Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Religi
Insyaallah Mualaf
2
Suka
3,868
Dibaca

Sebuah Cerpen

INSYAALLAH MUALAF

Penulis: Teguh Santoso

 

Masih banyak teman-temanku meragukan ucapanku Insyaallah setiap bikin janji apapun. Katanya insyaallah itu tidak pasti. Aku bahkan dilarang mengucapkan insyaallah lagi kalau bikin janji. Katanya kalau janji harus pasti bisa ya bisa enggak ya enggak, jangan insyaallah. Kebanyakan orang kalau sudah mengucapkan insyaallah seperti tidak punya beban untuk memenuhinya, begitulah dalih mereka. Kita ini di Indonesia, teman-teman kita juga berbeda-beda agama, jadi berjanjilah secara nasional saja, begitu tambahnya. 

Saat ditegur begitu di grup whatsapp, aku seperti ingin pergi dari dunia milenial ini. Aku jadi ingin menjauh dari kemajuan teknologi yang semakin menjamur seantero dunia ini, gara-gara aku dilarang mengucapkan insyaallah di grup nasional.

Tidak ada genangan air mata, tidak ada tetesan air mata, tapi hatiku serasa menangis. Entah kenapa begitu sedih. Penuh tanda tanya di benakku tentang insyaallah itu apa. Dan aku selalu mengingat Nabi Muhammad SAW ingin bertanya sebenarnya apa hakekat Insyaallah itu. Kenapa teman-temanku tidak bisa terima aku mengucapkan itu padahal aku muslim sekalipun aku tidak hapal Al Qur an. Sekalipun aku tidak fasih mengaji. Sekalipun aku hanya bisa sholat 5 waktu. Karena aku hanyalah mualaf. 

Akhirnya kuberanikan menemui seorang Ustadz di sebuah mushola. 

Sore itu aku sengaja menyempatkan sholat maghrib berjama’ah di sebuah mushola sebuah kampung dekat perumuhanku yang tergolong terpencil. Aku mengikuti sholat maghrib berjama’ah hingga akhir dengan segala urutan doa-doa yang dipimpin Ustadz itu yang diakhiri dengan saling bersalaman dalam barisan. Ketika ustadz itu keluar dari mushola hendak memakai sandal jepitnya, ku hampiri.

“Pak Ustadz, ada waktu gak saya ingin bicara,”

“Insyaallah ada,” jawab Ustadz itu singkat

Pak Ustadz itu duduk bersila di teras mushola dan kuikuti bersila di depannya

“Sebenarnya Insyaallah itu artinya apa Pak Ustadz?”

“Atas seijin Allah,”

“Tapi pengertiannya bagaimana Pak Ustadz?”

“Setiap apapun yang akan kita lakukan selalu harus atas ijin Allah”

“Maaf Pak Ustadz saya ini mualaf, jadi saya ingin paham betul apa itu Insyaallah, apa itu atas ijin Allah. Soalnya teman-teman saya selalu meragukan saya kalau saya bilang Insyaallah, maaf teman-teman saya itu beda-beda agamanya. Saya harus bagaimana?”

“Tetap harus yakin mengucapkan Insyaallah. Apapun yang akan, yang akan kita lakukan itu pasti atas ijin Allah bakal terwujud. Bukan kita yang menentukan itu pasti terwujud. Coba bayangkan, seandainya kita berjanji kemudian ada sesuatu yang darurat terjadi apakah kita bisa memenuhi janji? Kalau kita memastikan janji kita dan terjadi sesuatu yang menghalangi janji itu berarti belum ada ijin Allah untuk memenuhi janji. Makanya wajib mengucapkan Insyaallah.”

“Tapi teman-teman saya berbeda-beda keyakinan”

“Sekalipun begitu tetap kamu sebagai muslim harus mengucapkan Insyaallah. Apa kamu sering melanggar janjimu?”

“Begitulah Pak Ustadz, ada aja keperluan yang lebih penting”

“Janji itu seperti hutang yang harus dibayar, makanya perlu mengucapkan insyaallah apabila terjadi sesuatu yang menghambat kita.”

Aku terdiam merenungi kata-kata Pak Ustadz, apalagi yang harus aku tanyakan mumpung lagi ketemu Pak Ustadz.

“Kamu suka baca Nak?”

