Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Integritas Anggota KPUD dan Rabat Beton
Malam telah larut ketika Balak duduk di teras rumahnya. Hawa dingin menusuk tulang, tapi pikirannya lebih berkecamuk daripada angin malam yang bertiup pelan.
Di hadapannya, secangkir kopi hitam mengepul, namun tidak juga ia teguk. Ia masih terngiang-ngiang percakapan tadi siang dengan Udin, sahabat lamanya yang kini menjabat sebagai Ketua DPRD kabupaten.
"Balak, ini proyek kecil saja. Cuma rabat beton di beberapa jalan desa. Aku pikir, siapa lagi yang lebih pantas menangani kalau bukan kamu?" kata Udin dengan senyum yang sudah sangat dikenalnya.
Balak menghela napas panjang sebelum menjawab, "Aku ini Ketua KPUD, Din. Bukan kontraktor. Kalau aku terima proyek ini, nanti apa kata orang?"
Udin tertawa kecil. "Balak, kita ini sudah lama berteman. Kau pikir orang-orang lain tidak melakukannya? Ini sekadar formalitas, yang penting proyek jalan tetap berjalan. Toh, masyarakat juga yang diuntungkan."
Balak menatap sahabatnya itu. Ada ketulusan dalam kata-kata Udin, tapi ada juga jebakan yang tersembunyi di baliknya. "Maaf, Din. Aku tidak bisa. Aku ingin menjaga integritasku."
Balak ingat, sebelum dilantik menjadi anggota KPUD, mereka menanda tangani fakta integritas. Meskipun bagi kawnnya yang lain hal itu adalah formalitas belaka, tetapi Balak tidak berani melanggarnya, dia telah bersumpah atas nama Tuhan.
Malam itu, obrolan dengan Udin kembali berputar dalam kepalanya. Ia tahu, keputusan menolak tawaran itu adalah yang paling benar, tetapi menolaknya bukan berarti ia bebas dari dampaknya.
"Bang, aku dengar kau menolak proyek rabat beton dari Bang Udin?" suara Bakhai, adiknya, memecah kesunyian.
Balak menoleh. "Ya, kenapa?"
Bakhai menarik kursi dan duduk di sampingnya. "Bang, kenapa kau menolak? Itu proyek bagus. Tidak ada salahnya kalau kau ambil."
"Aku ini Ketua KPUD, Bakhai. Aku tidak mau mencampurkan jabatan dengan proyek-proyek seperti itu."
Bakhai tertawa kecil. "Lalu? Kalau Bang ambil, terus kenapa? Bukannya banyak pejabat lain yang juga melakukan hal serupa? Mereka tetap baik-baik saja."
"Masalahnya bukan karena orang lain melakukannya atau tidak, tapi karena aku tahu ini tidak benar," sahut Balak tegas.
Bakhai menggelengkan kepala. "Kalau begitu, biar aku saja yang mengurusnya. Nama abang tidak akan tersangkut, aku yang akan menangani semua administrasi dan pengerjaannya."
Balak menatap adiknya dalam-dalam. "Kau itu PNS, Bakhai. Apa kau tidak takut dicurigai?"
"Bang, dalam pemerintahan kita ini, hal-hal seperti ini sudah biasa. Orang-orang tidak akan peduli selama proyek berjalan baik. Lagipula, aku juga butuh tambahan penghasilan. Gajiku tidak cukup untuk menghidupi keluargaku dengan layak."
“Apakah nanti proyek itu atas namamu?” tanya Balak.
“Ya, kamu terima saja tawaran kawanmu itu dan proyeknya berikan kjkepadaku. Kan kamu yang ada koneksi dengan ketua Dewan itu,” ujar Bahkai.
Balak menutup matanya sejenak. Ia tahu kondisi keuangan Bakhai tidak sebaik dirinya. Tetapi, apakah itu cukup menjadi alasan untuk menerima sesuatu yang jelas-jelas berpotensi merusak integritasnya?
"Bang, jangan keras kepala. Aku yang akan menanggung risikonya, bukan abang. Kita harus realistis," desak Bakhai.
Balak menggeleng pelan. "Masalahnya bukan hanya risiko. Ini soal prinsip. Jika aku membiarkan ini, aku sama saja mendukung budaya korupsi dan nepotisme. Kita harus menghentikan kebiasaan buruk ini, bukan malah ikut terlibat."
Bakhai mendengus. "Bang selalu berpikir terlalu idealis. Kalau abang tidak mau, berikan saja kepadaku. Beres!"
"Jangan, Bakhai! Aku tidak ingin kau terseret dalam hal ini!" ujar Balak dengan nada yang lebih tinggi.
Bakhai terdiam, lalu bangkit dari kursinya. "Abang terlalu banyak berpikir. Aku hanya ingin membantu keluarga kita hidup lebih layak. Kalau abang tidak mau, setidaknya jangan halangi aku."
