Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Ironi Kotak Amal Sekolah
1
Suka
11
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Beginilah ceritanya, dari mata seorang guru madrasah yang biasa-biasa saja, tapi katanya, sedikit bijaksana. Saya mengajar di sini, dari anak-anak yang baru belajar Alif Ba Ta sampai yang sudah bersiap kuliah. Selain mengajar, saya juga dipercaya membimbing Rohis. Tugasnya ya begitu, menemani anak-anak salat berjamaah, berbagi cerita ringan tentang kebaikan, dan memastikan pintu sekolah terkunci rapat setelah semua pulang. Nah, ada satu lagi tugas penting saya: operator madrasah. Urusan administrasi ini tidak ada habisnya. Mulai dari mengetik surat-surat, mengurus data siswa, sampai laporan keuangan sederhana. Makanya, seringkali saya pulang paling belakangan, setelah semua guru dan murid sudah meninggalkan sekolah.

Di sekolah kami ini, ada satu benda yang selalu menarik perhatian saya: kotak amal di dekat musala. Setiap habis salat Dhuha, anak-anak dengan wajah polos memasukkan uang saku mereka. Kadang recehan, kadang lembaran kecil. Kalau ditotal seminggu, lumayan juga isinya. Bisa bikin orang tergiur.

Tapi belakangan ini, kotak amal itu jadi sumber cerita kurang enak. Uangnya sering berkurang, bikin suasana sekolah jadi agak tegang. Terakadang karena saya pulang terkhir, saya merasa sedikit tidak nyaman. Meski tidak ada yang mengatakannya, saya merasa sesekali ada tuduhan. Beruntungnya, Pak Latif selalu membela dan menengkan saya. Katanya, semua orang tahu betapa sibuknya saya dengan urusan administrasi. Pulang selalu larut, kadang sampai malam. Bahkan, kalau sedang banyak pekerjaan, kepala sekolah atau guru-guru seringkali memesankan makan malam untuk saya. Rokok beberapa bungkus juga tak jarang ikut terselip sebagai ucapan terima kasih. Padahal, jujur saja, saya tidak merokok. Biasanya, rokok-rokok itu saya berikan semua kepada Pak Latif, penjaga sekolah yang setia menunggu sampai saya selesai bekerja. Beliau selalu senang menerimanya.

Sebagai orang yang dituakan dan sering berada di sekolah sampai malam, saya merasa terpanggil untuk membantu mencari tahu siapa pelakunya. “Kita harus cari tahu siapa yang berani melakukan ini,” kata saya di ruang guru, berusaha menenangkan suasana yang mulai ramai. Ibu dan Bapak guru mengangguk setuju. Ada yang nyeletuk nama beberapa anak yang sering terlihat di dekat kantor saat jam istirahat. “Mungkin anak-anak itu, Pak,” celetuk Bu Wafa, guru Matematika yang selalu teliti. Saya mengangguk pelan, sambil membayangkan wajah-wajah polos murid-murid. “Kita harus adil, tapi juga tegas,” tambah saya.

Hari itu, suasana di sekolah terasa lebih berat dari biasanya. Kotak amal kembali kosong. Bisik-bisik curiga mulai terdengar di mana-mana. Saat saya sedang ngobrol santai di koridor dengan Bu Elsa, guru Bahasa Inggris yang selalu modis, tiba-tiba dia menatap saya dengan tatapan menyelidik. “Pak, kok saya sering lihat Bapak pegang-pegang kantong celana ya, Tebel banget tuh isinya?” tanyanya sambil tersenyum jahil. Saya tertawa santai, menepuk pundaknya. “Ah, Bu, ini kebiasaan saja. Lagi pula, saya kan lagi nabung buat mengahalakan dia,” jawab saya sambil tertawa kecil. Bu Elsa ikut tertawa, tapi saya bisa merasakan ada sedikit keraguan di matanya.

Keesokan harinya, heboh lagi. Saat ada pemeriksaan tas mendadak, seorang anak kelas dua MA, namanya Hendri, kedapatan membawa uang ratusan ribu di tasnya. “Bukan saya, Pak! Sungguh, saya tidak tahu uang ini dari mana!” teriak Hendri, wajahnya pucat seperti kertas. Tapi ya namanya juga sudah tertangkap, sekolah tidak mau ambil risiko. “Kamu sudah ketahuan, keluar dari barisan!” bentak Pak Tama, kepala sekolah yang terkenal tegas. Hendri langsung dibawa ke ruang BK, dan tak lama kemudian, kabar dia dikeluarkan dari sekolah menyebar. Saya hanya bisa menggelengkan kepala, “Kasihan ya, Bu. Tapi ya, dia harus bertanggung jawab,” kata saya pada Bu Wafa, yang mengangguk setuju sambil membereskan buku pelajarannya. Dalam hati, saya merasa bimbang, tidak mungkin Hendri pelakunya.