“Suka”

“Begini, bagaimana kalau kamu saya pinjami buku riwayat Nabi Muhammad dan didalamnya terdapat sejarah asal usul kenapa seorang Rasul juga diwajibkan mengucapkan Insyaallah”

“Senang sekali saya Pak Ustadz”

“Mari ikut saya ke rumah”

Pak Ustadz berdiri dan memakai sandal jepitnya. Begitu pun aku mengikutinya. Rumah Pak Ustadz tidak jauh dari mushola itu. Kami hanya berjalan sekitar 2 menit. Pak Ustadz mengucapkan Assalamu’alaikum saat memasuki rumahnya yang dijawab suara istri dan anak-anaknya yang sedang pada mengaji Al Qur an. Pak Ustadz mempersilahkan aku duduk di kursi rotannya yang tampak baru di pernis mengkilap serta bau aroma pernis. Tak lama Pak Ustadz kembali ke ruang tamu itu dan menyodorkan Buku Riwayat Nabi Muhammad SAW. Aku menerimanya dan dengan penuh gairah membuka-buka isinya, terutama daftar isi buku itu. 

“Segala sesuatu yang ingin kamu ketahui bacalah asal usulnya pasti kamu akan pandai menerapkannya didalam lingkungan kamu”

“Iya Pak Ustadz”

“Ngomong-ngomong kamu tinggal dimana?”

“Nefaro Estate Pak Ustadz, dibalik kampung ini”

“Oh pojokan itu, perumahan elit terbatas?”

“Iya Pak Ustadz”

“Bawa pulang buku itu, baca sampai selesai, maaf sebentar lagi saya mesti menyiapkan pengajian dengan warga kampung sini, barangkali kamu mau ikutan?”

“Jujur saya sedang penasaran dengan kalimat isnyaallah Pak Ustadz, saya kepingin segera membaca habis buku ini supaya bisa segera saya kembalikan”

“Insyaallah”

“Iya Insyaallah... Saya permisi Pak Ustadz, Assalamu’alaikum”

“Wa alaikum salam”

Rasanya langkahku seperti diterbangkan burog dalam sekejap telah kumasuki kamarku yang dingin oleh AC. Warna tembok yang beraneka corak dengan dihiasi poster-poster Jim Morrison, The Door, Rolling Stone, Slank, Michael Jackson, Mike Jagger serta Quentin Tarantino komplit dengan lampu yang temaram. Ku nyalakan lampu baca didekat meja editing Apple ku. Ku letakan buku itu. Ku ambil 3 kaleng root beer untuk persiapan membaca yang kuletakkan di dekat buku. Juga beberapa roti breadtalk yang masih tersisa. Seperti persiapan tempur membaca buku itu harus habis malam ini juga. Aku duduk dan langsung kubaca buku itu lembar demi lembar, bab demi bab hingga kisah riwayat Rasulku ku ketahui dalam semalam suntuk. Kemudian aku ulang sekali lagi bab yang mengisahkan asal usul insyaallah yang ingin aku pahami betul. Seusai membaca aku tutup buku itu dan termenung sejenak. Begitu panjang Rasulullah SAW mendapat pelajaran untuk ummatnya tentang insyaallah. Itu baru insyaallah. Belum pelajaran-pelajaran hidup yang lain yang mesti disampaikan kepada umatnya. 

Ternyata insyaallah suatu kisah panjang. Ketika beberapa kaum Quraish ingin membuktikan kenabian Rasulullah SAW dengan menanyakan kejadian-kejadian yang kalau Nabi Muhammad bisa menjawab maka benarlah Beliau memang utusan Allah. Minggu demi minggu kaum Quraish itu menanyakan dan selalu dijawab Rasulullah besok akan diberikan jawabnya. Tapi sampai fajar hari Rasulullah tidak pernah ditemui Malaikat Jibril seperti biasanya yang selalu diutus Allah menyampaikan jawaban untuk menolong dari kesulitan yang dihadapinya. Dan hingga sebulan lebih tidak bisa menjawab pertanyaan dari kelompok agama kaum Quraish itu. Para pengikutnya juga bisa terbayangkan akan keragu-raguan yang terbesit. Hingga akhirnya setelah sebulan lebih itu turunlah Malaikat Jibril memberitahukan bahwa Allah meminta Rasulullah untuk mengucapkan insyaallah setiap ucapan maupun rencana yang akan dijanjikannya. Maka ketika para kaum Quraish datang untuk kesekian kalinya menanyakan kejadian-kejadian yang diharapkan Rasulullah pasti akan mengetahuinya, Nabi Muhammad menjawab insyaallah besok akan diberitahukan. Setelah Rasulullah mengucapkan itu tidak lama kemudian Malaikat Jibril pun menemui Rasulullah dengan memberikan 3 jawaban tentang kejadian-kejadian yang dimaksud diantaranya tentang Ashabul Kafi dan kisah Zulkarnaen. Keesokan harinya Rasulullah dapat menjawab kejadian-kejadian itu dengan rinci dan para kaum Quraish itu pun membenarkannya. 

