Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di lorong-lorong sekolah yang ramai, suara bising percakapan remaja menjadi simfoni kecemasan bagi Reza. Jantungnya berdetak kencang setiap kali ia melihatnya – Putri, gadis dengan mata yang lembut dan senyuman yang bisa menerangi seluruh kelas. Reza, seorang introvert yang pemalu dengan latar belakang yang buruk, terpesona tanpa harapan.
"Dia kayak bintang," gumam Reza dalam hati, matanya mengikuti Putri yang berlalu lalang dengan teman-temannya. "Terlalu terang buat aku."
Ia tahu bahwa dirinya tak sebanding dengan Putri. Putri adalah gadis populer, ceria, tipe orang yang bisa dengan mudah memikat siapa saja. Reza, di sisi lain, adalah pengamat yang pendiam, senang menonton dari pinggir. Ia adalah anak laki-laki yang duduk di belakang kelas, kepalanya terbenam dalam buku, jarang sekali menatap orang lain.
"Hai, Reza!" sapa Putri, menghampiri meja Reza saat jam istirahat. "Lagi baca apa, kamu?"
Reza tersentak, jantungnya berpacu kencang. "Eh, Putri. Aku lagi baca novel, tentang... tentang seorang detektif."
"Seru, ya?" Putri tersenyum, matanya berbinar. "Aku suka baca juga. Cerita-cerita fantasi."
"Oh, iya?" Reza berusaha memulai percakapan, tapi kata-kata seakan terjebak di tenggorokannya.
"Kamu suka baca buku apa lagi?" tanya Putri, duduk di kursi di depannya.
"Aku suka baca buku tentang sejarah, filsafat..." Reza terdiam, menyadari bahwa topik pembicaraan ini terlalu berat untuk Putri. "Eh, maaf, aku ngomong apa sih?"
Putri tertawa kecil. "Gak apa-apa, Reza. Aku suka denger kamu ngomong."
Reza merasa pipinya memerah. Ia merasa sangat bodoh, tak bisa berbicara dengan lancar di hadapan Putri.
Namun, perasaannya terhadap Putri adalah nyala api yang terus membara, semakin terang dengan setiap hari yang berlalu. Ia mulai dengan hal kecil, meninggalkan catatan anonim yang memberi semangat di mejanya, membantunya dengan tugas, dan diam-diam melindunginya dari para pengganggu. Ia menjadi malaikat pelindungnya yang tak terlihat, cintanya terwujud dalam tindakan kecil yang tak terlihat.
"Reza, kamu kok selalu ngikutin aku?" tanya Putri, suaranya terdengar sedikit gugup.
Reza tersentak, matanya terpaku pada Putri yang sedang berdiri di depan kelas. "Aku... aku gak ngikutin kamu, Putri. Aku cuma..."
"Kamu selalu ada di dekatku, Reza. Di kelas, di kantin, di depan gerbang sekolah. Apa kamu lagi ngawasin aku?"
Reza merasa jantungnya mencelos. "Aku gak ngawasin kamu, Putri. Aku... aku cuma..."
"Kenapa kamu selalu diam? Kamu gak mau ngomong apa-apa?"
Reza terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Ia merasa terjebak dalam ketakutan dan keraguannya.
"Reza, please, jangan ganggu aku lagi. Aku takut." Putri berbalik dan berlalu, meninggalkan Reza yang merasa hancur.
Namun, usahanya disalahartikan. Putri, yang tidak menyadari niatnya, semakin merasa tidak nyaman dengan kehadirannya yang konstan. Ia mulai menghindarinya, bisikan "penguntit yang aneh" mengikutinya seperti bayangan. Reza, patah hati dan disalahpahami, semakin mundur ke dalam cangkangnya, cintanya untuk Putri menjadi sakit yang sunyi dan menyiksa.
"Reza, apa kamu yang ngasih cat ke Putri?" tanya Rian, teman sekelas Reza, suaranya penuh ejekan.
Reza mengerutkan kening, bingung. "Cat? Apa maksud kamu?"
"Kamu kan yang selalu ngikutin Putri. Pasti kamu yang ngasih cat ke dia biar dia malu!"
Reza terdiam, tak percaya dengan tuduhan itu. "Aku gak ngelakuin itu, Rian. Aku gak pernah ngasih cat ke Putri."
"Oh, iya? Kenapa kamu selalu ngikutin dia? Apa kamu suka sama dia?"
Reza merasa jantungnya berdebar kencang. Ia tak bisa menjawab, hanya bisa menunduk, merasa malu dan terpuruk.