Anehnya, kejadian seperti ini terus berulang. Setiap kali kotak amal kosong, pasti ada saja murid yang tertangkap membawa uang sedikit di tasnya—jumlahnya selalu ratusan ribu, tidak pernah lebih. Sekolah, dengan aturan yang ketat, langsung mengeluarkan mereka tanpa banyak tanya. Sampai-sampai sudah ada tujuh belas anak yang dikeluarkan, hanya berdasarkan kecurigaan tanpa bukti yang kuat. Di ruang guru, saya sering ikut menghela napas panjang, berkata, “Kita harus lebih perhatian lagi sama anak-anak, jangan sampai kejadian ini terulang. Tapi kenapa tidak ada efek jera pada murid? Justru malah semakin marak, bagaimana jika bukan mereka pelakunya?” Para guru mengangguk, kami harus lebih waspada.

Hari itu, sekolah mengadakan upacara bendera dengan tema pakaian adat. Saya, seperti biasa, sibuk membantu Pak Bagas, guru olahraga yang juga merangkap jadi operator sound system dan bagian dokumentasi. Saya memotret anak-anak yang bersemangat memakai baju daerah masing-masing, sambil sesekali berteriak, “Ayo, senyum yang manis ke kamera!” Di tengah keramaian, saya menyempatkan diri sebentar ke kantor, pura-pura mengambil daftar hadir siswa, padahal sebenarnya ingin melihat kondisi kotak amal. Kali ini apakah akan ada yang berani mencurinya?

Semuanya terlihat biasa saja, tapi entah kenapa, saya merasa ada mata yang mengawasi. Saya buru-buru kembali ke lapangan, mengambil posisi di belakang sound system, pura-pura fokus mengatur mikrofon. Setelah upacara selesai, saya kembali ke kantor, beralasan harus segera merapikan dokumentasi dan menginput data kehadiran siswa.

Malam itu, seperti rutinitas, saya menjadi orang terakhir yang meninggalkan sekolah. “Cuaca masih gerah, Pak. Saya tunggu agak malam saja baru pulang,” kata saya kepada Pak Latif, penjaga sekolah yang sudah seperti bapak sendiri. Beliau hanya mengangguk sambil mengunci gerbang. Seperti biasa, kepala sekolah memesankan makan malam dan beberapa bungkus rokok untuk saya. Padahal, saya tidak merokok. Rokok-rokok itu langsung saya berikan kepada Pak Latif. Beliau selalu senang menerimanya dan berterima kasih.

Di hari lain, di waktu menjelang sore, saya merebahkan diri di sofa ruang kantor, menikmati sunyinya sekolah yang sudah sepi. Tiba-tiba, Dama, salah satu murid Rohis yang paling aktif dan merupakan murid kebanggaan saya, masuk dengan wajah serius. “Pak, Dama mau bicara sesuatu,” katanya pelan tapi mantap. Jantung saya langsung berdebar kencang, tapi saya berusaha tetap tenang.

“Ada apa, Dama?” tanya saya dengan nada lembut. “Dama lihat ada orang menggali-gali di belakang sekolah tadi malam, Pak. Apa mungkin uang kotak amal disembunyikan di sana?” lanjutnya, menatap saya dengan tatapan penuh harap. Saya tersenyum kecil, mencoba berpikir cepat. “Kamu memang anak yang cerdas, Dama. Begini saja, kita tunggu nanti malam. Bapak juga sebenarnya sedang mengawasi gerak-gerik orang yang mencurigakan,” kata saya. Dama mengangguk, matanya berbinar penuh kepercayaan.

Adzan berkumandang, saya mengajak Dama salat Ashar berjamaah di kantor, sambil sesekali melirik ke arah kotak amal dari jendela. “Kita lihat saja nanti, siapa yang berani,” bisik saya.