Dari peristiwa asal usul itu aku merenunginya. Betapa pentingnya mengucapkan insyaallah terhadap apapun yang kita janjikan maupun yang kita rencanakan. 

Astaga, aku sampai belum sholat isya ini sudah hampir jam 4 pagi. Aku segera mengambil air wudhu dan menunaikan sholat isya. Seusai sholat isya saya langsung membawa sajadah dan berniat sholat subuh jama’ah di mushola dimana Pak Ustadz itu pasti mengimaminya disana. Tidak lupa kubawa buku riwayat Nabi Muhammad itu untuk ku kembalikan segera. Ini pertama kalinya aku datang ke mushola paling awal diantara yang lain. Dan ini pertama kali aku mau berjama’ah sholat subuh di mushola selama setahun ini saya jadi muslim. Beberapa orang mulai datang. Memang tidak seramai berjama’ah sholat maghrib yang hampir memenuhi ruangan mushola. Subuh itu hanya segelintir orang yang bangun berjama’ah. Setelah salah satu orang mengumandangkan adzan baru datang lagi 3 orang, mereka menyalamiku. Kami semua yang membaca sholawat sekitar 9 orang termasuk aku. Pak Ustadz belum datang juga. Semua sepertinya menunggu Pak Ustadz untuk mengimami sholat subuh. Akhirnya diputuskan untuk segera dimulai sholat subuh. Salah seorang mengumandangkan Qomat. Dan kami sholat subuh berjama’ah. Aku mengikuti sholat subuh hingga pembacaan doa-doa seusai sholat dan saling bersalaman. Saat kami keluar dari mushola, terdengar suara mobil ambulance meraung-raung memasuki kampung itu. Ada beberapa warga kampung sampai keluar dari rumahnya. Sama seperti para jama’ah sholat subuh itu ingin tahu ambulance itu mau kemana. Kami semua terkejut melihat mobil ambulance itu berhenti di rumah Pak Ustadz. Kami pun langsung menghampiri rumah Pak Ustadz. Para petugas ambulance dengan sigap langsung mengusung Pak Ustadz dengan brankar. Beberapa jama’ah bertanya dengan istrinya Pak Ustadz yang sambil terburu-buru mengikuti suaminya dibawa masuk ke mobil ambulance.

“Pak Ustad mau dibawa ke Rumah Sakit mana?” tanyaku pada petugas ambulance

“Rumah Sakit Islam kota Mas”

Pak Ustadz dengan diiringi istrinya memasuki mobil ambulance yang membawanya ke Rumah Sakit. 

Aku mendengar dari pembicaraan para warga kampung yang tadi sempat ngobrol dengan istrinya tadi kalau Pak Ustadz kena serangan jantung. Tidak ada yang menduga hal ini terjadi. Katanya para warga juga baru kali ini Pak Ustadz mendadak kena serangan jantung. Sebelumnya sehat-sehat saja katanya. 

Aku pamit sama warga kampung yang masih berkerumun di rumah Pak Ustadz. Aku langsung berjalan pergi dari rumah Pak Ustadz menuju ke rumahku. Tanpa disadari buku riwayat Nabi Muhammad yang berniat mau kukembalikan masih tergenggam ditanganku saat aku membuka gerbang pagar rumahku. 