"Kamu emang aneh, Reza. Kamu kayak penguntit!" Rian tertawa, meninggalkan Reza yang merasa semakin terpuruk.
Suatu hari, sekelompok gadis, yang iri dengan popularitas Putri, merencanakan untuk mempermalukannya. Mereka berencana untuk menyemprotkan cat padanya saat makan siang, sebuah tindakan kejam yang akan membuatnya merasa terpapar dan rentan. Reza, yang menyaksikan rencana jahat itu, tahu ia harus bertindak.
"Reza, kamu ngapain di sini?" tanya Putri, matanya menatap Reza yang sedang berdiri di dekat toilet.
"Aku... aku lagi nunggu temen." Reza berusaha berbohong, tapi suaranya gemetar.
"Kamu kok ngeliatin aku?"
"Aku... aku gak ngeliatin kamu, Putri. Aku cuma..."
"Kamu selalu ngeliatin aku, Reza. Apa kamu lagi ngawasin aku?"
"Aku gak ngawasin kamu, Putri. Aku... aku cuma..."
"Kenapa kamu selalu diam? Kamu gak mau ngomong apa-apa?"
Reza terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Ia merasa terjebak dalam ketakutan dan keraguannya.
"Reza, please, jangan ganggu aku lagi. Aku takut." Putri berbalik dan berlalu, meninggalkan Reza yang merasa hancur.
Ia ikut campur, secara halus mengalihkan perhatian para gadis itu, memastikan Putri aman. Namun, tindakannya sekali lagi disalahartikan. Para gadis itu, melihatnya sebagai dalang di balik lelucon tersebut, menyebarkan rumor tentang keterlibatannya, semakin menjauhkannya dari teman-temannya.
"Reza, kamu yang ngasih cat ke Putri, kan?" tanya Rian, suaranya penuh ejekan.
Reza mengerutkan kening, bingung. "Cat? Apa maksud kamu?"
"Kamu kan yang selalu ngikutin Putri. Pasti kamu yang ngasih cat ke dia biar dia malu!"
Reza terdiam, tak percaya dengan tuduhan itu. "Aku gak ngelakuin itu, Rian. Aku gak pernah ngasih cat ke Putri."
"Oh, iya? Kenapa kamu selalu ngikutin dia? Apa kamu suka sama dia?"
Reza merasa jantungnya berdebar kencang. Ia tak bisa menjawab, hanya bisa menunduk, merasa malu dan terpuruk.
"Kamu emang aneh, Reza. Kamu kayak penguntit!" Rian tertawa, meninggalkan Reza yang merasa semakin terpuruk.
Reza, yang dituduh secara tidak adil, tidak peduli untuk membela dirinya. Ia tahu kebenaran tidak akan berarti. Cintanya untuk Putri begitu mendalam, begitu menguasai, bahwa ia rela menanggung beban apa pun, bahkan beratnya tuduhan palsu, hanya untuk menjaga Putri tetap aman.
Suatu sore, saat Reza pulang, ia melihat Putri dipaksa masuk ke dalam mobil. Mulutnya tertutup, matanya lebar dengan ketakutan. Ia berjuang melawan penculiknya, teriakan teredamnya bergema di benak Reza. Tanpa ragu, ia melompat ke atas sepedanya dan mengikuti mobil itu, jantungnya berdebar kencang.
"Putri!" teriak Reza, suaranya bercampur dengan angin yang menerpa telinganya. "Putri, jangan takut! Aku di sini!"
Ia mengejar mobil melalui jalanan kota, adrenalin mengalir deras, ketakutannya menjadi bisikan yang jauh. Di lampu merah, ia melihat kesempatan. Ia mengayuh sepedanya lurus menuju mobil itu, suaranya serak karena urgensi. "Berhenti! Kalian penculik!"
Mobil itu mengerem mendadak, penculik terkejut oleh kemunculan Reza yang tiba-tiba. Putri, wajahnya pucat ketakutan, dibebaskan dari mobil. Ia memandang Reza, matanya penuh rasa syukur dan kebingungan.
"Reza? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Putri, suaranya gemetar.
"Aku... aku ngeliat kamu diculik. Aku harus nolongin kamu."
"Tapi... tapi kenapa kamu ngikutin aku? Kamu kan yang selalu ngawasin aku."
"Aku gak ngawasin kamu, Putri. Aku... aku cuma..."
"Kamu selalu ada di dekatku, Reza. Di kelas, di kantin, di depan gerbang sekolah. Apa kamu lagi ngawasin aku?"
