Devina, mantan kekasihnya yang tak lain adalah putri dari Kakek Murhadi—semuanya terasa seperti jarum jam yang berputar terbalik. Sebuah pola yang mustahil kini terajut sempurna di depan mata. Tragedi kami bukanlah sebuah kebetulan; ini adalah konsekuensi berganda dari serangkaian pilihan egois dan pengabaian.
Aku tidak lagi memandang Livi sebagai pelacur seperti tuduhan Albert sebelumnya. Aku melihat Livi sebagai batu domino pertama yang jatuh, menjatuhkan Devina ke dalam siksaan, yang membuat Albert ‘menculik’ anaknya, yang menciptakan penyesalan bagi Murhadi, dan yang, ironisnya, menyediakan alat bukti palsu untuk menghancurkan kehidupanku bersama Wilda.
Kata-kata Si Gendut mendarat di dadaku bagai palu godam, bukan sebagai pengumuman, melainkan sebagai vonis. Keadilan yang mereka cari tidak datang dari kebaikan, melainkan dari sebuah tumbal.
Wilda adalah katalis yang harus dikorbankan agar benang kusut kami akhirnya dapat disingkap. Wilda adalah harga mahal yang harus dibayar agar kami semua—sang penyebar asumsi, sang penculik yang penyayang, sang ayah yang menyesal, dan sang simpanan yang bersalah—dapat melihat siapa diri kami yang sesungguhnya.
Kebenaran, pada akhirnya, lebih brutal daripada fiksi yang tercipta di dalam kepalaku.
***
BUKAN terali besi yang merenggut kemerdekaan kami selama berada dalam ruangan bawah tanah, melainkan sekat tak kasat mata bernama kesadaran. Ketika kami berempat dilepaskan setelah berhari-hari disekap dalam ketidakpastian, rasanya seperti dikembalikan ke titik nol. Sebuah factory reset ke setelan awal. Aku melangkah keluar menuju dunia yang terang benderang, namun bising kehidupan di luar sana terasa absurd, seolah aku adalah alien yang baru mendarat di planet asing.
Aku pulang, tetapi entitas yang melangkah masuk ke rumah bukanlah Shabit yang sama. Shabit yang lama adalah serangkaian kurva dan algoritma kaku yang mendewakan jadwal, takut pada presensi kantor, dan meyakini hidup adalah rumus matematika yang pasti. Shabit yang baru? Ia hanyalah onggokan daging berisi penyesalan.
Pelukan Ibu menyambutku. Air matanya tumpah, namun frekuensinya berbeda dari histeria pagi yang terakhir itu. Kali ini, ada resonansi kelegaan yang sunyi. Ibu tak bertanya apa-apa—mungkin insting keibuannya tahu ada hal-hal yang tak sanggup ditampung kata-kata. Aku pun tak mungkin bercerita bahwa aku baru saja lulus dari pengadilan moral rahasia atas kejahatan terbesarku: asumsi. Ibu hanya berucap lirih bahwa pakaian yang dikenakannya hari Sabtu itu telah dibuang. Segala hal yang terjadi di hari itu membuatnya trauma.
Ponselku menyala, tetapi notifikasi kantor tak lagi penting. Ketakutan terbesarku kini bukan lagi hukuman dari atasan, melainkan hukuman dari kebenaran yang harus kuhadapi seumur hidup. Aku telah menuduh Wilda atas sebuah simtom, padahal penyakitnya jauh lebih kompleks dan menjangkiti jiwa-jiwa orang lain di sekitarnya.
Gara-gara perkara isi dalam kemasan kondom yang berkurang satu, sekarang benda itu menjadi sebuah artefak kecil yang kupuja sebagai bukti otentik sebuah pengkhianatan. Padahal ia hanyalah sepotong teka-teki yang dipersembahkan untuk orang lain—Livi, Denis, Albert, Devina, Kakek Murhadi. Sebuah kesalahan perhitungan paling fatal yang pernah kulakukan, di mana aku memilih untuk menutup pintu logika, alih-alih membuka jendela hati.