Semenjak aku masuk islam, rumah yang paling kecil diantara rumah Papiku ini, diberikan kepadaku, karena aku memang dianggap paling lain diantara saudara-saudaraku. Papi Mamiku meninggal tiga bulan setelah aku masuk islam. Rumah ini diberikan padaku supaya aku tinggalin sendiri, daripada aku tinggal di rumah Papiku tapi selalu terjadi perdebatan soal agama diantara kakak-kakakku dan adik-adikku. Lingkungan bisnis maupun lingkungan keluarga kami kebanyakan nasrani. Aku tertarik masuk islam karena penasaran bahwa islam memang agama terakhir dari semua agama yang ada. Tapi sering dituduh sebagai agama teroris karena banyak kejadian peledakan bom dan kerusuhan lainnya disebabkan oleh seorang muslim. Hal itu tidak membuatku benci maupun apatis dengan islam. Rasa penasaranku memang dipicu dari berbagai kejadian bahwa para muslim itu merasa paling benar dan menyuarakan semua tindakannya yang berdasar agama disebut jihat. Merasa paling benar itu aku kaitkan dengan islam sebagai agama yang terakhir dari yang dibawa nabi-nabi. Dari situ aku mulai pelajari sejarah islam dan Nabi Muhammad. Dan dalam sejarah agama memang tidak ada lagi nabi yang membawa agama setelah Nabi Muhammad. Dari situlah aku merasa yakin agama yang terakhir ini yang paling benar sekalipun aku belum pelajari seluruhnya bahkan membaca riwayat Nabi Muhammad juga baru malam ini. 

Aku melangkah menuju kamarku yang di lantai atas. Terkejut aku membuka pintu kamarku melihat poster-poster itu sudah tersusun dilantai dan dilipat kertas serta ikatan tali rafia. Semua atribut budaya asing juga sudah dimasukkan kardus besar. Aku benar-benar lupa mau aku bawa kemana poster-poster dan atribut hiasan asing itu. Aku masih tidak peduli dengan semua itu karena aku teringat Pak Ustadz. Aku harus kesana dulu. 

Dalam sekejap pun aku telah sampai Rumah Sakit Islam. Aku seperti orang beruntung yang langsung dapat mengetahui kamar rawat Pak Ustadz. Aku pun memasuki ruangan dimana Pak Ustadz terbaring di ruang rawat ICU. Aku duduk di sisi kiri berhadapan dengan istrinya yang masih terus membacakan doa-doa. Aku pegang tangan Pak Ustadz. Dia mengernyitkan matanya seakan menolehku. Tapi terpejam kembali matanya. Aku hanya ingin mengembalikan buku itu dan mengucapkan banyak terima kasih. Tak lama dokter dan perawat memasuki ruang itu mau memeriksa terpaksa aku harus keluar dari ruangan itu. 

Melalui lorong-lorong Rumah Sakit itu aku mencari tempat sholat ingin mendoakan Pak Ustadz sebagai rasa terima kasihku atas jawaban yang lengkap tentang insyaallah dari buku riwayat Nabi Muhammad yang dipinjamkannya padaku. Buku yang telah memberi gambaran bagaimana sejarah lahirnya agama islam, perilaku Nabi Muhammad yang begitu mulia dalam kesederhanaan dan segala ajaran-ajarannya tentang kedamaian hidup berdampingan dengan segala perbedaan. Segala kearifan seorang Rasul. Kebersahajaan seorang Rasul yang down to earth yang begitu membumi selayaknya manusia pada umumnya. Yang tidak mau dikultuskan. Semua itu membuat luluh lantak segala kesombonganku di masa lalu. Aku menangisi masa laluku dan tangisan itu mengundang kerinduanku yang mendalam terhadap Rasulullah. Ingin aku berdoa mengucap terima kasih telah membawakan islam pada seluruh umat di dunia. Agama yang sebenarnya penuh damai. Bahkan membuat diriku takut merasa paling benar, kalau arogansi bisa menyeret kedalam bujukan berkedok putih. Seperti yang pernah aku dengar dari Cak Nun jangan salah akal membela islam karena justru islam telah membela kita kedalam kebenaranNya. 

Dari riwayat Nabi Muhammad itu membuatku merinding akan kecongkakanku di masa lalu. Kali ini aku ingin menebus kekeliruanku dengan sederhana. Yaitu mendoakan Pak Ustadz supaya diijinkan Allah diberi kesembuhan, diberikan panjang umur untuk membagi-bagi ilmu dalam memberi jalan kebenarannya dan membukakan pintu rindu kepada Nabi Muhammad yang telah membawa islama kepada kita di dunia. Betapa bersyukur dan bahagianya aku mengetahui inyaallah itu membukakan segala pintu ilmu tentang damainya islam. Ingin aku menyerukan wahai seluruh umat di dunia ini bacalah riwayat Nabi Muhammad baik yang muslim belum membacanya maupun yang belum masuk islam, tolong bacalah. Buku itu akan membuatmu rindu yang pilu. Rindu yang getir akan segala ilmu hidup yang dicerminkan dalam perjalanan hidupnya. 