"Aku gak ngawasin kamu, Putri. Aku... aku cuma..."
"Kenapa kamu selalu diam? Kamu gak mau ngomong apa-apa?"
Reza terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Ia merasa terjebak dalam ketakutan dan keraguannya.
"Reza, please, jangan ganggu aku lagi. Aku takut." Putri berbalik dan berlalu, meninggalkan Reza yang merasa hancur.
Polisi datang, menangkap penculik itu. Saat Putri mengucapkan terima kasih kepada Reza karena telah menyelamatkannya, ia akhirnya melihat sosok aslinya, anak laki-laki pemberani dan tanpa pamrih yang tersembunyi di balik sikap pendiamnya. Ia menyadari kesalahannya, penilaian awalnya tergantikan oleh rasa kagum dan pengagungan.
"Reza, terima kasih sudah nolongin aku. Aku... aku gak nyangka kamu berani ngelakuin itu." Putri menatap Reza dengan mata yang penuh syukur.
"Aku... aku cuma ngelakuin apa yang harus aku lakuin." Reza merasa pipinya memerah.
"Kamu hebat, Reza. Aku... aku salah ngejudge kamu."
"Gak apa-apa, Putri. Aku... aku ngerti."
"Aku... aku juga introvert,aku tahu Reza. Aku selalu pura-pura jadi orang yang ceria di depan orang lain. Aku takut kalau orang lain ngeliat aku yang sebenarnya."
"Aku ngerti, Putri. Aku juga introvert. Aku selalu pendiam dan takut ngomong di depan orang banyak."
"Kamu... kamu juga introvert?" Putri menatap Reza dengan kaget.
"Iya, Putri. Aku... aku selalu ngeliatin kamu dari jauh. Aku suka sama kamu, tapi aku takut ngomong sama kamu."
"Kamu... kamu suka sama aku?"
"Iya, Putri. Aku... aku suka sama kamu."
Putri terdiam, matanya menatap Reza dengan penuh perhatian.
"Aku... aku juga suka sama kamu, Reza."
"Beneran?"
"Iya, Reza. Aku... aku juga suka sama kamu."
Reza merasa jantungnya berdebar kencang. Ia tak percaya bahwa Putri juga memiliki perasaan yang sama.
"Aku... aku senang banget, Putri."
"Aku juga, Reza."
"Aku... aku pengen ngomong sama kamu, Putri. Aku pengen ngenalin diri aku yang sebenarnya."
"Aku juga, Reza. Aku... aku pengen ngenalin diri aku yang sebenarnya sama kamu."
Mereka menghabiskan sisa sore itu berbicara, berbagi kerentanan dan impian, hubungan mereka semakin mendalam dengan setiap kata yang diucapkan.
Persahabatan mereka berkembang menjadi sebuah kisah cinta, sebuah bukti kekuatan pemahaman dan penerimaan. Mereka lulus dari SMA bersama, memilih untuk melanjutkan ke universitas yang sama. Mereka mendaftar di program Sastra Indonesia, kecintaan mereka terhadap kata-kata semakin mendekatkan mereka.
"Reza, aku punya ide buat novel baru!" seru Putri, matanya berbinar.
"Apa itu, Putri?" tanya Reza, matanya menatap Putri dengan penuh perhatian.
"Kita tulis novel tentang dua orang introvert yang saling jatuh cinta. Kayak kita!"
"Ide bagus, Putri. Kita bisa tulis bareng."
"Iya, Reza. Kita bisa tulis bareng."
Mereka menghabiskan waktu berjam-jam merencanakan, berbagi ide, dan membentuk cerita mereka. Novel pertama mereka, sebuah kisah yang menyentuh tentang cinta dan kehilangan, lahir dari pengalaman bersama dan cinta yang tumbuh di antara mereka.
Reza, yang dulunya anak laki-laki pendiam dan disalahpahami, telah menemukan suaranya, cintanya untuk Putri menjadi katalisator bagi transformasinya. Ia belajar bahwa cinta sejati bukan tentang kesempurnaan atau popularitas, tetapi tentang menjadi diri sendiri, dengan segala kekurangan, dan menemukan seseorang yang mencintaimu apa adanya.
"Putri, aku bersyukur banget kamu ada di hidup aku," kata Reza, matanya menatap Putri dengan penuh cinta.
"Aku juga, Reza. Aku bersyukur banget kamu ada di hidup aku."
Mereka berdua tersenyum, bahagia dan bersyukur karena telah menemukan cinta sejati di tengah hiruk pikuk kehidupan.