Hari-hari berlalu, tetapi perasaan gelisah tidak juga hilang dari benak Balak. Ia tahu Bakhai tetap berusaha mencari celah agar proyek itu jatuh ke tangannya.
Sebagai seorang pegawai negeri, adiknya tidak seharusnya terlibat dalam proyek seperti itu. Namun, di dalam sistem yang sudah terbiasa dengan praktik-praktik abu-abu, batas antara yang benar dan yang salah menjadi semakin tipis.
Sore itu, ia kembali bertemu Udin.
"Balak, aku tidak mengerti kenapa kau begitu keras kepala," kata Udin. "Kau tahu, bukan, kalau bukan kau yang ambil proyek ini, orang lain yang akan dapat?"
"Biarlah. Aku lebih memilih tetap bersih, Din."
Udin menghela napas panjang. "Kadang aku iri padamu, Balak. Kau masih bisa berpikir soal integritas di tengah dunia yang sudah seperti ini. Tapi hati-hati, teman. Orang-orang yang terlalu lurus jalannya, seringkali justru tersandung."
Balak hanya tersenyum tipis. Ia sadar, menjaga integritas di tengah dunia yang penuh kompromi adalah hal yang sulit. Namun, ia lebih takut kehilangan harga dirinya daripada kehilangan kesempatan.
Malam itu, Balak duduk termenung di cafe bersama Udin. Di hadapannya, secangkir kopi yang sudah mulai mendingin. Pikirannya dipenuhi oleh satu keputusan yang ia buat sendiri.
"Kalau adikku saja yang mengurus proyekmu itu, bagaimana?" tanya Balak kepada Udin saat mereka bertemu siang tadi.
Udin mengangkat alis. "Ooh, boleh. Tidak masalah buatku." Ia tertawa kecil, seolah proyek senilai lima ratus juta itu bukan apa-apa baginya.
Akhirnya, proyek rabat beton untuk pembangunan jalan itu diberikan kepada Bakhai, adiknya. Tidak ada nama Balak dalam dokumen resmi, hanya Bakhai yang menangani semua proses dari Udin. Bagi Udin, proyek sebesar itu tidak lebih dari sekadar proyek kecil. Ia sudah terbiasa mengurus anggaran ratusan miliar.
Balak menggeleng-geleng kepala saat melihat bagaimana proyek itu dijalankan. Ia sering melihat Bakhai dan timnya bekerja dengan cara yang membuat hatinya miris.
Setiap kali sebuah pick-up pasir datang, hanya dua karung semen yang digunakan sebagai campuran.
"Bakhai, kau yakin ini cukup kuat?" tanya Balak suatu sore saat melihat pekerja mengaduk adonan semen yang tampak lebih banyak pasir daripada biasanya.
"Bang, santai saja. Yang penting terlihat bagus. Lagipula, kalau kita buat sesuai standar, biaya akan membengkak. Kita harus pintar-pintar main anggaran," jawab Bakhai sambil tersenyum.
Balak hanya menghela napas panjang. Ia tahu, proyek ini hanya nama saja. Dan ia juga sadar, jalan itu tidak akan bertahan lama. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Keputusan sudah dibuat.
Beberapa bulan kemudian, proyek itu selesai. Dari luar, hasilnya tampak rapi, tapi Balak yakin jalan itu tak akan bertahan lama. Ia memperkirakan bahwa dana yang benar-benar digunakan tidak akan lebih dari dua puluh juta rupiah dari anggaran lima ratus juta yang telah digelontorkan.
Suatu sore, Bakhai datang menemui Balak dengan wajah sumringah. Ia menepuk bahu kakaknya dengan penuh semangat.
"Bang, proyek sudah selesai, dan laporan sudah beres," katanya.
Balak menatap adiknya dalam-dalam. "Dan berapa keuntungan yang kau dapat?"
Bakhai tersenyum miring. "Hanya satu juta rupiah."
Balak mengernyitkan dahi. "Satu juta? Dengan anggaran sebesar itu?"
Bakhai mengangguk mantap. "Ya, cuma segitu yang aku simpan di rekening. Tapi aku berhasil membuat pagar beton di rumah, membangun dek dari bahan mahal, dan membeli mobil baru." Ia tertawa kecil.
Balak terdiam. Ia ingin marah, tapi apa gunanya? Ini sudah menjadi bagian dari sistem yang mereka jalani. Meskipun ia sudah berusaha menjaga integritasnya, keputusan yang ia buat tetap menyeretnya ke dalam kubangan yang sama.
Di kejauhan, jalan beton yang baru saja selesai itu berdiri dalam diam, menjadi saksi bisu dari kenyataan yang terus berulang.
***