Pikiranku yang terus mengembara itu mengantarkan aku sampai pada mushola mungil di rumah sakit itu. Aku sholat dan berdoa untuk kesembuhan Pak Ustadz. Dalam doaku juga tak henti-hentinya aku berterima kasih kepada Nabi Muhammad telah membawakan islam padaku dan berterima kasih kepada Allah SWT yang telah memberikan hidayah untuk menengok, mendatangi dan memasuki islam dengan sepenuh hatiku sendiri.

Keseharian mengunjungi dan menengok Pak Ustadz terus berulang hingga hampir 3 minggu berturut sehingga kondisi Pak Ustadz pun membaik sudah dipindah ke ruang rawat inap biasa. Masya Allah pengunjungnya semakin banyak. Rombongan demi rombongan membacakan doa bersama untuk kesembuhan Pak Ustadz dan aku hanya berdiri disamping Pak Ustadz. Hingga memasuki minggu ke 4 dimana Pak Ustadz sudah diperbolehkan pulang ke rumah. Tentu para jama’ah di kampungnya telah merindukan diimaminya lagi. Dalam beberapa hari Pak Ustadz di rumah juga sudah pulih untuk mengimaminya di mushola. Niatku sore ini ingin turut serta berjama’ah sholat maghrib seperti pertemuanku pertama kali dengan Pak Ustadz. Niatku ingin mengucap terima kasih dan mengembalikan buku riwayat Nabi Muhammad kepadanya. Seperti biasanya maghrib selalu dipenuhi jama’ah. Hingga salam terakhir aku masih menunggu sampai Pak Ustadz memimpin membacakan doa-doa. Namun belum selesai doa-doa itu dibacakan tiba-tiba Pak Ustadz terjatuh pingsan. Semua jama’ah spontan mengusungnya untuk dibawa ke rumah Pak Ustadz. Bahkan seseorang sudah menelfon ambulance dari Rumah Sakit. Sesampainya di rumah putih itu, Pak Ustadz siuman saat direbahkan di tempat tidurnya. Mungkin Pak Ustadz memang perlu istirahat 2 atau 3 hari lagi. Masih bisa aku tunggu hingga aku bisa bertemu langsung untuk mengembalikan bukunya. Karena ada yang ingin ku sampaikan secara pribadi pada Pak Ustadz. 

Tiga hari kemudian, pada suatu subuh. Aku melihat Pak Ustadz keluar dari rumahnya. Dia menuju mushola saat qomat dikumandangkan. Bersamaan dengan itu aku juga berjalan menuju mushola yang sama. Untung aku selalu membawa bukunya. Mungkin ini kesempatanku untuk mengembalikan buku itu. Karena siapa tahu akan berguna untuk orang lain yang bisa dipinjaminya. Kalau aku berencana membelinya sendiri di toko buku untuk menjadikannya koleksi favoritku. Subuh ini seperti pertemuanku kedua dengan Pak Ustadz saat dia dibawa ke rumah sakit karena serangan jantung. Semoga Pak Ustadz akan selalu sehat dan diberi umur panjang. 

Sholat subuh pun sudah dimulai. Aku mengikutinya. Buku ku letakkan disampingku sholat. Hanya 9 orang termasuk diriku. Seperti biasa usai salam terakhir membaca doa-doa dipimpin Pak Ustadz. Dia sempat melirik kearah bukunya sekali. Karena aku duduk searah dengan pandangannya dia duduk. Setelah bersalam-salaman Pak Ustadz berbicara kepada 8 jama’ah yang ada itu.

“Biarkan saya mau sendiri di mushola sebentar”

“Kenapa Pak Ustadz, saya temani”

“Tidak usah”

Semuapun keluar mushola. Memakai alas kaki masing-masing sembari berjalan ke arah rumah masing-masing dengan penuh penasaran memandangi kearah Pak Ustadz yang berjalan menghampiriku dan duduk disampingku. 

“Buku itu tidak harus kamu kembalikan. Kamu juga sudah mengucapkan insyaallah kamu kembalikan. Jadi kalau tidak kamu kembalikan juga tidak apa-apa.....”