Tak disangka, tidak lama setelah kami selesai salat, seorang pemuda yang tidak kami kenal menyelinap masuk ke kantor, membuka kotak amal dengan tergesa-gesa, dan berusaha melarikan diri. “Itu dia!” seru saya spontan, langsung berlari mengejar bersama Dama. Kami berhasil menangkapnya di dekat gerbang belakang. Ternyata dia seorang pencuri kecil bernama Joni anak dari Pak Latif, yang kebetulan sedang membutuhkan uang untuk biaya ibunya berobat.

Sekolah langsung heboh. Saya dan Dama dipuji sebagai pahlawan. Joni dimarahi habis-habisan. Pemuda tanggung itu langsung dipukuli ayahnya di depan kami semua. Pak Latif meminta maaf kepada pihak sekolah, dan segera mengundurkan diri. Saya merasa iba, saya tahu Pak Latif orang baaik, dan anaknya Joni karena kebutuhan yang sangat mendadak terpaksa melakukannya. Meski Joni bersalah namun karena banyaknya jasa dari Pak Latif hal itu bisa diselesaikan dengan asas kekeluargaan.

Beberapa bulan setelah kejadian itu, suasana kembali tenang, dan saya merasa sedikit lega. Tapi jauh di lubuk hati, saya tahu, ketenangan ini hanya sementara. Dan tentu saja, setelah kejadian itu, saya kembali berkutat dengan tugas-tugas administrasi saya seperti biasa, pulang larut malam. Karena tak ada lagi Pak Latif, akhirnya beberapa rokok itu saya hisap sendiri.

Hari -hari di sekolah, saya terus menjalankan peran saya sebagai pembina Rohis yang bijaksana dan operator madrasah yang sibuk. Setiap pagi memimpin salat Dhuha, memberikan nasihat-nasihat sederhana tentang kejujuran dan kebaikan saat jam istirahat, dan memastikan semua pintu dan jendela terkunci rapat sebelum pulang, setelah menyelesaikan semua urusan administrasi yang menumpuk.

Namun, di balik semua itu, ada rahasia besar yang tidak pernah saya bagi dengan siapa pun. Sekarang, sambil duduk di kursi kantor yang mulai terasa usang ini, menatap kotak amal yang kembali terisi oleh kebaikan hati murid-murid, saya teringat kembali semua kejadian yang telah berlalu. Sebuah cerita kilas balik yang mungkin akan membuat terkejut.

***

Semuanya berawal beberapa bulan yang lalu, saat saya pertama kali menyadari betapa mudahnya mengambil uang dari kotak amal tanpa ketahuan. Saya adalah orang terakhir yang meninggalkan sekolah, memegang kunci semua ruangan, dan yang paling penting, tidak pernah ada yang curiga sedikit pun pada saya. Apalagi, semua orang tahu betapa sibuknya saya sebagai operator madrasah. Setiap hari, sebelum lonceng salat Zuhur berbunyi, saat semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing, saya mengambil sebagian kecil isi kotak amal. Uang itu saya sembunyikan di dalam tas kerja saya, lalu saya kubur di belakang sekolah, di antara tumpukan sampah daun dan plastik yang jarang diperhatikan. Malam harinya, setelah semua orang terlelap, saya kembali ke sekolah, menggali uang itu, dan membawanya pulang. Alibi saya selalu kuat: menyelesaikan pekerjaan administrasi yang selalu menanti.

Uang haram itu saya gunakan untuk hal-hal yang tidak pernah terlintas di benak siapa pun di madrasah ini. Judi online yang membuat jantung berdebar, makan malam mewah dengan teman-teman di kota, dan berbagai kesenangan duniawi lainnya—semuanya berasal dari kotak amal yang seharusnya menjadi tempat berbagi kebaikan.

Ketika uang itu habis, saya kembali mengulangi perbuatan keji itu, dengan rencana yang semakin matang. Saya tahu betul, sekolah ini selalu cepat menyalahkan murid-murid jika ada kehilangan. Saya memanfaatkan kelemahan itu. Saya menyelipkan beberapa lembar uang—biasanya hanya ratusan ribu—ke dalam tas murid tertentu, memastikan mereka akan ditemukan saat ada pemeriksaan mendadak. Total sudah tujuh belas anak yang menjadi korban, dikeluarkan dari sekolah tanpa ada yang benar-benar tahu kebenarannya. Dan saya? Saya tetap berdiri tegak, bersih tanpa noda. Apalagi, setiap kali ada kejadian, saya selalu punya alasan kuat untuk berada di sekolah sampai larut malam.