Hari ini, aku melakukan sebuah ritual profan: kembali ke kedai kopi dekat kantor untuk melunasi janji. Aroma espresso yang pekat menguar, rasanya melegakan sekaligus serupa dengan memori pahit yang tak terhindarkan.
Rekan kerja satu ruanganku muncul, wajahnya tampak mengambang di antara panik dan lega. Ia menanyakan kabarku dengan nada polos yang ganjil, seakan aku baru saja pulih dari sakit flu dan demam biasa. Aku tersenyum kepadanya, dan dadaku kembali terasa lapang saat ia memberi sebuah pelukan hangat.
“Nih, kopi susu gula aren kesukaanmu,” ujarku seraya mendorong gelas kaca berembun itu ke hadapannya. Aku tak lagi peduli dengan hutang kecil itu. Hutang yang sesungguhnya adalah pada Wilda, hutang atas nyawa yang kubunuh.
“Putri, kita jangan bahas Wilda lagi, ya,” potongku halus sebelum ia sempat mencecarku dengan pertanyaan.
Putri mengangguk. “Aku cuma mau ngucapin turut berduka cita.”
“Terima kasih.’
Putri mencondongkan tubuhnya mendekatiku, kemudian berbisik, “Pacarku nggak ada kabar seharian. Menurut kamu, di sana dia selingkuh, nggak?”
Aku tertawa. “Kamu tahu sendiri kerjaannya gimana, dia pasti jarang buka hape.”
“Tapi aku sebel! Dia tuh selalu nggak ada waktu buat aku! Malam-malam video call malah ketiduran. Kapan mau quality time-nya!?”
“Tahan, ya,” aku cengengesan. “Kalian kan sebentar lagi mau menikah.”
“Tapi gimana kalau dia bohong? Gimana kalau di sana dia selingkuh? Kata orang, cobaan yang mau nikah pasti ada aja godaan dari lawan jenisnya.”
Aku menatap mata Putri, melihat pantulan ketakutan yang dulu juga menghuniku.
“Putri,” suaraku meluncur rendah, seperti merapal mantra. “Yang paling berbahaya itu bukan kebohongannya. Tapi asumsi yang kita ciptakan sendiri.”
Putri terdiam, menatapku lekat-lekat.
“Kalau memang dia berbohong, kamu punya pilihan untuk pergi sebelum terlambat. Tapi kalau itu hanya karena pikiran kalutmu aja, lebih baik hentikan. Aku pernah mengambil keputusan fatal yang didasari kecemasanku sendiri sebelum tahu kebenarannya. Dan efek dominonya, Putri... menghancurkan semesta orang lain.”
Aku menyesap kopi. Pahit. Pekat. Namun aku menikmatinya. Putri masih menatapku, seolah sedang memindai perubahan dalam diriku.
“Habis sembuh dari sakit flu, kamu jadi mendadak makin bijak, ya,” Putri tersenyum. Dan ia memainkan ujung rambutnya ketika mengatakan hal itu.
“Kopinya hari ini tumben pahit, tapi enak!” aku membanting topik pembicaraan.
Putri mencubit lenganku. “Jangan mengalihkan!”
Aku tertawa, kemudian menyesap kopi lagi. Rasanya memang pahit. Terlalu pahit, bahkan. Tapi setelah semua yang terjadi, aku menyadari bahwa kepahitan itu adalah harga sebuah kebebasan.
Kebebasan dari ilusi bahwa aku selalu benar.
Kebebasan untuk menerima bahwa aku adalah pembunuh, bukan korban.
Dan sebuah kebenaran itu, meski menghancurkan, adalah satu-satunya hal yang tersisa untuk membimbingku menjalani hidup yang baru.
“Awas, ya,” Putri mengacungkan telunjuknya, separuh bercanda, separuh mengancam. “Kalau nanti aku jadi nikah dan ternyata diselingkuhi, kamu yang tanggung jawab!”
Aku kembali tertawa, kemudian meletakkan cangkir kopiku kembali.
Babak ini mungkin telah usai, tetapi hukuman abadi baru saja dimulai.
***