Aku ingin menjawab tapi sepertinya Pak Ustadz inging meneruskan kata-katanya

“Kamu tidak harus selalu berjama’ah kesini supaya rumah kamu juga kamu gunakan untuk sholat. Coba kamu sholat di tempat biasa kamu sholat yang sudah lama tidak kamu gunakan untuk sholat. Nanti insyaallah saya akan berkunjung ke rumahmu. Sekali-sekali kita berjama’ah di rumahmu ditempat kamu biasa sholat dan saya akan mengambil buku itu di rumah kamu... Sekrang saya harus istirahat dan berdoa kepada Allah ingin mengucap syukur atas segala nikmat juga nikmat dipertemukan mualaf seperti dirimu.. yang rindu dengan Nabimu setelah membaca buku itu... Pulanglah, bawalah buku itu, insyaallah saya akan segera kesana...biarkan aku disini sendiri berdoa”

Aku pun tanpa seucap kata segera bangkit membawa buku itu keluar dari mushola. Aku berjalan menuju rumahku melewati rumah Pak Ustadz yang seperti biasa terdengar suara ngaji istri dan anak-anaknya. 

Aku memasuki gerbang rumahku. Membuka pintu rumahku. Menaiki tangga menuju kamarku di lantai atas. Terdengar suara pintu gerbangku dibuka paksa dan sebuah mobil memasuki halaman rumahku. Pintu rumahku juga dibuka dengan paksa. Terdengar suara kakakku

“Norman... Norman....”

Aku juga terkejut melihat Pak Ustadz dan beberapa warga kampung yang tadi jama’ah subuh memasuki halaman rumahku dengan mengendarai motor berboncengan. 

“Maaf kalian siapa dan ada apa kemari”

“Saya Cuma mau mengambil buku yang dipinjam Mas... “ ujar Pak Ustadz 

“Norman? Pinjam buku apa Norman sama kamu?”

“Buku Nabi Muhammad”

“Norman... Ini ada yang mau ambil buku, ayo Pak ikut keatas, kamarnya diatas mungkin masih tidur” 

Pak Ustadz berjalan naik keatas mengiringi Kakakku. Kubuka tempat aku biasa sholat dan begitu terkejutnya aku melihat diriku tersungkur kaku diatas sajadah sambil memegang buku riwayat Nabi Muhammad. Rupanya aku telah meninggal sejak 39 hari yang lalu. Tetesan air mataku jatuh mengenai buku itu. Kakakku shock menangis memelukku. Warga berdatangan keatas. Salah satu menelfon ambulance. Pak Ustadz mengambil buku itu. Tetes air mataku di usapnya. Tetes air mata rinduku pada Nabi Muhammad. 

 

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Religi
Cerpen
Insyaallah Mualaf
Teguh Santoso
Novel
My Destiny is You
Almayna
Novel
I'm Ok Without You
IntifaahMochammad
Novel
Keikhlasan Cinta dan Do'aku
andriani intan hidayah
Novel
Bronze
Sabda Waras
prasetya widiharsa
Novel
Keikhlasan Cinta dan Doa'ku
andriani intan hidayah
Novel
Keikhlasan cinta dan doa'ku
andriani intan hidayah
Novel
keikhlasan cinta dan doaku
andriani intan hidayah
Novel
Gold
Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (Republish)
Bentang Pustaka
Novel
Gold
Dekapan Kematian
Mizan Publishing
Novel
Gold
Raya
Bentang Pustaka
Novel
Keikhlasan
Nila Kresna
Novel
Gold
Ada Pelangi di Balik Hujan
Mizan Publishing
Novel
Story of Zarah
Ka Nis
Skrip Film
Hujan Paling Jujur di Matamu - Skrip Film
Hadis Mevlana
Rekomendasi
Cerpen
Insyaallah Mualaf
Teguh Santoso
Cerpen
SZIZOFRENIA APARTEMEN
Teguh Santoso
Skrip Film
Kasmaran Sussi
Teguh Santoso
Skrip Film
Gajah Oling
Teguh Santoso
Cerpen
Zoon Politicon
Teguh Santoso
Cerpen
CODET
Teguh Santoso
Cerpen
Papa Gue GENDERUWO
Teguh Santoso
Cerpen
Tiket
Teguh Santoso
Cerpen
SIN-TREND
Teguh Santoso
Skrip Film
Titisan Siluman Harimau Putih
Teguh Santoso
Cerpen
INDIGONIZATION
Teguh Santoso