Pada hari upacara pakaian adat itu, saya kembali beraksi. Saya menyelinap ke belakang sekolah saat semua orang sibuk di lapangan, mengambil uang yang sudah saya siapkan, dan menguburnya kembali seperti biasa. Lalu, dengan wajah tanpa dosa, saya kembali ke tengah keramaian, membantu Pak Bagas mengatur sound system dan memotret anak-anak yang riang gembira. Bahkan ketika Dama mulai curiga dan menceritakan apa yang dilihatnya, saya berhasil memanfaatkannya. Saya membiarkan Joni, menjadi kambing hitam, dan dengan mudahnya saya mendapatkan pujian sebagai pahlawan. Setelah itu, saya kembali ke kantor, beralasan harus menyelesaikan laporan upacara.

Sekarang, suasana di sekolah sudah kembali tenang. Kotak amal terus terisi, dan saya tahu, saat yang tepat untuk beraksi lagi pasti akan datang. Saya hanya perlu menunggu dengan sabar, sampai semua orang kembali lengah dan melupakan kejadian-kejadian sebelumnya. Dan ketika saat itu tiba, saya akan kembali bergerak, mengambil apa yang saya inginkan, tanpa ada satu pun yang akan menyadarinya. Saya tersenyum tipis, menutup pintu kantor sekolah malam ini, dan berbisik pada diri sendiri dalam kegelapan, “Waktunya akan tiba.” Rokok pemberian sekolah yang belum habis akan saya berikan kepada Pak Bagas besok pagi. Beliau pasti senang.

Di balik wajah guru yang bijaksana dan operator madrasah yang sibuk ini, saya adalah dalang sebenarnya dari semua pencurian itu. Dan ironisnya, tidak ada satu pun yang pernah curiga pada saya. Tidak ada yang tahu, bahwa saya, sang teladan madrasah, adalah bayang-bayang yang diam-diam mencuri dari kotak amal. Dan saya akan terus begitu, sampai waktu yang tidak saya ketahui menghentikan permainan ini. Saya akan terus menunggu seseorang yang lebih cerdik dari saya.

-Tamat

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
True Love
Hilmiatul Hasanah
Novel
Bronze
Perempuan-Perempuan Sam
ranti ris
Novel
Bintang di El Tari
annastasia
Flash
Gaun Putih Pengantin
Arianto Pambudi
Cerpen
API DENDAMMU
Syaras Qotimah
Cerpen
Ironi Kotak Amal Sekolah
Ron Nee Soo
Komik
The Old Man
KeLie
Skrip Film
Panggil Aku Karti
TRI SUSANTO
Skrip Film
Junior & Jameela (script)
amor
Cerpen
THE CHOICE
Hans Wysiwyg
Novel
Retorika Mimpi Kapal Kertas
Muhammad Salim Supriatna
Novel
CETAK BIRU MASA LALU
Ai Bi
Skrip Film
The power of emak²
Renny rosmaynidar
Skrip Film
My Enemy My Bodyguard
Linda Fadilah
Flash
Bronze
KEGILAAN
Yadani Febi
Rekomendasi
Cerpen
Ironi Kotak Amal Sekolah
Ron Nee Soo
Cerpen
Talang Sawah dan Lagu Mangu
Ron Nee Soo
Cerpen
Tiga Hari
Ron Nee Soo
Cerpen
Bronze
Sukma Artis Figuran
Ron Nee Soo
Cerpen
Nyanyian Malam
Ron Nee Soo
Flash
Bronze
Ekspektasi
Ron Nee Soo
Cerpen
Kenapa Dia tak Pernah Datang?
Ron Nee Soo
Cerpen
Bronze
Surat dari Jakarta
Ron Nee Soo
Cerpen
Bayang
Ron Nee Soo
Cerpen
Bronze
Beban di Pundak Pak Darmawan
Ron Nee Soo
Flash
Bronze
Warna Cinta di Buku Saku
Ron Nee Soo
Cerpen
Bronze
Ketika Musik Box Berhenti Bernyanyi
Ron Nee Soo
Flash
Bronze
Rahma, Warnaku Abadi
Ron Nee Soo
Cerpen
Bronze
Setiap satu sendok bumbu kacang adalah satu kesempatan yang hilang
Ron Nee Soo
Flash
Bronze
Sebuah Cinta dan pesan yang tidak pernah dibalas
Ron Nee Soo